Tentang Sulit dan Mudah

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Sebagai geologist sulit bagiku memahami bahwa Portugis, Spanyol, dan kemudian Belanda beberapa abad yang lalu itu susah payah datang ke Indonesia (dan negara-negara di timur lainnya) dengan tujuan utama mencari rempah-rempah. Lha, emas, perak, dan tembaga yang berlimpah di Indonesia itu memangnya dibiarkan saja? Apa gak menarik perhatian mereka??

Bagiku lebih masuk akal kalau rempah-rempah yang mereka bawa itu adalah bonus oleh-oleh saja untuk penyedap cita rasa masakan mereka di sana, tapi yang utama adalah meraup emas-emas batangan, olahan, maupun yang masih dalam bentuk bijih untuk dibawa ke negeri mereka!! Bukankah sebelum mereka datang pun kerajaan-kerajaan di Jawa-Sumatra sudah terbiasa dengan perhiasan, asesori, ornamen, dan perdagangan emas dan berlian berabad-abad lamanya sebelumnya.

Sulit juga bagiku memahami, untuk apa ribuan tahun yang lalu orang-orang itu membangun bangunan pemujaan di tonjolan kecil morfologi yang sama sekali bukan landmark, yang dikelilingi hampir separuh sisinya oleh bekas dinding kaldera besar gunung api purba yang posisinya lebih tinggi dari tonjolan morfologi kecil tak berarti itu. Gunung Padang!!!

Secara analisis morfo-vulkanik dan kaitannya dengan mineralisasi saja sudah terasa kuat hubungan antara bentuk memanjang bukit itu dengan arah-arah umum mineralisasi yang dieksploitasi di zaman modern ini. Abad 19 dan awal abad 20 yang lalu Belanda mengeksploitasi mineral di sekitar daerah situ (Cikondang) pun sudah sangat modern — dibanding masa ribuan tahun seblumnya yang kemungkinan masyarakatnya sudah dapat mengidentifikasi mineralisasi di Gunung Padang dan mengeksploitasinya.

Hipotesa paling liar adalah setelah proses eksploitasi tersebut mereka bangunlah bangunan-bangunan di atasnya untuk pemujaan dan hal-hal ritual lainnya untuk kemudian dijustifikasi oleh orang-orang modern (termasuk intelektual-intelektual mainstreamnya) yang hanya mempertimbangkan linearisme dalam sejarah dan budaya: bahwa Gunung Padang adalah  tempat sembahyang/pemujaan orang-orang purba. Hehehhhehehe.....

Kasusnya serupa dengan bagaimana Belanda membangun titik-titik triangulasi di gunung-gunung dan lembah-lembah kemudian menanami pohon beringin di sana supaya masyarakat tidak mengganggu penanda-penanda geodesi tersebut karena pohon beringinnya angker — tempat nenek moyang bertapa dan sebagainya. Juga kasus pohon-pohon beringin angker di mata air-mata air kita!!! Mitos - Legenda tentang keangkeran lokasi penanda maupun (bekas eksploitasi) sumber daya alam lainnya kelihatannya sengaja dibikin untuk melindungi kelestariannya (atau supaya suatu saat nanti orang yang dikehendaki oleh para penanda tersebut dapat menemukan “sisa-sisa"nya??). Wallahualam. Ekskavasi yang akan membuktikannya.

Lebih mudah bagiku sebagai geologist, yang meskipun dibilang liar berteori tapi tetap tertib berhipotesa memakai alur pengetahuanku tentang geologi, daripada tersesatkan oleh mainstream pendapat para ahli yang berkacamata kuda yang tidak berani eksplorasi mendobrak kemapanan.

Previous
Previous

Kilas-ESDM (22/11) dan Komentar-Komentar Bebas Penyeimbang

Next
Next

10 Agenda (Oret-Oretan di Bawah Meja)