Pengoptimalan Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk Kesejahteraan Rakyat

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

(Berikut adalah pidato ilmiah yang disampaikan pada sidang terbuka senat guru besar acara Dies Natalis ke-53 UPN Veteran Yogyakarta, 15 Desember 2011)

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh,

Salam sejahtera buat kita semua.

Para Guru Besar, segenap pimpinan dan pengurus Yayasan yang saya kagumi, para undangan terhormat, dan segenap civitas akademia Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta,

Perkenanlah pertama-tama saya mengucapkan selamat atas bertambahnya umur Universitas ini yang ke-53 tahunnya yang insyaallah akan terus berkiprah sampai berabad-abad mendatang di bumi Indonesia yang kita cintai bersama ini.

Selain itu, saya ingin ungkapkan betapa merindingnya bulu kuduk saya karena haru dan merasa sangat terhormat diberikan kesempatan berbicara di depan para hadirin sekalian, terutama di hadapan sorotan berbinar pandangan-pandangan tajam, kritis, pintar, sekaligus penuh welas asih guru-guru besar  pendidik  generasi masa depan UPN Veteran Yogyakarta ini. Karena kehidupan profesional keseharian saya sebagai konsultan periset industri migas di luar kampus, rasa-rasanya jauh terlalu hiruk pikuk keduniaannya dibandingkan dengan segala keluhuran, kemegahan dan keindahan tata cara ritual akademia yang bernuansa pendidikan, bernuansa moral ke-illahi-an. Jujur saja, perasaan serupa pernah juga saya alami ketika diundang oleh rekan saya Profesor Sari Bahagiarti Kusumayuda pada waktu acara penganugerahan gelar Guru Besarnya beberapa tahun yang lalu. Pada waktu itu perasaan tersebut ditambahi dengan kekaguman yang mendalam atas usaha yang dilakukan dan pencapaian yang didapatkan oleh Profesor Sari tersebut.

Saya yang berasal dari keluarga pendidik, bagaimanapun juga merasa digelitik akar asal-usul saya  setiap saat melangkahkan kaki mengunjungi kampus-kampus di Indonesia, tak terkecuali kampus UPN Veteran Yogyakarta ini. Ingin rasanya memenuhi panggilan purba di dalam sukma untuk ikut bergabung berkontribusi dalam arus besar pendidikan formal perguruan tinggi ini, tapi mungkin masih belum saatnya karena dari waktu ke waktu keduniawian industri sering mengemuka jadi alasan saya tak bisa jadi pengajar tetap di perguruan tinggi. Kesempatan berbicara ini, akhirnya, menjadi semacam bagian dari katarsis juga yang memberi jalan untuk tetap berhubungan dengan kehidupan akademis. Terimakasih.

Pendahuluan

Menyikapi tema utama tentang pengelolaan sumber daya alam, sesuai dengan latar belakang kegeologian saya, maka paparan berikut ini lebih saya arahkan pada pembahasan tentang sumber daya ekstraksi kebumian seperti minyak bumi, gas alam, batu bara, mineral, panas bumi, dan air tanah, di mana pada umumnya (kecuali panas bumi dan air tanah) bahan-bahan tersebut dianggap sebagai  sumber daya yang tak terbarukan. Secara khusus, contoh-contoh yang ditampilkan lebih banyak dari sektor minyak dan gas bumi, karena di bidang itulah sehari-hari saya berkecimpung.

Selain sifat utamanya yang tidak terbarukan, permasalahan yang langsung mengemuka ketika menuliskan topik tentang sumber daya ekstraksi kebumian adalah penyebaran/keberadaannya yang tidak mengikuti kaidah batas-batas administrasi politik, tapi lebih dikontrol oleh kaidah-kaidah geologi. Dengan demikian kita dapatkan timah di Pulau Bangka, minyak bumi banyak di Provinsi Riau, sementara cadangan emas terbesar yang sudah ditemukan dan diproduksi ada di Papua (Freeport Grasberg). Beberapa daerah dengan karakteristik geologi/morfologi tertentu bahkan kecil kemungkinan untuk diekstraksi sumber daya kebumiannya, seperti daerah rawa-rawa yang luas dan atau laut dangkal yang dialasi batuan-batuan dasar.

Penyebaran, kualitas dan jumlah sumber daya ekstraksi kebumian di berbagai daerah di Indonesia menjadi  faktor strategis yang pengelolaannya bisa sangat berpengaruh pada integritas NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Cadangan-cadangan migas dan mineral di perbatasan Negara, seperti di Laut Natuna, Perbatasan Kaltim - Kalbar dengan Malaysia, Laut Timor, Laut Arafura dan juga perbatasan Papua dengan PNG kesemuanya menjadi sangat strategis untuk diprioritaskan pengelolaannya, karena mengabaikan potensi-potensinya akan menyebabkan penyesalan berkepanjangan saat harus kehilangan seperti kasus di Sipadan – Ligitan tahun 2002, yang disusul dengan sengketa Blok laut Ambalat pada 2005 dan tahun-tahun sesudahnya.

Sepuluh tahun terakhir ini juga banyak kita lihat dan dengar maraknya kasus-kasus penambangan tanpa izin (PETI), atau penambangan dengan izin tetapi pengambilan bahan tambangnya dilakukan di lokasi-lokasi bersebelahan yang menjadi milik pihak lain, demo-demo penolakan tambang oleh masyarakat lokal, tumpang tindih penggunaan lahan, blokade-blokade akses eksplorasi maupun produksi migas dan atau tambang, sampai yang paling akhir adalah mogok kerjanya pekerja-pekerja tambang Freeport Indonesia menuntut kenaikan upah.  Keseluruhan permasalahan di atas nampaknya terkait langsung dengan modus pengelolaan di satu sisi dan kesejahteraan rakyat pada sisi yang lain.

Untuk itu dalam uraian pemaparan berikut ini, marilah bersama-sama kita gali akar permasalahannya untuk kemudian diupayakan jalan keluarnya.

Paradigma Negara Kaya Sumber Daya Alam

Apakah Indonesia kaya sumber daya alam? Dari jumlah total cadangan minyak terbukti dunia yang 1,3 triliun barel, cadangan terbukti Indonesia tahun 2009 hanya 4,4 miliar barel yang setara dengan 0,3% (bahkan tidak sampai 1%) cadangan dunia. Bandingkan dengan negara-negara pemilik cadangan-cadangan minyak terbesar seperti Saudi Arabia (264,1 miliar barel), Venezuela (172,3 miliar barel), atau Iran, Irak, dan Kuwait dan UAE (masing-masing: 137,6, 115, 101,5, dan 97,8 miliar barel minyak).  Berdasarkan cadangan minyak yang tersisa dari yang sudah ditemukan saat ini kita tidak lebih kaya dari Malaysia, India, bahkan Vietnam. Statistik BP 2009 menunjukkan bahwa cadangan terbukti  Indonesia adalah kedua terbesar di Asia Pasifik setelah Cina pada 1999, tapi menjadi urutan ke lima dari sembilan negara produsen minyak Asia Pasifik sepuluh tahun kemudian pada 2009. Hal ini diakibatkan oleh pertambahan cadangan dari hasil eksplorasi yang lebih kecil dibandingkan dengan kecepatan produksi cadangan yang sudah ada. Di lain pihak telah sama-sama kita saksikan penurunan yang signifikan dari produksi harian minyak bumi Indonesia  dari di atas satu juta barel per hari di tahun 1999 menjadi hanya 900-ribuan barel di tahun 2011 ini, yang berakibat pada kondisi “net-oil-importer” dimulai pada tahun 2004, yang berpuncak pada keluarnya Indonesia dari OPEC (Organisasi Negara Pengekspor Minyak) pada 2008 yang lalu.

Freeport di Papuapun telah mengklaim tambang tembaga (dan emas dan perak)nya sebagai terbesar di dunia. Cadangan yang bisa diambil per tahun 2005 adalah 56,6 miliar pon tembaga, 58 juta ons emas, dan 180,8 juta ons perak. Nilai total cadangan tersebut dengan harga komoditas logam dan nilai tukar dolar saat ini adalah Rp. 2.528 triliun atau sekitar Rp. 93 triliun lebih banyak dari rencana APBN-RI 2012 mendatang.

Siklus Eksplorasi Migas Indonesia

Tentang jumlah kekayaan migas terbukti Indonesia yang relatif kecil dibanding statistik Negara-negara dunia, tetapi cukup lumayan di jajaran Negara-negara Asia Pasifik, diyakini bahwa migas kita potensinya sebenarnya tidak terbatas atau menjelang habis, tetapi seringkali pikiran kitalah (konsep, keberanian eksplorasi, dan kemampuan pengelolaan sumber daya lah) yang makin menipis. Selama lebih dari 25 tahun sejak diterbitkannya peta cekungan migas Indonesia yang pertama (peta IAGI tahun 1985) bersama jumlah cadangan terbukti, terkira, dan sumber daya-nya, pada dasarnya usaha-usaha eksplorasi (pencarian cadangan baru) hanya difokuskan di 18 cekungan yang sudah terbukti memiliki hidrokarbon di dalamnya. Masih ada lebih dari 41 cekungan lainnya di Indonesia yang selama bertahun-tahun ditinggal diam, tidak dikelola secara serius, paling tidak untuk mengetahui keberadaan hidrokarbon di dalamnya. Alhamdulillah, sejak lima tahun terakhir ini usaha-usaha eksplorasi kearah “new frontier” itu (terutama di daerah Indonesia Timur) mulai digalakkan terutama lewat studi-studi dan kemudian penawaran-penawaran blok-blok migas baru untuk dikelola oleh perusahaan-perusahaan kontraktor eksplorasi dan produksi migas Indonesia. Termasuk diantara para pemangku kepentingan yang terlibat aktif dalam studi-studi tersebut adalah Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta ini, yang sejak 2005 Lembaga Pengabdian Masyarakatnya secara berkala melakukannya.

Dalam kaitannya dengan usaha-usaha menambah cadangan-cadangan migas yang baru di Indonesia perlu juga diuraikan adanya tiga siklus eksplorasi migas di Indonesia. Siklus Pertama minyak target dangkal, penemuan gas ditinggalkan, konsep dan teknologi sederhana, lokasi on-shore, reservoir targetnya batuan klastik, struktur-struktur geologi yang dikejar untuk dibor adalah struktur-struktur Pliosen-Pleistocene, dan endapan sedimennya inversi/post-inversi. Siklus Kedua:minyak target kedalaman menengah, gas dengan cadangan besar mulai dikelola, konsep dan teknologi lebih maju, lokasi on-shore dan off-shore, reservoir batuan karbonat maupun klastik, struktur-struktur Miocene, endapan-endapan post-rift. Siklus Ketiga minyak dan gas target dalam, gas dengan cadangan menengah mulai dikelola, konsep dan teknologi mutakhir, lokasi on-shore, off-shore, dan laut dalam, reservoir-nya batuan dasar (basement), karbonat, maupun klastik, dan struktur-strukturnya Paleogene, serta endapan-endapan sedimennya synrift dan pre-rift.

Penemuan kompleks lapangan migas raksasa Banyuurip di blok Cepu merupakan contoh dari siklus-satu yang bergeser ke siklus-dua setelah 70 tahunan lapangan-lapangan target dangkal dioperasikan.

Pertamina mewarisi hampir sebagian besar lapangan-lapangan tua yang ditemukan pada akhir abad 19 dan awal abad 20 di Indonesia, yang pada umumnya merupakan hasil eksplorasi siklus pertama. Tantangan besar untuk melengkapi siklus eksplorasi di berbagai daerah konsesinya di seluruh Indonesia telah dijawab dengan penemuan-penemuan di Cekungan Sumatera Selatan (sampai ke siklus dua dan tiga), Cekungan Jawa Barat bagian Utara (sampai ke siklus dua), dan di Cekungan Jawa Timur (sampai siklus dua). Kelanjutan dari usaha eksplorasi tersebut perlu ditunjang dengan pemahaman yang mendalam tentang masih banyaknya tersisa cadangan-cadangan di berbagai daerah konsesi migas dengan sumur-sumur dan lapangan-lapangan tua di dalamnya, karena belum lengkapnya siklus eksplorasinya.

Kutukan Sumber Daya Alam atau Kedaulatan yang Digadaikan

Ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah penghasil sumber daya ekstraksi kebumian seringkali disebutkan sebagai konsekuensi dari apa yang disebut sebagai “resources curse” atau kutukan sumber daya alam seperti pertama kali di sebutkan oleh Richard Auty pada 1993. Selain fenomena di mana masyarakat setempat (merasa) terpinggirkan, fasilitas dasar hidupnya kontras berbeda dengan orang-orang “kompleks” penghuni camp-camp perusahaan ekstraksi sumber daya alam, juga secara umum kondisi kutukan sumber daya alam ini terkait dengan rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi negara tersebut dibandingkan dengan negara-negara lain yang justru tidak mempunyai kelimpahan sumber daya alam sebesar negara dimaksud.

Dalam kasus di Indonesia, di mana pertumbuhan ekonominya relatif cukup bagus, meskipun daya tahan kelenturan ekonominya untuk “bounch-back” dari krisis-krisis (1998, 2008) tidak sebagus Negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara dan Timur Jauh, nampaknya kutukan sumber daya alam itu tidak sekadar dicerminkan dari pertumbuhan ekonomi nasional. Fakta-fakta tentang ketidakpuasan masyarakat (terutama di sekitar daerah penghasil bahan ekstraksi kebumian) terhadap bagi hasil perolehan bahan tambang/migas mereka sering menjadi pemicu dari demo-demo dan blokade-blokade yang dilakukan yang tidak jarang mengatasnamakan isu-isu lain seperti isu lingkungan dan kerusakan alam.

Pelacakan mendasar atas permasalahan ketimpangan sosial akibat eksploitasi sumber daya alam kebumian tersebut sebenarnya bisa dilakukan dengan melihat kembali dasar pijakan peraturan yang ada di Undang-undang Dasar 1945 kita. Pada pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa: “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Indonesia tidak menganut prinsip dasar kepemilikan sumber daya alam seperti di Amerika, di mana setiap orang yang memiliki sebidang tanah berhak untuk memilik dan mengelola kekayaan sumber daya alam yang ada di tanahnya itu, termasuk yang ada di bawah permukaannya tentunya. Dalam hal tersebut Negara hanya memungut pajak dan atau royalti dari pengusahaan yang bersangkutan atas tanahnya, termasuk apabila ada migas dan bahan tambang di dalamnya.

Di Indonesia, sesuai dengan UUD45 Pasal 33 ayat 3 di atas, bukan seperti yang di Amerika itu yang terjadi. Siapapun yang melakukan usaha eksplorasi dan eksploitasi sumber daya ekstraksi kebumian harus mengontrak kepada Negara, karena yang memiliki dan menguasai kekayaan tersebut adalah Negara, bukan individu atau kelompok masyarakat yang mendiami dan atau mempunyai hak milik atas tanah tersebut. Makanya di dalam pengusahaan migas ada KKS Migas (Kontrak Kerja Sama Migas) atau dulu disebut sebagai KBH (Kontrak Bagi Hasil) atau PSC (Production Sharing Contract). Di mineral dan batu bara kita juga punya CoW (Contract of Work) atau Kontrak Karya, kemudian PKP2B, dan sejak otonomi daerah tahun 2001 banyak menjamur KP-KP (Kuasa Pertambangan) yang dikeluarkan daerah (Bupati-Walikota-Gubernur). Kesemuanya merujuk pada kontrak ke”kuasa”an untuk mengelola sumber daya ekstraksi kebumian tersebut.

Bukan kedaulatan pribadi individu manusia yang memiliki dan atau mendiami tanah di mana terdapat bahan tambang/migas itu yang diakui tetapi kedaulatan Negara sebagai pemilik kuasa atas semua mineral bahan tambang dan migas di Indonesia yang berlaku. Masalah muncul ketika penggalan kalimat kedua dari pasal 33 ayat 3 UUD45 yang menyebutkan “dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”  kita cek implementasinya pada keseharian penyelenggaraan Negara terkait dengan pengelolaan sumber daya ekstraksi kebumian tersebut. Yang terasa selama ini oleh masyarakat di daerah, mineral bahan tambang dan migas Indonesia yang ada di daerah mereka lebih digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat daerah lain daripada daerah sendiri, atau lebih ekstrimnya rakyat Jakarta atau Jawa lebih menikmati kekayaan bumi itu dibanding dengan rakyat setempat. Istilah “Jakarta” atau “Jawa” ini menjadi punya konotasi negatif jika dikaitkan dengan kondisi pergolakan di Aceh dan Papua sebelum menjadi Provinsi Khusus dengan Undang Undang Otonomi Khusus. Pada waktu itu (dan mungkin juga pada beberapa kasus terjadi sampai sekarang) istilah kawan-kawan kita di Aceh dan Papua, mereka dijajah oleh Jakarta dan atau Jawa. Kekayaan alam mereka digadaikan/dikontrakkan kepada pihak asing oleh Negara yang notabene pusat pemerintahannya ada di Jakarta dan atau Jawa. Alhamdulillah, concern atau pertimbangan tentang masalah tersebut telah masuk dalam pasal-pasal di Undang Undang Otonomi Khusus baik untuk Aceh maupun Papua, di mana akhirnya pembagian hasil migas dan bahan tambang di kedua provinsi tersebut berbeda (lebih besar) daripada pembagian untuk daerah lain. Porsi yang di daerah lainnya diperuntukkan pemerintah pusat (85% untuk minyak bumi dan 70% untuk gas) dikurangi porsinya sehingga daerah khusus mempunyai hak bagi hasil 80% untuk pertambangan umum dan 70% untuk migas.

Meskipun sudah diberikan otonomi khusus, ternyata masih banyak masalah menggantung dan menyebabkan lambatnya proses percepatan kesetaraan pembangunan di daerah-daerah khusus tersebut di atas. Ketidaksiapan aturan-aturan yang lebih rinci telah menyebabkan kerancuan penggunaan dana perimbangan khusus tersebut (di Papua) dan juga proses eksplorasi dan eksploitasi migas / tambang (di Papua dan Aceh). Di  Nangroe Aceh Darussalam di mana di UU 11 2006 tentang Pemerintahan Aceh disebutkan bahwa “Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota berwenang untuk mengelola sumber daya alam yang hidup di laut wilayah Aceh” kesiapan badan pengelola migas dan atau pertambangan itu juga masih belum nampak tanda-tanda peluncurannya. Dengan demikian usaha-usaha eksplorasi dan produksi migas di daerah-daerah baru di Aceh, terutama, terhambat oleh masalah tersebut.

Perihal menggadaikan kedaulatan atas kekayaan bumi kepada pihak asing dapat diperiksa pada kasus pemberian hak operasional Blok Cepu kepada pihak asing dibanding ke Pertamina dan juga pada kasus Natuna D-Alpha yang sampai sekarang (lagi-lagi) Pertamina “diharuskan” untuk berpartner dengan pihak-pihak asing tertentu, tapi belum diputuskan siapanya. Cadangan-cadangan raksasa minyak (Cepu) dan gas (Natuna) yang strategis itu sudah dan sedang/akan dikuasai operasionalisasinya oleh pihak asing, yang tentunya kita sama-sama tahu pembicaraan negosiasinya sudah level G-to-G atau antar pemerintahan. Kunjungan Condoleeza Rice pada saat sebelum penandatanganan kontrak blok Cepu 2005 dan juga kunjungan kunjungan Obama dan Clinton dalam kurun tiga tahun terakhir ini yang bisa juga dikaitkan dengan pencarian partner Pertamina dalam pengelolaan Blok Natuna D-Alpha, kesemuanya menunjukkan bahwa tawar-menawar antar Negara telah terjadi dengan menggunakan kekayaan sumber daya alam kebumian kita sebagai bagian dari posisi tawar. Tidak ada salahnya dengan hal tersebut selama  Negara juga membuka itu semua secara transparan dan kepentingan-kepentingan daerah juga diakomodasi, sehingga ketimpangan-ketimpangan dalam hal kesejahteraan rakyat pada waktu operasionalisasi ekstraksi sumber daya kebumian tersebut bisa diminimalisisasi.

Sering kita dengar juga antrean BBM di kota-kota Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan tentunya di Papua. Listrik juga sering yang “byar-pet” di daerah-daerah yang sering disebut sebagai lumbung energi itu. Hal ini menjadi bagian dari fenomena kutukan sumber daya yang tidak bisa dipungkiri. “Ayam mati di lumbung padi “ menjadi pepatah yang seringkali kebenarannya nyata terjadi. Untuk mengatasi hal tersebut semestinya lah pola pengelolaan sumber daya alam kita perbaiki. Salah satunya adalah dengan mengenalkan kewajiban bagi para kontraktor pengelola sumber daya kebumian tersebut untuk memenuhi kebutuhan energi dan bahan bakar lokal daripada sekadar Domestic Market Obligation (DMO) yang seringkali tidak tepat sasaran penggunaannya. Domestic Energy Obligation (DEO) seharusnya menjadi pilihan alternatif untuk dimasukkan ke dalam kontrak-kontrak pengusahaan migas - batu bara kita.

Tentang Permintaan Perpanjangan (Renegoisasi?) Kontrak-Kontrak

Salah satu tugas utama Menteri ESDM yang baru, bapak Jero Wacik, adalah mengawal renegosiasi kontrak-kontrak migas dan minerba Indonesia seperti diungkapkan oleh Presiden SBY dalam berbagai kesempatan. Ada 26 blok migas berproduksi yang akan dimintakan perpanjangannya oleh kontraktornya tahun depan dan dua tahun lagi (2012 - 2013). Habisnya masa kontrak mereka bervariasi dari yang paling awal 5 Juli 2013 (Exspan Nusantara, Blok Kampar) sampai 4 Agustus 2020 (Kondur, Blok Malacca Strait). Termasuk di dalam daftar itu adalah blok penghasil gas terbesar di Indonesia (lebih dari dua miliar kubik kaki gas per hari) yaitu Blok Mahakam yang saat ini dikuasai operasinya oleh Total Indonesia (berakhir 30 Maret 2017).

Secara prinsip kontrak sebenarnya sama sekali tidak ada kewajiban bagi pemerintah untuk memperpanjang kontrak-kontrak pengusahaan blok-blok migas tersebut. Tetapi dengan melihat kinerja mereka selama ini tentunya pemerintah akan mempertimbangkan pemberian perpanjangan-perpanjangan tersebut. Yang harus juga sama-sama dikawal adalah prinsip kemandirian dan usaha menghargai kemampuan nasional, termasuk BUMN migas kita Pertamina yang terutama, untuk mendapatkan kesempatan mengelola aset-aset Negara yang telah dikontrak (terutama) oleh pihak swasta dan asing selama bertahun-tahun itu. Inilah saatnya kita meningkatkan kepemilikan nasional atas blok-blok migas produktif kita. Tentunya kita harus juga mengacu pada PP34/2005 yang menyatakan bahwa untuk blok-blok migas yang sudah habis masa kontraknya, diberikan kesempatan pertama kepada Pertamina, sebagai perusahaan milik Negara, untuk masuk mengelolanya dengan mengikuti persyaratan teknis administratif blok-tender dan awarding pada umumnya. Sebagai pemangku kepentingan, seharusnya kita sama-sama mengingatkan pemerintah untuk tidak terjebak pada kepentingan kelompok atau golongan dalam urusan renegosiasi kontrak-kontrak ini. Pengurusan perpanjangan/renegosiasi pada dua tahun menjelang Pemilu 2014 menciptakan peluang-peluang “brokerage” kekuasaan dalam rangka mengumpulkan pundi-pundi dana untuk menghadapi pemilu tersebut. Mari sama-sama kita awasi supaya nantinya tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam pengelolaan sumber daya ekstraksi kebumian kita tersebut, terutama apabila jatuh ke tangan yang salah, dan hanya dijadikan bagian dari permainan politik bisnis semata.

Tentang Subsidi (Mafia) Minyak, Turunnya Produksi Minyak dan Jalan di Tempatnya Industri Gas Alam - Geotermal

Data tahun 2009 menunjukkan bahwa Indonesia mengimpor minyak (minyak mentah dan “fuel”) sejumlah total 767.400 barel per hari yang pada saat itu secara keseluruhan kita memproduksi minyak hanya 949.000 barel per hari. Hal itu kita lakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi energi minyak bumi dalam negeri yang sudah mencapai angka di atas 1,5 juta barel per hari. Impor minyak kita itulah yang menjadi biang segala keributan terkait dengan urusan ”subsidi” yang tahun 2011 ini angka terakhirnya menyebutkan 160 triliun rupiah.

Penurunan produksi minyak bumi Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini seringkali secara aklamasi dan seragam diterangkan oleh pihak yang berwenang dikarenakan oleh usia lapangan-lapangan produksi yang sudah tua dan tidak ditemukannya cadangan-cadangan baru yang cukup besar untuk mengganti produksi. Yang kurang disinggung biasanya adalah mengapa tidak ditemukan cadangan-cadangan baru yang cukup besar, dan kalaupun ketemu, mengapa untuk memproduksikannya butuh waktu yang sangat lama sampai-sampai tidak bisa mengimbangi laju penurunan produksi pada waktunya (contoh kasus: Cepu), sehingga impor minyak bisa kita tekan dan subsidi: selamat jalan!

Impor minyak yang sampai hampir 800 ribuan barel per hari tersebut, tentunya melibatkan bisnis yang margin keuntungannya bisa sampai 68 miliar rupiah sehari (asumsi trading fee $10/bbl dan kurs dolar 8.500 rupiah). Jumlah keuntungan tersebut sangatlah besarnya sehingga kita semua juga seharusnya waspada untuk tidak terjebak melanggengkan impor (dan sekaligus subsidi) minyak tersebut dengan mencoba meningkatkan cadangan dan produksi dalam negeri dan sekaligus juga berusaha sekuat tenaga mendiversifikasikan penggunaan sumber energi. Diantaranya adalah dengan menggunakan gas alam dan atau geotermal yang jauh lebih ramah lingkungan dan relatif lebih murah dibanding minyak bumi, dan khusus untuk geotermal: cadangan dan potensinya melimpah di Indonesia.

Terus turunnya produksi minyak, seret atau jalan ditempatnya industri gas alam dan geotermal kita mustinya juga kita sikapi dengan melihat kemungkinan “kecintaan” kita atau sebagian golongan dari kita (di bisnis dan pemerintahan) untuk terus mencicipi “manisnya” subsidi dan impor minyak. Coba kita perhatikan bersama betapa sulitnya di awal-awalnya ketika bapak Dahlan Iskan sebagai Direktur PLN dulu meminta jatah gas alam ke ESDM untuk bisa mengganti  disel-disel pembangkit listriknya dengan mesin pembangkit untuk gas. Kemungkinan juga banyak faktor keengganan mengganti minyak dengan gas itu dipengaruhi oleh “manisnya” bisnis trading impor minyak di atas juga.

Salah satu usulan konkret untuk kebijakan energi kita adalah usaha radikal – revolusioner untuk mengalihkan sebagian subsidi minyak ke subsidi pengusahaan geotermal di Indonesia: sumber energi domestik, ramah lingkungan, yang keberadaannya merata di jalur gunung api Indonesia (terutama di pulau Jawa tempat berdomisili sebagian besar masyarakat Indonesia yang lapar energi).

Pembaruan Konsep Eksplorasi dalam Rangka peningkatan Pengelolaan Sumber Daya Ekstraksi Kebumian Indonesia

Untuk ikut membantu meningkatkan cadangan dan produksi sumber daya ekstraksi kebumian kita khususnya migas, dibutuhkan pembaruan konsep-konsep eksplorasi yang seharusnya peran kepeloporannya dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi seperti UPN Veteran Yogyakarta ini.

Beberapa cara pandang terhadap pembaruan konsep geologi eksplorasi migas Indonesia yang dapat dijadikan objek penelitian – studi antara lain: Indonesia Barat vs. Indonesia Timur, Tersier vs. Pra-Tersier, Onshore vs. Offshore, Proven Producing Basins vs. Explored Frontier Basins, Structural vs. Non-Structural Plays, Shallow Water vs. Deep Water Areas, Back Arc/Foreland vs. Volcanic Mountain Front/Intra-montana, dan juga tak kalah pentingnya: evaluasi ulang sumur-sumur/blok-blok gagal yang dikembalikan.

Sumur-sumur gagal eksplorasi alias dry wells bisa jadi “gagal evaluasi” karena kesalahan mekanis, kekurangan dana, prioritas ekonomi, konsep/teknologi lama, atau kesalahan interpretasi. Masih banyak kesempatan untuk melakukan dry hole revival di ex-sumur-sumur eksplorasi gagal kita di Indonesia dalam rangka percepatan penambahan cadangan dan produksi migas Indonesia. Sebagai contoh: dari 22 sumur eksplorasi yang pernah dibor oleh Pertamina di Cekungan Jambi dalam kurun waktu tahun 70an sampai 90an hanya sebelas yang dianggap berhasil dengan temuan sehingga akhirnya menjadi lapangan-lapangan baru. Sebelas sumur sisanya dianggap sebagai “dry hole” atau sumur kering, yaitu dengan menggunakan terminologi, kondisi, situasi, konsep, dan perhitungan ekonomi pada saat itu. Ternyata, setelah dilakukan evaluasi ulang atas sebelas sumur yang sudah dianggap “dry” tersebut, ada lima sumur yang mempunyai indikasi kuat keterdapatan migas di sana dan hanya karena kesalahan mekanis dan ketidakpastian pengujian bawah permukaan yang menyebabkan sumur-sumur itu dianggap sebagai “dry hole”. Maka usaha barupun dilakukan untuk menghidupkan kembali prospek dan lead yang terkait dengan sumur-sumur tersebut, yang insyaAllah apabila dilakukan proses eksplorasi dan eksploitasi selanjutnya akan ada tambahan yang cukup signifikan pada perolehan cadangan dan produksi di darah Pertamina Jambi tersebut. Hal seperti ini seharusnya dapat pula dilakukan di berbagai cekungan produktif lainnya di Indonesia. UPN Veteran Yogyakarta dapat menjadi pelopor dalam usaha-usaha seperti ini. 

Masalah-masalah teknis terkait dengan pembaruan konsep geologi untuk mengeksplorasi cadangan-cadangan baru migas Indonesia, antara lain:

  1. Cekungan-cekungan (baru) belum sepenuhnya didelineasikan, 

  2. “Petroleum system” di sebagian cekungan berproduksi belum begitu dimengerti (apalagi di cekungan-cekungan yang belum dieksplorasi), 

  3. Kualitas reservoir di (sekitar) daerah “active margin”: vulkanik, pengendapan cepat, overpressure

  4. Bocornya perangkap/penutup di daerah tektonik aktif (pengangkatan dan patahan), 

  5. Kompartementalisasi perangkap (dan reservoir) di daerah tektonik aktif (patahan), 

  6. Batuan vulkanik dan/atau karbonat yang menutupi permukaan cekungan menyulitkan akuisisi data geofisika untuk penggambaran geologi bawah permukaan, 

  7. Belum sepenuhnya mengembangkan/menerapkan metodologi akuisisi/analyses data geologi-geofisika terbaru: (Micro) gravity, Passive Seismic, Magnetic, Magnetotelluric, 3D shallow geoelectrical survey, Advanced processing (CRS, CWT, etc); dan 

  8. Integrasi data geologi permukaan dengan bawah permukaan belum optimal dilakukan.

Masalah-masalah non-teknis, antara lain:

  1. Akses terhadap data, keterbukaan data, masalah batasan empat, enam, delapan, tahun dan data aktif; 

  2. Tentang speculative survey yang tidak optimal, tidak melibatkan potensi fungsi expert terkait di bawah Kementrian ESDM dan lebih di”drive” oleh usulan dari pihak swasta (asing), dan 

  3. Masalah generation gap di Badan Geologi, Lemigas, BPMigas, Ditjen Migas akibat kebijakan zero growth di akhir 90an awal 2000an, 

  4. Tidak optimalnya analyses dan synthesis data dalam penyiapan blok, 

  5. Packaging informasi dalam penawaran blok di mana data dasar yang dimiliki pemerintah kurang menarik; yang lebih menarik biasanya data dasar yang dikuasai swasta (asing), dan 

  6. Prosedur relinquishment dan evaluasinya yang kurang melibatkan potensi fungsi expert terkait di bawah Kementrian ESDM.

Penutup

Uraian tentang sebagian kecil sisi pengelolaan sumber daya ekstraksi kebumian kita di atas, khususnya migas, mudah-mudahan dapat memberikan gambaran tentang efisiensi dan efektifitasnya dalam rangka pelaksanaan amanat pasal 33 ayat 3 UUD45 kita yang berujung pada sebesar-besar kemakmuran rakyat. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”  Yogyakarta yang dalam hal ini terus melahirkan sarjana-sarjana kebumian dan juga disiplin lain yang berkaitan dengan ekstraksi sumber daya kebumian di atas mudah-mudahan mendapatkan banyak manfaat dari perenungan yang telah dipaparkan di atas.

Sekali lagi, selamat berulang tahun UPN Veteran Yogyakarta

Sebagai arema, saya juga ingin memberikan pantun – parikan Malangan untuk kawan-kawan UPN:

Masiyo bolah2e ruwet, Tuku duren kudhu terus mampir. Masiyo pengelolaan SDA-ne ruwet, UPN kudhu terus jernih berpikir.

Masiyo bolah-e metel, Kudhu dirawat sampek tajir. Masiyo awak-e pegel, Kudhu semangat sampek akhir.

Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Previous
Previous

No Seep on Giant Field: No Artifact on Great Archeological Site?

Next
Next

Brainstorming Revisi PP18/99 jo PP85/99 tentang Pengelolaan Limbah B3, JKT 08/12/10