Takhayul Geologi
Hari ini, 53 tahun setelah Soekarno pidato tentang hal itu, takhayul geologi itu masih terus ter(di)sebar.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Pada 11 Juli 1960 Soekarno pidato di depan pelajar-pelajar di Surakarta (Solo) yang menyinggung tentang takhayul ekonomi dan takhayul geologi (cuplikan lengkapnya saya lampirkan di bagian paling bawah tulisan ini).
Yang dimaksudkan Soekarno dengan takhayul geologi pada waktu itu adalah: persepsi umum di masyarakat tentang sumber daya alam Indonesia yang dicekokkan oleh Belanda ke bangsa Indonsia, bahwa:
Indonesia tidak punya bijih tembaga.
Indonesia tidak punya arang batu yang kalorinya tinggi.
Bijih emas hanya ada di Sumatra Selatan.
Cara memberantas takhayul itu, kata Soekarno (dengan mencontoh RRT) ya dengan pendidikan (geologi; red.) yang benar.
Hari ini, 53 tahun setelah Soekarno pidato tentang hal itu, takhayul geologi itu masih terus ter(di)sebar; bahwa:
Intan di Martapura dan Kalimantan Barat itu nggak ada batuan sumbernya; mereka seolah disebar begitu saja dari "langit" masuk ke sungai-sungai purba (terus siapa yang menguasai "kimberlite-pipe" atau "volcanic-plug" yang penuh intan primer itu ya?)
Sumber daya migas kita sudah habis menipis padahal sebenarnya pengetahuan dan keberanian kita untuk eksplorasi lah yang nggak ada (karena sudah belasan tahun dikelirukan dengan konsep-konsep sesat tentang sumber daya migas Indonesia dan dilatih hanya untuk eksploitasi tapi bukan eksplorasi)
Cadangan emas raksasa hanya ada di Papua dan Sumbawa padahal masih ratusan lokasi di sepanjang jalur bukit barisan dan pegunungan selatan Jawa yang masih potensial mengandung sumber daya emas/perak/tembaga raksasa belum diteliti selayaknya (sekalian dihantam kasus tumpang tindih lahan konservasi, kehutanan, dan kasus lingkungan!)
Hanya Cina yang kaya potensi dan menguasai mineral-mineral masa depan unsur tanah jarang (REE - Rare Earth Element), di Indonesia entah ada atau tiada kita tidak pernah meyakininya, padahal sudah bertahun-tahun orang-orang luar menambangnya di perairan Riau dan juga di Kalimantan Barat sana, atas nama galian C (dan kita tetap tidak memedulikannya).
Potensi geotermal kita luar biasa banyaknya tapi eksplorasinya sulit dan makan biaya dan komoditasnya tidak ekonomis. Padahal kalau saja subsidi migas dialihkan sebagian saja ke energi hijau aman dan berlimpah itu maka kita semua dengan cepat akan terbebas dari jeratan mafia minyak yang selama ini mencekik negara dan menggantikannya menggunakan geotermal di seluruh jalur Sumatra-Jawa.
Di Indonesia tidak ada cooking coal dan pemerintah tidak pernah mendata produksinya. Padahal data-data eksplorasi yang berseliweran dan juga catatan-catatan jual beli di pasar Hong Kong dan Singapura sana membukukan jutaan ton tiap tahun coking coal yang harganya dua kali lipat harga coal biasa itu keluar dari Indonesia.
Selain butuh Soekarno 2013, kita juga butuh lebih dari seorang guru geologi yang berani melawan arus mengajarkan dan mendidik cara memberantas takhayul-takhayul itu semua.
Memberantas Takhayul Versi Soekarno
Cuplikan Ceramah/Pidato Soekarno di hadapan pelajar Surakarta, 11 Juli 1960.
Di Tiongkok ada satu kampanye hebat, memberantas ketakhayulan. Ya memang, ketakhayulan harus diberantas; tetapi ketakhayulan yang diberantas di Tiongkok itu bukan ketakhayulan mengenai dhemit, memedi, jin, peri perayangan saja. Juga ketakhayulan ekonomi, ketakhayulan geologi diberantas sama sekali. Kita masih menderita penyakit ketakhayulan geologi, ketakhayulan ekonomi, karena dicekoki oleh Belanda. Misalnya berkata: Indonesia tidak mempunyai bijih tembaga. Kita percaya bahwa Indonesia itu tidak mempunyai arang batu, arang batu yang kalorinya tinggi, seperti arang batu di Inggris, di Cardiff, yang dia punya kalori 7.900 atau 8.000. Indonesia tidak punya. Ada yang berkata Indonesia itu tidak mempunyai bijih emas kecuali sedikit di Sumatera Selatan. Kita percaya. Nah, ini menjadi ketakhayulan, saudara-saudara. Takhayul ekonomis, takhayul geologi kepada kita, bahwa Indonesia hanya mempunyai bijih emas di situ, tidak mempunyai bijih tembada. Diberantas RRT.
Cara memberantasnya bagaimana? Pemuda-pemuda, pemudi-pemudi diberi sedikit pengetahuan hal geologi. Bijih besi itu, rupanya begini. Bijih emas, begini rupanya. Bijih tembaga, begini. Pemuda-pemuda mengerti lantas tahu: O, bijih ini begini, bijih itu begitu, dan lain-lain sebagainya; disebarkan di seluruh tanah air RRT, disuruh pemuda-pemudi itu mencari, mencari. Dan hasilnya apa? Ternyata bahwa di seluruh RRT ada bijih besi. Dahulu orang berkata bahwa besi ada bijih besi. Dahulu orang berkata bahwa besi di RRT hanya terdapat di situ, di situ bagian sedikit daripada RRT utara. Sekarang tidak. Di mana-mana ternyata ada bijih besi. Oleh karena pemuda dan pemudinya menyelidiki explore, katanya Inggris explore di mana-mana, sehingga di tiap-tiap provinsi di RRT sekarang ada tanur. Tanur yaitu pembakaran bijih besi ini untuk dijadikan besi.
Nah, kita pun harus demikian. Berantas segala takhayul, bukan saja takhayul setan tetapi juga takhayul ekonomis dan geologis yang ada di dalam dada kita, tetapi agar supaya kita bisa memberantas takhayul itu, kita pertama harus mempunyai human skill. Kedua mentalitas kita harus investment yang sehebat-hebatnya; mental investment. Menjadi pemuda-pemudi yang dinamik, menjadi bangsa yang dinamik. Sebab kalau tidak demikian, kita tidak akan mengerti garisnya sejarah ini
Geo-Archaelogy Food for Thoughts
Legenda adalah rembesan cerita peradaban maju dari bawah ketidakselarasan geologi-budaya yang tidak bisa dinalar oleh logika teknologi masa kini yang notabene sedang menapak berkembang maju di atas ketidakselarasan geologi-budaya yang terakhir di masa lalu.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Legenda adalah rembesan cerita peradaban maju dari bawah ketidakselarasan geologi-budaya yang tidak bisa dinalar oleh logika teknologi masa kini yang notabene sedang menapak berkembang maju di atas ketidakselarasan geologi-budaya yang terakhir di masa lalu.
Fiksi ilmiah adalah dejavu kesadaran kolektif budaya masa-kini yang dirasuki oleh kerinduan abstrak samar-samar atas bayangan kemajuan teknologi masa-lalu dari bawah ketidakselarasan geologi-budaya terakhir dalam kurun waktu.
Pengingkaran atas sekuen dan siklus geologi sejarah bumi melahirkan kepercayaan buta atas linearisme sejarah peradaban dan teknologi, termasuk usaha-usaha pemalsuan data untuk memaksakan konsep pemanasan global dan jalan pintas menghadirkan UFO di fenomena-fenomena teknologi tinggi masa lalu.
(Penyelesaian Masalah Sosial Lapindo)
Ada instruksi baru dari Presiden untuk lebih ”menekan” Lapindo bayar janji/utang ke rakyat dan soal penyelesaian teknis jangka panjang yang tidak mungkin dimulai tanpa penyelesaian masalah sosial.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Ada instruksi baru dari Presiden untuk lebih ”menekan” Lapindo bayar janji/utang ke rakyat dan soal penyelesaian teknis jangka panjang yang tidak mungkin dimulai tanpa penyelesaian masalah sosial.
Lihat: Detik.
Alhamdulillah, muncul kesadaran baru bahwa: pengingkaran Lapindo atas janji pembayaran itu ternyata berakibat pada ancaman bahaya bencana lebih besar (jebolnya tanggul dan rusaknya infrastruktur) dan opportunity lost penemuan cadangan migas yang cukup besar di blok-blok sekitar.
Apakah “instruksi” SBY kali ini akan terealisasi atau “same old story” seperti dua tahun lalu (dengan posisi sama di mana 800 milyar utang masih jadi janji Lapindo), kita doakan saja bersama: mudah-mudahan situasi “politik sandera-menyandera” ini ada jalan keluarnya, sehingga rakyat tidak terus menerus jadi korbannya.
Berikut ini adalah poin-poin yang saya paparkan Sabtu kemarin sehingga keluar instruksi tersebut.
Lunasi utang pembayaran ke korban yang sudah dijanjikan Lapindo yang masih 800 milyar lagi (sesuai dengan prinsip: tidak mungkin ada penyelesaian teknis permanen kalau penyelesaian masalah sosial, utang janji ganti rugi jual, beli Lapindo dengan korban belum dibereskan)
Efek dari berlarutnya penyelesaian Lumpur Lapindo: Exxon hengkang dari Gunting Blok di Jombang – Mojokerto – Pasuruan – Probolinggo karena rakyat trauma. Opportunity lost: 288 juta barel minyak atau 1,7 triliun kaki kubik gas di blok tersebut tak tergarap.
Bahkan BPLS pun tidak dapat beroperasi di dalam tanggul selama enam bulan di 2012 dan dua bulan di 2013 kemarin, karena blokade oleh masyarakat yang tak kunjung dilunasi janji penggantian tanahnya oleh Bakrie. Kondisi ini sangat membahayakan: lumpur terus menumpuk, tanggul bisa tambah kritis karena tidak kontinu dikelola. Bahaya bencana jebol-longsor sewaktu-waktu.
Jadi, pelunasan utang/janji Lapindo untuk menyelesaikan masalah penggantian 800 milyar kepada masyarakat sangat terkait erat dengan keselamatan masyarakat — infrastruktur jangka pendek (pengelolaan lumpur/tanggul yang terkendala) dan penyelesaian teknis jangka panjang (akuisisi data/riset bawah permukaan yang terhambat).
Bila masalah sosial alias janji penggantian yang 800 milyar itu bisa diselesaikan, segera lakukan akuisisi seismik 3D untuk area dalam tanggul yang sudah direncanakan tapi gagal dilaksanakan 2011 karena masalah sosial yang belum beres itu.
Perbarui data time series penurunan tanah (land subsidence) dengan melakukan pengukuran-pengukuran geodetik ulang di berbagai titik pengamatan di dalam dan luar tanggul.
Dari analisis data seismik 3D dan data penurunan tanah, delineasikan daerah terdampak permanen termutakhirkan (update) dan proyeksikan daerah terdampak di luar tanggul dalam jangka panjang dengan modeling.
Hitung/model ulang volume zona overpressure di bawah permukaan yang dapat di-image dari data seismik 3D, kemudian hitung timing (durasi proses ekstrusi lumpur) berdasar model volume baru tersebut dan data mutakhir time series kecepatan (rate) semburan
Revisi desain dan operasionalisasi penampungan/penyaluran lumpur berdasarkan data terbaru poin tujuh dan delapan.
Ketika seluruh daerah dalam tanggul sudah beres urusan sosialnya dan juga daerah terdampak di luar tanggul diverifikasi dan diganti rugi, maka usaha selanjutnya adalah membuat daerah terdampak Lumpur Lapindo menjadi daerah otoritas penyaluran lumpur, riset dan wisata.
Lakukan rekayasa keteknikan infrastruktur perumahan, fasilitas dan jalan raya untuk area di luar tanggul yang diproyeksikan akan terkena dampak jangka panjang dari analisis data poin tujuh dan delapan di atas.
Untuk sementara waktu, sampai terjadi kesetimbangan baru, sistim overpressure yang terdedah ke permukaan itu (durasi max: berasal dari perhitungan pada poin delapan — saat ini angkanya masih sampai dengan tahun 2037 yang berarti 25 tahun lagi) canangkan kebijakan moratorium pengeboran eksplorasi migas di daerah tersebut sampai batas terluar yang didelineasi pada poin delapan di atas.
Sequence Stratigraphy dan "Keselarasan" Manusia Gua Indonesia
Kalau terjadi katastrofe di Jakarta, maka akan terjadi "ketidakselarasan" di Jakarta: daya dukung lingkungan hancur, banyak "species" punah, proses pertumbuhan di-reset ke awal lagi. Itulah batas sekuen kita!
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
(Renungan Pagi Stratigrafi Arkeologi)
Batas sekuen adalah ketidakselarasan yang berkorelasi dengan keselarasan sebanding (prinsip dasar Sequence Stratigraphy).
Kalau terjadi katastrofe di Jakarta, maka akan terjadi "ketidakselarasan" di Jakarta: daya dukung lingkungan hancur, banyak "species" punah, proses pertumbuhan di-reset ke awal lagi. Itulah batas sekuen kita!
Tapi ingat: Stratigrafi Sekuen juga mengajarkan adanya "Keselarasan sebanding" yang berkorelasi dengan Ketidakselarasan karena katastrofe tersebut. Di manakah "keselarasan" itu? Di mana kah survivor-survivor kita ketika Jakarta dihancurkan, ketika Aceh digempa-tsunamikan, ketika Danau Bandung dikeringkan, ketika Toba diletuskan?
Jawabnya ada di definisi "keselarasan" itu sendiri: mereka yang terus menerus hidup selaras dengan alam, besar kemungkinan akan menjadi survivor - keselarasan itu, yang nantinya akan jadi pioneer-pioneer biosfera ekosistem baru paska-katastrofe! Saudara-saudara kita di Badui, di Kubu, di Samin, adalah contoh dari mereka yang hidup selaras dengan alam sekarang ini tanpa harus memanipulasi alam itu sendiri. Mereka mengekstraksi alam secukupnya untuk kehidupan mereka sehari-hari, bukan "memanipulasi" dan mengambilnya berlebih-lebih! Merekalah yang terselamatkan oleh "alam", ketika teknologi maju menghancurkan dirinya sendiri.
Bahkan ketika tsunami, gempa, letusan gunung api menghantam kebudayaan tinggi di dataran rendah, mereka yang tinggal di gua tempat tinggi jauh dari jangkauan tsunami lah yang berhasil menyelamatkan diri. Musim dingin enam tahun karena letusan super vulkano Toba pun mungkin akhirnya bisa mereka siasati dengan hidup di gua-gua dan bertahan dari generasi ke generasi.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika seringkali kita dihadapkan pada kenyataan bahwa sebelum abad 4 Masehi sejarah Indonesia hanya didominasi oleh “manusia-manusia gua" alias dianggap sebagai zaman "pra-sejarah" semua. Kita saja yang belum bisa menemukan bekas-bekas peninggalan kebudayaan tinggi yang memanipulasi alam pada waktu itu yang dihancurkan oleh siklus proses alam sendiri. yang lebih mudah kita temukan adalah peninggalan manusia gua yang notabene selalu "lebih terselamatkan" dan lebih "bisa beradaptasi" menghadapi bencana katastrofe.
Kebudayaan tinggi kita di abad ke-0 ketika Nabi Isa/Yesus mengejawantah di dunia, terkubur oleh katastrofe. Sisa kejayaan negeri khatulistiwa saat Plato berpidato di Eropa sana abad 8 sebelum masehi-pun masih harus kita temukan di mana adanya mereka kini. Juga kebudayaan sebanding atau lebih tinggi dari piramida Mesir yang konon dibangun 3000 tahun sebelum masehi, mustinya bisa juga kita temui di Indonesia ini.
Bukti-bukti "ketidakselarasan" karena katastrofe itu semuanya menunggu untuk kita gali dan pelajari. Janganlah karena yang sering kita dapati adalah bukti "keselarasan"nya (yaitu manusia gua), maka terus saja kita menganggap proses kebudayaan kita linier satu fase saja: pra-sejarah-sejarah-modernisasi. Padahal bumi telah mengajarkan lewat sequence stratigraphy: bahwa semua proses pembentukan pertumbuhan kehancuran dan keseluruhan perjalanan bumi bukan linearisme uniformitarianity, tapi siklus-siklus katastrofe!!!!
Maka, demikianlah kira-kira itibar yang dapat kita ambil dari Sequence Stratigraphy.
Subhanallah. Allahuakbar.
(Renungan Revolusi Sedimentologi)
Jadi, silahkan saja. Toh itu hanya istilah.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Kenapa kita tidak menyebut graded bedding sebagai fining upward?
Kenapa juga tidak kita katakan reverse graded bedding sebagai coarsening upward?
Itu semua sebenarnya hanya masalah perjanjian atas simbol yang dituangkan dalam istilah bahasa yang seolah-olah disetujui bersama yang kalau tidak dikomplikasikan seperti itu maka ilmu pengetahuan menjadi milik orang-orang biasa, bukan orang-orang sekolahan yang susah payah menghafal fenomena dan berlatih mensistimatikakannya – sering kali bukan untuk memecahkan masalah, tapi untuk menambah-nambah keruwetannya.
Maka, mari kita hidup sederhana bersama orang-orang biasa. Menggunakan sedimentologi untuk menolong mereka; bukan malah untuk membingungkan mereka, apalagi membingungkan diri sendiri: kita.
Jadi, silahkan saja. Toh itu hanya istilah.
(Kalau ada yang ngeyel: yang satu karena gravity flow yang lainnya karena traksi; memangnya mereka ngeliat bener prosesnya waktu struktur yang sedang dibahas di batu itu dicetak Gusti Allah di sana? :-p )