Ayo Belajar Geologi
Bumi Indonesia kita ini sangat kaya dengan contoh: “The Present is key to The Past”.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Karena saat ini:
Penunjaman lempeng sedang aktif terjadi,
Gempa-gempa besar kecil silih berganti, dan
129 gunung api aktif meletus di sana sini.
Apakah itu berarti:
Karbonat tidak tumbuh karena tektonik - vulkanik intervensi?
Cekungan relatif terangkat hingga terjadi regresi bahkan sampai erosi?
Source rock kelewat matang karena heat flow tinggi?
Migrasi hidrokarbon jadi terhenti?
Nggak juga sih, lihat dan saksikan:
Koral masih tumbuh di mana-mana bahkan sampai di paparan busur muka.
Lembah Brantas dan Bengawan Solo masih terus menciptakan ruang akomodasi mengendapan sedimen-sedimen sungai yang cukup berarti dan Danau Toba, Singkarak, dan Kerinci masih terus terisi
Minyak bumi masih juga ditemukan di sayap-sayap jalur gunung api (Mountain Front Barisan Sumatra dan Bogor-Solo-Kendeng Zone Jawa)
Malahan gempa-gempa besar sering diikuti menyemburnya migas di retakan patahan bumi (Meulaboh, Perlak, Tj. Api)
Nah, maka marilah kita teladani proses-proses bumi hari ini untuk jadi rujukan skenario-skenario kita tentang proses-proses yang di masa lalu terjadi. Bumi Indonesia kita ini sangat kaya dengan contoh: "The Present is key to the Past". Tinggal bagaimana kita arif mengambil intisari dan menyiasati.
Ayo belajar ilmu bumi, ayo belajar geologi!!!
(Pembubaran BPMigas: "Keberpihakan Terhadap Asing di Hulu migas")
"Keberpihakan terhadap asing di hulu migas" itu kayaknya memang nggak cocok diterapkan sebagai dasar argumen pembubaran BPMigas. Semua orang yang ada dalam kotak industri migas Indonesia pun tahu bahwa BPMigas itu adalah benteng merah-putih kita dalam menghadapi MNC-MNC itu.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
"Keberpihakan terhadap asing di hulu migas" itu kayaknya memang nggak cocok diterapkan sebagai dasar argumen pembubaran BPMigas. Semua orang yang ada dalam kotak industri migas Indonesia pun tahu bahwa BPMigas itu adalah benteng merah-putih kita dalam menghadapi MNC-MNC itu.
Masyarakat awam di luar kotak sering tidak bisa membedakan antara Ditjen Migas dengan BPMigas atau bahkan antara "memihak asing" dengan "inkompeten - tidak berdaya mengatur pihak asing"... Dan umumnya yang mereka lihat bukan kegagahan pihak asing di kasus-kasus eksplorasi daerah frontier yang malahan sering kita bangga-banggakan, tapi kiprah MNC di kontrak blok-blok migas produksi yang raksasa, seperti kasus Cepu, Natuna, Mahakam, Tagguh, dan sebagainya. BPMigas juga yang kena imbas — tailspin nya: seolah-olah kita dengan mudah menggadaikan aset-aset kita ke mereka lewat kemudahan "perpanjangan" atau penguasaan kontrak baru, lewat toleransi program, cost recovery yang makin tinggi, dan sebagainya. Padahal sebenarnya yang berperan di situ level politiknya biasanya lebih tinggi dari sekadar staff, kadin atau bahkan kadiv BPMigas (yang kadar geramnya melebihi kita semua yang ada dalam kotak industri migas nasional ini dalam heboh pembubaran BPMIgas ini).. Aparat-aparat di Ditjen Migas, Menteri dan Wamen dan tentunya sampai ke atasnya di SBY, malahan merekalah yang memainkan catur-catur negosiasi dan mengambil keputusan-keputusan penting "memberi", "memperpanjang", "mengizinkan" pihak-pihak asing itu mendominasi.
Jadi, pembubaran BPMigas bisa juga disebut sebagai pembubaran yang sah secara legal untuk alasan yang sebagiannya keliru, menggelikan, dan salah sasaran (sebagiannya lagi benar).
Butuh kesabaran tinggi dan kerendahan hati untuk tidak terpancing emosi dan akhirnya menganggap orang-orang di luar hanya mencaci maki tidak bisa mengapresiasi apa yang sudah setengah mati kita lakukan setiap hari: membela merah putih?
Salut dan simpati untuk kawan-kawan BPMigas.
Saatnya Merombak Cara Kerja (Baca: Jumlah Pegawai) Pengawasan Kontrak Migas Indonesia
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Membaca e-mail mas Johnson dan mbak Shinta (dan mbak Nuning) di IAGINET tentang cara kerja BPMigas yang spartan dari meeting ke meeting dalam keterbatasan waktu dan personel mereka, saya jadi teringat beberapa kali pernah mengusulkan untuk merombak, menambah, mengembangkan jumlah pegawai BPMigas (terutama yang ahli) melalui usulan resmi tertulis maupun verbal lewat presentasi dan diskusi-diskusi dengan/ke Ka BPMigas, Dirjen Migas, Menteri, Menko. Karena apa? Karena kalau kerja beneran dan kerja sehat (jiwa dan raga) menurut ukuran Depnaker maka tidak mungkin kawan-kawan BPMigas itu dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya hanya dengan jumlah segitu-segitunya untuk mengawasi pelaksanaan kontrak 300-an blok Migas/CBM di Indonesia. Hanya dengan cara kerja seperti diungkapkan di e-mail mas Johnson itulah BPMigas bisa bertahan sampai 13 November 2012 kemarin itu. Cara kerja yang tidak sehat dan rawan penurunan kualitas dan fokus intensitas.
Inilah saatnya IAGI, lagi-lagi, bisa berikan kontribusi pemikiran, usulan, desakan supaya di organisasi yang baru nanti kejadian/suasana cara kerja yang tidak sehat seperti terjadi di BPMIGAS lama tidak diulangi. Dengan hitung-hitungan sederhana seperti yang dibeberkan oleh JAP (Johnson A. Paju) dan juga SDG (Shinta Damayanti Gumilar), mustinya kita tahu bahwa dibutuhkan minimum dua kali lipat jumlah pegawai lama BPMigas untuk membuat UPKUH/SKSP Migas dapat bekerja secara manusiawi, sehat, layak dan kualitasnya tidak dipertanyakan lagi. Dapat dibayangkan bagaimana khawatirnya kita mengetahui bahwa 30% pendapatan negara kita (dari migas) diawasi perolehannya oleh kawan-kawan yang bekerja sub-standard sampai begadang, hari Raya gak sempat sungkeman, 24 jam sehari, 7 jam seminggu, 12 bulan setahun dan sebagainya.
Tapi alhamdulillah, saya kadang-kadang masih bisa ketemu kawan-kawan BPMigas meluangkan waktu kunjungan ke lapangan, lihat-lihat batu, rig, seismik, konvensi dalam dan luar negeri, dan juga kunjungan home office di mancanegara. Tapi mungkin pas ditinggal-tinggal seperti itu makin gak ada oranglah di Jakarta untuk beres-beres perizinan, studi, operasi dan sebagainya, sehingga makin dipertanyakan lagi kualitas pengawasan kita.
Dulu sempat salah satu pejabat yang saya pasrahi usulan waktu diskusi meminta tolong balik: "Tolong yakinkan ke KemenKeu dan Menpan dong nDang, soalnya kita sudah berulang kali mengajukan hal tersebut tapi tidak gol-gol juga". Jawabku, “wah, kalau saya sekalian memperjuangkan ke KemenKeu dan juga ke Menpan, lha tugas panjenengan semua lak entek. Lagi pula siapalah saya ini koq bisa-bisanya curhat ke Menkeu dan Menpan.” Nanti, biar IAGI saja yang resmi menyampaikan.
Jadi, Pak KetuM IAGI, mohon sekalian disinggung aja soal personalia - jumlah pegawai dan rekrutmen level ahli buat SKSP Migas mendatang dalam press release kita minggu depan.
(Welcome to the Real Complete Multidimensional World of Indonesia Petroleum Geology)
Bagi yang juga mengalami beberapa bagian dari akhir masa otoritarianisme Soeharto yang “stabil”, nyaris tanpa pernah ada gonjang-ganjing (ada tapi ditutup-tutupi), penuh dengan kemantapan posisi dan kemajuan ekonomi (semu), gonjang-ganjing migas kita ini semua adalah konsekuensi dari jalan yang sama-sama kita tempuh untuk negeri ini: reformasi.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Bagi yang juga mengalami beberapa bagian dari akhir masa otoritarianisme Soeharto yang “stabil”, nyaris tanpa pernah ada gonjang-ganjing (ada tapi ditutup-tutupi), penuh dengan kemantapan posisi dan kemajuan ekonomi (semu), gonjang-ganjing migas kita ini semua adalah konsekuensi dari jalan yang sama-sama kita tempuh untuk negeri ini: reformasi.
Perubahan, gonjang-ganjing, ketidakstabilan posisi, adjustment/penyesuaian-penyesuaian, rekonsiliasi, review dan koreksi, akan masih terus terjadi. Salah satunya dengan UU Migas kita yang dulu menjelang reformasi idenya pun sudah berkali-kali dicoba untuk disodorkan oleh senior-senior kita yang sebagian kepanjangan tangan dari kepentingan-kepentingan liberalisasi tapi berulang gagal untuk diganti sampai akhirnya ditandatangani lah secara "terpaksa" oleh Soeharto syarat-syarat IMF itu termasuk deregulasi sektor migas - Pertamina kita. Dari situlah maka penggodokan UU Migas yang baru pun mendapatkan pintu masuknya yang terbuka lebar, memasukkan semua kepentingan liberalisasi, mempreteli kekuasaan Pertamina yang kebanyakan korup dan jadi sapi perah kroni Soeharto, sekaligus membuka lebar-lebar pintu bagi "pasar-bebas" pengelolaan migas negeri ini.
Semua struktur yang diturunkan dari UU Migas itu, terutama pengamputasian Pertamina menjadi sekadar kontraktor pemerintah saja, termasuk pengambilan fungsi pengawasan kontraktor bukan lagi pada Pertamina (tentu saja, karena Pertamina jadi sekadar kontraktor Pemerintah), dan pembentukan badan baru yang namanya BPMigas itu semua disahkan juga lewat PP-PP dan turunan-turunannya. Baru kemudian usaha-usaha menggugat kembali pasal-pasal itu dilakukan menjelang pertengahan dekade yang lalu dan menghasilkan dihapusnya beberapa pasal terkait dengan mekanisme pasar yang bertentangan dengan pasal 33 UUD 45 dan sebagainya. Dan yang terbaru kemaringugatan tentang kedudukan fungsi kelembagaan-kelembagaan juga akhirnya membuahkan keputusan yang melihatnya secara hukum bertabrakan dengan semangat UUD45 (khususnya soal GtoB yang harusnya BtoB) sehingga harus batal demi hukum, dan kemungkinan masih akan ada beberapa lagi yang akan digugat lagi.
Pada dasarnya itu semua adalah bencana sekaligus berkah yang dibawa oleh reformasi. Tapi akibatnya kita semua juga harus siap dan selalu siap dengan perubahan-perubahan apalagi menjelang 2014 ini. Terus terang bagi kita-kita yang sedikit lebih lama menjalani hidup profesional di rejim yang berbeda-beda: perubahan-perubahan itu malah lebih menyakitkan untuk terus diikuti. Kita-kita ini malah sebenarnya lebih tidak adaptable terhadap perubahan daripada anak-anak muda. Tapi itu semua harus dihadapi. Dan supaya kita tidak hanya diombang-ambingkan perubahan, maka sebaiknya kita ikut masuk menentukan perubahan apa yang baik untuk kita semua. Apalagi jika mampu dan kuat berpikir menganalisis dan bertindak seperti anda anda yang aktif di asosiasi-asosiasi profesi migas kebumian ini..
Welcome to the real complete multidimensional world of Indonesia Petroleum Geology!!
Risiko Eksplorasi
Harusnya pengusaha asing itu juga sudah mengerti: begitulah risiko eksplorasi.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
nDang, I need your opinion. Perusahaan asing yang minta pendapat saya sebagai konsultan independent tentang potentiality and risk blok CBM-nya itu (yang pernah saya ingatkan daerah situ gak ada batu baranya — kalau pun ada pasti gak komersial): sekarang malah nanya: kalau mau nuntut ("sue") siapa ya yang bisa kita tuntut? Karena mereka merasa "ditipu" oleh perguruan tinggi pertama yang mengusulkan blok CBM ke mereka, kemudian merasa "ditipu" juga oleh pemerintah yang memverifikasi hasil joint study yang mereka biayai yang dilakukan oleh perguruan tinggi kedua, dan yang terakhir merasa wakil-wakil pemerintah yang ngawasi rencana dan pelaksanaan pemboran eksplorasi sumur-sumur CBM-nya pun kayaknya membiarkan saja mereka merisikokan uang sampai 15 juta dolar untuk ngebor dan sebagainya, padahal harusnya mereka ngerti juga-lah bahwa daerah itu tidak prospek. Selain bingung mau nuntut siapa, mereka juga bingung mau ngapain lagi dengan blok yang mereka punya. Lha wong sudah gak ada apa-apanya.
Wah, kalau nuntut secara hukum ya nggak bisa lah, pak. Harusnya pengusaha asing itu juga sudah mengerti: begitulah risiko eksplorasi. Bisa ilang samasekali duit 15juta dolar plus plus gak kembali. Meskipun itu menyangkut CBM yang bukan konvensional oil-gas yang lebih berisiko lagi. Mestinya khan mereka juga punya explorationist sendiri yang mempertimbangkan semua risiko venture-nya secara lebih hati-hati, bukan sekadar modal duit dan menganggap ini semua seperti dagang sapi - sapinya ada tinggal dibeli, disembelih dan dijual lagi dapat untung rezeki.
Tapi bagaimana pun juga, nDang, sangat disayangkan kenapa koq dengan data yang sama-sama menunjukkan batu bara di atas dan di bawah tanah-nya itu hanya beberapa seam tipis: para pengusul, para pen-studi dan panel pem-verifikasi koq menyimpulkan CBM-nya cadangannya besarnya luar biasa sekali? Malah dengan terang-terangan mereka memakai density 1.8 sampai dengan 2.0 untuk menghitung volume batu bara yang mana menurut saya itu sudah keterlaluan gak profesionalnya: membesar-besarkan angka potensi. Khan harusnya pakai 1.3an lah density. Belum lagi ketebalan yang direkayasa jauh lebih besar dari data yang ada tanpa alasan yang jelas sama sekali.
Wah, kalau masalah yang seperti itu, pak: ini yang ke-4 yang saya temui. Jangan heran kalau sejak beberapa tahun terakhir ini banyak berkeliaran profesional (kadang dengan label akademisi) yang membuat analisis blok-blok untuk oil and gas dan juga CBM (dan sebentar lagi shale gas) untuk kemudian ditawarkan — dijual ke calon-calon investor yang termakan oleh iming-iming jumlah "cadangan" yang dibikin besar sekali (bahkan tidak tahu beda sumber daya dengan cadangan dan berbagai skenario penamaannya yang tidak pasti). Kemudian setelah sang investor yang umumnya tidak ber-latar belakang oil gas E&P itu yakin diajaklah mereka melakukan/ membiayai joint study, dan seterusnya sampai akhirnya nanti diverifikasi/disetujui oleh pemerintah untuk jadi blok yang ditawarkan dengan skema "direct-offer" bukan "open tender". Padahal blok-blok yang ditawarkan itu juga nggak nambah data apapun selain pembaruan peta-peta lead-prospect dari kumpeni-kumpeni terdahulu atau bahkan dibikin lead-prospect baru dengan data baru yang didapat dari "pasar gelap" yang pemerintah juga gak punya inventory.
Bagi sebagian pihak di pemerintahan: performance mereka dinilai dari berapa banyak bisa jualan blok migas/CBM/shale gas tanpa peduli apakah blok-blok itu punya potensi yang bener-bener sudah terevaluasi. Bagi sebagian pihak petualang eksplorasi hal tersebut menjadi peluang untuk terus menerus melakukan "studi" — apapun kualitas studinya — dengan alasan ikut membantu pemerintah menggalakkan eksplorasi. Bagi kalangan investor yang tidak punya latar belakang new venturing eksplorasi: hati-hati!!!!
Sayang banget ya, nDang. Saya koq malah khawatir: secara profesional kita-kita ini di akademisi maupun di industri jadi kena imbasnya: gak dipercaya lagi oleh publik karena mempermainkan ketidaktahuan publik atas ketidakpastian / risiko eksplorasi untuk alasan-alasan komersial sempit dan tujuan pemenuhan kinerja aparat. Jangan-jangan mereka nanti - terutama orang-orang luar negeri - jadi sinis melihat IAGI atau HAGI yang membiarkan saja kasus-kasus unethical itu terjadi.
Kalau begitu mari kita bicarakan di forum organisasi, pak. Saya akan sampaikan nanti insyaAllah ke kawan-kawan G&G supaya bisa jadi bahan untuk ditindaklanjuti.