Sequence Stratigraphy dan "Keselarasan" Manusia Gua Indonesia

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

(Renungan Pagi Stratigrafi Arkeologi)

Batas sekuen adalah ketidakselarasan yang berkorelasi dengan keselarasan sebanding (prinsip dasar Sequence Stratigraphy).

Kalau terjadi katastrofe di Jakarta, maka akan terjadi "ketidakselarasan" di Jakarta: daya dukung lingkungan hancur, banyak "species" punah, proses pertumbuhan di-reset ke awal lagi. Itulah batas sekuen kita!

Tapi ingat: Stratigrafi Sekuen juga mengajarkan adanya "Keselarasan sebanding" yang berkorelasi dengan Ketidakselarasan karena katastrofe tersebut. Di manakah "keselarasan" itu? Di mana kah survivor-survivor kita ketika Jakarta dihancurkan, ketika Aceh digempa-tsunamikan, ketika Danau Bandung dikeringkan, ketika Toba diletuskan?

Jawabnya ada di definisi "keselarasan" itu sendiri: mereka yang terus menerus hidup selaras dengan alam, besar kemungkinan akan menjadi survivor - keselarasan itu, yang nantinya akan jadi pioneer-pioneer biosfera ekosistem baru paska-katastrofe! Saudara-saudara kita di Badui, di Kubu, di Samin, adalah contoh dari mereka yang hidup selaras dengan alam sekarang ini tanpa harus memanipulasi alam itu sendiri. Mereka mengekstraksi alam secukupnya untuk kehidupan mereka sehari-hari, bukan "memanipulasi" dan mengambilnya berlebih-lebih! Merekalah yang terselamatkan oleh "alam", ketika teknologi maju menghancurkan dirinya sendiri.

Bahkan ketika tsunami, gempa, letusan gunung api menghantam kebudayaan tinggi di dataran rendah, mereka yang tinggal di gua tempat tinggi jauh dari jangkauan tsunami lah yang berhasil menyelamatkan diri. Musim dingin enam tahun karena letusan super vulkano Toba pun mungkin akhirnya bisa mereka siasati dengan hidup di gua-gua dan bertahan dari generasi ke generasi.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika seringkali kita dihadapkan pada kenyataan bahwa sebelum abad 4 Masehi sejarah Indonesia hanya didominasi oleh “manusia-manusia gua" alias dianggap sebagai zaman "pra-sejarah" semua. Kita saja yang belum bisa menemukan bekas-bekas peninggalan kebudayaan tinggi yang memanipulasi alam pada waktu itu yang dihancurkan oleh siklus proses alam sendiri. yang lebih mudah kita temukan adalah peninggalan manusia gua yang notabene selalu "lebih terselamatkan" dan lebih "bisa beradaptasi" menghadapi bencana katastrofe.

Kebudayaan tinggi kita di abad ke-0 ketika Nabi Isa/Yesus mengejawantah di dunia, terkubur oleh katastrofe. Sisa kejayaan negeri khatulistiwa saat Plato berpidato di Eropa sana abad 8 sebelum masehi-pun masih harus kita temukan di mana adanya mereka kini. Juga kebudayaan sebanding atau lebih tinggi dari piramida Mesir yang konon dibangun 3000 tahun sebelum masehi, mustinya bisa juga kita temui di Indonesia ini.

Bukti-bukti "ketidakselarasan" karena katastrofe itu semuanya menunggu untuk kita gali dan pelajari. Janganlah karena yang sering kita dapati adalah bukti "keselarasan"nya (yaitu manusia gua), maka terus saja kita menganggap proses kebudayaan kita linier satu fase saja: pra-sejarah-sejarah-modernisasi. Padahal bumi telah mengajarkan lewat sequence stratigraphy: bahwa semua proses pembentukan pertumbuhan kehancuran dan keseluruhan perjalanan bumi bukan linearisme uniformitarianity, tapi siklus-siklus katastrofe!!!!

Maka, demikianlah kira-kira itibar yang dapat kita ambil dari Sequence Stratigraphy.

Subhanallah. Allahuakbar.

Previous
Previous

(Penyelesaian Masalah Sosial Lapindo)

Next
Next

(Renungan Revolusi Sedimentologi)