Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Geo-Archaelogy Food for Thoughts

Legenda adalah rembesan cerita peradaban maju dari bawah ketidakselarasan geologi-budaya yang tidak bisa dinalar oleh logika teknologi masa kini yang notabene sedang menapak berkembang maju di atas ketidakselarasan geologi-budaya yang terakhir di masa lalu.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

  1. Legenda adalah rembesan cerita peradaban maju dari bawah ketidakselarasan geologi-budaya yang tidak bisa dinalar oleh logika teknologi masa kini yang notabene sedang menapak berkembang maju di atas ketidakselarasan geologi-budaya yang terakhir di masa lalu.

  2. Fiksi ilmiah adalah dejavu kesadaran kolektif budaya masa-kini yang dirasuki oleh kerinduan abstrak samar-samar atas bayangan kemajuan teknologi masa-lalu dari bawah ketidakselarasan geologi-budaya terakhir dalam kurun waktu.

  3. Pengingkaran atas sekuen dan siklus geologi sejarah bumi melahirkan kepercayaan buta atas linearisme sejarah peradaban dan teknologi, termasuk usaha-usaha pemalsuan data untuk memaksakan konsep pemanasan global dan jalan pintas menghadirkan UFO di fenomena-fenomena teknologi tinggi masa lalu.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Sequence Stratigraphy dan "Keselarasan" Manusia Gua Indonesia

Kalau terjadi katastrofe di Jakarta, maka akan terjadi "ketidakselarasan" di Jakarta: daya dukung lingkungan hancur, banyak "species" punah, proses pertumbuhan di-reset ke awal lagi. Itulah batas sekuen kita!

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

(Renungan Pagi Stratigrafi Arkeologi)

Batas sekuen adalah ketidakselarasan yang berkorelasi dengan keselarasan sebanding (prinsip dasar Sequence Stratigraphy).

Kalau terjadi katastrofe di Jakarta, maka akan terjadi "ketidakselarasan" di Jakarta: daya dukung lingkungan hancur, banyak "species" punah, proses pertumbuhan di-reset ke awal lagi. Itulah batas sekuen kita!

Tapi ingat: Stratigrafi Sekuen juga mengajarkan adanya "Keselarasan sebanding" yang berkorelasi dengan Ketidakselarasan karena katastrofe tersebut. Di manakah "keselarasan" itu? Di mana kah survivor-survivor kita ketika Jakarta dihancurkan, ketika Aceh digempa-tsunamikan, ketika Danau Bandung dikeringkan, ketika Toba diletuskan?

Jawabnya ada di definisi "keselarasan" itu sendiri: mereka yang terus menerus hidup selaras dengan alam, besar kemungkinan akan menjadi survivor - keselarasan itu, yang nantinya akan jadi pioneer-pioneer biosfera ekosistem baru paska-katastrofe! Saudara-saudara kita di Badui, di Kubu, di Samin, adalah contoh dari mereka yang hidup selaras dengan alam sekarang ini tanpa harus memanipulasi alam itu sendiri. Mereka mengekstraksi alam secukupnya untuk kehidupan mereka sehari-hari, bukan "memanipulasi" dan mengambilnya berlebih-lebih! Merekalah yang terselamatkan oleh "alam", ketika teknologi maju menghancurkan dirinya sendiri.

Bahkan ketika tsunami, gempa, letusan gunung api menghantam kebudayaan tinggi di dataran rendah, mereka yang tinggal di gua tempat tinggi jauh dari jangkauan tsunami lah yang berhasil menyelamatkan diri. Musim dingin enam tahun karena letusan super vulkano Toba pun mungkin akhirnya bisa mereka siasati dengan hidup di gua-gua dan bertahan dari generasi ke generasi.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika seringkali kita dihadapkan pada kenyataan bahwa sebelum abad 4 Masehi sejarah Indonesia hanya didominasi oleh “manusia-manusia gua" alias dianggap sebagai zaman "pra-sejarah" semua. Kita saja yang belum bisa menemukan bekas-bekas peninggalan kebudayaan tinggi yang memanipulasi alam pada waktu itu yang dihancurkan oleh siklus proses alam sendiri. yang lebih mudah kita temukan adalah peninggalan manusia gua yang notabene selalu "lebih terselamatkan" dan lebih "bisa beradaptasi" menghadapi bencana katastrofe.

Kebudayaan tinggi kita di abad ke-0 ketika Nabi Isa/Yesus mengejawantah di dunia, terkubur oleh katastrofe. Sisa kejayaan negeri khatulistiwa saat Plato berpidato di Eropa sana abad 8 sebelum masehi-pun masih harus kita temukan di mana adanya mereka kini. Juga kebudayaan sebanding atau lebih tinggi dari piramida Mesir yang konon dibangun 3000 tahun sebelum masehi, mustinya bisa juga kita temui di Indonesia ini.

Bukti-bukti "ketidakselarasan" karena katastrofe itu semuanya menunggu untuk kita gali dan pelajari. Janganlah karena yang sering kita dapati adalah bukti "keselarasan"nya (yaitu manusia gua), maka terus saja kita menganggap proses kebudayaan kita linier satu fase saja: pra-sejarah-sejarah-modernisasi. Padahal bumi telah mengajarkan lewat sequence stratigraphy: bahwa semua proses pembentukan pertumbuhan kehancuran dan keseluruhan perjalanan bumi bukan linearisme uniformitarianity, tapi siklus-siklus katastrofe!!!!

Maka, demikianlah kira-kira itibar yang dapat kita ambil dari Sequence Stratigraphy.

Subhanallah. Allahuakbar.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Kesadaran (Solidaritas) Geologi untuk Arkeologi Indonesia

Prinsip-prinsip katastrofe di mainstream geologi jelas-jelas sudah memberi jalan dan alat kepada kita untuk lebih mengerti sejarah kemanusiaan diri kita sendiri. Sayang tidak terlalu banyak ahli yang menyadari.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Prinsip-prinsip katastrofe di mainstream geologi jelas-jelas sudah memberi jalan dan alat kepada kita untuk lebih mengerti sejarah kemanusiaan diri kita sendiri. Sayang tidak terlalu banyak ahli yang menyadari.

Bahwa bumi berkali-kali mengalami kehancuran, meninggalkan bekas-bekas luka dan spesies-spesies tersisa untuk mulai tumbuh lagi baru membangun ekosistem dunia.

Bahwa setiap kali kebudayaan berkembang maju yang karena proses-proses geologi katastrofe maka terhapus sudah semuanya kembali ke jaman batu atau saking majunya sampai-sampai tidak bisa mengontrol keberlangsungannya sendiri: mustinya itu dengan mudah kita bikin analoginya dari ayat-ayat bumi.

Bahwa bukti tertua keberadaan manusia lebih dari sejuta tahun yang lalu tapi piramida Mesir dianggap hanya berumur paling tua 3000 tahun saja; lalu ngapain saja manusia selama 997 ribu tahun sebelumnya?

Mainstream sejarah manusia dan kemanusiaan kita sering kali terjebak pada kekakuan linearisme belaka. Padahal bumi mengajarkan kepada kita: katastrofe terjadi berulang-ulang berkali-kali, seperti siklus ¾ bukan seperti garis lurus!!!

Nah, masihkah kita menganggap masa lalu selalu lebih primitif dari masa kini kita?

 

Tersentak kaget setelah membaca Ed Malkowski (Ancient Egypt 39,000 BCE) dan mem-browsing Robert Schoch (Redating the Great Sphinx of Giza). Subhanallah..

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

No Seep on Giant Field: No Artifact on Great Archeological Site?

Di dalam prinsip eksplorasi geologi minyak bumi, kami para praktisi eksplorasi punya semacam pedoman empiris terkait dengan tanda-tanda permukaan (tanah/laut) adanya migas di bawah permukaan.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Di dalam prinsip eksplorasi geologi minyak bumi, kami para praktisi eksplorasi punya semacam pedoman empiris terkait dengan tanda-tanda permukaan (tanah/laut) adanya migas di bawah permukaan. Apabila banyak ditemukan rembesan migas di permukaan tanah atau air laut berarti memang di bawah sana ada cebakan migas yang oleh karena penutupnya bocor halus atau perangkapnya tidak kuat menahan (breach) maka keluarlah rembesan-rembesan migas itu ke permukaan. Biasanya rembesan itu keluar lewat patahan yang membatasi (atau memotong) suatu perangkap migas. Dengan demikian, adanya rembesan migas di permukaan mengindikasikan adanya cebakan migas di bawah permukaan, tetapi cebakannya sudah bocor dan besar kemungkinan cadangannya juga sudah berkurang dari isi asalnya.

Nah, di daerah-daerah yang jauh dari rembesan dan atau sama sekali tidak punya rembesan migas di permukaan tanah/lautnya, kemungkinannya ada dua. Satu, memang sama sekali tidak ada migas terjebak di bawah permukaan, atau dua, cebakan migas di bawah permukaan itu begitu besar dan kuatnya (penutup dan perangkapnya) sehingga menghalangi migas untuk merembes keluar ke atas permukaan tanah atau air laut.

Lapangan migas raksasa Badak di Kalimantan Timur percis di bagian atas permukaannya tidak didapati rembesan migas. Tetapi 20 kilometer di sebelah baratnya, di mana lapisan-lapisan reservoir seumuran tersingkap di permukaan Lapangan Semberah, rembesan-rembesan migas keluar dari patahan-patahan pembatas. Cadangan migas Lapangan Semberah jauh lebih kecil dari cadangan migas Lapangan Badak.

Apakah mungkin prinsip serupa juga berlaku di dunia Arkeologi dan Sejarah? Di sekitar temuan-temuan candi atau situs megalit biasanya ditemukan artefak-artefak yang terkait dengan kehidupan/kebudayaan manusia yang berhubungan dengan keberadaan situs tersebut. Arca kecil, alat tukar perdagangan dari logam, terakota, dan sebagainya ditemukan di sekitar situs-situs Majapahit Jawa Timur atau situs Istana Tenggarong, Kalimantan Timur. Juga di sekitar Gunung Padang di mana ditemukan situs Megalitikum, di perkampungan sekitar kaki bukitnya banyak diceritakan temuan artefak seperti alat memasak, membuat api dan sebagainya. Apakah mungkin temuan situs-situs yang di sekelilingnya terdapat artefak tersebut sebenarnya adalah situs-situs yang tidak begitu sentral perannya dalam keseluruhan tata budaya pada saat itu sehingga di sekelilingnya ditemukan peninggalan-peninggalan "orang kebanyakan" (gerabah, terakota, alat tukar, bikin api, dan sebagainya).

Sementara untuk situs-situs yang eksklusif, punya tingkat harga yang lebih tinggi, milik para petinggi, punya derajat kerahasiaan yang tinggi, berteknologi lebih tinggi, malahan sengaja disembunyikan oleh para proponen pembangunnya untuk kepentingan masa datang, jauh dari jangkauan masyarakat kebanyakan? Apakah prinsip "no-seep on giant field"-nya Geologi migas itu bisa juga diterapkan di arkeologi? No-artefak around "giant sites" yang berarti meskipun tidak ada ditemukan artefak kebanyakan di sekitar suatu area yang dicurigai sebagai situs, bukan berarti bahwa di daerah tersebut tidak ada situs. Tetapi malahan kalau ketemu situs itu berarti situs tersebut punya harga yang sangat tinggi bahkan di masa kebudayaan lalu. Bisa jadi punya teknologi yang tinggi sedemikian rupa, diisolasikan dari masyarakat kebanyakan, dalam rangka menjaga "secrecy" (kerahasiaanya).

Skeptisisme kalangan akademisi arkeologi – purbakala yang meragukan adanya situs "man-made" di Gunung Sadahurip karena tidak pernah diketemukannya artefak di kaki gunung kemungkinan bersumber dari pemikiran linear mainstream keilmuan yang berlogika bahwa no-artefak no-sites! Tapi kalau kita terapkan prinsip "no-seep on giant field" bisa jadi temuan situs Sadahurip nantinya merupakan salah satu dari situs paling rahasia, paling berteknologi tinggi, paling terisolasi, dari yang selama ini kita tahu. Atau sama sekali memang tidak ada bangunan buatan manusianya di dalam situ.

Kalibrasi data geofisika bawah permukaan dengan pemboran inti yang sedang berlangsung saat ini di Gunung Padang yang akan disusul dengan pemboran inti Maret nanti di Gunung Sadahurip, insyaAllah akan menguak sedikit misterinya.

Read More