Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Geologi Calon Ibu Kota Negara di Sepaku, Kalimantan Timur: Air Tanah & Geohazardnya

Tanggal 23 Desember yang lalu, begitu menonton video yang menggambarkan tentang berbagai rencana kondisi Ibu Kota Negara baru kita nantinya, pertama kali yang terlontar dari benak saya: Ati-ati…. Susah air di calon lokasi ibu kota Negara!

Dirilis pertama di Facebook pribadi.


Tanggal 23 Desember yang lalu, begitu menonton video yang menggambarkan tentang berbagai rencana kondisi Ibu Kota Negara baru kita nantinya, pertama kali yang terlontar dari benak saya: Ati-ati…. Susah air di calon lokasi ibu kota Negara!

Selain itu, ada beberapa aspek geoteknik dan kebencanaan yang musti lebih diperdalam informasi dan data dasarnya. Hal ini diperlukan supaya perencanaannya tidak sembarangan dan bisa lebih menyeluruh, termasuk mempertimbangkan aspek-aspek geologi bawah permukaan, baik yang dangkal maupun yang dalam; bukan hanya sekadar menggambarkan desain yang indah-indah di atas peta topografi, morfologi dan tutupan muka bumi belaka.

Dengan demikian, nantinya tidak akan ada penyesalan atas membengkaknya biaya operasional kehidupan sehari-hari bernegara di sana karena harus terus menerus menangulangi “bencana” yang diakibatkan kondisi lokal geologi yang tidak diantispasi/dimitigasi sebelumnya, karena kurang-pahamnya para perencana (dan penyelenggara negara) atas kondisi bawah permukaan tersebut.

Untuk itu, saya coba bongkar file-file penelitian lama saya, dan akhirnya dengan dibantu Purnama Suandhi dan Iban Getarjati, saya coba rangkai beberapa fakta dan analisa.

Dimulai dengan Gambar 1 yang memperlihatkan Peta DEM, dioverlay dengan kawasan IKN yang ada tiga kriteria. Kemudian langsung kita menukik ke masalah utamanya: air tanah.

Gambar 1-.jpg

Gambar 1

Peta DEM dioverlay dengan kawasan IKN yang punya 3 kriteria: Kawasan Inti Pusat Pemeritahan 5.644 hektar, Kawasan IKN 42.000 hektar, dan Kawasan Perluasan IKN 180.965 hektar.

Lempung beratus-ratus meter di bawah tanah, airnya hanya ada di lensa-lensa pasir yang dalam.

Untuk urusan air tanah ini, siapapun bisa bertanya ke mereka yang pernah berkegiatan di area Sepaku dan sekitarnya, betapa susahnya mendapatkan air tanah baku di daerah tersebut. Hal ini disebabkan oleh kondisi hidrogeologi yang pada umumnya terkait dengan kondisi permukaan daerah tersebut yang disusun oleh batuan sedimen lempung endapan laut berumur dari 23-33 juta tahun yang lalu (N6, N5, N4 – Zonasi Blow: Miosen Awal). Peta geologi pemerintah menyebutkan lempung itu sebagai Formasi Pamaluan. Di dalam lempung tidak mungkin didapatkan air tanah, kecuali lempung yang retak-retak; itupun sangat minim. Air tanah kemungkinan didapatkan di lapisan-lapisan pasir dan atau batu-gamping yang berongga. Nah, di Formasi Pamaluan itu pasir hanya terdapat berupa lensa-lensa tebal max 10 meter luas 5-10 km2, dan jarang terhubung satu dengan lainnya dr permukaan ke bawah permukaan.

Korelasi sumur-sumur bor migas TENGIN-BELONAK-TUYU (Gambar 2) menggambarkan betapa minimnya keberadaan batupasir di bawah permukaan bumi di Formasi Pamaluan (N6-N4) sampai di Formasi Tuyu (N3-P16) itu. Kawasan inti Ibu Kota Negara kita di daerah Sepaku, jelas-jelas tidak punya daya dukung mencukupi untuk air tanahnya.

Gambar 2-.jpg

Gambar 2

Korelasi sumur-sumur Tengin-Belonak-Tuyu memperlihatkan dominasi lapisan lempung di permukaan dan bawah permukaan daerah Ibu Kota Negara yang baru; implikasinya: potensi air tanahnya: sangat minimal.

Bagaimana dengan potensi air tanah di kawasan penyangganya? Sama saja! Mari kita tengok agak sedikit keluar dari daerah Sepaku, yaitu daerah yang nantinya masih termasuk kawasan IKN yang 42rb hektar itu. Saat ini saja daya dukung air tanah (regionalnya) tidak bisa/tidak mampu memenuhi kebutuhan penduduk Balikpapan dan Kabupaten Penajam Pasir Utara. PDAM harus bikin bendungan-bendungan dan embung yang kondisi recharge airnya juga tergantung musim; kalau kemarau seringkali (insyaAllah) tidak mencukupi.

Sejak awal 80an (pertama kali saya tinggal dan bekerja di area Balikpapan – Penajam – Sepaku – Samboja) sampai menjelang 2020 (di mana meskipun sudah lama tidak tinggal di sana lagi tapi saya masih sering mondar-mandir riset dan ngajar di daerah tersebut bertahun-tahun) kecukupan air baku untuk kehidupan sehari-hari ini masih jadi masalah. Truk tangki jualan air hilir mudik di kota Balikpapan merupakan pemandangan yang biasa kita jumpai sampai hari ini.

Perlu rekayasa khusus penyediaan air baku (baik dari rekayasa air permukaan, maupun dari air bawah tanah DARI DAERAH LAIN YANG BERDEKATAN) untuk bisa meningkatkan daya dukung lingkungan bagi jumlah penduduk dan kegiatan yang akan meningkat 10-15 kali lipat di calon ibu kota negara ini.


Peta geologi (dan hidrogeologi serta geologi teknik) pemerintah perlu dimutakhirkan dan lebih didetailkan.

Penelitian doktoral saya dulu memakai data geologi lapangan 1:10.000, data lubang tembak seismik dan data seismiknya sendiri, dan juga data sumur pemboran dalam yang 70-80% akuisisinya di daerah kawasan calon ibu kota negara, yang luas arealnya konon 40.000 hektare itu (Gambar 3).

Gambar 3-.jpg

Gambar 3

Peta dasar data seismik dan sumur di area sekitar IKN yang juga memperlihatkan blok-blok migas beserta kerapatan data sumurnya. Pada gilirannya nanti, kita perlu juga untuk menampalkan data rembesan migas dan prospek-prospek migas di daerah sekitar IKN untuk kepentingan mitigasi hazardnya.

Saya memanfaatkan akuisisi data geologi dengan peta dasar skala 1:10.000 yang dilaksanakan oleh perusahaan minyak VICO Indonesia (sekarang jadi PHSS), yang proyek pemetaannya dilakukan bertahap, bersamaan dengan proyek akuisisi data seismik 2D Regional dan 3D lokal dari tahun 1991 sampai dengan 1998.

Sebagai perbandingan, peta geologi yang dibuat oleh pemerintah (lembar Samarinda dan lembar Balikpapan), keduanya berskala 1:250.000 dan pembuatannya dilakukan dengan menggunakan peta dasar 1:25.000. Dari segi kerincian, tentunya sangat berbeda hasilnya, seperti terlihat di Gambar 4.

Gambar 4-.jpg

Gambar 4

Perbandingan antara peta geologi resmi pemerintah (1994-1995) dengan peta hasil penelitian (2004). Terlihat peta hasil penelitian menampilkan data struktur (patahan, antiklin) dan fasies dan umur yang lebih detail.


Khusus untuk kawasan inti pusat pemerintahan yang luasnya 5644 hektar, data geologi resmi pemerintah tidak terlalu banyak tersedia karena “tertutup”nya daerah itu sejak tahun 1980an,eksklusif dipakai untuk kegiatan HPH. Meskipun demikian, saya berhasil menggabungkan data seismik yang jarang dengan pengamatan langsung di lapangan (sampai tahun 2012) yang akhirnya menghasilkan resume Blok 3 Dimensi seperti terlihat di Gambar 5 dan 6.

Gambar 5-.jpg

Gambar 5

Diagram 3 Dimensi dari Kawasan Inti Pusat Pemerintahan ditampilkan dengan menggunakan data DEM (perhatikan kelurusan-kelurusan patahan dengan batas-batas morfologi).

Gambar 6-.jpg

Gambar 6

Diagram 3 Dimensi Kawasan Inti Pusat Pemerintahan ditampilkan dengan menggunakan data peta fasies, form line kontur struktur, dan patahan-patahan. (Perhatikan pada umumnya lokasi IKN didominasi oleh endapan laut dalam dan patahan-patahan yang merupakan patahan anjak kaki/toe thrust fault).


Di diagram 3 dimensi tersebut terlihat bahwa daerah kawasan inti pusat pemerintahan dipotong-potong oleh patahan-patahan naik berarah Timur Laut - Barat Daya yang dalam analisis tektono-sedimentasinya terbentuk di awal pengendapannya sebagai patahan ANJAK-KAKI (toe-thrust fault) di daerah lereng paparan menuju laut dalam. Patahan ini kemudian mengalami Plio-Pleistocene reactivation lima juta tahun yang lalu, di mana dia mula terangkat ke permukaan bumi sampai sekarang. Patahan-patahan ini adalah lokasi-lokasi rawan longsor yang harus dipertimbangkan daya dukungnya terhadap fondasi apabila hendak membangun bangunan, apalagi bertingkat, di daerah tersebut.

Lebih mahal?

Dengan adanya batasan-batasan (constraint) geologi yang sebagian dipaparkan di atas, apakah terus jadi lebih mahal lagi biaya untuk membangun IKN baru ini? Mungkin saja.

Yang jelas: kondisi yang digambarkan arsitek/perencana ibu kota baru dengan limpahan air di mana-mana dan hutan yang asri masih asli dan sungai yang mengalir permanen itu secara alamiahnya tidak ada di lokasi calon ibu kota negara di Kabupaten PPU dan KuKar itu. Sungainya yang besar-besar pada umunya sungai pasang surut, bukan sungai permanen. Beberapa sungai kecil di bagian barat kawasan inti pusat pemerintahan mungkin masih berupa sungai “remaja” sampai “dewasa” dan masih tawar airnya, tetapi apakah cukup dibendung untuk kebutuhan 1,5 - 2 juta jiwa penduduk ibu kota negara nantinya, musti benar-benar dihitung mass-balancenya.

Tidak ada danau alamiah dan muka air tanahnya dalam banget atau malah tidak ada sama sekali air tanahnya seperti disebutkan di paragraf awal tulisan ini. Air tanah yang cukup melimpah dijumpai di sepanjang sabuk pinggir pantai dari Bontang - Barat Muara Badak - Lampake - Kutai Lama - Handil - Timur Mutiara – Samboja. Tetapi di sebelah barat sabuk itu (yang notabene adalah kawasan IKN) air tanahnya susah, dalamnya sampai ratusan meter, kuantitas dan kuaitasnya terbatas.

Hutannya pun sekarang gundul dan kalaupun ada sudah jadi HTI (bukan hutan primer), dan banyak tanah longsor karena jenis batuannya endapan laut dalam yang mudah mengembang (Gambar 7 dan 8) dan patahan-patahan geologi saling menyilang.

Gambar 7-.jpg

Gambar 7

Contoh foto lapangan singkapan lempung laut dalam di utara daerah ibu kota negara.

Gambar 8-.jpg

Gambar 8

Foto singkapan batupasir endapan laut dalam yang sangat terbatas pelamparannya dan mempunyai kemiringan yang tajam di sekitar daerah patahan. Rawan longsor.


Selain itu banyak juga terdapat lapisan batu bara dangkal yang mudah sekali terbakar, terutama di kawasan perluasan ibu kota di sepanjang area Bukit Suharto. Hal ini akan jadi faktor penghambat yang harus diatasi dengan rekayasa geoteknik tertentu yang kalau tidak serius perencanaan dan implementasinya bisa bikin runyam kondisi kebencanaannya. Meskipun lokasinya di kawasan perluasan, tetapi efek kebakarannya sudah pasti akan mempengaruhi gerak langkah kehidupan sehari-hari di kawasan pusat pemerintahan ibu kota yang hanya berjarak 10-20 km dari lokasi terdekat batu bara terbakar tersebut. Pengurangan resiko dengan dari awal mematikan potensi batu bara terbakar ini juga akan jadi bagian “biaya” membangun IKN yang tidak murah.

Sebenarnya, kondisi bumi yang bagaimanapun kompleksnya, kalau kita benar-benar memahaminya insyaAllah bisa direkayasa manusia untuk kepentingan keselamatan dan kenyamanan hidupnya. Masalahnya, biayanya berapa? Dan terlebih lagi, seringkali informasi dan pemahaman tentang kondisi bawah permukaan buminya sendiri tidak dimiliki oleh para perencana permukaan. Kemungkinan besar para perencana tata ruang serba indah masa depan yang menang-menang sayembara itu juga belum memasukkan pertimbangan daya dukung dan geohazard-nya.

Secepatnya.

Lembaga-lembaga pemerintah yang seharusnya memiliki data dan informasi itu mustinya lantang menyuarakan pentingnya pengayaan dan pendalaman informasi data kebumiannya, karena produk-produk yang mereka ajukan sekarang ini untuk dijadikan dasar perencanaan hanya produk-produk peta/informasi yang normatif dan “dangkal” dan terlalu regional, paling mutakhir data geologinya 1995 (peta geologi terakhir yang dibikin disana), dan skalanya 250.000

Bappenas musti terus berhati-hati dan tidak gegabah dengan proses lanjut perencanaan ini, musti sedikit “ngalah” dengan pemutakhiran data dasar geologinya dulu baru lanjut dengan perencanaan disain dan sebagainya. Tapi harus dilakukan kilat, cepat, dan efisien kalau mau diselesaikan perencanaannya sepanjang periode kedua Jokowi ini.

Terakhir malahan saya baca informasi bahwa perencanaan detail akan dilakukan segera di 2020, dan diharapkan selesai pertengahan hingga akhir 2020. Mohon jangan grusa-grusu, ingat jalan-jalan tol yang kebanjiran, ingat juga dulu Tol Cipularang yang jembatan-jembatan besarnya musti direparasi karena patahan-patahan dan longsoran-longsoran yang baru ketahuan setelah “bencana” terjadi. Padahal kalau dari awal informasi geologi bawah permukaan yang nggeunah (proper) juga dijadikan rujukan desain dan konstruksi, mestinya hal-hal tersebut bisa dihindari.

Cukup sudah grusa-grusunya. Mari kita lebih serius bekerja untuk kepentingan jangka panjang. Atau jangan-jangan ini hanya untuk kepentingan jangka pendek saja? Mudah-mudahan bukan begitu adanya.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Menggali Kembali Geologi Cekungan Kutai

Selang-seling pasir halus dengan lempung, yang dalam satuan ketebalan 30 sentimeter dapat mempunyai 20 – 30 perselingan lapisan ini, dibentuk oleh proses transportasi dan pengendapan sedimen yang berulang – periodik – bergantian antara traksi dan suspensi.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

 
Menggali Kembali.jpg
 

Selang-seling pasir halus dengan lempung, yang dalam satuan ketebalan 30 sentimeter dapat mempunyai 20 – 30 perselingan lapisan ini, dibentuk oleh proses transportasi dan pengendapan sedimen yang berulang – periodik – bergantian antara traksi dan suspensi.

Traksinya ditunjukkan dengan adanya small scale ripple bedform di pasir halus dan suspensinya adalah lempung yang menyelimuti. Tebal keseluruhan singkapan di Jalan Negara Sepaku ini mencapai sekitar 10 meter yang terdiri dari perulangan satuan perselingan pasir lempung tersebut dengan beberapa variasi ketebalan pasir dari 2 – 3 sentimeter sampai 20 – 15 sentimeter.

Ada dua jenis ripple bedform utama di singkapan ini, yaitu: ASSYMETRIC CURRENT RIPPLES, dengan batas bawah mendatar dan batas atas bergelombang asimetris antara stoss (permukaan yang landai) dengan lee (permukaan yang curam), dan HUMMOCK &SWALE atau SYMETRICAL WAVE RIPPLES yang bagian bawah dan atas dari beddingnya cembung – cekung bergantian secara lateral.

Ripple jenis pertama diperkirakan diakibatkan oleh tidal current, ripple jenis kedua diakibatkan hasil dari kerja ombak/gelombang.

Adanya fosil Outer Shelf (OS) – Middle Shelf (MS) di lempung-lempungnya (meskipun sangat jarang) mengindikasikan LINGKUNGAN LAUT. Bisa laut dalam (beyond slope – break), di mana fosil-fosil OS – MS itu terbawa longsoran masuk ke laut dalam, bisa pula laut dangkal/paparan/shelf yang dipengaruhi oleh gelombang pasang surut (tidal) dan gelombang badai (storm).

Adanya intra-formational fault di singkapan ini mengindikasikan lingkungan yang tidak stabil secara tektonik (i.e.: patahan aktif waktu terjadi pengendapan), maupun karena substratnya berada pada posisi “lereng” yang cukup curam, menghasilkan pematahan dalam formasi di waktu atau sesaat setelah pengendapan.

Ada juga hipotesis tentang STORM INDUCED TURBIDITE dibahas di singkapan ini untuk menjelaskan fenomena yang ada.

Yang penting lihat dengan mata kepala sendiri batunya, amati, sentuh, gambarkan. Jangan cuma bengong berdiri dari jauh kepanasan!!!

 
 
Sabtu malam: kuliah pengantar - Mahakam Delta is not the only one; Litho vs. Chrono stratigraphy for deltaic deposits, Forgotten marine depositional environments in Mahakam Delta, Fluvial slope - Prodelta slope - Shelfal slope gravity flow deposits,…

Sabtu malam: kuliah pengantar - Mahakam Delta is not the only one;
Litho vs. Chrono stratigraphy for deltaic deposits,
Forgotten marine depositional environments in Mahakam Delta,
Fluvial slope - Prodelta slope - Shelfal slope gravity flow deposits,
Prodelta vs. Shelf Edge Carbonates, etc.

 
Geographical - Depostional Setting Characterization of Present Day Mahakam Delta and its Surroundings - Original : Epo Prasetya Kusumah ; Review and Discussion by ADB. Note: needs to follow this up with ten more years of continuous researc…

Geographical - Depostional Setting Characterization of Present Day Mahakam Delta and its Surroundings - Original : Epo Prasetya Kusumah ; Review and Discussion by ADB.
Note: needs to follow this up with ten more years of continuous research by UP and RTC.

 
Ada empat jenis proses/depositional setting yang berhubungan dengan Stripping Mudstone: 1. Tidal (Flat), 2. Lacustrine Deposti, 3. Flood (Plain), 4. Turbidite - Gravity Flow. Perhatikan dominasi produk traksi versus produk gravity flow dalam keselur…

Ada empat jenis proses/depositional setting yang berhubungan dengan Stripping Mudstone: 1. Tidal (Flat), 2. Lacustrine Deposti, 3. Flood (Plain), 4. Turbidite - Gravity Flow.
Perhatikan dominasi produk traksi versus produk gravity flow dalam keseluruhan struktur sedimen yang muncul di perselingan pasir-lempung tersebut untuk menentukan asosiasi proses/depositional yang paling logis untuk satuan sedimen tersebut.

 
Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Selamat Datang Pemerintahan Jokowi Babak Kedua: Energi(?!)

Selamat datang Pemerintahan Jokowi babak kedua yang dimulai hari ini.

Mudah-mudahan Menteri dan Wakil Menteri Mineral dan Energi bukan model yang seperti kemarin-kemarin itu lagi.

Tanpa mengurangi hormat dan salut atas hasil kerja selama ini.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Selamat datang Pemerintahan Jokowi babak kedua yang dimulai hari ini.

Mudah-mudahan Menteri dan Wakil Menteri Mineral dan Energi bukan model yang seperti kemarin-kemarin itu lagi.

Tanpa mengurangi hormat dan salut atas hasil kerja selama ini.
Tapi model improvisasi tidak tertib regulasi, nabrak-nabrak undang-undang, dan rencana jangka panjang (demi populisme energi sesaat yang rapuh —meskipun gemerlap) sudah seharusnya diakhiri!

Capek lho, kita dipameri.
Hasil-hasil kerja yang bukan tupoksi utama.
Yang sebenarnya biasa saja dan sudah seharusnya.
Dicitrakan dengan gegap gempita.
Sementara fondasi ketahanan energi untuk jangka menengah dan panjang,
Tak juga kunjung dibenahi.

Tapi kalaupun toh lagi-lagi energi bukan bidang yang jadi prioritas Jokowi,
Sehingga seperti kemarin kemarin itu: dia serahkan saja penanganannya pada yang katanya ahli tapi belajarnya lumayan lama sekali, sulit mendengar, gampang komentar, tapi pintar poles sana sini,
Tanpa sepenuhnya menyadari,
Potensi melemahnya ketahanan energi di jangka menengah dan panjang nanti,
Ya terpaksa makin berat saja PR kita ini,

Terpaksa harus terus berjaga mengawal membisiki meneriaki,

Supaya jalannya kapal perahu mineral dan energi,
Gak melencang melenceng, manuver gak jelas, mutar-muter bergaya bebas; pamer sana sini, koreksa koreksi.
Malah kadang blunder meh kejungkel,
Near miss — hampir menenggelamkan kapal induk armada.
Dengan defisit neraca perdagangan luar negeri.

Kalau begitu halnya,
Kita semua harus terus terjaga.
Untuk meneriaki nakhoda.
Seperti kemarin-kemarin itu juga.
Dengan risiko dianggap nyinyir.
Oleh para penumpang penggemar idola, yang merem melek kenikmatan semu.
Dijejali berita heboh perjalanan kapal yang sengaja disetel seru.
Padahal sakjan-e yo mutar muter ae ndik sekitar situ.

Selamat datang Pemerintahan Jokowi babak kedua yang dimulai hari ini.
Mudah-mudahan nakhoda kapal Mineral dan Energi dan juga wakilnya (kalaupun toh masih diperlukan) bukan model yang seperti kemarin-kemarin itu lagi.

Meski sebenarnya kita harus syukuri
Para birokrat pembuat aturan migas, mineral dan energi negeri ini -
Bukan tipe penjudi,
Yang berani mempertaruhkan jabatan dan periuk nasinya,
Untuk eksperimen coba-coba: gonta-ganti aturan menyesuaikan diri.
Sementara pimpinannya sedang dalam proses belajar memahami.
Bidang yang harusnya dia atur dan kuasai.

Untung juga sebagian besar mereka
kesabarannya cukup tinggi
Sehingga kalaupun dipaksa nakhoda untuk melenceng terlalu jauh,
Mereka coba dulu untuk sesuaikan dengan manual yang ada.
Meskipun kadang dimarahi, diolok-olok dan dikata-katai.
Mereka mencoba terus bertahan,
Karena sering juga yang nurut dapat apresiasi yang lumayan,
Dengan harapan: nakhoda dan para konconya akan segera berganti.

Para pengarah kapal bisa saja datang dan pergi,
Tapi para birokrat itu sebagian besarnya akan tetap ada di situ.
Kenapa juga mesti membahayakan diri,
Melawan perintah nakhoda yang paling lama lima tahun saja mereka terus pergi.
Tunggu saja nakhoda yang baru ini nanti.

Selamat datang Pemerintahan baru Jokowi.
Semoga Menteri dan Wakil Menteri Mineral dan Energi (kalaupun toh diperlukan) bukan model yang seperti kemarin-kemarin itu lagi.

Tanpa mengurangi hormat dan salut atas hasil “kerja, kerja, kerja” ESDM selama ini,
Model memerintah yang menghasilkan populisme energi sesaat yang gemerlap tetapi rapuh itu mesti diakhiri!!

Supaya lebih “nggenah” ke depannya,
Ketahanan energi.
Negeri ini.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Masukan Untuk Arah Baru Kebijakan Energi dan Pertambangan Jokowi Jilid 2 - Diskusi Publik IMEF (Indonesia Mining & Energy Forum)

Setelah mengalami puncak kejayaan minyak dua kali, yaitu pada 1977 dan 1995 dengan masing-masing kurang lebih 1,6 juta bph maka produksi minyak domestik Indonesia pun terus mengalami penurunan, menembus batas di bawah satu juta bph pada 2007 dan saat ini produksinya hanya 750an ribu bph.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Sektor Migas

  1. Setelah mengalami puncak kejayaan minyak dua kali, yaitu pada 1977 dan 1995 dengan masing-masing kurang lebih 1,6 juta bph maka produksi minyak domestik Indonesia pun terus mengalami penurunan, menembus batas di bawah satu juta bph pada 2007 dan saat ini produksinya hanya 750an ribu bph. Era kejayaan minyak bumi Indonesia pun dinyatakan telah berakhir oleh Presiden Jokowi. Bahwa SKKMigas pada Juli 2019 kemarin telah membuat perencanaan optimistik untuk menahan dan bahkan menaikkan kembali tren produksi minyak hingga mencapai sedikit di atas satu juta bph di 2033-2038, hal itu juga tidak akan mengembalikan kejayaan migas seperti era puncak antara 1977 dan 1995 yang lalu.

  2. Dengan berakhirnya kejayaan migas, pemerintah harus berani untuk terus melonggarkan tekanan pada target Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) dari migas. Arah baru ini sebenarnya sudah dijalani oleh pemerintah dua – tiga tahun belakangan dalam kasus persetujuan POD-POD Blok A Aceh, Blok Merakes di Selat Makassar dan juga Blok Masela di Maluku. Bagi pemerintah yang dikedepankan bukan lagi negara mendapatkan lebih banyak langsung dari bagi hasil (split), tetapi bahwa proyek migas tersebut dapat terlaksana, multiplier efeknya terjadi, dan secara gross negara mendapatkan keuntungan dari diproduksikannya migas tersebut sebagai modal dasar pembangunan nasional, bukan sekedar penghasil revenue semata.

  3. Arah baru yang melonggarkan tekanan pada target Pendapatan Nasional Bukan Pajak (PNBP) dari migas ini harus konsisten dijalani, terutama untuk merealisasikan POD-POD yang masih dalam proses dan juga temuan-temuan teknis (technical discoveries) yang selama ini dianggap tidak ekonomis oleh kontraktor karena split-nya (bagi hasilnya) yang kurang/tidak menguntungkan. Memproduksikan sumber daya minyak dan gas untuk dipakai langsung memenuhi demand dalam negeri jauh lebih bermanfaat saat ini dari sisi ketahanan energi dan solusi mengatasi defisit neraca perdagangan daripada tetap menahan migas tersebut di dalam bumi karena pendapatan (revenue) bagian negara lebih kecil dari bagian kontraktor.

  4. Dengan berakhirnya era kejayaan minyak bumi Indonesia maka seharusnya lah pemerintah lebih mengedepankan untuk memberi kebebasan kepada kontraktor migas memilih menggunakan jenis kontraknya, apakah menggunakan kontrak Gross Split ataukah kontrak PSC konvensional. Bukan seperti yang sekarang, di mana keseluruhan kontrak baru ditawarkan dalam bentuk kontrak Gross Split semata. Diharapkan, dengan dimunculkannya alternatif tersebut maka investasi baru - eksplorasi di bidang migas akan semakin bergairah dan meningkat.

  5. Salah satu solusi jangka menengah dan panjang dalam rangka mengatasi masalah impor minyak bumi Indonesia — yang terutama akan makin parah di 2025 – 2030 nanti — adalah dengan menguasai cadangan-cadangan migas di luar Indonesia langsung dari hulunya, yaitu lewat penguasaan blok-blok migas dunia oleh Pertamina ataupun BUMN lainnya. Dengan demikian maka volume impor minyak kita akan tergantikan oleh pengiriman entitlement ke Indonesia yang akan meringankan beban defisit neraca perdagangan kita. Usulan kebijakan energi luar negeri bidang migas ini sebenarnya sudah pernah digodok secara substansial konsep/implementasinya oleh Dewan Energi Nasional 2014 – 2019 tetapi masih belum mendapatkan kesempatan untuk dibahas dalam Sidang Anggota maupun Sidang Paripurna DEN, sampai DEN mengalami kekosongan sejak Juli 2019 yang lalu.

  6. Pembangunan infrastruktur migas, terutama kilang minyak dan pipa-pipa transmisi gas, yang di era pemerintahan Jokowi jilid satu masih belum menunjukkan hasil nyata harus terus diupayakan di masa lima tahun mendatang. Sama seperti jalan tol, jembatan dan pelabuhan, infrastruktur migas semestinya juga dibebaskan dari trauma beban keekonomian, sehingga pembangunannya bisa segera direalisasikan.

  7. Sumber daya manusia Indonesia di bidang migas sudah terbukti banyak berperan aktif dan berprestasi di berbagai perusahaan/industri migas internasional di luar negeri. Potensi untuk memanfaatkan pengalaman para ahli migas Indonesia baik yang tinggal di Indonesia maupun diaspora di luar negeri ini terbuka lebar melalui Asosiasi Profesi - Komunitas Migas yang ada di Indonesia, karena sejatinya dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi maka Asosiasi Profesi - Komunitas Migas Indonesia dan diasporanya tersebut lebih mudah terhubung dan berinteraksi saat-saat ini. Pemerintah seharusnya lebih membuka diri untuk bekerja sama dengan Asosiasi Profesi - Komunitas Migas Indonesia tersebut dalam rangka pengembangan SDM Migas Indonesia yang lebih bisa menjawab tantangan migas kita ke depan, sesuai dengan Visi SDM Unggul Jokowi untuk era pemerintahan 2019 – 2024 ini.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Enam Kisi Debat Energi

Enam hal yang diuraikan di bawah ini ada kemungkinan akan diceritakan (di“citra”kan) oleh Jokowi di debat capres tentang energi nanti, yaitu hasil brief up dari para pembantunya terutama dari Menteri dan Wakil Menter ESDMnya dan juga dari Tim Pemenangannya yang khusus menangani bidang energi.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Enam hal yang diuraikan di bawah ini ada kemungkinan akan diceritakan (di“citra”kan) oleh Jokowi di debat capres tentang energi nanti, yaitu hasil brief up dari para pembantunya terutama dari Menteri dan Wakil Menter ESDMnya dan juga dari Tim Pemenangannya yang khusus menangani bidang energi.

Enam hal tersebut perlu dikritisi. Tujuannya: supaya Jokowi lebih selektif dan berhati-hati dalam menyampaikannya sehingga citra baiknya selama ini tidak tercederai atau malah jangan menyampaikannya sama sekali supaya nggak “blunder” dalam debat capres nanti.

Kalau tetap saja Jokowi menyampaikan dengan modus seperti yang selama ini dicitrakan oleh para pembantunya, harapan berikutnya: semoga kisi-kisi ini dapat dipakai oleh Prabowo-Sandi untuk mengimbangi Jokowi. Supaya nggak njomplang-njomplang bangetlah seperti di debat pertama kemarin.

Lebih jauh lagi: kalau Prabowo-Sandi bisa menyuarakan kritik berikut ini ke Jokowi-MA dalam debat energi, insyaaAllah juga rakyat Indonesia akan bisa lebih melek energi. Citra Prabowo-Sandi pun mungkin akan sedikit terangkat dalam debat itu. Mungkin, lho... Tergantung juga dari kesiapan mereka di topik-topik yang lain supaya gak ngawur-ngawur banget seperti di debat pertama kemarin.

Selain itu, dengan memunculkan kritik-kritik di bawah ini dalam suasana debat capres sekarang ini, mudah-mudahan siapapun pemimpin kita ke depan nanti: dia/mereka nggak akan gampang percaya begitu saja omongan dari orang-orang sekitarnya yang cenderung hanya menunjukkan yang baik-baik saja dan menyembunyikan yang gagal supaya bisa dikoreksi, atau bahkan mencitrakan yang sebenarnya tidak baik menjadi baik, sehingga menyesatkan semuanya.

  1. Tingkat rasio elektrifikasi nasional insyaAllah akan diklaim Jokowi meningkat dengan pesat, hampir mencapai 100%. Dan untuk menekankan kepedulian pemerintah yang sekarang pada rakyat di pelosok, mungkin akan dimunculkan statistik jumlah desa yang berhasil dilistriki selama ini.

    Kritik: Listrik di desa dan pelosok itu keberlangsungannya diprediksi hanya jangka pendek saja, karena hanya mengandalkan pada pembagian LTSHE (Lampu Tenaga Surya Hemat Energi) tanpa membangkitkan dan atau mengembangkan kemampuan masyarakat mengelola pasokan energinya sendiri. Kalau hanya sekadar membagi perangkat Lampu Tenaga Surya portable saja, jaman SBY pun sudah banyak dilakukan oleh ESDM. Hasilnya: setelah dua – tiga tahun mangkrak, tidak terpelihara, rusak, dan nggak ada/sulit nyari komponen penggantinya. Akhirnya jadi gelap gulita lagi.

    Solusi: Pada awal pemerintahan Jokowi sebenarnya sudah ada program bagus untuk masyarakat desa dan daerah-daerah pelosok dengan mengirimkan para sukarelawan patriot energi ke lokasi-lokasi itu untuk hidup bersama mereka dan membangkitkan kemampuan masyarakat menyediakan dan mengelola energinya sendiri (termasuk lampu tenaga surya kalau memang itu pilihannya). Tetapi program itu dihentikan setelah 1,5 tahun berjalan karena menterinya ganti. Sayang sekali.

  2. Jargon “Energi Berkeadilan” insyaAllah akan diungkapkan Jokowi sebagai pencapaian penting kita empat – lima tahun terakhir ini, dengan contoh-contoh seperti BBM satu harga, harga listrik yang tidak naik-naik, melistriki desa-desa yang dulunya nggak ada listrik, konversi BBM ke BBG untuk nelayan, converter kit untuk nelayan, dan sebagainya.

    Kritik: Interpretasi dan pengejawantahan slogan “Energi Berkeadilan” oleh pemerintahan Jokowi hasilnya bagus dan populer untuk rakyat dalam jangka pendek tapi dalam jangka panjang justru melemahkan/melumpuhkan usaha-usaha penguatan pasokan energi di hulu, baik migas maupun kelistrikan, serta memperburuk iklim investasi. Pertamina jadi kehilangan kekuatan dan kelincahan untuk investasi di sektor hulu (eksplorasi dan EOR) dan juga di midstream (kilang), karena sebagian besar keuntungan tersedot ke bisnis BBM hilir tersebut. Demikian juga investasi-investasi di pembangkit-pembangkit ET jadi tersendat karena keekonomian yang tidak kompetitif untuk pengusaha karena Pemerintah mau energi yang murah untuk rakyat tapi tidak mau ada subsidi ET.

    Oleh karena itu perlu interpretasi yang lebih cerdas terhadap penerapan slogan tersebut melalui dukungan kebijakan dan regulasi serta strategi yang lebih cost-effective, dan memberikan dukungan iklim usaha yang positif dalam jangka panjang.

    Solusi: Dalam hal penyediaan BBM, salah satu cara memeratakan energi adalah merealisasikan pembangunan dan operasionalisasi kilang-kilang mini di berbagai daerah pelosok Indonesia yang mempunyai atau dekat dengan area sumber daya/cadangan minyak bumi tanpa harus menargetkan bagian negara dari pengusahaan tersebut yang selama ini menghambat pelaksanaannya. Dengan demikian harga BBM di pelosok-pelosok itu akan lebih murah atau relatif sama dengan yang ada di pulau Jawa karena pasokan dari kilang-kilang mini terdekatnya.

  3. Kemungkinan besar Jokowi juga akan menampilkan fakta bahwa pendapatan negara dari migas sudah bounce back dua tahun terakhir ini melebihi target-target yang dituliskan dalam APBN. Itu semua adalah blessing in disguise karena naiknya harga minyak bumi dunia, bukan karena prestasi kita. Kita memang patut mensyukurinya. Tetapi kalau pernyataannya terlalu berlebihan, maka bisa jadi kita lupa bahwa produksi migas kita sebenarnya merosot tidak sesuai dengan target-target yang diberikan selama ini.

    Kritik: Pengutamaan prinsip sumber daya migas sebagai sumber Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) masih terus terjadi, meskipun Indonesia sudah menjadi net importir minyak sejak 2004 (12 tahun yang lalu). Memacu PNBP dari sektor migas sesungguhnya bertentangan dengan ketentuan UU Energi dan PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menempatkan energi — termasuk minyak dan gas bumi — sebagai modal dasar pembangunan dan bukan sebagai penghasil revenue semata. Kita masih punya pekerjaan rumah yang besar untuk meningkatkan produksi migas kita, bukan sekedar meningkatkan pendapatan dari migas yang pada 2018 kemarin mengalami kenaikan (197 triliun rupiah) lebih dari yang ditargetkan (125 triliun rupiah). Itu semua adalah berkah dari kenaikan harga minyak bumi dunia yang ternyata melebihi dari patokan harga minyak yang kita targetkan dalam APBN, bukan prestasi pekerjaan kita, sementara produksi minyak bumi kita sendiri hanya 778 ribu barel per-hari, lebih rendah dari target 800 ribu barel per-hari.

    Solusi: Kita harus terus fokus untuk mempertahankan produksi migas kita sesuai dengan rencana (RUEN) kalau bisa malahan melebihinya. Bukan tenggelam dalam euphoria naiknya harga minyak dunia yang membuat APBN kita ikut berbahagia. Maka usaha-usaha untuk memudahkan Eksplorasi dan EOR adalah dua kata kunci program yang harus kita jalankan untuk menyelamatkan produksi migas kita.

  4. InsyaAllah Jokowi juga akan meng-highlight keberhasilan kita mengubah sistem pengusahaan migas dari PSC konvensional menjadi PSC Gross Split (GS) dengan pencapaian 14 blok eksplorasi baru dan 22 blok produksi habis kontrak/blok POD baru semuanya memakai PSC GS ini. Kemudian akan dinyatakan juga bahwa dengan adanya 36++ blok migas memakai GS contract itu maka ke depannya eksplorasi akan makin ramai dan tentunya produksi existing akan bisa dipertahankan seusai rencana. Semoga. Tapi tunggu dulu, ternyata ada catch dibalik itu semua. Perhatikan kritik di bawah ini.

    Kritik: Perubahan kontrak migas dari skema Production Sharing Contract (PSC) menjadi Gross Split menimbulkan ketidakpastian terhadap investasi migas, terutama dengan adanya klausul diskresi pemerintah c.q. Menteri ESDM terhadap perubahan persentase split, yang bisa bertambah untuk kontraktor — tapi bisa juga berkurang ¾ tergantung persepsi keekonomian dari Menteri ESDM, sewaktu-waktu.

    Oleh karena itu lah maka tidak ada satu pun dari perusahaan-perusahaan migas raksasa ex 7 Sister yang meminati kontrak blok-blok migas eksplorasi yang ditawarkan dalam dua tahun terakhir ini. Hanya perusahaan-perusahaan kelas menengah atau kecil dengan portofolio eksplorasi jangka pendek yang bermain di bursa saham yang mencoba untuk berkontrak PSC Gross Split dengan Pemerintah di 14 blok eksplorasi yang diklaim sebagai tonggak kesuksesan sistem kontrak baru tersebut.

    Seperti kita ketahui, portofolio bisa dipercantik, digadang-gadang, digoreng, kemudian “diperjual-belikan” hanya untuk kepentingan gain dari permainan saham. Kita masih harus menunggu realisasi dari komitmen-komitmen eksplorasi yang dijanjikan para pemegang kontrak PSC Gross Split itu, sementara pekerjaan rumah kita untuk mempermudah proses investasi dan pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi migas Indonesia masih harus kita kerjakan. Hal itu terutama terkait dengan masih buruknya persepsi para pengusaha migas atas kemudahan berinvestasi hulu migas di Indonesia, yang salah satunya ditunjukkan oleh survei Fraser Institute yang dua tahun berturut-turut memosisikan Indonesia di 10 urutan terbawah dari daftar negara yang dipersepsikan “sulit” itu.

  5. Kemungkinan juga Jokowi akan beberapa kali mengulang jargon bahwa “kunci keberhasilan mempertahankan produksi migas kita ke depan adalah dengan eksplorasi dan EOR”. Dua kata kunci keramat yang selalu didengungkan oleh semua aparat birokrasi pemerintahan kita seolah semuanya sama-sama lulusan kursus Geologi Perminyakan GL401. Tetapi apakah yang sudah kita lakukan dalam empat tahun terakhir ini untuk EOR? Mari kita simak kritik di bawah ini:

    Kritik: Peningkatan produksi minyak bumi dengan Enhanced Oil Recovery (EOR) tidak berjalan walaupun PTK SKKMigas untuk Pengadaan telah direvisi untuk mempermudah EOR dan rencana program nasional EOR telah dibahas dan dimasukkan ke dalam Perpres No. 22/2017 tentang RUEN.

    Tidak berjalannya EOR ini disinyalir karena minimnya insentif bagi K3S pada rezim fiskal yang berlaku untuk menerapkan teknologi ini baik di PSC Gross Split apalagi di skema PSC konvensional.

    Untuk PSC Gross Split harapan tetap digantungkan kepada diskresi Menteri ESDM, yang kemungkinan di jangka panjang bisa saja berubah, alias tidak pasti.

    Selain itu dari 32 lapangan minyak kandidat EOR yang dimasukkan dalam rencana program nasional di Perpres 22/2017, 23 lapangan di antaranya (72%) sedang dan akan dioperasikan oleh Pertamina, termasuk Lapangan Minas yang di Blok Rokan.

    Solusi: Karena EOR ini membutuhkan investasi yang cukup besar dengan tenggang waktu yang cukup lama maka apabila kemampuan finansial dan prioritas investasi Pertamina sendiri tidak didorong kuat — oleh Kemen BUMN dan atau ESDM — untuk siap melaksanakannya, maka rencana umum program nasional EOR itu hanya akan jadi rencana. Jadi harus ada dorongan kuat, dari Presiden langsung kalau bisa untuk supaya program EOR kita ini jadi terlaksana.

  6. Mudah-mudahan Jokowi nggak menyinggung soal pembangunan kilang baru, karena memang tidak ada progres berarti selama lima tahun ini, walaupun sudah direncanakan dan digadang-gadang beberapa kali. Kalaupun toh menyinggung mungkin hanya akan disinggung penandatanganan kontrak EPC untuk penambahan kapasitas kilang di Balikpapan Desember tahun 2018 lalu.

    Kritik: Pembangunan kilang baru jaman Jokowi memang nihil, dan peningkatan kapasitas kilang lama serta pembangunan jaringan gas belum menunjukkan kemajuan berarti selama empat tahun terakhir. Implementasi Refinery Development Master Plan (RDMP) berupa pengembangan kapasitas kilang Cilacap, Plaju, Balongan, Dumai, dan Balikpapan dengan nilai investasi 246 triliun rupiah berjalan sangat lambat. Keseluruhan program RDMP sepertinya tidak akan selesai pada 2022. Stagnasi pembangunan kilang baru dan keterlambatan RDMP mengancam keamanan pasokan energi.

    Solusi: Untuk itu tindakan drastis harus dilakukan yaitu menetapkan kilang sebagai infrastruktur ekonomi dan dibangun tanpa menghitung IRR, seperti pemerintah membangun pelabuhan, membeli alutsista, membangun jalan non-tol, jembatan dan sejenisnya. Setelah terbangun, serahkan kepada Pertamina sebagai penyertaan modal negara. Dengan demikian maka ketergantungan kita selama bertahun-tahun kepada kilang-kilang minyak luar negeri (salah satunya ke Singapura yang punya kapasitasnya sampai 1,5 juta barel per hari) dapat diatasi.

Read More