Penurunan Produksi Migas: Masalah Pembaharuan Konsep Geologi untuk Eksplorasi Migas
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Penurunan produksi migas Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini seringkali secara aklamasi dan seragam diterangkan oleh pihak yang berwenang dikarenakan oleh usia lapangan-lapangan produksi yang sudah tua dan tidak ditemukannya cadangan-cadangan baru yang cukup besar untuk mengganti produksi. Yang kurang disinggung biasanya adalah mengapa tidak ditemukan cadangan-cadangan baru yang cukup besar, dan kalau pun ketemu, mengapa untuk memproduksikannya butuh waktu yang sangat lama sampai-sampai tidak bisa mengimbangi laju penurunan produksi pada waktunya (contoh kasus: Cepu).
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menjawab tuntas kedua hal yang kurang disinggung tersebut, apalagi hal yang terakhir, karena memang sebenarnya menurut pengamatan kami belum ada kemauan politik untuk melakukannya, dan belum ada keberanian untuk lepas dari ketergantungan pada bisnis rente impor minyak.
Tulisan ini juga tidak akan menyinggung masalah investasi, tetapi akan lebih fokus pada masalah pembaharuan konsep geologi untuk eksplorasi migas Indonesia, yang pada gilirannya berhubungan langsung dengan jawaban: “mengapa tidak ditemukan cadangan-cadangan baru yang cukup besar” dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir dan mungkin tahun-tahun mendatang.
Untuk membahas permasalahan konsep geologi eksplorasi diberikan gambaran latar belakang tentang Cekungan-Cekungan Migas Indonesia, Konsep Siklus Eksplorasi, dan Permasalahan tentang Sumur-sumur Gagal Eksplorasi.
Tentang Cekungan-Cekungan di Indonesia diuraikan bahwa sebenarnya: bukannya migas kita terbatas atau mau habis, tetapi pikiran kitalah (konsep, keberanian eksplorasi, dan kemampuan manajemen sumber daya) yang makin menipis. Masih ada 41 cekungan lagi (60% dari jumlah cekungan di Indonesia) yang perlu dieksplorasi untuk menambah cadangan dan produksi migas kita.
Terdapat tiga siklus eksplorasi migas di Indonesia, yang terdiri dari:
Siklus Pertama: minyak target dangkal, penemuan gas ditinggalkan, konsep dan teknologi sederhana, lokasi on-shore, reservoir batuan klastik, struktur-struktur Pliosen-Pleistocene, endapan inversi/post-inversi.
Siklus Kedua: minyak target kedalaman menengah, gas dengan cadangan besar mulai dikelola, konsep dan teknologi lebih maju, lokasi on-shore dan off-shore, reservoir batuan karbonat maupun klastik, struktur-struktur Miocene, endapan-endapan post-rift.
Siklus Ketiga: minyak dan gas target dalam, gas dengan cadangan menengah mulai dikelola, konsep dan teknologi mutakhir, lokasi on-shore, off-shore, dan laut dalam, reservoir batuan dasar (basement), karbonat, maupun klastik, struktur-struktur Paleogene, endapan-endapan synrift dan pre-rift.
Pertamina mewarisi hampir sebagian besar lapangan-lapangan tua yang ditemukan pada akhir abad 19 dan awal abad 20 di Indonesia, yang pada umumnya merupakan hasil eksplorasi siklus pertama. Tantangan besar untuk melengkapi siklus eksplorasi di berbagai daerah konsesinya di seluruh Indonesia telah dijawab dengan penemuan-penemuan di Cekungan Sumatera Selatan (sampai ke siklus dua dan tiga), Cekungan Jawa Barat bagian Utara (sampai ke siklus dua), dan di Cekungan Jawa Timur (sampai siklus dua). Kelanjutan dari usaha eksplorasi tersebut perlu ditunjang dengan pemahaman yang mendalam tentang masih banyaknya tersisa cadangan-cadangan di berbagai daerah konsesi Pertamina, karena belum lengkapnya siklus eksplorasinya.
Sumur-sumur gagal eksplorasi alias dry wells bisa jadi “gagal evaluasi” karena kesalahan mekanis, kekurangan dana, prioritas ekonomi, konsep / teknologi lama, atau kesalahan interpretasi. Masih banyak opportunity untuk melakukan dry hole revival di ex-sumur-sumur eksplorasi gagal kita di Indonesia dalam rangka percepatan penambahan cadangan dan produksi migas Indonesia.
Beberapa cara pandang terhadap pembaruan konsep geologi eksplorasi migas Indonesia antara lain: Indonesia Barat vs. Indonesia Timur, Tersier vs. Pra-Tersier, Onshore vs. Offshore, Proven producing basins vs. Explored frontier basins, Structural vs. Non-Structural Plays, Shallow Water vs. Deep Water Areas, Back Arc/Foreland vs. Volcanic Mountain Front/Intra-montana. Masing-masing akan disinggung sekilas dalam rangka memberikan perspektif tentang kemungkinan pembaruan konsep-konsep eksplorasi tersebut.
Masalah-masalah teknis dan non-teknis terkait pembaruan konsep eksplorasi migas Indonesia.
Masalah-masalah teknisnya, antara lain:
Cekungan-cekungan (baru) belum sepenuhnya didelineasikan, “Petroleum system” di sebagian cekungan produksi belum begitu dimengerti (apalagi di cekungan-cekungan yang belum dieksplorasi),
Kualitas reservoir di (sekitar) daerah “active margin”: volkanik, pengendapan cepat, overpressure,
Bocornya perangkap/penutup di daerah tektonik aktif (pengangkatan dan patahan),
Kompartementalisasi perangkap (dan reservoir) di daerah tektonik aktif (patahan),
Batuan vulkanik dan/atau karbonat yang menutupi permukaan cekungan menyulitkan akusisi data geofisika untuk penggambaran geologi bawah permukaan,
Belum sepenuhnya mengembangkan (menerapkan metodologi akusisi) analyses data geologi-geofisika terbaru: (Micro) Gravity, Passive Seismic, Magnetic, Magnetotelluric, 3D shallow geoelectrical survey, Advanced processing (CRS, CWT, etc); dan Integrasi data geologi permukaan dengan bawah permukaan belum optimal dilakukan.
Masalah-masalah non-teknis, antara lain:
Akses terhadap data, keterbukaan data, masalah batasan empat, enam, delapan tahun dan data aktif;
Tentang speculative survey yang tidak optimal, tidak melibatkan potensi fungsi expert terkait di bawah Kementrian ESDM dan lebih di”drive” oleh usulan dari pihak swasta (asing),
dan masalah generation gap di BG, Lemigas, BPMigas, Ditjen Migas akibat kebijakan zero growth di akhir 90an awal 2000an.
Selain itu juga diuraikan tentang: tidak optimalnya analyses dan synthesis data dalam penyiapan blok, Packaging informasi dalam penawaran blok dimana data dasar yang dimiliki pemerintah kurang menarik; yang lebih menarik biasanya data dasar yang dikuasai swasta (asing), dan Prosedur relinquishment & evaluasinya yang kurang melibatkan potensi fungsi expert terkait di bawah Kementrian ESDM.
Sebagai Rekomendasi diusulkan bahwa Bonus Tanda Tangan dan Bonus Produksi dari KKKS seharusnya dapat di ”plow back” ke sektor ESDM untuk menambah data baru – eksplorasi cekungan-cekungan baru di Indonesia. Selain itu Kementrian ESDM harus lebih kuat bargaining dengan usulan-usulan spekulatif survei dari pihak swasta (asing) dan melibatkan lebih banyak expert nasional yang dimilikinya. Ide baru untuk kontrak KKS antara lain: “Based on depth/cycle targets: new cycle – more incentives, dan PSC termination as scheduled, re-tender instead of extension”. Yang paling utama: Revitalisasi Badan Geologi ESDM mutlak dilakukan supaya lebih proaktif dalam usaha eksplorasi migas Indonesia.