Catatan Hari Sabtu tentang "Perintah Komando" Energi, Migas, dan Eksplorasi
Masalah-masalah energi yang belum beres, masalah migas, dan juga masalah eksplorasi: sebagian besar letaknya ada di luar sektor Kementrian ESDM, bahkan di luar lingkup Koordinasi Kemenko Maritim.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Masalah-masalah energi yang belum beres, masalah migas, dan juga masalah eksplorasi: sebagian besar letaknya ada di luar sektor Kementrian ESDM, bahkan di luar lingkup Koordinasi Kemenko Maritim.
Dalam konteks itu dibutuhkan pemimpin sektor yang berani dan memang punya kemampuan untuk memperjuangkan penyelesaiannya di luar sektor: menghadapi pemimpin-pemimpin sektor lain terkait energi (Keuangan, KLHK, BUMN, ATR, Kejaksaan, dan lain-lain) dan sekaligus mengawal Presiden untuk mematuhi amanat konstitusi terkait dengan energi, migas ataupun eksplorasi dalam "interaksi-persaingan"nya dengan sektor-sektor lain tersebut.
Memerintahkan jajaran "pasukan birokrasi" di bawah rentang kendali untuk menyelesaikan masalah internal terkait energi dengan tenggat waktu tertentu (bak komando perang militer) memang sangat diperlukan dan sangat mengesankan. Tetapi yang jauh lebih mengesankan lagi adalah apabila pemimpin sektor ini juga punya daya juang dan kemampuan dalam membereskan masalah yang ditimbulkan oleh pihak-pihak di luar sektor seperti disebutkan di atas tadi.
Revisi PP79/2010
Mempersiapkan revisi PP79/2010 yang menjadi momok penghambat kegiatan eksplorasi dan produksi migas Indonesia secara internal ESDM bisa-bisa saja dikasi tenggat waktu tertentu, karena memang persiapannya sudah dilakukan sejak lima tahun yang lalu dan dimatangkan dalam setengah tahun terakhir ini dengan difasilitasi oleh unit-unit ad hoc di ESDM. Maka bukanlah hal yang luar biasa kalau konsep revisi yang diperintahkan selesai dalam seminggu itu kemudian terealisasi begitu saja. Yang luar biasa adalah kalau: konsep revisi PP itu bisa juga disetujui oleh Kementrian Keuangan yang memang menjadi sektor yang berkepentingan dengan terus diberlakukannya PP tersebut. Dan lebih luar biasa lagi kalau pemimpin sektor ESDM dan atau Kemenko yang membawahinya bisa memberikan ultimatum deadline kepada sektor lain (Kementrian Keuangan) yang kemudian dilaksanakan dengan patuh.
Kita semua berdoa mudah-mudahan hal-hal luar biasa itu bisa kita saksikan ditunjukkan oleh pimpinan baru sektor energi kita. Bukan sekedar mengultimatum bawahan saja, tapi juga mengultimatum "pihak luar" yang kemudian dituruti kemauannya oleh pihak luar tersebut! Amiiin YRA.
Komando Tandatangan PSC Natuna Timur
Terkait dengan perintah untuk melaksanakan penandatanganan kontrak blok migas struktur AL dan AP di Laut Natuna yang harus dilakukan paling lambat 1 September 2016 kita juga harus angkat topi dan sekaligus harap-harap cemas. Angkat topi karena salut dengan tekad kuat maju dan menerobosnya Pemerintah kita, harap-harap cemas karena paham bahwa masalah kepemilikan kontrak dan sekaligus term and condition kontrak di area dengan cadangan gas terbesar se-Indonesia itu selama sepuluh tahun terakhir ini selalu deadlock dengan pihak luar, bahkan pihak asing.
Pertanyaannya: mampukah pasukan-pasukan internal yang diultimatum untuk segera selesaikan kontrak sebelum 1 September 2016 (seminggu lagi) itu bernegosiasi menghadapi pihak luar swasta asing yang biasanya diback-up oleh pemerintahannya meskipun jauh di seberang sana. Mampukah komandan menggertak pihak luar sedemikian rupa sehingga pasukan perunding bisa sukses mengajak pihak luar melaksanakan ultimatum itu?
Pengalaman menunjukkan: di Cepu kita tertipu, di Freeport kita repot, di Riau kita risau - di semua area kita kalah gertak oleh pihak asing dalam menguasai sumber daya alam kita, karena buru-buru, tidak teliti, dan pimpinan kurang paham dengan detail masalah yang terjadi. Mudah-mudahan di Natuna ini kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bahkan kalaupun nantinya bisa ditandatangani tepat waktunya sesuai dengan komando pimpinan, kita yang ada di luar arena tapi menitipkan masa depan negara ke kawan-kawan birokrasi dan politisi itu musti mempertanyakan: bagaimana detail perjanjiannya, supaya tidak kejeblos berulang kali pada kebodohan yang sama kehilangan kuasa atas sumber daya alam kita. Ayo terus ber(ter)jaga!!!
Pilihan untuk menyegerakan PSC khusus untuk mengelola sumber daya minyak bumi yang sudah ketemu di Natuna Timur — dan sementara mengesampingkan masalah rencana pengembangan untuk gas raksasa bersih 46TCFG sekaligus ikutan 76% CO2 itu — adalah dalam rangka segera memulai kegiatan supaya kehadiran Indonesia langsung dapat dirasakan di daerah rawan konflik perbatasan itu. Sayangnya ESDM belum sepenuhnya menjajaki alternatif lain yang lebih memungkinkan untuk kick off kegiatan migas di NBT (Natuna Bagian Timur) ini, yang sebagiannya sudah direkomendasikan oleh Komite Eksplorasi Nasional. Tapi tidak ada kata terlambat; selain mendorong kegiatan produksi minyak bumi yang hanya 10-20 Juta Barel di Natuna Timur, pada saat yang sama kita juga masih bisa melakukan kegiatan-kegiatan terkait dengan perencanaan pengembangan migas terintegrasi dan lintas setor di NBT (Natuna Bagian Timur) seperti yang diusulkan Komite Eksplorasi Nasional.
Angkatan Laut Eksplorasi Migas
Yang lebih "menantang" lagi adalah berita terakhir mengenai rencana komando ESDM mengerahkan kapal-kapal Angkatan Laut mencari migas di lautan kita.
Kita hanya bisa menduga-duga dari Angkatan Laut negara mana komandan - pimpinan sektor Energi dan Kemaritiman kita itu mendapatkan ide tersebut. Pada dasarnya belum pernah ada rujukan ilmiah maupun berita yang dapat dijadikan acuan mengenai kapal perang/ patroli militer yang menjalankan kegiatan/fungsi militer BERSAMAAN dengan kegiatan eksplorasi migas seperti: Akuisisi Data Geofisika di laut: Gravity, Magnetik, apalagi Seismik. Terutama khususnya untuk seismik : kapal harus dimodifikasi supaya bisa membawa streamer yang semakin dalam jangkauan kedalaman seismik yang kita inginkan maka semakin panjang streamer yang kita pasangkan dan seterusnya. Selain itu alat perekam seismiknya sendiri, air gun-nya, dan lain sebagainya itu semua harus dibeli dulu, dipasang, dan dioperasikan dengan modus operasional/pergerakan tertentu yang kemungkinan tidak bersesuaian dengan fungsi operasional kapal-kapal militer itu sendiri.
Khusus untuk pembelian alat seismiknya ...lha wong kapal-kapal riset/eksplorasi kita di KKP, BPPT, PPGL, LIPI ataupun Dishidros semuanya nggak punya alat seismik laut yang layak untuk eksplorasi migas. Dam susah sekali untuk dapat approval Banggar DPR untuk dapatkan alat itu. Maka akan sangatlah mantaabh sekali kalau bisa beli alat seismik laut yang proper... Maka masalahnya juga di pembelian alat itu dan biaya (hari layar) untuk melakukan survei seismiknya.
Kalau negara membolehkan lembaga-lembaga penelitian yang saya sebutkan tadi untuk membeli alat-alat seismik laut dalam dan sekaligus mau serius biayai hari layarnya maka tanpa harus pake kapal militer pun lembaga-lembaga itu mampu untuk eksplorasi migas kita dengan proper bahkan di laut dalam....
Kalau dirasa kurang aman survey di daerah perbatasan, barulah kapal-kapal militer bisa mengawal....
Penutup Renungan
Mudah-mudahan sektor ESDM kita yang saat ini sedang di PLT-i oleh Kemenko Maritim segera mendapatkan Menteri definitifnya yang sama "komandan"nya dengan pelaksana tugas yang sekarang dan sekaligus paham tentang permasalahan (bukan sekedar dibisiki lalu dengan serta merta menyuarakan keras bisikan itu tapi tidak paham esensi dasarnya)
Meraih Kepercayaan Investasi Eksplorasi Migas
Sampai minggu pertama Juni 2016, sedikitnya empat dari 24 kasus keberatan pajak untuk PBB Eksplorasi Migas telah diputus di pengadilan pajak.
Dirilis pertama di Harian Kompas.
Rabu, 22 Juni 2016: Halaman 7.
Sampai minggu pertama Juni 2016, sedikitnya empat dari 24 kasus keberatan pajak untuk PBB Eksplorasi Migas telah diputus di pengadilan pajak.
Ini buntut dari kasus kesalahan perhitungan PBB Eksplorasi Migas oleh Kementerian Keuangan yang mencapai angka Rp 3,183 triliun dan sudah telanjur masuk di APBN 2012-2013. Dari jumlah itu, Rp 1,061 triliun telah dibatalkan demi hukum oleh pengadilan pajak.
Putusan tersebut tentu menjadi sinyal positif bagi kegiatan eksplorasi minyak dan gas (migas) Indonesia yang sudah terpuruk, terutama 6-10 tahun terakhir ini, di mana salah satu penyebabnya adalah pembuatan aturan dan perhitungan PBB Eksplorasi Migas yang selama ini diterapkan Kementerian Keuangan. Padahal, dalam kontrak kerja sama migas (KKS) yang ditandatangani pemerintah (diwakili oleh Ditjen Minyak dan Gas) dan investor hulu migas, disebutkan bahwa dalam tahap eksplorasi, kontraktor dibebaskan dari segala bentuk pajak.
Salah satu advokasi yang dilakukan Komite Eksplorasi Nasional (KEN) pada 2015 adalah memastikan penyelesaian yang adil dari kasus keberatan industri migas Indonesia atas pengenaan pajak PBB pada blok eksplorasi yang sudah telanjur masuk APBN 2012 dan 2013, sebelum diberlakukannya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 267/PMK.011/2014 yang "menghapus" kewajiban pembayaran PBB untuk luas permukaan blok yang dieksplorasi.
Terkait dengan persoalan tersebut di atas, KEN melakukan berbagai upaya. Selain memberikan artikel opini ke beberapa media massa, tentang pentingnya pengadilan pajak dalam memutuskan penyelesaian yang adil atas keberatan pajak eksplorasi tersebut sebagai bagian dari ekspresi keprihatinan dan usaha untuk mendapatkan perhatian dari para pihak yang terkait, KEN juga berusaha secara paralel melalui Kantor Staf Presiden meminta bantuan penyelesaian kasus tersebut, yaitu pada awal Juli 2015 dan September 2015. Hasilnya, pihak Kantor Staf Presiden berjanji akan memanggil dan berdiskusi dengan Ditjen Pajak dan/atau petugas-petugas yang akan mewakili terbanding supaya tidak mempersulit usaha banding penghapusan pajak tersebut. Hal ini disadari oleh negara karena telah terjadi kesalahan dalam pembuatan aturan dan penghitungannya sehingga PMK 2014 tersebut perlu dikoreksi.
Kasus "kesalahan" pembuatan aturan dan perhitungan pajak untuk blok eksplorasi migas telah menyebabkan minat investasi eksplorasi migas di Tanah Air melorot tajam. Belum lagi ditambah dengan berlarut dan sangat tidak adilnya penyelesaian kasus "kesalahan" tersebut, sehingga membuat sebagian investor eksplorasi migas memilih hengkang dari Indonesia.
Karena itu, proses advokasi penyelesaian kasus tersebut menjadi salah satu prioritas dari gerak langkah quick-winKEN, Juni-Desember 2015. Dalam laporan akhir dan rekomendasi KEN 2015 kepada pemerintah, salah satu butir yang dipaparkan adalah tentang usaha advokasi tersebut.
Menggembirakan
Kabar gembira yang cukup melegakan diterima KEN pada 2 Juni 2016, yakni ketika mencermati pembacaan putusan sidang banding keberatan PBB Migas tahun 2012/2013 untuk Wilayah Kerja (WK) Blok West Aru I dan II (WA-I dan WA-II) yang dikelola Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S) Beyond Petroleum (BP). Dalam putusan kasus ini, majelis hakim mengabulkan permohonan banding untuk "permukaan bumi", meskipun permohonan banding untuk "tubuh bumi" ditolak.
Jumlah PBB "permukaan bumi" untuk WA-I sekitar Rp 322 miliar dan WA-II sekitar Rp 315 miliar. Jadi, yang dimenangi sejumlah Rp 637 miliar. PBB tubuh bumi WA-I dan II masing- masing sekitar Rp 4,6 miliar, sehingga yang tidak dikabulkan Rp 9,2 miliar. Ini sangat menggembirakan karena keberatan banding dimenangi 98,5 persen dari cash value overall. Secara materi persidangan, hasilnya 50:50, tetapi secara finansial 98,5:1,5. Cara menghitung PBB "permukaan bumi" yang tidak realistis memang telah membuat tagihan pajak menjadi mahal dan tidak masuk akal. Bahkan hitungannya menjadi berkali-kali lipat daripada komitmen investasi untuk blok migas yang bersangkutan.
Sampai hari ini, dari total 24 WK yang bermasalah dengan PBB Eksplorasi Migas, putusan banding PBB yang sudah diputus adalah ENI (1WK), Statoil (1WK), dan BP (2WK), di mana keputusannya adalah mengabulkan gugatan pembebasan PBB "permukaan bumi", tetapi menolak pembebasan pajak "tubuh bumi". Sementara untuk Blok Off Shore Timor Sea I, keberatan ENI dimenangi sebesar Rp 164 miliar untuk pajak "permukaan bumi" tahun 2013, tetapi dikalahkan di pajak "tubuh bumi" tahun pajak 2012 dan 2013, sebesar Rp 2 miliar per tahun.
Statoil di Blok Halmahera II memenangi gugatannya untuk pembatalan PBB "permukaan bumi" sebesar Rp 130 miliar per tahun atau Rp 260 miliar untuk 2012 dan 2013. Namun, Statoil tetap harus membayar PBB untuk pajak "tubuh bumi"-nya sebesar Rp 2,3 miliar per tahun.
Angin segar eksplorasi
Keputusan pengadilan sudah ditetapkan. Ini tentu memberikan angin segar pada kegiatan eksplorasi di Indonesia, di tengah agenda utama KEN untuk tetap memperjuangkan agar pemerintah menghilangkan atau mengurangi disinsentif-disinsentif yang memberatkan kontraktor hulu migas pada masa eksplorasi.
Tak kalah pentingnya termasuk dalam prioritas agenda KEN adalah berkoordinasi dengan semua kementerian/lembaga untuk memastikansanctity of contract di kegiatan eksplorasi hulu migas, termasuk masalah pajak- pajak pada tahap eksplorasi yang tidak sesuai dengan kontrak yang ditandatangani oleh pemerintah dan kontraktor hulu migas. Tentu saja dorongan ini dilakukan agar eksplorasi migas Indonesia dapat bergerak leluasa menemukan cadangan-cadangan baru migas untuk masa depan Indonesia dan mengembalikan kepercayaan investor untuk berinvestasi.
Selain terus mengawal proses pembatalan-pembatalan PBB Eksplorasi Migas yang masih antre di pengadilan pajak, KEN juga mendorong pemerintah melalui Ditjen Pajak agar segera mengembalikan uang yang telah dibayarkan oleh kontraktor hulu migas tersebut, yakni sebesar Rp 530 miliar (50 persen dari jumlah yang disengketakan), yang dulu harus dibayarkan untuk memenuhi persyaratan pengajuan banding. Mudah-mudahan proses pengembalian tersebut tidak terlalu berbelit dan tidak butuh waktu lama, sehingga tidak kontra-produktif dengan kesan positif oleh pembatalan-pembatalan di atas.
Minyak Serpih: Riset Saja Dulu
Amerika Serikat mengejutkan dunia energi fosil. Ia mengubah konstelasi harga migas dunia dengan revolusi minyak dan gas dari serpih (shale oil), yang prasyarat keberhasilannya tidak bisa ditiru begitu saja di belahan dunia lain.
Dirilis pertama di Koran Tempo.
Senin, 20 Juni 2016: Halaman 11.
Amerika Serikat mengejutkan dunia energi fosil. Ia mengubah konstelasi harga migas dunia dengan revolusi minyak dan gas dari serpih (shale oil), yang prasyarat keberhasilannya tidak bisa ditiru begitu saja di belahan dunia lain. Polandia, Australia, dan Inggris gagal meniru keberhasilan Amerika. Bagaimana dengan Indonesia? Kalau paradigma pemerintahan dalam soal sumber daya energi dan eksplorasi masih paradigma komoditas dan ijon di depan, dijamin Indonesia tak akan ke mana-mana, seperti kasus coal bed methane (CBM) yang sudah delapan tahun berjalan dan punya 55 blok kontrak tapi baru satu blok yang berhasil berproduksi.
Para peneliti Indonesia telah berusaha meneliti migas serpih. Sayangnya, penelitian yang sudah dan sedang kita lakukan pada umumnya tidak benar-benar meneliti shale hydrocarbon Indonesia dari dasarnya, melainkan lebih banyak “meyalin” hasil penelitian dari luar sana. Rumus-rumus Schmoker (1979), Schmoker & Hester (1983), Jarvie (2007), atau Wang & Gale (2009) diterapkan begitu saja di Indonesia. Padahal serpih penghasil migas di Amerika berbeda jauh dari serpih Indonesia, terutama dari segi umur (serpih Indonesia umumnya 200 jutaan tahun lebih muda), dan jenis maceral kerogen yang membentuk hidrokarbon di dalamnya (di Amerika kebanyakan kerogen tipe 2 dari endapan laut, di Indonesia kebanyakan kerogen tipe 1 dan 3 dari endapan danau dan delta).
Dari semua penelitian itu, belum ada satu pun yang dapat mengklaim bahwa migas serpih dapat diproduksi di sini, karena memang belum ada bukti dari sumur pengeboran dari lima blok yang kini beroperasi. Dengan demikian, angka-angka yang diumumkan ke masyarakat tentang jumlah potensi cadangan migas serpih itu adalah angka-angka fatamorgana saja. 574 TCF (trillion cubic feet) gas menurut Badan Geologi ESDM dan 1.200 TCF gas menurut IHSE. Itu semua terlihat sebagai angka luar biasa, tapi sebenarnya tak lebih dari mengukurkan baju Amerika ke badan kita, bukan memakai penggaris dan meteran kita sendiri.
Mengapa butuh waktu yang lama hanya untuk mulai mengebor sumur eksplorasi pembuktian itu? Ini masalah klasik. Tumpang-tindih penggunaan lahan serta lama mengurus dan banyaknya perizinan membuat seret kemajuan pelaksanaan rencana pengeboran. Belum lagi kendala paradigma lama, seperti “industri hulu migas itu harus makin diatur supaya kegiatannya makin aman dan si pengatur makin nyaman terhindar dari temuan BPK atau panggilan polisi, jaksa, atau KPK”, dan “kontraktor harus diarahkan supaya negara mendapatkan sebesar-besar keuntungan dan dalam jangka waktu sesingkat-singkatnya”. Maka, kita lebih sibuk menghitung-hitung besaran bagi hasil yang cocok untuk diterapkan pada kontrak-kontrak pengusahaan migas serpih, tapi belum tahu bagaimana karakter migas serpih Indonesia dan bagaimana kaitannya dengan pengoperasiannya nanti.
Lebih parah lagi, peraturan untuk mulai mengerjakan eksplorasi (studi geologi geofisika, akuisisi data di lapangan, dan terutama untuk pengeboran) sebagian besar masih menggunakan aturan tata kelola proyek migas konvensional. Di migas konvensional, kita hanya butuh dua-tiga lubang sumur untuk mengeluarkan sejumlah cadangan migas. Tapi migas non-konvensional membutuhkan 20-30 trayek lubang sumur yang berbeda meskipun dibor dari platform yang sama. Di migas serpih, kita bicara soal kegiatan pengeboran yang kecepatan prosesnya harus sampai 10 kali lebih cepat dari pengeboran migas biasa, dan itu tidak bisa dilakukan kalau aturan pengadaan lahan dan barang, perizinan, serta pengambilan keputusan di lapangan masih menggunakan aturan migas konvensional. Sebagai contoh, pada awalnya direncanakan ada lebih dari 1.000 sumur CBM dibor pada 2014 setelah tujuh tahun kontrak eksplorasi hulu CBM itu dimulai di 2007. Kenyataannya, tidak lebih dari 100 sumur yang bisa dibor sampai akhir tahun 2014. Itu semua sebagian besar disebabkan oleh aturan tata kelola yang kaku. Apakah kita mau mengulangi kegagalan CBM itu pada migas serpih?
Salah satu jalan keluar yang diusulkan untuk bisa merealisasi potensi migas serpih Indonesia adalah memberlakukan status riset pada kontrak-kontrak eksplorasi migas non-konvensional yang sekarang sedang berlangsung atau akan diusulkan oleh industri. Status ini akan dicabut ketika kontrak tersebut berhasil menemukan migas serpih komersial yang kemudian diproduksi sampai biaya riset plus bunga banknya yang wajar terbayar dan ada sejumlah royalti yang dibayarkan ke pemerintah (misalnya royalti 3,5 persen seperti pertambangan mineral).
Setelah sekian waktu produksi komersial untuk membayar biaya riset dan sebagainya, barulah kemudian diberlakukan kontrak bagi-hasil seperti umumnya kontrak kerja sama minyak dan gas konvensional. Tentu saja perundingan kontraknya menggunakan data dari riset dan percobaan produksi, bukan perhitungan kira-kira dari awang-awang seperti yang terjadi sekarang.
Dengan skenario di atas, diperkirakan paling lama 15 tahun lagi Indonesia sudah dapat memproduksi migas dari serpih secara komersial, tentu saja kalau konstelasi harga migas dunia juga memungkinkan.
Gas Biogenik Sang Penyelamat
Harga minyak mentah dunia yang melorot tajam hingga di bawah 30 dollar AS/barrel, telah menimbulkan keresahan kalangan industri hulu migas Indonesia. Padahal, sebagai net importir minyak seharusnya kita lebih diuntungkan oleh situasi itu.
Dirilis pertama di Harian Kompas.
Selasa, 17 Mei 2016: Halaman 7.
Harga minyak mentah dunia yang melorot tajam hingga di bawah 30 dollar AS/barrel, telah menimbulkan keresahan kalangan industri hulu migas Indonesia. Padahal, sebagai net importir minyak seharusnya kita lebih diuntungkan oleh situasi itu.
Beberapa lapangan minyak di daerah "remote" dengan produksi ratusan barrel per hari telah berhenti beroperasi sejak pertengahan tahun lalu. Situasi tersebut membuat kita leluasa memangkas subsidi BBM 2015 dan mengalihkannya kepada kegiatan pembangunan lain.
Di saat yang sama, sebenarnya harga gas alam turut terjun bebas. Selain harga gas alam cair (liquefied natural gas, LNG) internasional sering dilekatkan dengan harga minyak—ketika harga minyak turun harga gas juga turun—dinamika geopolitik dunia juga membuat harga gas internasional semakin murah, bahkan menyentuh 2-3 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Bandingkan dengan biaya operasi produksi gas di Indonesia antara 4-5 dollar AS per MMBTU. Agar bisnis tetap jalan, harga gas di Indonesia harus pada kisaran 6-8 dollar AS per MMBTU, jauh di atas harga gas internasional.
Geopolitik dan gas murah
Dinamika geopolitik dunia membuat negara-negara produsen gas berlomba-lomba membanjiri pasaran dengan gas murah. Salah satu pemicu teknis rendahnya harga gas adalah efisiensi eksplorasi dan produksi negara-negara raksasa penghasil gas: Amerika dengan terobosan teknologi shale gas-nya, Rusia dengan ekspansi pipa gas ke Eropa, maupun Qatar dengan cadangan terbukti di North Field yang mencapai 900 TCFG.
Kongres Amerika Serikat pada pertengahan Desember 2015 mencabut larangan ekspor migas yang telah berlaku 40 tahun karena kebutuhan industri dalam negeri di AS sudah tercukupi berkat shale oil dan shale gas booming.
Lapangan gas raksasa Gorgon Project, Western Australia, yang lokasinya cukup dekat dengan Indonesia, juga sudah siap berproduksi dalam waktu dekat. Papua Niugini—negara tetangga kita—juga berlomba memonetisasi temuan-temuan lapangan gas raksasanya di area jalur pegunungan tengah. Bahkan, mereka tak segan menarik perusahaan swasta nasional Indonesia, Medco Energi, berpartisipasi dalam pengoperasian kontrak blok gas di area tersebut.
Dinamika dan perkembangan di atas pasti akan berimbas ke industri hulu gas Indonesia akibat persaingan harga yang ketat.
Melimpahnya produksi gas dunia semakin berdampak bagi kelangsungan industri migas kita yang dapat memicu krisis, belum lagi tawaran harga murah dari negara-negara nonpenghasil.
Imbas itu sudah sangat terasa, misalnya, pada BP Berau Limited yang hingga kini masih mencari pembeli produksi LNG dari Train-3 Kilang Tangguh lantaran belum terkontrak seluruhnya. Tahun 2015 sebanyak 46 kargo terpaksa dijual dengan harga spot rendah dan pada 2016 ada 78kargo belum tentu terserap.
Padahal, faktanya industri dalam negeri sangat membutuhkan pasokan gas. Namun, harga gas dalam negeri yang mahal membuat industri berpikir ulang membeli gas-gas domestik ini.
Pada seminar percepatan infrastruktur gas di Kepulauan Riau akhir 2015, BUMD Migas di Batam melaporkan bahwa Singapura sudah siap memasok gas ke Batam dengan harga murah, 4 dollar AS per MMBTU, sementara harga gas pipa dalam negeri 6-9 dollar AS per MMBTU. Sungguh suatu ironi karena negara mungil yang tak memiliki satu pun sumur minyak dan gas, berani memasok gas murah, sementara mayoritas gas di Kepulauan Riau justru diekspor langsung ke Singapura.
Mengapa Singapura dapat menjual gas murah? Karena Singapura memiliki proses bisnis yang efisien dan infrastruktur gas yang mumpuni. Mereka juga menerapkan prinsip agregasi—subsidi silang—dalam bisnis menengah-hilir gasnya. Sedangkan Indonesia, meskipun mempunyai sumber daya gas yang melimpah, tidak didukung tersedianya infrastruktur dan proses bisnis yang praktis dan efisien. Bahkan masih banyak pedagang yang memanfaatkan penjualan gas untuk keuntungan sepihak sehingga harga di konsumen amat tinggi.
Jepang juga akan melakukan hal serupa. Berdasarkan informasi Atase Perindustrian Indonesia di Tokyo, salah satu perusahaan gas Jepang bersiap menjual gas ke Indonesia untuk pembangkit listrik. Perusahaan tersebut kini sedang berupaya berinvestasi di kawasan industri di Pulau Jawa dengan target utama Bekasi dan seterusnya Jawa Timur, terutama yang banyak perusahaan Jepang-nya.
Gas yang akan didatangkan dari Jepang tersebut merupakan kelebihan dari pasokan gas yang mereka beli, yang sebagian juga mereka dapatkan dari Indonesia. Jika hal itu benar, semakin tampak betapa tidak efisiennya industri hulu-hilir gas kita.
Langkah antisipasi
Lalu langkah apa yang harus diambil pemerintah? Setidaknya ada dua solusi jangka pendek yang dapat diusulkan. Pertama, mengubah terma fiskal dari kontraktor kontrak kerja sama, di mana bagian pemerintah bisa dikurangi dari 70:30 atau 60:40 menjadi 60:40 atau 51:49. Dengan demikian, harga gas di kepala sumur lebih murah. Dalam hal ini industri gas hulu masih akan terus berjalan karena mereka dapat menutupi biaya operasi sekaligus mendapatkan keuntungan. Pada saat yang sama pendapatan pemerintah langsung dari gas akan "terjadi" atau "terealisasikan" dibandingkan tidak mengambil langkah apa pun, sehingga potensi produksi juga tidak laku terjual karena harga yang tinggi yang tidak bersaing.
Argumen yang mengatakan bahwa kita merugi karena seharusnya kita mendapatkan split bagi hasil lebih besar merupakan argumen yang agak keliru, karena jika porsi bagi hasil tetap seperti sekarang ini, pendapatan dari gas tidak akan ada karena gas kita tidak laku bahkan tidak bisa diproduksi. Kecuali memang sengaja dibiarkan saja harga gas di kepala sumur tetap tinggi dan tidak bersaing sehingga produksi berhenti karena tidak kuat membiayai operasi. Kemudian cadangan yang ada disimpan. Kelak jika harga gas dunia kembali naik produksi diaktifkan lagi, atau malahan gas disimpan terus sebagai cadangan penyangga nasional atau cadangan strategis.
Namun, implikasi legal dan finansial dari skenario berhenti produksi terkait kontraktor migas yang mengoperasikan blok migas harus dipertimbangkan, terutama dalam menghadapi tuntutan hukum, ganti rugi atau bahkan pembelian entitlement cadangan gas dengan uang negara sebagai hak kontraktor.
Potensi gas biogenik
Solusi kedua adalah keharusan segera memanfaatkan potensi gas biogenik yang sangat melimpah di Indonesia. Tiga puluh persen dari cadangan gas dunia adalah gas biogenik dan baru 4 trillion cubic feet (TCF) gas biogenik yang ditemukan dan sebagian diproduksi di Indonesia. Dalam hal ini baru 3,8 persen dari total 104 TCF gas cadangan Indonesia yang ditemukan sebagai biogenik. Masih puluhan TCF gas lagi yang seharusnya bisa ditemukan di Indonesia jika menggunakan analogi persentase statistik gas biogenik. Selain itu, gas biogenik termasuk kategori gas dangkal (1 kilometer kedalaman) sehingga biaya pengeboran pun lebih murah dibandingkan gas-gas termogenik yang kedalamannya bisa 3-4 km, mayoritas penghasil gas Indonesia.
Karbon organik
Gas alam berasal dari karbon organik yang bertransformasi menjadi hidrokarbon secara termogenik dan biogenik. Gas termogenik dihasilkan dari pematangan karbon organik dalam waktu jutaan tahun di dalam bumi yang panas (di atas 80 derajat celsius) menjadi kerogen kemudian menjadi minyak dan gas. Gas biogenik dihasilkan dari reaksi fermentasi bakteri yang mengonsumsi karbon organik.
Ada tiga jenis kategori gas biogenik. Yang pertama adalah gas biogenik permukaan yang sering disebut gas rawa karena banyak dijumpai di rawa-rawa, atau disebut juga gas sampah: seperti pelepasan gas sampah di Leuwigajah, Bandung, pada 2005 yang mengakibatkan longsoran dan 157 korban jiwa. Gas biogenik permukaan ini tidak ekonomis untuk diusahakan dalam skala industri migas hulu.
Kedua adalah gas biogenik di bawah permukaan bumi, tetapi letaknya sangat dangkal (kedalaman 0-500 meter), tersebar dalam kantong-kantong batuan reservoir tak terkonsolidasi dari endapan sungai, pantai, dan delta modern. Volume jumlah dan penyebaran yang terbatas juga biasanya tidak ekonomis untuk diusahakan dalam skala industri.
Jenis gas biogenik ketiga adalah yang terdapat di bawah permukaan dangkal (+/-1 km), terperangkap di dalam batuan reservoir terkonsolidasi berumur Tersier sampai Pleistosen Kuarter dalam jumlah yang cukup besar sehingga ekonomis diproduksi dalam skala industri.
Saat ini pemerintah lewat Komite Eksplorasi Nasional sedang berkonsentrasi mengidentifikasi lokasi-lokasi keterdapatan gas biogenik jenis ketiga tersebut pada 10 cekungan migas: Pantai barat Sumatera, Aceh, Sumatera Utara, Riau dan sekitarnya, Sumatera Selatan, Jawa Barat bagian Utara, Jawa Timur, laut utara Bali; Kutai, Kalimantan Timur; Tarakan, Kalimantan Utara, Enrekang–Bone, dan Papua.
Duapuluh tenaga ahli geologi dan geofisika lulusan magister dalam dan luar negeri sedang direkrut untuk itu. Dalam 3-4 bulan ke depan mereka akan menginterpretasikan ulang data yang sudah dimiliki pemerintah yang mungkin terlewatkan identifikasi potensi gas biogenik dangkalnya. Diharapkan, di kuartal ke-4 tahun 2016 anak-anak muda tenaga ahli sukarela itu sudah bisa menunjukkan di mana saja potensi gas biogenik Indonesia dan berapa jumlahnya untuk bisa dieksplorasi dan dieksploitasi dalam waktu yang tidak terlalu lama (2-3 tahun kedepan). Dengan demikian, ini dapat menjadi satu solusi dalam rangka menyelamatkan industri hulu gas Indonesia, di tengah kompetisi harga gas yang sangat ketat. Semoga.
Blok Migas Habis Kontrak dan BUMD
Mengantisipasi berakhirnya kontrak-kontrak blok migas produksi secara berurutan dalam jumlah besar, pemerintah sigap menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15/2015 pada 11 Mei 2015. Totalnya ada kontrak 28 blok yang akan berakhir dalam kurun 2015-2021.
Dirilis pertama di Koran Tempo.
Kamis, 25 Februari 2016: Halaman 11.
Mengantisipasi berakhirnya kontrak-kontrak blok migas produksi secara berurutan dalam jumlah besar, pemerintah sigap menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 15/2015 pada 11 Mei 2015. Totalnya ada kontrak 28 blok yang akan berakhir dalam kurun 2015-2021.
Aturan itu pula yang konon mulai diterapkan dalam negosiasi-negosiasi terkait dengan perpanjangan kontrak Blok Pertamina Hulu Energi Offshore North West Jawa (PHE-ONWJ) yang kontraknya akan berakhir pada 19 Januari 2017. Aturan ini juga dipakai dalam alih kelola Blok Mahakam dari Total ke Pertamina. Blok Mahakam habis kontraknya pada 31 Desember 2017.
Beberapa klausul dalam peraturan menteri tersebut yang patut diacungi jempol adalah, (1) pengutamaan Pertamina sebagai pengambil alih kelola, (2) penjaminan hak badan usaha milik daerah (BUMD) untuk ikut dalam participating interest (PI) pengelolaan, dan (3) adanya kewajiban masa transisi. Kontraktor wajib membantu calon operator selanjutnya dalam masa transisi sebelum kontrak berakhir supaya alih kelola berjalan mulus.
Terkait dengan keterlibatan BUMD dalam participating interest pengelolaan blok migas sebenarnya sudah ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004. Tapi peraturan ini berlaku khusus untuk blok baru yang berhasil menemukan cadangan baru dan sudah disetujui plan of development (POD)-nya. Pada blok-blok tersebut—meski risiko eksplorasi relatif sudah kecil atau bahkan tidak ada kalau tidak mengebor sumur eksplorasi lagi—risiko pengembangan lapangan masih ada. Risiko itulah yang harus dikelola oleh operator dan para partner participating interest-nya, termasuk BUMD. Itu kalau memang BUMD masuk di blok-blok seperti itu.
Paling tidak, ada dua poin yang perlu diteliti pada peraturan tadi yang berkaitan dengan BUMD dan prinsip perbedaan antara blok-blok POD baru dan blok-blok habis kontrak. Pertama, definisi BUMD, dan kedua, besaran participating interest yang diperbolehkan untuk diambil oleh BUMD.
Definisi pada Pasal 1 ayat 6 menyebutkan BUMD adalah badan usaha yang seluruh kepemilikan sahamnya atau 100 persen dimiliki oleh pemerintah daerah. Definisi BUMD penerima interest tersebut menyulitkan BUMD memenuhi kewajiban penyediaan dana sebagai pemilik interest migas, karena pada umumnya penyertaan modal pemda dalam BUMD besarannya tidak terlalu signifikan dibanding kebutuhan pendanaan dari suatu operasi perminyakan. Ini terjadi bukan saja untuk blok-blok POD baru, tapi juga untuk blok-blok produksi yang sudah habis kontrak.
Alternatif sumber pendanaan lainnya adalah meminjam, tapi untuk pinjaman pun dibutuhkan penjaminan aset cukup besar yang tidak mungkin BUMD penuhi. Cara yang paling mungkin adalah menggandeng mitra pendana dalam bentuk joint venture. Masalahnya, opsi ini dilarang dalam peraturan itu.
Penguncian definisi BUMD pada peraturan menteri itu lebih ketat daripada definisi BUMD yang ditetapkan Peraturan Pemerintah 35/2004 yang membolehkan BUMD bekerja sama dengan pihak swasta asalkan mayoritas saham masih di tangan BUMD. Patut diduga pendefinisian ini berkaitan dengan sinyalemen beberapa pejabat negara, dan bahkan akhir-akhir ini KPK, yang tidak menginginkan terjadi lagi kasus BUMD dirugikan ketika bekerja sama dengan swasta.
Yang sering dijadikan contoh adalah kasus divestasi saham PT Newmont kepada BUMD Daerah Maju Bersaing yang seolah-olah saham BUMD digadaikan oleh investor untuk mencari pinjaman. Juga penyebutan “kasus” BUMD Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam pengelolaan Blok Cepu yang seolah-olah sampai beberapa tahun di awal tidak ada serupiah pun dana mengalir ke APBD dari dividen PI tersebut.
Apa yang terjadi pada kasus-kasus di atas tentu tidak terlepas dari aspek legal bisnis perjanjian telah disepakati antara BUMD dan swasta. Jika hal tersebut dirasa merugikan BUMD, persoalan utamanya adalah lemahnya BUMD dalam proses dealing dengan mitranya. Apa yang berkembang di luar masyarakat sungguh luar biasa: terjadi persepsi bahwa seluruh BUMD merupakan BUMD yang tidak profesional dan cenderung “dikerjain” oleh mitranya. Bahkan mitra BUMD dianggap sebagai “pemburu rente” semata.
Akan lebih baik jika definisi BUMD pada peraturan menteri itu diubah menjadi seperti yang diamanatkan oleh UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yaitu badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah.
Lalu upaya apa yang bisa dilakukan agar BUMD tidak dikerjain mitranya? Upaya lebih baik yang bisa dilakukan adalah pemerintah bisa mendorong BUMN atau konsultan nasional untuk menawarkan bantuan jasa konsultasi atau pendampingan kepada BUMD agar dapat memenuhi kewajibannya sebagai pemilik interest blok migas, terutama dalam hal pendanaan. Juga jasa pendampingan dalam bernegosiasi dengan calon mitra BUMD, baik BUMN maupun swasta.
Selain itu, pemerintah bisa mendorong BUMN untuk menjadi salah satu calon alternatif mitra BUMD. Hal lain yang perlu ditilik dalam Peraturan Menteri 15/2015 adalah mengenai porsi BUMD, yang dibatasi hanya maksimal 10 persen. ADPM telah mengusulkan kepada pemerintah bahwa porsi BUMD pada blok migas yang habis kontraknya adalah minimal 15 persen.
Blok migas yang habis masa kontraknya merupakan blok migas “sisa” dari kontraktor yang telah mengeksplorasi dan mengeksploitasi selama 30 tahun, bahkan 50 tahun untuk blok yang telah diperpanjang kontraknya. Wajar jika daerah mendapatkan porsi yang besar, karena risiko sudah semakin mengecil dan sudah terlalu lama pihak “lain” menikmati bisnis komoditas energi yang notabene lokasinya di daerah tersebut. Sudah saatnya daerah diberikan privilege lebih besar.