Subsidi BBM - dan KEN
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
"Harga keekonomian yang disesuaikan dengan daya beli masyarakat" — frasa tentang harga energi dalam kebijakan energi nasional.. Merupakan ungkapan eufemistis dari prinsip-prinsip sosialisme kerakyatan yang dibungkus liberalisme kapitalistik (atau sebaliknya? Liberalisme kapitalistik yang dibungkus sosialisme kerakyatan?)
Yang diutamakan itu "daya beli masyarakat" atau "harga keekonomian"?
Kalau yang diutamakan adalah daya beli masyarakat, maka subsidi energi menjadi suatu konsekuensi - kewajaran.
Kalau yang diutamakan adalah harga keekonomian maka pencabutan subsidi mendapatkan pembenaran.
Lalu ada yang mempertanyakan:
Bagaimana mungkin menghitung harga keekonomian yang benar kalau ternyata komponen-komponen biayanya tidak dikontrol ketat dan penyelewengan menjadi kewajaran, seperti misalnya: mark up makelar impor minyak seperti kasus petral; cost recovery yang digerogoti makelar-makelar proyek seperti kasus sutan batugana dsb; penjualan minyak entitlement GOI yang tidak transparan dan penuh hangky pangky seperti kasus Rudi Rubiandini, dsb dsb.
Sementara di sisi lain ada juga yang mempertanyakan: bagaimana mengukur daya beli masyarakat yang sebenarnya? Bukannya masyarakat pengguna energi BBM kita umumnya masyarakat mampu yang mampu beli sepeda motor (walaupun dengan cicilan yang mencekik) yang mustinya juga mampu beli BBM dong. Atau ada juga yang meragukan bahwa pemerintah tidak tahu sebenarnya kebutuhan BBM kita itu berapa? Tidak pernah ada angka yang fix tentang kebutuhan BBM (energi?) kita. Lha wong ribuan ton minyak bersubsidi saja diselundupkan (di Batam, di Kalimantan, di Papua) pasokan masih relatif tenang-tenang saja koq. Jadi apa benar bahwa kita sekarang butuh 48 juta kiloliter BBM bersubsidi u/seluruh Indonesia? Lha wong "nelayan-nelayan besar" main jual beli BBM bersubsidi saja masih ok-ok saja koq,... Jadi berapa sebenarnya kebutuhan masyarakat kita untuk BBM? Jangan-jangan selama ini kita hanya menyubsidi para penyeleweng tata kelola migas kita saja. Terus ke mana saja "negara" ketika penyelewengan-penyelewengan itu terus terjadi di depan mata?
Nah, bagaimana kita mengurai silang-siur sengketa fakta itu semua?
Sekarang silakan dipertimbangkan. Apakah masalah-masalah tersebut di atas dimengerti, dipetakan, dan dibereskan sampai tuntas dulu baru kemudian kita berpikir ulang? Atau kah: ah, sudahlah. Hajar saja. Segera naikkan harga BBM bersubsidi, alihkan subsidi minyak tersebut ke bantuan langsung (produktif? Konsumtif?) untuk masyarakat, dst! Shortcut, supaya ruang fiskal kita segera tercipta atau membereskan masalah tata-kelola migas (energi) terlebih dulu sehingga dapat ruang fikcal (ini bisa long cut bisa shortcut juga tergantung siapa yang mimpin pemerintahan), baru kemudian menimbang-nimbang masih mau nambah ruang fiskal lagi dengan mengalihkan subsidi atau merelakan saja rakyat yang sudah terbiasa dapat BBM (energi) murah tetap ter-nina bobok-kan dengan kondisi absurd penerjemahan kebijakan energi kita.
Mumpung belum diumumkan.