Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Katastrofe Purba? Anugrah Purba!

Ada proses biasa sehari-hari, ada juga proses luar-biasa yang tak lazim terjadi.

Proses luar biasa pada khazanah kejiwaan manusia punya dua nuansa, yaitu anugerah-senang-gembira dan bencana-sedih-duka lara.

Apakah proses luar biasa alam di luar jiwa manusia juga punya dua nuansa yang berbeda?

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Ada proses biasa sehari-hari, ada juga proses luar-biasa yang tak lazim terjadi.

Proses luar biasa pada khazanah kejiwaan manusia punya dua nuansa, yaitu anugerah-senang-gembira dan bencana-sedih-duka lara.

Apakah proses luar biasa alam di luar jiwa manusia juga punya dua nuansa yang berbeda?

Ternyata kita semua hanya membahasakannya menjadi: katastrofe. Yang artinya: negatif, menghancurkan, bencana, erosional, mengocok ulang, mencampuradukkan, musnah, dan sejenisnya yang setara dengan bencana-sedih-duka lara-nya perasaan jiwa manusia.

Berkaca pada jiwa, seharusnya ada juga peristiwa luar-biasa yang berupa anugerah. Tapi kenapa tidak pernah kita cari, catat, dan pelajari dia?

Atau sebenarnya peristiwa alam luar biasa itu punya dua sisi yang berbeda dalam sekali peristiwa: sisi katastrofe-bencana dan sisi membangun-anugerah?

Kita saja yang selama ini sangat egois antroposentris melihatnya satu dimensi: katastrofe-bencana saja.

Bukankah pengangkatan tektonik gegap gempita dan gempa sesar geser naik di pegunungan hulu menghasilkan endapan-endapan luar biasa tebalnya pada waktunya di cekungan-cekungan bawah?

Bukankah letusan vulkanik awan panas dan lahar dingin yang menghancurkan tebing punggungan gunung purba juga menghasilkan tumpukan endapan kaya hara di seputar badan gunung dan di bawahnya?

Bukankah banjir bandang, aliran lumpur dan genangan-genangan di daratan akan memindahkan suspensi halus zat-zat pembawa unsur kesuburan tanah ke tempat-tempat kelak kita semua bercocok tanam?

Bukankah longsoran-longsoran bawah laut, badai-badai dan tsunami telah membantu umat manusia bersilaturahmi antar mereka sendiri dan juga dengan alam megah perkasa ciptaan Allah? Subhanallah.

Marilah mulai sekarang kita melihat dua sisi dari peristiwa luar biasa alam semesta. Bukan hanya katastrofe bencana saja, tapi membangun anugerah juga!!

Katastrofe Purba? Anugrah kita!!!!

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

“Scientific Truth in the Making” (Surat untuk Gesit di Kanada)

Gesit, coba browsing, kumpulkan, dan kemudian klipingkan pemberitaan tentang bencana (gempa, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, sampai ke "meteor impact") yang terkait dengan Andi Arief, Staff khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial & Bencana, termasuk pemberitaan tentang Katastrofe Purba dan ramainya perang opini tentang riset Gunung Padang akhir-akhir ini.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Gesit, coba browsing, kumpulkan, dan kemudian klipingkan pemberitaan tentang bencana (gempa, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, sampai ke "meteor impact") yang terkait dengan Andi Arief (AA), Staff khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial & Bencana, termasuk pemberitaan tentang Katastrofe Purba dan ramainya perang opini tentang riset Gunung Padang (Petisi Arkenas dan lain-lain) akhir-akhir ini.

Perhatikan gaya komunikasi AA: pernyataan-pernyataan yang dilontarkannya, prediksi-prediksinya, warning-nya, dan sejenisnya. Itu semua bisa jadi bahan telaah fenomena baru: science journalism yang sekarang sedang kamu utak-atik di sana. Gaya komunikasi AA tersebut menghadapkan sains langsung kepada masyarakat. Tidak lagi menyembunyikannya diam-diam dan menunggu menggodoknya matang sebelum hasil akhirnya nanti dilemparkan ke masyarakat. Gaya tersebut mencoba menyuguhkan sains yang rumit menjadi "sederhana" untuk dicerna dan —yang terpenting — bermanfaat untuk masyarakat, bahkan ketika masih dalam fase penelitian.

Prediksi tentang masih akan munculnya mega-thrust di barat Sumbar/Bengkulu dalam waktu dekat, tentang Jakarta yang dapat sewaktu-waktu terimbas gempa dan tsunami dari Selat Sunda, mengingatkan gempa-gempa susulan setelah adanya gempa-gempa besar, banjir, tanah longsor, aktivitas gunung berapi yang silih berganti di Indonesia, dan sebagainya. Hal-hal yang dulu pra 2009 (apalagi pra 2004) tabu untuk dibicarakan dan jarang dimuat di media-media terkait dengan potensi-potensi bencana tersebut, makin ke sini makin hampir tiap hari tersebar lewat media sosial bahkan sampai ke media konvensional. Coba hitung berapa banyak dari berita itu yang berasal dari kelompok AA (SKP-BSB) dan para saintis independent yang bukan di “mainstream” pemerintahan, dan berapa banyak yang berasal dari otoritas “resmi” (keilmuan maupun pemerintahan).

Itu semua adalah gaya baru dalam mengkomunikasikan sains dan "ketidakpastiannya" ke masyarakat. Coba eksplorasi lebih lanjut, mungkin dengan latar belakang geologi dan science journalism-mu kamu dapat lebih memahami fenomena baru ini dan kalau bisa ikut andil dalam mengembangkannya lebih lanjut untuk kepentingan yang lebih besar: partisipasi, pemahaman dan aplikasi sains dari dan oleh masyarakat terbuka Indonesia untuk kemajuan bangsa!!! (Hehehehe, harus selalu ada visi dan misi besar di depan supaya kita tergetar untuk selalu bergerak meraih ayunan tangga ke level hakikat yang lebih tinggi — ke hadapan Tuhan).

Mungkin gaya seperti itu bisa kita sebut sebagai gaya era baru keterbukaan sains yang, dalam proses penelitian pencarian kebenarannya, hasil-hasil (sementara)nya terus menerus dikomunikasikan ke masyarakat. Banyak positifnya, tapi ada juga negatifnya, terutama ketika berhadapan dengan establisme otoritas keilmuan yang ortodoks dan kaku. Bahkan sampai menimbulkan konflik-konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi kalau masing-masing pihak legowo dan mau "mendengarakan" dalam komunikasi.

Menarik untuk diikuti. Scientific truth in the making — pembuktian kebenaran saintifik yang sama-sama disaksikan masyarakat. Harusnya tidak perlu ada yang sampai merasa tersinggung dengan berbagai klaim yang saling dilemparkan ke masyarakat. Bisa jadi kebenaran ilmiah diklaim sebagai milik segelintir dewa dan otoritas lembaga, tapi kebenaran hakiki adalah yang paling membawa manfaat buat bangsa-masyarakat dunia akhirat sebagai proxy untuk mendekati kebenaran mutlak yang dimiliki Allah subhanahuwata’ala.

Kelemahan lain dari science journalism model langsung seperti digambarkan di atas adalah: hasil-hasil awal, sementara dari penelitian bisa saja dipersepsikan oleh masyarakat sebagai hasil final/hasil akhir, yang mana hal tersebut dapat menimbulkan kekecewaan nantinya apabila ternyata di hasil akhirnya tidak sesuai dengan hipotesis. Bagi peneliti-saintis, hal tersebut tidak menjadi masalah. Hipotesis itu dibuat untuk dibuktikan benar atau salahnya. Bagi masyarakat yang kadung percaya bahwa hipotesis itu adalah kebenaran, maka hasil awal yang mendukung hipotesis bisa memelesetkan kepercayaan mereka kepada hasil akhir yang tidak sesuai dengan hipotesis. Pastinya kalau nanti tidak terbukti bahwa Gunung Padang itu tidak punya ruang bawah tanah, tidak sebesar sepuluh kali Borobudur, hanya produk budaya seperti pengertian semula yang 2500 tahunan saja, maka masyarakat yang mengharapkan masa lalu Indonesia yang gemilang akan kecewa (dan mungkin malah tidak mempedulikan hasil akhir tersebut). Sementara masyarakat yang konon katanya lebih realistis dan menganut konsep-teori mainstream budaya linear manusia akan merasa lega, karena otoritas keilmuannya tidak lagi terbantahkan.

Tapi apakah hasil awal itu, dan apakah hasil akhir itu? Selama saintis tetap berpikir kritis, selama sains terus ada dan tidak dikekang, maka semua hasil adalah hasil awal. Dan kita semua harus secerdik-cerdiknya memanfaatkan kesementaraan hasil sains yang selalu awal itu untuk kepentingan yang lebih luas: kesejahteraan manusia. Jangan sampai ada hasil akhir. Jangan sampai kita berhenti.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Kesadaran (Solidaritas) Geologi untuk Arkeologi Indonesia

Prinsip-prinsip katastrofe di mainstream geologi jelas-jelas sudah memberi jalan dan alat kepada kita untuk lebih mengerti sejarah kemanusiaan diri kita sendiri. Sayang tidak terlalu banyak ahli yang menyadari.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Prinsip-prinsip katastrofe di mainstream geologi jelas-jelas sudah memberi jalan dan alat kepada kita untuk lebih mengerti sejarah kemanusiaan diri kita sendiri. Sayang tidak terlalu banyak ahli yang menyadari.

Bahwa bumi berkali-kali mengalami kehancuran, meninggalkan bekas-bekas luka dan spesies-spesies tersisa untuk mulai tumbuh lagi baru membangun ekosistem dunia.

Bahwa setiap kali kebudayaan berkembang maju yang karena proses-proses geologi katastrofe maka terhapus sudah semuanya kembali ke jaman batu atau saking majunya sampai-sampai tidak bisa mengontrol keberlangsungannya sendiri: mustinya itu dengan mudah kita bikin analoginya dari ayat-ayat bumi.

Bahwa bukti tertua keberadaan manusia lebih dari sejuta tahun yang lalu tapi piramida Mesir dianggap hanya berumur paling tua 3000 tahun saja; lalu ngapain saja manusia selama 997 ribu tahun sebelumnya?

Mainstream sejarah manusia dan kemanusiaan kita sering kali terjebak pada kekakuan linearisme belaka. Padahal bumi mengajarkan kepada kita: katastrofe terjadi berulang-ulang berkali-kali, seperti siklus ¾ bukan seperti garis lurus!!!

Nah, masihkah kita menganggap masa lalu selalu lebih primitif dari masa kini kita?

 

Tersentak kaget setelah membaca Ed Malkowski (Ancient Egypt 39,000 BCE) dan mem-browsing Robert Schoch (Redating the Great Sphinx of Giza). Subhanallah..

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

(Heboh Info Katastrofe Geologi Pagi-Pagi — untuk Direnungi)

Nah, kalau ada yang berminat membuktikan atau memfalsifikasi hipotesis di atas, monggo dibikin perhitungan-perhitungan kinematika dan dinamika litosfer dan hidrosfernya.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Kalau peningkatan kegiatan vulkanisme (letusan gunung berapi) dalam skala masif menyebabkan pemanasan global, nampaknya lebih mudah dicerna logika falsifikasinya, karena sebenarnya letusan-letusan gunung api super katastrofe level dunia malah menyebabkan pendinginan global bukan pemanasan global. Debunya akan mengambang di stratosfer berwaktu-waktu masa sehingga menyebabkan global winter bertahun-tahun seperti diindikasikan di kasus super-volcano Toba atau letusan kaldera Tambora.

Tapi kalau sebaliknya: "apakah pemanasan global bisa menyebabkan peningkatan aktivitas vulkanisme global", nampaknya perlu lebih hati-hati menyikapinya.

Mungkin logika hipotesis pernyataan nomor dua di atas adalah sebagai berikut:

  1. Pemanasan global menyebabkan pencairan es di kutub,

  2. Pencairan es di kutub menyebabkan kenaikan muka air laut,

  3. Kenaikan muka air laut menyebabkan pertambahan volume air laut di samudra,

  4. Penambahan volume air laut di samudra-samudra menyebabkan penambahan beban tekanan - stres pada lempeng samudra,

  5. Penambahan beban tekanan - stres pada lempeng samudra menyebabkan peningkatan kecepatan subduksi/penunjaman lempeng, dan

  6. Peningkatan kecepatan subduksi/penunjaman lempeng menyebabkan peningkatan aktivitas tektonik (kegempaan) dan vulkanik ( letusan gunung api)

Nah, kalau ada yang berminat membuktikan atau memfalsifikasi hipotesis di atas, monggo dibikin perhitungan-perhitungan kinematika dan dinamika litosfer dan hidrosfernya.

Siapa tahu hitung-hitungannya pas dan hipotesis tadi terbukti dengannya?

Read More