Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Field Trip: Delta Mahakam dan Cekungan Kutai

Seminar lapangan tiga hari "Delta Mahakam dan Cekungan Kutai" untuk dosen-dosen Sedimentologi/Stratigrafi/Petroleum Geology seluruh Indonesia telah sukses diselenggarakan oleh GDA bekerja sama dengan Komite Eksplorasi Nasional pada 9, 10, 11 Oktober 2015 sebagai bagian dari rangkaian acara Joint Convention Balikpapan IAGI-HAGI-IATMI-IAFMI 2015.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Seminar lapangan tiga hari "Delta Mahakam dan Cekungan Kutai" untuk dosen-dosen Sedimentologi/Stratigrafi/Petroleum Geology seluruh Indonesia telah sukses diselenggarakan oleh GDA bekerja sama dengan Komite Eksplorasi Nasional pada 9, 10, 11 Oktober 2015 sebagai bagian dari rangkaian acara Joint Convention Balikpapan IAGI-HAGI-IATMI-IAFMI 2015.

Acara seminar diikuti oleh 19 dosen, delapan anggota KEN, dan enam panitia dari GDA dengan dipimpin langsung oleh Andang Bachtiar Ketua Komite Eksplorasi Nasional sekaligus geologis peneliti Delta Mahakam – Cekungan Kutai. Para peserta acara tiga hari di Samarinda dan Balikpapan itu tidak dipungut biaya alias gratis atas sponsorship dari Chevron, Ophir, dan VICO (ketiganya KKKS yang beroperasi di Kalimantan Timur) dan juga kerja sama bantuan keuangan dari Komite Eksplorasi Nasional yang saat itu juga sedang menyelenggarakan Focus Group Discussion-nya tentang Potensi Eksplorasi di Cekungan Kutai Hilir.

Dosen-dosen tersebut datang dari Unila (satu orang), Undip (dua orang), Unsoed (satu orang), Unpak (satu orang), UI (satu orang), Univ Trisakti (satu orang), STTNas (dua orang), Akprind (satu orang), STTMigas (empat orang), dan Unmul (lima orang).

Dua singkapan penting yang menunjukkan geometri dan karakter litofasies khas delta, fluvial, proses pasang surut, dan gelombang serta implikasi sekuen stratigafinya dikunjungi di hari pertama di Samarinda. Pada malam harinya diselenggarakan kuliah malam dan diskusi tentang Cekungan Kutai dan Delta Mahakam di hotel tempat menginap peserta di Samarinda.

Pada hari kedua, Sabtu 10 Oktober 2015 para dosen diajak untuk menyusuri Sungai Mahakam dengan tiga perahu sea-truck dari daerah fluvial di S.Mariam sampai ke delta front area di Muara Bujit, dari pagi jam 07:00 berangkat berakhir jam 17:00 kembali ke Samarinda. Empat lokasi didatangi dan dilakukan pengukuran batimetri, grab sampling (di Fluvial dan Upper Delta Plain) dan coring (di Delta Front dan Lower Delta Plain). Peserta belajar bagaimana karakter sedimen di berbagai depositional setting modern tersebut langsung dari alam yang sering kali tidak sesederhana simplifikasi model yang dituliskan di dalam buku-buku teks. yang paling eksotik adalah pengalaman mendarat di distributary mouth bar di delta front area "jauh di tengah laut" seolah "in the middle of nowhere" dan mendapati berbagai fenomena sedimentologi permukaan maupun bawah permukaan dangkal (dari core).

Pada hari ketiga, Minggu 11 Oktober 2015, para dosen diajak untuk naik ke gunung Batuputih titik tertinggi di Samarinda yang dibentuk oleh gawir patahan-antiklin Separi yang menyingkapkan batu gamping shelf-slope break berumur N7 – N8 di area tersebut. Diskusi pun menghangat tentang hubungan lingkungan pengendapan gamping dengan delta, kontrol struktur pada sedimentasi pro-delta dan deepwater facies dan batu gamping, dan sebagainya.

Setelah itu satu singkapan endapan arus gravitasi berdekatan dengan singkapan batu gamping itu pun diamati, diikuti dengan kunjungan dan diskusi ke singkapan Mud Volcano di sekitar area Batuputih. Model struktur, aktivitas tegangan kompresi, diapirisme dan petroleum system didiskusikan di singkapan-singkapan tersebut.

Singkapan terakhir yang dikunjungi pada field seminar ini adalah rembesan minyak di tebing patahan batu pasir Klandasan Fm di gunung Dubbs/gunung Pancur Balikpapan. Di singkapan tersebut di bahas juga geologi Wain Basin di sekitaran Balikpapan dan sejarah industri migas sejak jaman Belanda di sana. Satu fenomena sejarah perminyakan yang menarik di lokasi ini adalah pipa slotted bertahun 1939 yang dipasang oleh Belanda di dinding bendung artifisial yang dipakai untuk mengalirkan minyak yang keluar dari rembesan untuk dikontrol maupun dimanfaatkan penggunaannya.

Akhirnya acara Field Seminar singkat padat tiga hari full itu ditutup dengan makan malam bersama di Restoran Kenari Balikpapan pada Minggu 11 Oktober 2015 jam 19:00.

Salah satu komentar peserta yang menarik adalah, "Terima kasih buat GDA, KEN, terutama pak Andang terima kasih banyak Pak. Mengubah pola berfikir saya, dari text book oriented kembali menjadi apa itu geologi. Membumi.. Touch the rocks, thats the text book is."

GDA akan terus komit untuk menyelenggarakan field trip/seminar gratis untuk dosen-dosen geologi ini setiap tahun dalam rangka lebih menambah wawasan, pengalaman, dan jejaring kerja supaya dalam mendidik dan mengajar mahasiswa geologi Indonesia bapak/ibu dosen akan menjadi lebih "kaya" dan punya "warna" Indonesia.

Acara serupa di tahun-tahun sebelumnya diselenggarakan oleh GDA di JCM IAGI-HAGI Medan 2013, yaitu field trip gratis untuk para dosen geologi ke Danau Toba dan sekitarnya dan di PIT IAGI 2014 Jakarta: field trip gratis untuk para dosen geologi dan mahasiswa ke Sungai Cipamingkis, Bogor dan sekitarnya.

 InsyaAllah, kita bertemu lagi di acara serupa di PIT IAGI atau HAGI tahun 2016 mendatang!!!

 
 
Field Trip- Delta Mahakam.jpg
 
Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

(Era Elpiji)

Pada tahun 2007, dengan hiruk pikuk kontroversinya, akhirnya Indonesia dapat mengakhirkan era minyak tanah sebagai bahan bakar rakyat jelata diganti dengan gas elpiji.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Pada tahun 2007, dengan hiruk pikuk kontroversinya, akhirnya Indonesia dapat mengakhirkan era minyak tanah sebagai bahan bakar rakyat jelata diganti dengan gas elpiji. Selain supaya lebih ramah lingkungan dan praktis, konversi tersebut juga bertujuan untuk mengurangi ketergantungan terhadap "minyak" yang, sampai sekarang pun masih, disubsidi. Dengan digantikannya minyak tanah (kerosen) oleh elpiji maka pada 2007 – 2011 subsidi minyak tanah secara total lima tahun menghemat sampai Rp 45.3T (ESDM, 2012).

Yang jarang disadari masyarakat umum ternyata gas elpiji (LPG/Liquified Petroleum Gas) itu masih "berbau-bau" minyak juga karena dia adalah produk ikutan dari minyak bumi (petroleum gas) yang bukan gas alamiah (natural gas). Komposisinya dari metana (C1) sampai butana (C5). Cara memperolehnya pun bersamaan dengan eksploitasi – produksi minyak bumi. Sementara gas alam atau "natural gas" komposisinya Metana (C1) sampai paling berat Etana (C2), dan keterdapatannya umumnya sebagai entitas terpisah dari kolom minyak bumi.

Selain itu, ternyata saat ini 60% bahan baku elpiji kita impor dari luar dan total subsidi untuk elpiji 2015 ini mencapai 28 triliun rupiah hampir separo dari total subsidi 2015 untuk BBM yang 64 triliun. Bahkan karena beban subsidi yang makin meningkat itu pemerintah sudah mulai merencanakan untuk melepaskan LPG ke harga pasar dan memberikan subsidi tunai langsung pembiayaan kepada masyarakat tidak mampu supaya dapat membeli bahan bakar rakyat jelata itu.

Dari uraian di atas tergambar betapa tidak logis/tidak ekonomisnya keberlangsungan jangka panjang kebijakan prioritas penggunaan energi dalam bentuk tabung berisi elpiji untuk rakyat yang sangat lebih mahal dibandingkan dengan misalnya: Jargas (singkatan populer dari program Jaringan Gas Kota) yang menggunakan gas alam, bisa elpiji bisa CNG, yang langsung disalurkan ke rumah-rumah tangga. Cadangan terbukti dan potensial gas kita jauh lebih berlimpah dibanding dengan minyak bumi. Cadangan minyak bumi kita 7 miliar barel sedangkan cadangan gas kita 103 triliun kaki kubik atau setara dengan 18 miliar barel minyak bumi. Malahan sekarang ini kita mengekspor hampir 50% produksi gas kita ke luar (sejak era LNG tahun 70an) sementara kita mengimpor separuh kebutuhan minyak bumi kita dari luar (termasuk kebutuhan elpiji tersebut).

Kalau 2007 lalu itu dipaksakan supaya Minyak Tanah diganti dengan elpiji karena alasan 2004 kita sudah mulai jadi net importir minyak sehingga beban subsidi untuk minyak tanah jadi membengkak dan elpiji lebih "murah" dan "bersih" dibanding minyak tanah, dan elpiji dalam bentuk tabung lebih mudah ditransportasikan dan didistribusikan ke mana-mana, itu sik ok-ok saja sebagai kejutan mental – revolusi supaya paradigma rakyat bisa segera diubah untuk menggunakan energi lebih bersih, praktis, dan sebagainya. Tetapi seharusnya pada saat yang sama dari 2007 sampai sekarang kita harus pol-polan alias full tancap gas untuk menggenjot program Jargas — membangun jaringan infrastruktur untuk menyalurkan gas ke rumah-rumah rakyat. Jargas memang sudah ada dan sedang berjalan, tetapi tidak dirancang untuk dilakukan secara masif menggantikan elpiji yang hanya adhoc saja. 

Selain itu, dari sisi subsidi: kita terjebak dari mulut buaya subsidi minyak tanah ke mulut dinosaurus subsidi elpiji. supaya bebas dari masalah subsidi itu: harusnya Jargas lah yang kita jadikan program unggulan menggantikan elpiji.

 

Gas Alam Lebih Bersih

Elpiji dan CNG sama-sama natural gas — dominannya metana, keduanya dibedakan karena proses packaging-nya untuk memudahkan transportasi yaitu yang satunya diubah Fasanya dari gas jadi liquid (LNG) yang lainnya hanya dikompres/ditekan lebih, tidak berubah Fasa tetap dalam bentuk gas (CNG). Sementara itu elpiji adalah Produk Sampingan dari minyak bumi.

Untuk pemakaian langsung di rumah tangga dan atau industri tentunya elpiji dan CNG tetap harus menggunakan jaringan pipa gas massal supaya ekonomis. Terlalu mahal dan berbahaya kalau masing-masing rumah dikirimi tabung-tabung atau vessel-vessel LNG atau CNG untuk digunakan langsung, soalnya harus ada proses regassing (untuk LNG) atau dekompresi (untuk CNG) yang belum bisa dilakukan secara murah dan aman secara individual.

Sementara itu, elpiji seperti sudah kita rasakan selama ini: gampang di-transport ke sana kemari dalam satuan individual yang dipakai langsung di konsumen. Jaringan "pipa"nya hanya perlu dari tabung ke kompor atau ke pemanas saja.

Format transportasi LNG dan CNG diperlukan terutama karena kondisi geografis kita yang kepulauan dan lokasi sumber daya bukan berada satu pulau dengan lokasi pengguna. Untuk kondisi geografi kontinental seperti Amerika dan Eropa dan negara-negara pengimpor gas maka urusan LNG dan atau CNG itu hanya sampai ke terminal/lokasi penerima saja di pinggiran benua/pulau negara. Selebihnya: pipeline!!!!

Makanya kemarin itu timbul ide dan bahkan sudah direncanakan (dan ditenderkan) pembuatan jalur pipa Kalija untuk menyalurkan gas di Kalimantan untuk Jawa tanpa harus jadi LNG atau CNG. Tapi itu ditentang habis oleh rakyat Kalimantan. Wong mereka saja masih kekurangan energi koq gas mereka disalurkan ke Jawa. Begitu kira-kira logika kawan-kawan di daerah. Cukupi dulu kebutuhan energi daerah, barulah bicara Kalija.

 

Gas Rumah Tangga Vs. Gas Camping

Di Eropa, Amerika, Jepang, Korea, dan negara-negara pemakai natural gas untuk utilitas kehidupan sehari-hari elpiji hanya digunakan untuk camping dan penggunaan lain yang sifatnya sementara/emergency, karena harga satuannya yang relatif mahal dibanding dengan natural gas. Karena infrastruktur belum dibangun lengkap maka 2007 waktu pak Wapres JK bikin gebrakan konversi mitan (minyak tanah) ke GAS itu maka dipakailah penggunaan elpiji secara massal yang kalau dihitung harga satuan energinya jadi lebih mahal dibanding dengan natural gas.

Jadi, kunci pengakhiran era elpiji atau untuk mencari kompetitor elpiji maka kita harus bangun infrastruktur/jaringan gas ke seluruh rakyat Indonesia — sampai ke pelosok: yang mana hal tersebut mudah dan murah dilakukan untuk geografi area negara yang kontinental. Kalau kepulauan seperti kita, mau gak mau elpiji masih harus jadi darurat energi pengganti minyak tanah (pengganti kayu bakar juga) yang menimbulkan adiksi. Kecuali saingannya kita carikan Energi Terbarukan untuk pulau-pulau yang gak punya resources Natural Gas itu... Di situ lah BBN bisa berperan lebih aktif atau Surya, Angin, Laut, dan sebagainya.

 

Perlu Strategi Nasional

Pada saat ini DEN (Dewan Energi Nasional) sedang akan menetapkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dari bahan-bahan yang diajukan oleh Pemerintah c.q: Kementrian ESDM. Diharapkan dalam RUEN tersebut ditetapkan juga rencana umum yang lebih masif dan revolusioner dalam rangka mengganti minyak tanah dan elpiji sebagai bahan bakar rakyat jelata menjadi gas alam, baik LNG maupun CNG yang disalurkan lewat Jargas. Mudah-mudahan reasoning teknis, bisnis, dan politisnya juga bisa dibeberkan supaya segera kita bikin Program Unggulan Jargas Masif Seluruh Indonesia.

Jangan sampai kondisi ketergantungan pada gas camping (baca: elpiji) ini sampai berkepanjangan sehingga memunculkan isu-isu baru lagi seperti: "mafia" (impor) elpiji, mafia tabung elpiji, mafia distribusi elpiji, dan sebagainya. Cukup sudah mafia-mafiaan di masa lalu. Tetapi jangan pula nantinya kita memunculkan mafia baru: yaitu mafia gas alam Indonesia. Pembangunan infrastruktur Jargas oleh pemerintah menjadi kuncinya.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Tax bills killing drive to find new reserves in Indonesia

Exploration is the key to future oil and gas production. Successful exploration starts with proper data acquisition and geological evaluation of the whole block, followed by the drilling of a few wells, hopefully with at least one discovery.

Dirilis pertama di The Jakarata Post.

Exploration is the key to future oil and gas production. Successful exploration starts with proper data acquisition and geological evaluation of the whole block, followed by the drilling of a few wells, hopefully with at least one discovery.


In Indonesia, it takes about 10 to 15 years from the initial exploration to the first production. Historically, the chance for exploration success is about seven to one.

Typically in Indonesia, oil and gas contractors spend a minimum of US$5 million (for an onshore block) to $30 million (for a shallow water block) during the whole six years of the exploration phase. All exploration risks and costs incurred are solely borne by the contractors, to be reimbursed only when production starts.

The Energy and Mineral Resources Ministry has established the National Exploration Committee. One of the non-technical problems that readily challenged this committee is the case of the land and building tax (LBT) on the concession areas of companies still in the exploration stage.

For years, under the production sharing contract (PSC) terms, the contractors liable for income taxes, either personal or corporate income tax, included therein the dividend tax. Other taxes such as value added tax on purchased or imported goods used to conduct petroleum operations is paid on behalf of government. Since the government assumes and discharges all the taxes mentioned above and the retributions imposed, contractors will get reimbursement against production.

In December 2010, Government Regulation No. 79/2010 was enacted. It regulates recoverable operating costs and income tax treatments in upstream oil and gas. The new regulation becomes the framework of the next generation of PSC terms and conditions. After Government Regulation No. 79/2010 the government will no longer assume and discharge any taxes outside individual and corporate income taxes.

This change has an impact on the overbooking mechanism of the LBT in the blocks awarded from the year 2011 onwards. Nonetheless, no explanation regarding the LBT and its magnitude was prepared by the tax office.

As a consequence, the oil and gas industry was shocked when LBT assessments were given for exploration blocks in the middle of 2013. For example, a company with an offshore working area of about 8,000 square kilometers was taxed $26 million, or equivalent to Rp 316 billion, for the 2012 to 2013 financial year, which breaks down to $25.82 million for the surface tax component and $0.180 million for the subsurface tax component. The LBT was imposed on the whole working area instead of just the utilized parts, even though the company, as contractors, never owns the offshore area (the owner remains the government and the companies act only as the contractors).

This extraordinary amount is quite irrational as it far exceeded the total cost for petroleum exploration operations for the whole six years of the exploration phase, which for that block amounted to about $18 million. With such a huge amount, it is unlikely that the company, or in this case any oil company, will be able to maintain its economic threshold, thereby increasing the exploration risk of their specific block.

After several discussions, the Upstream Oil and Gas Regulatory Special Task Force (SKKMigas), the Directorate General of Oil and Gas (Migas) and contractors and the Directorate General of Taxation (DGT) indicated potential errors in the calculation of the Tax Object Notification Letter (Surat Pemberitahuan Obyek Pajak '€” SPOP), which arguably led to a miscalculation of the LBT surface component and hence resulted in such an extraordinary figure. A consensus was then reached to revise and resubmit the SPOP.

As follow up, the DGT issued Circular Letter (SE DJP 46 Tahun 2013), which provides guidance in filling out the SPOP. With this specific guidance, contractors revised and resubmitted the SPOP through SKKMigas. In response, the DGT Office originally planned to issue the revised Notification of Tax Due (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang '€” SPPT), paying special attention to the surface component.

Nonetheless, the resolution as promised by the DGT was not implemented. After contractors resubmitted the SPOP following the Circular Letter, the DGT never issued the revised SPPT and against instructions from SE46 no change was made to the very large amounts of the imposed LBT.

As there was no certainty on the resolution, all affected contractors filed tax objections and the DGT office responded by issuing rejection letters in the fourth quarter of 2014. Having no other alternative left, contractors proceeded to appeal the case to the tax court later in 2014 '€” each of them on an individual basis, block by block.

On Dec. 31, 2014, aiming to support the mining of oil and gas at the exploration stage, the minister of finance issued Regulation No. 267/PMK.011/2014 (PMK 267) that provides LBT reduction incentive for the oil and gas sector. It is granted on the sub-surface component and can amount to up to 100 percent of the LBT due on that component. The incentive is unfortunately only applicable for the year 2015 onwards and is not retroactive.

The issuance of SE 46 circular as well as PMK 267 ministerial decree by themselves expressed the inaccuracy in the LBT application on the oil and gas exploration. This view was also actually shared by Finance Minister Bambang Brodjonegoro when he gave his opinion to the BeritaSatu news service in January in his office, stating that '€œWe are actually wrong in imposing LBT tax on the exploration phase. How can we impose tax on something that does not exist yet?'€

Furthermore, we believe contractors actually do not qualify to be taxed since, as contractors, they do not own the tax object (in this case the land/water and building), the government does. During the exploration phase, contractors do utilize the land/water to acquire data, but only an extremely limited area of it.

This issue has impacted the industry as can be detected from the decrease in the number of exploration efforts. In 2013, the number of exploration wells that were actually drilled was 101, much less than the 258 wells planned. While in 2014 the number of exploration wells that were actually drilled dropped to 83 from the 250 planned. In 2015, some contractors decided to give up their exploration efforts in Indonesia.

Again, a lack of success in exploration means all investment is lost and such punitive taxes can never be earned back. This, of course, is not in line with the Presidential Decree No. 2 of 2012 concerning an increase in national oil and gas production.

At present time, the affected contractors are involved in multiple appeals in the Tax Court rather than out searching for oil and gas like they should be. Their management and shareholders are confused about how such a mistake could take place for such a long period and wonder what the future might bring.

Oil and gas activities are long-term investments and thus legal certainty in the oil and gas industry is a necessity. With the absence of legal certainty, the investors would shun upstream oil and gas investment in Indonesia. Consequently, no new reserves will be discovered, production of oil and natural gas will continue to decline and the country will lose many jobs and potential revenues from the oil and gas sector.

It is vitally important that the ongoing Tax Court consider the background history of 2012 and 2013 LBT assessment as well as the accuracy of the LBT application in oil and gas exploration to help the government regain contractor trust so they continue their tireless effort to explore and discover the mineral treasures of the country.

The prosperity of the nation depends on this treasure.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Soal Energi (Drink) Indonesia: Glagepan Meneguk Botol Minuman Asing

Ada tiga contoh terbaru yang saya amati tentang bagaimana rawannya kehausan Indonesia akan Kebijakan dan Implementasi Energi yang memadai untuk bisa langsung dipakai membangun negara ini, sementara kita sendiri tidak sempat mencari “sumber air inspirasi” di sekitar kita, tapi terus menerus digelontor air dari botol minuman asing yang tersedia (disediakan dengan sengaja) di (bawa ke) sini.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Ada tiga contoh terbaru yang saya amati tentang bagaimana rawannya kehausan Indonesia akan Kebijakan dan Implementasi Energi yang memadai untuk bisa langsung dipakai membangun negara ini, sementara kita sendiri tidak sempat mencari “sumber air inspirasi” di sekitar kita, tapi terus menerus digelontor air dari botol minuman asing yang tersedia (disediakan dengan sengaja) di (bawa ke) sini.

Yang pertama nyata-nyata adalah tentang Cadangan Penyangga Energi. Ada tiga jenis cadangan energi menurut UU 30/2007 tentang Energi dan juga PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.

Yang pertama adalah Cadangan Operasional, yaitu cadangan energi yang harus disediakan oleh Industri dalam rangka kelangsungan operasi industrinya sehari-hari. Saat ini cadangan BBM Pertamina yang 19 hari itu dianggap sebagai cadangan operasional.

Yang kedua adalah Cadangan Penyangga Energi yang harusnya dikuasai oleh negara dan hanya digunakan sewaktu-waktu apabila terjadi krisis dan darurat energi. Saat ini Indonesia tidak punya Cadangan Penyangga Energi.

Yang ketiga adalah Cadangan Strategis Energi, yaitu cadangan energi yang masih belum dikeluarkan dari dalam bumi atau belum diproduksi bahan mentahnya yang nantinya dapat dipergunakan oleh negara pada kurun waktu tertentu dengan tenggang waktu untuk ekstraksi, pengolahan dan produksinya. Di Amerika mereka punya Cadangan Strategis itu salah satunya di Alaska. Di Indonesia: lha, wong Cadangan Penyangga saja tidak punya koq Cadangan Strategis ditanyakan. Ya jelas belum ada. Nah, Urusan perencanaan Cadangan Penyangga Energi (CPE) itu dalam UU dan PP diamanatkan kepada Dewan Energi Nasional. Sampai saat ini belum ada konsep CPE resmi yang diadopsi oleh DEN. Anggota DEN terdahulu (2009 – 2014) terlalu sibuk dengan membuat KEN sehingga komponen-komponen uraian dari KEN itu (termasuk CPE) tidak bisa secara paralel disiapkan konsepnya.

Konsep Cadangan Penyangga Energi yang sering kali dipamerkan ke khalayak akhir-akhir ini ternyata dibikinkan konsultan Inggris yang dibayari Pemerintah Inggris. Hal paling krusial pada rancangan itu: Cadangan Energi kita dimodali dan dikelola oleh swasta. Anggota DEN yang baru (2014 – 2019) mencoba untuk memulai implementasi ide awal pembangunan CPE dengan konsep sendiri yang masih awal dan perlu disempurnakan mulai 14 Januari 2015 yang lalu. Konsep itu dipresentasikan pada Ketua Dewan Energi (Presiden) 25 Februari 2015 dan mendapatkan perhatian penuh dan perintah untuk segera dilaksanakan pematangan konsep dan inisiasi implementasi awalnya. Dalam konsep tersebut pengelolaan CPE dilakukan oleh Badan Pemerintahan yang dibentuk khusus untuk itu dengan memanfaatkan tanki-tanki idle yang tersedia di Indonesia baik kepunyaan Pertamina ataupun SKKMigas yang ada di KKKS. Hal ini sangat berbeda dengan konsep “air minum dari botol asing” yang menyarankan CPE dibiayai dan dikelola swasta. Sampai sekarang keputusan formal Konsep CPE belum disepakati dalam Sidang Anggota maupun apalagi Sidang Paripurna DEN. Kalaupun toh ada lembaga pemerintah atau politisi ataupun birokrasi yang terus menerus mengampanyekan adanya CPE yang dikelola swasta, harap masyarakat tidak terpengaruh, karena itu hanya bagian dari wacana yang masih harus dibahas di Sidang-sidang Dewan Energi kita. Saya sendiri tentunya (dan sebagian besar Anggota DEN), sangat tidak setuju dengan penguasaan Cadangan Penyanga Energi kita itu oleh pihak swasta (apalagi asing).

Lalu tadi malam, 20 April 2015 di Kempinski, kitapun lagi-lagi menegak minuman gelagepan dari botol minuman asing. Kedutaan Inggris bekerja sama dengan ESDM pun dengan cantik menyelenggarakan peluncuran Indonesia 2050 Calculator, yaitu suatu aplikasi yang dirancang oleh Pemerintah Inggris untuk menunjukkan berbagai skenario bauran energi sampai 2050 yang data dasarnya diisi oleh birokrat-birokrat/peneliti negara kita, yang semua rakyat bisa mengaksesnya di Indonesia 2050 Pathways Calculator. Sebagai bagian dari pendidikan masyarakat tentang hal ihwal per-energi-an yang sering kali memakai istilah dewa dan susah dimengerti implikasinya ke depan oleh kalangan biasa, kalkulator tersebut bisa jadi gadget mainan yang mudah-mudahan ada manfaatnya. Tapi jangan sampai keliru: karena sebenarnyalah negara kita sudah punya kebijakan energi yang resmi dengan skenario bauran energi rinci sampai 2050. Dan itu sama sekali tidak dimasukkan dalam skenario kalkulator tersebut!! Jadi, sebenarnya ESDM dan Pemerintah Inggris mendidik masyarakat kita tentang skenario energinya siapa?????

Dan besok dua hari dari April 22 sampai April 23, Dewan Energi Nasional dan ESDM memfasilitasi Agensi Energi Internasional (IEA) untuk memaparkan skenario mereka tentang bagaimana caranya menyelesaikan urusan Subsidi BBM kita. Meskipun ada satu orang anggota DEN yang akan bicara, tetapi kemungkinan besar bukan skenario (anggota) DEN yang besok akan jadi wacana, karena pembicara-pembicara selanjutnya akan berlomba untuk memberikan arah bagaimana sebaiknya kebijakan subsidi kita. Kalau dipikir-pikir secara anak SD, aneh juga ya? Kenapa Agensi Asing itu sampai repot-repotnya keluar duit untuk mempelajari dan akhirnya merekomendasikan seharusnya Pemerintah Republik ini berbuat apa untuk mengatasi masalah Subsidi Energinya. Tapi kalau anak SD itu tahu bahwa tidak ada makan siang yang gratis, mungkin dia nggak akan bertanya-tanya lagi. Mahfum sudah.

Mudah-mudahan marwah kemandirian dan ketahanan dan kedaulatan nasional kita di bidang Energi bukan dibangun atas dasar skenario bangsa asing. Kita harus yakinkan sama-sama. Pekerjaan rumah buanyaaaak yang musti dikerjakan, supaya tidak sekedar jadi pasar dan mainan politik energi negara lain.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

(Hidupkan Riset Biostratigrafi)

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Kemarin sore di Lab Geodinamika ITB kita bahas juga urgensi untuk menghidupkan riset biostratigrafi Mesozoik dan bahkan sampai ke Paleozoik: Radiolaria, Conodont, Amonit, Pollen, ...

Batas Trias dan Jura, misalnya, sering kali tidak dapat didefinisikan dari fosil secara jelas, umumnya berdasarkan ciri litologi, padahal untuk yang menyangkut daerah seluas paparan Sahul pada umur yang sama berbagai macam dominasi litologi akan menyesatkan korelasi berdasarkan pendekatan lito ini. Kalau korelasi salah maka paleogeografi juga akan ngawur, maka prediksi lito-komponen dari petroleum sistem juga meleset.

Siapa biostratigrafer MesoZoic kita? Munasri kayaknya kesepian dengan riset-riset radiolarianya, pak Fauzie Hasibuan di BG sana kayaknya nggak ada penerusnya. Makanya sebagai orang yang concern kita harus ambil tanggung jawab ikut dalam merevisi cara mendidik mahasiswa-mahasiswa geologi kita supaya jangan hanya jadi klikboy saja di dunia migas tapi juga jadi periset-periset sub-sub ilmu dasar geologi supaya memudahkan usaha eksplorasi kita ke depan. Jangan lagi-lagi tergantung sama geologis/periset dari luar.

Keluhan tentang sulitnya mendapatkan dana-dana riset "dasar" seperti biostratigrafi Mesozoik itu dijawab secara retoris dengan: "Kalau Robert Hall bisa mendapatkannya, kalau CSIRO bisa mendapatkannya, kalau Chulalongkorn bisa mendapatkannya, kenapa kawan-kawan di BG/LIPI/ITB/UGM dan lainnya gak bisa mendapatkannya? Yang kita perlukan network, saling terhubung dengan semangat positif. Saling berkomunikasi lintas posisi. Universitas-industri-asosiasi-regulatory seperti ini juga akan membuka kesempatan mendapatkan jalan keluar pendanaan riset tersebut.

Komitmen dari kita semua untuk mengaktifkan kembali networking para periset di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset dengan industri maupun regulatory lewat asosiasi profesi maupun kelompok-kelompok diskusi harus kita teguhkan kembali. Kita lakukan saja!

Tapi jangan lupa: kalau sudah terhubung dan mendapatkan fasilitasi: jangan lah sampai kita semua kesasar alias tersesat di riset-riset yang propietary dan confidential belaka, yang umumnya berhubungan langsung dengan kepentingan bisnis si pemberi dana riset. Sehingga tidak ada satu pun yang bisa di-share dengan komunitas. Dan yang lebih parah lagi, tersesat di riset-riset "tentang apa yang sudah ketemu" dan melupakan riset-riset "untuk menemukan sesuatu yang baru”.

Read More