Blog Admin Blog Admin

Catatan Minna Minkum Nusantara

Terus waktu salah satu ibu itu bilang ke anaknya sambil nangis menyatakan dia khawatir seharian nyari anaknya kemarin, ternyata dia di Poltabes, dst, dsb, HIKKKS… Aku jadi inget bapak ibu-ku…. 

 

Aku mbrebes mili liat video ini. Bu Risma memarahi anak-anak (STM?) yang ikut demo kemarin terus ditangkepi di Poltabes (mungkin karena ikut anarkis ngelempar-lempar batu dan ngerusak-rusak? Atau melawan petugas PHH?), kemudian dibebaskan di depan orangtua mereka.

Apalagi pas Risma bilang orangtua kalian yang membersihkan kotoran kalian waktu kecil, menyuapi kalian, mengajari kalian jalan, dan sebagainya.. Terus waktu salah satu ibu itu bilang ke anaknya sambil nangis menyatakan dia khawatir seharian nyari anaknya kemarin, ternyata dia di Poltabes, dst, dsb, HIKKKS… Aku jadi inget bapak ibu-ku…. 

Terbayang bapak ibuku yang susah payah bekerja mencukupi kebutuhanku dan saudara-saudaraku sampai aku bisa mandiri seperti ini. Kebayang betapa khawatir mereka waktu dulu itu aku sering cerita ikut demo sana-sini, ke DPR beberapa kali, nyorat-nyoret jembatan penyebrangan dan tembok-tembok dan papan reklame dengan tulisan-tulisan “Gantung Soeharto”, nyanyi-nyanyi provokasi di apel siaga di lapangan Gasibu, di lapangan basket ITB, di kampus IPB, di kampus UGM, latihan malam di kampus mengenai demo mengahadapi pukulan tentara, dan lain sebagainya… Hhhhh....

Mereka sering bilang, “ati-ati Yang, wis wis wis gak usah melok-melok,” tapi aku jalan terus (meski lebih hati-hati). Kebayang betapa leganya mereka setelah aku lulus dan langsung kerja ke Kalimantan, wis gak melok-melok urusan ndik Bandung-Jakarta lagi.

Soal kecenderungan anarki demo-demo yang sekarang ini, kelihatannya sebenarnya demo mahasiswa itu tertib diatur supaya tidak anarki oleh korlap/pimpinan mereka masing-masing…. Tapi yang nggak bisa dikontrol itu yang demo ikut-ikutan atau di-ikut-ikut-kan seperti anak-anak STM itu (nggak tau termasuk golongan yang mana itu: ikut-ikutan atau dipancing supaya ikut-ikutan atau sengaja di-ikut-ikut-kan). Juga seperti preman-preman bayaran politik atau orang-orang bertato yang ketangkap di salah satu video bersama mahasiswa-mahasiswa itu dan mereka gak punya KTM. Bisa saja mereka sengaja atau ikut-ikutan jadi anarki, ngerusak sana-sini, ngelempari petugas dengan batu, bahkan bakar-bakar atau ikutan seru bakar-bakar setekah ada yang membakar, atau memang sengaja demo-demo itu disusupi oleh intel dengan tujuan tertentu (termasuk bikin rusuh) seperti dokumentasi beberapa video yang menunjukkan itu (ada perwira intel yang lagi nyamar jadi mahasiswa yang dipukuli sama polisi berseragam terus dilerai oleh intel lainnya, dsb).

Soal anarki itu, jadi inget jaman 1980 dulu. Usia-usia mahasiswa berdarah muda 18, 19, 20 tahun itu benar-benar usia penuh keinginan untuk membuktikan diri — eksistensi yang menantang. Benar-benar mudah terprovokasi. Kok anak STM, aku aja yang mahasiswa ITB dulu waktu jalan dari Salemba ke Gatsu (demo anti Soeharto 1980) juga terpancing bawa batu dan ikutan ngelempari helikopter polisi yang melayang agak rendah di atas jembatan Latuharhary Kuningan. Gak tau apa nyampe apa nggak lemparan-lemparan batu kerikil itu, tapi helikopternya sampai jatuh, tuh... Masuk koran waktu itu dan kita semua waktu itu merasa sangat bangga seolah-olah bisa menjatuhkan helikopter polisi. Gak kepikiran bahwa mungkin polisinya luka-luka dan mereka juga punya keluarga, punya anak-anak seperti kita juga. Setelah lebih dewasa 30 tahunan baru kemudian mikir, “gosh, what have we done during that time, ngelempari helikopter polisi sampai jatuh? Itu iseng-isang bisa jadi anarkis lho…" dst, dsb. Menyesal banget.

Semoga negara dan pemerintahan dan bangsa Indonesia selalu dilindungi oleh Allah SWT. Semoga pemerintah mendengar semua suara keluh kesah rakyatnya. Semoga rakyatnya (kita semua) bisa selalu menyuarakan aspirasi dengan tertib dan tidak anarki. Semoga mahasiswa kita diberi kekuatan terus untuk belajar, sukses dan sekaligus bisa bebas merdeka menyuarakan aspirasi masyarakatnya tanpa anarki. Semoga para orangtua mahasiswa tidak bosan-bosannya mengingatkan anak-anaknya supaya tidak anarki, terus berhati-hati, dan lancar belajar hingga lulus dan bisa kerja membangun negara lewat semua lini.

Semoga kita semua diselamatkan dari wabah multidimensi ini..

Minnaminkum Nusantara..

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Catatan Langit

Sering kali kita pikir kita sudah bicarakan segalanya terangan, menjlentrehkan semua argumen dan kontra argumen di atas meja, lalu menarik kesimpulan bahwa dengan sains dan demokrasi semua yang kita perdebatkan akhirnya bisa mencapai kata akhir penyelesaian, lalu kita sepakat sama-sama jalan.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Sering kali kita pikir kita sudah bicarakan segalanya terangan, menjlentrehkan semua argumen dan kontra argumen di atas meja, lalu menarik kesimpulan bahwa dengan sains dan demokrasi semua yang kita perdebatkan akhirnya bisa mencapai kata akhir penyelesaian, lalu kita sepakat sama-sama jalan.

Ternyata prinsip tersebut tidak sepenuhnya berlaku untuk masalah-masalah strategis, yang butuh lebih dari pembicaraan di atas meja untuk menuntaskan. Masalah-masalah "langit" : itulah sebutan saya untuk topik tersebut. Karena masalahnya masalah langit, maka yang bisa bicara adalah penguasa langit, bukan sekadar penguasa meja, dan apalagi pemain-pemain "di bawah meja".

Soal-soal "langit" terkait apa saja itu?

Soal nuklir yang dari tahun 60 gak mulai-mulai PLTNnya,

Soal Freeport dan konsesi "tambang abadi" untuk Amerika ,

Soal cadangan gas terbesar Indonesia di Natuna yang 43 tahun gak juga dikelola,

Soal cadangan-cadangan minyak terbesar Indonesia (Rokan dan Cepu blok) dan siapa saja kontraktor/pengelolanya,

Soal preferensi investasi proyek-proyek infrastruktur,

Soal ketergantungan pasokan energi pada Singapur,

Soal mineral tanah jarang yang terus menerus "dibiarkan" dicuri,

Soal sumber intan Martapura yang sampai sekarang "tidak pernah ditemukan" ..... dan soal-soal serupa lainnya ....

Dibutuhkan lebih dari sekadar pembicaraan di atas meja untuk menyelesaikan masalah-masalah langitan yang disebutkan di atas.

Masalah-masalah teknis, pro kontra soal lingkungan, apakah mau pakai offshore atau onshore, insentif-insentif, soal bahaya atau tidaknya pengoperasian proyek, risiko yang tinggi vs. risiko rendah, teknologi CO2, CNG-LNG-pipa, royalti, IRR, dan topik-topik sejenisnya semuanya innsyaAllah bisa dibicarakan di atas meja.

Kita-kita "orang bumi" adalah pihak yang merasa paling mengetahui tentang urusan tetek bengek nitty gritty di atas meja itu. Tetapi, sementara itu keputusan-keputusan terkait dengan masalah-masalah strategis itu sering kali sudah diambil duluan dari atas langit sana, lepas dari apakah kita (mereka) memahami fakta di atas mejanya atau tidak.

Orang-orang yang mencoba untuk naik ke atas langit dengan logika dan perilaku bumi, maka dia akan terpental terpeleset jatuh atau dijongkrokno sekalian ke jurang di bumi-bumi kenyataan.

Sampai suatu saat, ada orang sakti dari bumi yang bisa membedah langit dan meneriaki dewa-dewa langit supaya melepaskan hegemoninya atas masalah-masalah strategis tadi: barulah kita bisa mengimplementasikan apa yang seharusnya diimplementasikan dari fakta di atas meja seperti yang kita pahami bersama.

Selamat pagi, orang-orang bumi.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

(Era Elpiji)

Pada tahun 2007, dengan hiruk pikuk kontroversinya, akhirnya Indonesia dapat mengakhirkan era minyak tanah sebagai bahan bakar rakyat jelata diganti dengan gas elpiji.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Pada tahun 2007, dengan hiruk pikuk kontroversinya, akhirnya Indonesia dapat mengakhirkan era minyak tanah sebagai bahan bakar rakyat jelata diganti dengan gas elpiji. Selain supaya lebih ramah lingkungan dan praktis, konversi tersebut juga bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap "minyak" yang, sampai sekarang pun masih, disubsidi. Dengan digantikannya minyak tanah (kerosen) oleh elpiji maka pada 2007 – 2011 subsidi minyak tanah secara total lima tahun menghemat sampai Rp 45.3T (ESDM, 2012).

Yang jarang disadari masyarakat umum ternyata gas elpiji (LPG/Liquified Petroleum Gas) itu masih "berbau-bau" minyak juga karena dia adalah produk ikutan dari minyak bumi (petroleum gas) yang bukan gas alamiah (natural gas). Komposisinya dari metana (C1) sampai butana (C5). Cara memperolehnya pun bersamaan dengan eksploitasi – produksi minyak bumi. Sementara gas alam atau "natural gas" komposisinya Metana (C1) sampai paling berat Etana (C2), dan keterdapatannya umumnya sebagai entitas terpisah dari kolom minyak bumi.

Selain itu, ternyata saat ini 60% bahan baku elpiji kita impor dari luar dan total subsidi untuk elpiji 2015 ini mencapai 28 triliun rupiah hampir separo dari total subsidi 2015 untuk BBM yang 64 triliun. Bahkan karena beban subsidi yang makin meningkat itu pemerintah sudah mulai merencanakan untuk melepaskan LPG ke harga pasar dan memberikan subsidi tunai langsung pembiayaan kepada masyarakat tidak mampu supaya dapat membeli bahan bakar rakyat jelata itu.

Dari uraian di atas tergambar betapa tidak logis/tidak ekonomisnya keberlangsungan jangka panjang kebijakan prioritas penggunaan energi dalam bentuk tabung berisi elpiji untuk rakyat yang sangat lebih mahal dibandingkan dengan misalnya: Jargas (singkatan populer dari program Jaringan Gas Kota) yang menggunakan gas alam, bisa elpiji bisa CNG, yang langsung disalurkan ke rumah-rumah tangga. Cadangan terbukti dan potensial gas kita jauh lebih berlimpah dibanding dengan minyak bumi. Cadangan minyak bumi kita 7 miliar barel sedangkan cadangan gas kita 103 triliun kaki kubik atau setara dengan 18 miliar barel minyak bumi. Malahan sekarang ini kita mengekspor hampir 50% produksi gas kita ke luar (sejak era LNG tahun 70an) sementara kita mengimpor separuh kebutuhan minyak bumi kita dari luar (termasuk kebutuhan elpiji tersebut).

Kalau 2007 lalu itu dipaksakan supaya Minyak Tanah diganti dengan elpiji karena alasan 2004 kita sudah mulai jadi net importir minyak sehingga beban subsidi untuk minyak tanah jadi membengkak dan elpiji lebih "murah" dan "bersih" dibanding minyak tanah, dan elpiji dalam bentuk tabung lebih mudah ditransportasikan dan didistribusikan ke mana-mana, itu sik ok-ok saja sebagai kejutan mental – revolusi supaya paradigma rakyat bisa segera diubah untuk menggunakan energi lebih bersih, praktis, dan sebagainya. Tetapi seharusnya pada saat yang sama dari 2007 sampai sekarang kita harus pol-polan alias full tancap gas untuk menggenjot program Jargas — membangun jaringan infrastruktur untuk menyalurkan gas ke rumah-rumah rakyat. Jargas memang sudah ada dan sedang berjalan, tetapi tidak dirancang untuk dilakukan secara masif menggantikan elpiji yang hanya adhoc saja. 

Selain itu, dari sisi subsidi: kita terjebak dari mulut buaya subsidi minyak tanah ke mulut dinosaurus subsidi elpiji. supaya bebas dari masalah subsidi itu: harusnya Jargas lah yang kita jadikan program unggulan menggantikan elpiji.

 

Gas Alam Lebih Bersih

Elpiji dan CNG sama-sama natural gas — dominannya metana, keduanya dibedakan karena proses packaging-nya untuk memudahkan transportasi yaitu yang satunya diubah Fasanya dari gas jadi liquid (LNG) yang lainnya hanya dikompres/ditekan lebih, tidak berubah Fasa tetap dalam bentuk gas (CNG). Sementara itu elpiji adalah Produk Sampingan dari minyak bumi.

Untuk pemakaian langsung di rumah tangga dan atau industri tentunya elpiji dan CNG tetap harus menggunakan jaringan pipa gas massal supaya ekonomis. Terlalu mahal dan berbahaya kalau masing-masing rumah dikirimi tabung-tabung atau vessel-vessel LNG atau CNG untuk digunakan langsung, soalnya harus ada proses regassing (untuk LNG) atau dekompresi (untuk CNG) yang belum bisa dilakukan secara murah dan aman secara individual.

Sementara itu, elpiji seperti sudah kita rasakan selama ini: gampang di-transport ke sana kemari dalam satuan individual yang dipakai langsung di konsumen. Jaringan "pipa"nya hanya perlu dari tabung ke kompor atau ke pemanas saja.

Format transportasi LNG dan CNG diperlukan terutama karena kondisi geografis kita yang kepulauan dan lokasi sumber daya bukan berada satu pulau dengan lokasi pengguna. Untuk kondisi geografi kontinental seperti Amerika dan Eropa dan negara-negara pengimpor gas maka urusan LNG dan atau CNG itu hanya sampai ke terminal/lokasi penerima saja di pinggiran benua/pulau negara. Selebihnya: pipeline!!!!

Makanya kemarin itu timbul ide dan bahkan sudah direncanakan (dan ditenderkan) pembuatan jalur pipa Kalija untuk menyalurkan gas di Kalimantan untuk Jawa tanpa harus jadi LNG atau CNG. Tapi itu ditentang habis oleh rakyat Kalimantan. Wong mereka saja masih kekurangan energi koq gas mereka disalurkan ke Jawa. Begitu kira-kira logika kawan-kawan di daerah. Cukupi dulu kebutuhan energi daerah, barulah bicara Kalija.

 

Gas Rumah Tangga Vs. Gas Camping

Di Eropa, Amerika, Jepang, Korea, dan negara-negara pemakai natural gas untuk utilitas kehidupan sehari-hari elpiji hanya digunakan untuk camping dan penggunaan lain yang sifatnya sementara/emergency, karena harga satuannya yang relatif mahal dibanding dengan natural gas. Karena infrastruktur belum dibangun lengkap maka 2007 waktu pak Wapres JK bikin gebrakan konversi mitan (minyak tanah) ke GAS itu maka dipakailah penggunaan elpiji secara massal yang kalau dihitung harga satuan energinya jadi lebih mahal dibanding dengan natural gas.

Jadi, kunci pengakhiran era elpiji atau untuk mencari kompetitor elpiji maka kita harus bangun infrastruktur/jaringan gas ke seluruh rakyat Indonesia — sampai ke pelosok: yang mana hal tersebut mudah dan murah dilakukan untuk geografi area negara yang kontinental. Kalau kepulauan seperti kita, mau gak mau elpiji masih harus jadi darurat energi pengganti minyak tanah (pengganti kayu bakar juga) yang menimbulkan adiksi. Kecuali saingannya kita carikan Energi Terbarukan untuk pulau-pulau yang gak punya resources Natural Gas itu... Di situ lah BBN bisa berperan lebih aktif atau Surya, Angin, Laut, dan sebagainya.

 

Perlu Strategi Nasional

Pada saat ini DEN (Dewan Energi Nasional) sedang akan menetapkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dari bahan-bahan yang diajukan oleh Pemerintah c.q: Kementrian ESDM. Diharapkan dalam RUEN tersebut ditetapkan juga rencana umum yang lebih masif dan revolusioner dalam rangka mengganti minyak tanah dan elpiji sebagai bahan bakar rakyat jelata menjadi gas alam, baik LNG maupun CNG yang disalurkan lewat Jargas. Mudah-mudahan reasoning teknis, bisnis, dan politisnya juga bisa dibeberkan supaya segera kita bikin Program Unggulan Jargas Masif Seluruh Indonesia.

Jangan sampai kondisi ketergantungan pada gas camping (baca: elpiji) ini sampai berkepanjangan sehingga memunculkan isu-isu baru lagi seperti: "mafia" (impor) elpiji, mafia tabung elpiji, mafia distribusi elpiji, dan sebagainya. Cukup sudah mafia-mafiaan di masa lalu. Tetapi jangan pula nantinya kita memunculkan mafia baru: yaitu mafia gas alam Indonesia. Pembangunan infrastruktur Jargas oleh pemerintah menjadi kuncinya.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Subsidi BBM - dan KEN

"Harga keekonomian yang disesuaikan dengan daya beli masyarakat" — frasa tentang harga energi dalam kebijakan energi nasional.. Merupakan ungkapan eufemistis dari prinsip-prinsip sosialisme kerakyatan yang dibungkus liberalisme kapitalistik (atau sebaliknya? Liberalisme kapitalistik yang dibungkus sosialisme kerakyatan?)

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

"Harga keekonomian yang disesuaikan dengan daya beli masyarakat" — frasa tentang harga energi dalam kebijakan energi nasional.. Merupakan ungkapan eufemistis dari prinsip-prinsip sosialisme kerakyatan yang dibungkus liberalisme kapitalistik (atau sebaliknya? Liberalisme kapitalistik yang dibungkus sosialisme kerakyatan?)

Yang diutamakan itu "daya beli masyarakat" atau "harga keekonomian"?

Kalau yang diutamakan adalah daya beli masyarakat, maka subsidi energi menjadi suatu konsekuensi - kewajaran.

Kalau yang diutamakan adalah harga keekonomian maka pencabutan subsidi mendapatkan pembenaran.

Lalu ada yang mempertanyakan:

  1. Bagaimana mungkin menghitung harga keekonomian yang benar kalau ternyata komponen-komponen biayanya tidak dikontrol ketat dan penyelewengan menjadi kewajaran, seperti misalnya: mark up makelar impor minyak seperti kasus petral; cost recovery yang digerogoti makelar-makelar proyek seperti kasus sutan batugana dsb; penjualan minyak entitlement GOI yang tidak transparan dan penuh hangky pangky seperti kasus Rudi Rubiandini, dsb dsb.

  2. Sementara di sisi lain ada juga yang mempertanyakan: bagaimana mengukur daya beli masyarakat yang sebenarnya? Bukannya masyarakat pengguna energi BBM kita umumnya masyarakat mampu yang mampu beli sepeda motor (walaupun dengan cicilan yang mencekik) yang mustinya juga mampu beli BBM dong. Atau ada juga yang meragukan bahwa pemerintah tidak tahu sebenarnya kebutuhan BBM kita itu berapa? Tidak pernah ada angka yang fix tentang kebutuhan BBM (energi?) kita. Lha wong ribuan ton minyak bersubsidi saja diselundupkan (di Batam, di Kalimantan, di Papua) pasokan masih relatif tenang-tenang saja koq. Jadi apa benar bahwa kita sekarang butuh 48 juta kiloliter BBM bersubsidi u/seluruh Indonesia? Lha wong "nelayan-nelayan besar" main jual beli BBM bersubsidi saja masih ok-ok saja koq,... Jadi berapa sebenarnya kebutuhan masyarakat kita untuk BBM? Jangan-jangan selama ini kita hanya menyubsidi para penyeleweng tata kelola migas kita saja. Terus ke mana saja "negara" ketika penyelewengan-penyelewengan itu terus terjadi di depan mata?

Nah, bagaimana kita mengurai silang-siur sengketa fakta itu semua?

Sekarang silakan dipertimbangkan. Apakah masalah-masalah tersebut di atas dimengerti, dipetakan, dan dibereskan sampai tuntas dulu baru kemudian kita berpikir ulang? Atau kah: ah, sudahlah. Hajar saja. Segera naikkan harga BBM bersubsidi, alihkan subsidi minyak tersebut ke bantuan langsung (produktif? Konsumtif?) untuk masyarakat, dst! Shortcut, supaya ruang fiskal kita segera tercipta atau membereskan masalah tata-kelola migas (energi) terlebih dulu sehingga dapat ruang fikcal (ini bisa long cut bisa shortcut juga tergantung siapa yang mimpin pemerintahan), baru kemudian menimbang-nimbang masih mau nambah ruang fiskal lagi dengan mengalihkan subsidi atau merelakan saja rakyat yang sudah terbiasa dapat BBM (energi) murah tetap ter-nina bobok-kan dengan kondisi absurd penerjemahan kebijakan energi kita.

Mumpung belum diumumkan.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Profesor Merdeka!

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Kawanku, seorang profesor di perguruan tinggi ternama, dulu dia adalah pegawai salah satu PSC Migas Indonesia, yang juga ternama. 

Dia berkata:

Dulu waktu saya kerja di perusahaan minyak, memang gaji saya besar jauh berlipat kali gaji pegawai negeri. Tetapi saya selalu merasa miskin. Karena semua pemasukan sudah bisa diprediksi, sementara pengeluaran selalu penuh kejutan. Meski cuti setahun bisa dua kali dan dapat uang cuti pula yang besarnya kadang melebihi gaji, tapi saya selalu merasa miskin. Nyari hotel dan tempat hiburan untuk cuti dengan sangat berhitung dan berhati-hati. Kalau ketemu teman kerja sesama orang kompeni, yang kami bicarakan selalu: Program housing-mu seperti apa? Sudah dapat car ownrship belum? Bagaimana dengan tunjangan regional? Skala gaji di tempatmu berapa? Semuanya berkisar sekitar itu-itu saja. Kami seolah-olah terkungkung oleh tugas hidup yang membebani dengan bayaran yang jelas tanpa ada variasi, meskipun juga tiap tahun ada bonus sama-sama yang bisa dinikmati.

Tapi sejak saya putuskan kembali ke kampus mengabdi menjadi guru-dosen-peneliti di perguruan tinggi, saya jadi merasa sangat kaya. Dan yang terutama: saya merasa jadi sangat merdeka!!!! Kebutuhan lebih mudah diprediksi berdasarkan base line penghasilan dan kepantasan, sementara real income jadi penuh kejutan yang membahagiakan. Saya merasa jadi lebih kaya karena selalu merasa berkecukupan. Saya merasa lebih merdeka karena bisa melakukan lebih banyak hal yang berbeda-beda dan tetap saya suka tanpa harus ketakutan dengan status saya sebagai akademisi karena itu dimungkinkan dalam peraturan tempat kerja. Ada Pendidikan, ada Penelitian, ada Pengabdian Masyarakat instead of hanya jadi "kuli" sekrup dan baut belaka di profesi sebelumnya. Kalau mau nginep di hotel dengan keluarga atau nyari tempat libur yang wah biasanya kita jadi lebih ringan melangkah, karena toh penghasilan selalu penuh kejutan meski sebagian harus digunakan untuk leisure yang menyenangkan. Tanpa beban.

Hehehehehehehe....

Kawanku itu, ada-ada saja.

Sayang dia tidak bisa menuliskannya sendiri cerita tentang perasaannya itu dimana-mana.

Bukan maksudku untuk mengiming-imingi jadi dosen-peneliti-pengabdi ataupun pegawai negeri (apalagi untuk pegawai negeri biasa lima tahun ke depan tidak boleh tambah — moratoriumnya MenPan Kabinet Kerja).... Tapi cobalah mulai berpikir bahwa: jadi pegawai oil & gas company itu bukan segala-galanya.

Hahahahahaha.

Read More