“Scientific Truth in the Making” (Surat untuk Gesit di Kanada)
Gesit, coba browsing, kumpulkan, dan kemudian klipingkan pemberitaan tentang bencana (gempa, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, sampai ke "meteor impact") yang terkait dengan Andi Arief, Staff khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial & Bencana, termasuk pemberitaan tentang Katastrofe Purba dan ramainya perang opini tentang riset Gunung Padang akhir-akhir ini.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Gesit, coba browsing, kumpulkan, dan kemudian klipingkan pemberitaan tentang bencana (gempa, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, sampai ke "meteor impact") yang terkait dengan Andi Arief (AA), Staff khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial & Bencana, termasuk pemberitaan tentang Katastrofe Purba dan ramainya perang opini tentang riset Gunung Padang (Petisi Arkenas dan lain-lain) akhir-akhir ini.
Perhatikan gaya komunikasi AA: pernyataan-pernyataan yang dilontarkannya, prediksi-prediksinya, warning-nya, dan sejenisnya. Itu semua bisa jadi bahan telaah fenomena baru: science journalism yang sekarang sedang kamu utak-atik di sana. Gaya komunikasi AA tersebut menghadapkan sains langsung kepada masyarakat. Tidak lagi menyembunyikannya diam-diam dan menunggu menggodoknya matang sebelum hasil akhirnya nanti dilemparkan ke masyarakat. Gaya tersebut mencoba menyuguhkan sains yang rumit menjadi "sederhana" untuk dicerna dan —yang terpenting — bermanfaat untuk masyarakat, bahkan ketika masih dalam fase penelitian.
Prediksi tentang masih akan munculnya mega-thrust di barat Sumbar/Bengkulu dalam waktu dekat, tentang Jakarta yang dapat sewaktu-waktu terimbas gempa dan tsunami dari Selat Sunda, mengingatkan gempa-gempa susulan setelah adanya gempa-gempa besar, banjir, tanah longsor, aktivitas gunung berapi yang silih berganti di Indonesia, dan sebagainya. Hal-hal yang dulu pra 2009 (apalagi pra 2004) tabu untuk dibicarakan dan jarang dimuat di media-media terkait dengan potensi-potensi bencana tersebut, makin ke sini makin hampir tiap hari tersebar lewat media sosial bahkan sampai ke media konvensional. Coba hitung berapa banyak dari berita itu yang berasal dari kelompok AA (SKP-BSB) dan para saintis independent yang bukan di “mainstream” pemerintahan, dan berapa banyak yang berasal dari otoritas “resmi” (keilmuan maupun pemerintahan).
Itu semua adalah gaya baru dalam mengkomunikasikan sains dan "ketidakpastiannya" ke masyarakat. Coba eksplorasi lebih lanjut, mungkin dengan latar belakang geologi dan science journalism-mu kamu dapat lebih memahami fenomena baru ini dan kalau bisa ikut andil dalam mengembangkannya lebih lanjut untuk kepentingan yang lebih besar: partisipasi, pemahaman dan aplikasi sains dari dan oleh masyarakat terbuka Indonesia untuk kemajuan bangsa!!! (Hehehehe, harus selalu ada visi dan misi besar di depan supaya kita tergetar untuk selalu bergerak meraih ayunan tangga ke level hakikat yang lebih tinggi — ke hadapan Tuhan).
Mungkin gaya seperti itu bisa kita sebut sebagai gaya era baru keterbukaan sains yang, dalam proses penelitian pencarian kebenarannya, hasil-hasil (sementara)nya terus menerus dikomunikasikan ke masyarakat. Banyak positifnya, tapi ada juga negatifnya, terutama ketika berhadapan dengan establisme otoritas keilmuan yang ortodoks dan kaku. Bahkan sampai menimbulkan konflik-konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi kalau masing-masing pihak legowo dan mau "mendengarakan" dalam komunikasi.
Menarik untuk diikuti. Scientific truth in the making — pembuktian kebenaran saintifik yang sama-sama disaksikan masyarakat. Harusnya tidak perlu ada yang sampai merasa tersinggung dengan berbagai klaim yang saling dilemparkan ke masyarakat. Bisa jadi kebenaran ilmiah diklaim sebagai milik segelintir dewa dan otoritas lembaga, tapi kebenaran hakiki adalah yang paling membawa manfaat buat bangsa-masyarakat dunia akhirat sebagai proxy untuk mendekati kebenaran mutlak yang dimiliki Allah subhanahuwata’ala.
Kelemahan lain dari science journalism model langsung seperti digambarkan di atas adalah: hasil-hasil awal, sementara dari penelitian bisa saja dipersepsikan oleh masyarakat sebagai hasil final/hasil akhir, yang mana hal tersebut dapat menimbulkan kekecewaan nantinya apabila ternyata di hasil akhirnya tidak sesuai dengan hipotesis. Bagi peneliti-saintis, hal tersebut tidak menjadi masalah. Hipotesis itu dibuat untuk dibuktikan benar atau salahnya. Bagi masyarakat yang kadung percaya bahwa hipotesis itu adalah kebenaran, maka hasil awal yang mendukung hipotesis bisa memelesetkan kepercayaan mereka kepada hasil akhir yang tidak sesuai dengan hipotesis. Pastinya kalau nanti tidak terbukti bahwa Gunung Padang itu tidak punya ruang bawah tanah, tidak sebesar sepuluh kali Borobudur, hanya produk budaya seperti pengertian semula yang 2500 tahunan saja, maka masyarakat yang mengharapkan masa lalu Indonesia yang gemilang akan kecewa (dan mungkin malah tidak mempedulikan hasil akhir tersebut). Sementara masyarakat yang konon katanya lebih realistis dan menganut konsep-teori mainstream budaya linear manusia akan merasa lega, karena otoritas keilmuannya tidak lagi terbantahkan.
Tapi apakah hasil awal itu, dan apakah hasil akhir itu? Selama saintis tetap berpikir kritis, selama sains terus ada dan tidak dikekang, maka semua hasil adalah hasil awal. Dan kita semua harus secerdik-cerdiknya memanfaatkan kesementaraan hasil sains yang selalu awal itu untuk kepentingan yang lebih luas: kesejahteraan manusia. Jangan sampai ada hasil akhir. Jangan sampai kita berhenti.
The Explorer Vs. Mainstreamer
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Coba lihat itu kasus Gunung Padang, bagaimana proses aksi-reaksi yang terjadi pada inisiatif masyarakat yang disebut sebagai Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang yang sejak 2010 – 2011 mulai meneliti Gunung Padang dengan berbagai metode geologi-geofisika, arsitektur dan arkeologi itu. Tim ini difasilitasi oleh Andi Arief (AA) untuk kemudahan perizinan kerja legal-formalnya tapi tidak sepeser pun Tim ini mendapatkan dana untuk penelitian Gunung Padang dari Andi Arief atau pemerintah, semua pake biaya pribadi sendiri-sendiri.
Di dalam fasilitasi dan kepemimpinan AA tersebut dilakukan penyiaran terus menerus hasil-hasil kerja sementara Tim lewat kuatnya jaringan media yang dapat dijangkau oleh bekas aktivis mahasiswa ‘98 ini. It is a science journalism militant works indeed. Akibatnya juga “militant”: yaitu Gunung Padang akhirnya menjadi pusat perhatian masyarakat lebih dari sebelum-sebelumnya. Jumlah kunjungan meningkat meroket tajam dalam dua tahun terakhir ini. Pro dan kontra pun terjadi terus menerus. Analisis-analisis sementara dari data-data geologi – geofisika – arsitektur – arkeologi sering kali langsung dilemparkan begitu saja ke masyarakat, sehingga membuat masyarakat menjadi “bergairah”, sekaligus “resah”.
Resah???!!! Tentu saja! Karena hasil-hasil sementara itu sering kali bertentangan dengan kesimpulan-kesimpulan lama tentang budaya – kebudayaan – teknologi – arkeologi mainstream yang dianut/diyakini oleh sebagian besar saintis-saintis “pemerintah” dan individu-individu swasta mainstream lainnya. Itulah yang membuat para saintis mainstream merasa tertantang. Maka setelah dengan segala cara dilakukan counter argument, counter berita, maupun lewat pertemuan dan diskusi yang difasilitasi ternyata masih juga Tim Terpadu tersebut tidak bisa dicegah pengaruhnya (karena yang meng-counter hanya mengandalkan data-data lama, atau analogi-analogi belaka dan waktu itu belum melakukan survey tandingan ke Gunung Padang), maka dilakukanlah penelitian resmi yang dibiayai pemerintah memakai uang Negara pada akhir 2012 (Oktober - November 2012) oleh lembaga pemerintah yang berwenang dengan tujuan membuktikan bahwa klaim Tim Terpadu tersebut tidak benar. Dan sesuai dengan tujuannya, riset tandingan itu pun akhirnya menyimpulkan bahwa klaim Tim Terpadu tentang umur yang tua, luas, tinggi dan besar yang jauh melebihi aslinya, teknologi canggih yang membangunnya, kemungkinan ada rongga/ruang di bawah situs puncaknya: semua itu tidak benar. Meskipun Tim verifikasi tersebut tidak memakai alat dan metode geofisika yang sama, tidak melakukan pemboran, tidak melakukan carbon dating, dan berbagai metodologi seperti yang dipakai oleh Tim Terpadu. Dan parahnya: kedua tim tersebut (Tim Terpadu Mandiri dan Tim Pemerintah) tidak pernah bertemu untuk membahas satu persatu pokok bahasan, temuan, konsep, perhitungan, dan analisis yang masing-masing mereka lakukan.
Kemudian di akhir 2012 dan triwulan pertama 2013 ini, Tim Terpadu pun terus melakukan kerja risetnya. Kali itu mereka tidak lagi meneliti daerah SITUS yang benar-benar sudah dianggap sebagai situs yang dilindungi oleh Undang-Undang, yaitu di bagian atas yang sudah dipagari sesuai dengan SK Mendikbud No. 139/M/1998 tertanggal 16 Juni 1998. Tetapi Tim Terpadu justru ingin membuktikan kemenerusan situs itu ke timur, barat, dan utaranya, dan secara lebih khusus melakukan ekskavasi di tanah masyarakat (yang tidak dianggap sebagai situs, karena di luar pagar dan tidak masuk dalam penetapan SK Mendikbud). Ekskavasi itu pun resmi mendapatkan ijin dari Bupati Cianjur (karena belum ditetapkan sebagai daerah situs maka ijinnya dari Bupati).
Apa yang ditemukan dan kemudian di-lab analyses dan direkonstruksi-kan oleh Tim Terpadu dari hasil “ekskavasi” sesi terakhir mereka itu ternyata semakin menambah keyakinan bahwa luasan – besaran – dimensi Gunung Padang jauh lebih besar dari apa yang menyembul muncul di permukaannya yang terlihat di puncak sebagai situs 900 meter persegi itu. Masih ada puluhan meter “badan situs” yang menerus ke arah lereng timur, dan selain itu dari hasil ekskavasi sekitar 4,5 meter di luar situs resmi, didapatkan “semen-purba”, slag-besi, alat potong besi, dan fenomena-fenomena pecahan batu yang tersusun tidak alamiah.
Ditambah dengan puluhan data akuisisi bawah permukaan baru yang lebih rinci, maka fakta-fakta baru di atas mendorong Tim Terpadu untuk memformalkan proses “pengulitan” lereng timur Gunung Padang melalui program “Ekskavasi Bersama Masyarakat” yang sebenarnya adalah usaha untuk membersihkan bangunan luar lereng timur Gunung Padang dari tanah penutup sekitar 50 sentimeter – 2 meter tebalnya. Dan itu pun adalah daerah yang selama ini bukan dianggap sebagai situs. Justru dengan pembukaan atau pengulitan atau “ekskavasi” inilah maka bentuk luar dari bangunan lereng timur Gunung Padang itu akan menampakkan dirinya. Barulah setelah itu akan dilakukan penelitian lebih lanjut ke dalam – menjajaki kemungkinan adanya rongga-ruangan seperti yang diindikasikan dari interpretasi geofisika-geologi bawah permukaan, sambil diusulkan – diproses untuk menjadi daerah situs yang dilindungi. Tentu saja proses ekskavasi yang melibatkan masyarakat di daerah non-situs itu akan dikawal oleh tenaga-tenaga ahli arkeologi dan kelengkapan profesi yang mengiringinya: geologi, geofisika, lingkungan, dan sebagainya. Bukan sembarangan ekskavasi.
Lalu, kenapa sampai ada petisi yang menolak segala acara untuk membersihkan – menguliti – mengekskavasi lereng timur Gunung Padang yang tidak termasuk ke dalam situs resmi itu? Kenapa usaha untuk membuktikan kebesaran monumen teknologi tinggi bangsa kita zaman ribuan tahun lalu itu pake dipetisi-petisi disuruh berhenti? Salah persepsi? Kurang komunikasi?
Entahlah.
Coba kamu analisis, kenapa ini semua terjadi.
(Tim Kami tidak Mencari Gudang Emas di Situs Purbakala atau Piramida)
Tim kami tidak mencari gudang emas di situs purbakala atau piramida. Seperti yang selalu saya tuliskan: kami sedang mencoba melengkapi data periodisitas kebencanaan Indonesia. Spin off-nya adalah mendapatkan data kebudayaan, teknologi dan sejarah dari peninggalan yang terkubur bencana.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Tim kami tidak mencari gudang emas di situs purbakala atau piramida. Seperti yang selalu saya tuliskan: kami sedang mencoba melengkapi data periodisitas kebencanaan Indonesia. Spin off-nya adalah mendapatkan data kebudayaan, teknologi dan sejarah dari peninggalan yang terkubur bencana.
Makanya jadi penting untuk selalu objektif (merujuk pada objek) yaitu tulisan yang saya terbitkan tentang latar belakang pemikiran Tim Katastrofi Purba (salah satunya Pidato Kebudayaan 14 Agustus 2012 Bagian Kedua Tentang Bencana) dan bukan sekadar dari berita-berita di media. Karena premis dasar dan "multiple working hypothesis" seperti yang saya siratkan dalam tulisan itulah yang sebenar-benarnya ada di jalur prosedural kerja Tim Katastrofi Purba. Bukan seperti yang dipersepsikan oleh euforia media atau sebagian kalangan yang sengaja memanfaatkan berita penelitian mandiri tersebut dengan membelokkannya menjadi seolah Tim kami sedang mencari piramida dan gudang emas peninggalan kerajaan pra sejarah.
Kalau ingin mengomentari tentang persepsi atau berita media lebih baik kita "jembreng" beritanya terus kita bedah kebenarannya kata-per-kata sampai ke konteks ceritanya, atau kita coba hubungkan lebih elegan dengan "thread" yang ada dalam tulisan saya tentang Bencana tersebut sehingga tidak kelihatan "menjebal" dan tersesat.
Perlu disadari juga seringkali media membuat cerita berdasarkan persepsi populer di sebagian masyarakat yang menyeleweng dari fakta dan keterangan sebenarnya dari para penelitinya.
Sampai sekarang tidak ada kesimpulan sementara Tim yang menyebutkan secara meyakinkan/definitif/konsklusif tentang adanya "piramida" dan apalagi gudang emas di situs-situs purbakala yang kita teliti. Punden berundak raksasa memang kita indikasikan ada di Gunung Padang, Cianjur,.. Tapi apakah itu bentuknya piramida atau limasan atau yang lainnya masih memerlukan kerja lanjutan yang dikoordinasikan Tim Arkeologi dan banyak menyangkut metodologi kerja yang spesifik arkeologis seperti ekskavasi dan sebagainya ..(bukan lagi domain utama metodologi geologi yang jadi spesialisasi saya),.. Tim Katastrofi Purba yang sifatnya mandiri dan swadaya mungkin tidak akan lagi memimpin di depan, karena meskipun ada anggota Tim kami yang arkeolog dan ahli sejarah-budaya, tapi masalah tentang Gunung Padang (khususnya) sudah menjadi domain-nya Arkenas Kemendikbud setelah Tim Katastrofi Purba mempresentasikan temuan-temuan awal ke Pemerintah dalam kurun semester pertama 2012 kemarin.
Kalaupun ada gudang harta di situs-situs purbakala, harta itu bagi kita adalah pengetahuan yang terkubur di sana untuk kita pelajari sehingga kita tidak harus selalu mulai dari nol memahat mengukir dan memanfaatkan kebudayaan dan teknologi kita. Gudang emasnya? Biarlah itu jadi makanan media dan buruan para petualang seperti Indiana Jones dan sejenisnya....
(Merekam Sifat Benda Melalui Prinsip Fisika dan Geologi)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Geolistrik, georadar, geomagnet, borehole log, downhole camera, semuanya itu hanya alat perekam. Hasil rekamannya juga harus diinterpretasi. Alat-alat itu merekam sifat-sifat fisika dari obyek/benda fisik yang dalam domain penelitian kami di geologi biasanya berupa lapisan batuan, rongga, fluida pengisi rongga (bisa gas/udara atau cairan), dan sejenisnya. Interpretasi sifat fisik yang terekam di alat-alat tersebut dilakukan dengan menggunakan prinsip fisika dan geologi.
Tergantung dari kebiasaan, kebisaan, dan pengalaman geoscientist-nya, interpretasi bisa bermacam-macam. Pengalaman dan referensi geoscientist dalam mengenali bentuk-bentuk alami "geologi" (terobosan magma, leleran lava, patahan dan sebagainya) versus bentuk-bentuk non-alami seperti bunker (tempat persembunyian Tomy Soeharto dulu), lorong gua Jepang Dago Pakar, dan sebagainya menjadi sangat penting dalam menganalisis validitas interpretasi. Untuk membuktikan interpretasi tersebut biasanya kita lakukan trenching atau drilling pengambilan inti batuan dan sekaligus keratan (cuttings) batuannya. Kalau ketemu rongga kita akan turunkan downhole camera dan sebagainya.
Dalam kasus Gunung Padang, drilling baru dilakukan di dua lokasi, dan temuan sementara menunjukkan ada anomali dari hubungan stratigrafi perlapisan dari satu lokasi ke lokasi lainnya yang hanya berjarak sekitar 30 meter (dan minggu lalu digali-ekskavasi, ternyata memang anomali itu terbukti salah satunya: ada tanah penutup di teras lima sementara di teras tiga tidak ada tanah penutupnya). Yang diinterpretasikan sebagai "ruang" dangkal dari gambaran geolistrik/gpr di teras lima ternyata dari pemboran terbukti sebagai zona yang bagian atasnya terisi pasir kering setinggi/setebal dua meter di kedalaman 7,5 meter (setelah tembus lapisan tanah penutup), dan seterusnya. Zona tersebut tidak kita jumpai di pemboran lobang satu di teras tiga, yang mana itu juga merupakan "anomali" dari segi geologi.
Sebenarnya ultimate truth-nya berupa ekskavasi bisa secara sistematis (tidak terburu-uru) dipilah dan ditata prosedur pembuktiannya supaya efisien dan efektif: kapan dan mana dulu yang diekskavasi, dan sebagainya...
(Urat Emas dan Penggelontoran Dana)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Ada pertanyaan sedikit yang mengganjal: apakah benar di gunung sebelah situs Gunung Padang (kalau tak salah Gunung Rosa) ada urat-urat emas sehingga ada pihak luar ada yang berminat menggelontorkan dana (dengan hidden agenda tentunya)?
Confirmed, untuk fenomena urat, pak! Tapi tidak confirmed untuk gelontoran dana itu!
Di arah selatan dan tenggara Gunung Padang memang banyak dijumpai mineralisasi akibat terobosan larutan magma pada aktivitas vulkanisme Plio-Pleistocene (1,5 juta tahun sampai sekarang) di mana mineralisasi-mineralisasi itu bisa saja ada yang mengandung emas dalam bentuk urat-urat di rekahan-rekahan bumi. Di belakang Gunung Padang ke arah Gunung Malati pun sudah kita jumpai mineralisasi-mineralisasi tersebut (dalam istilah geologi juga disebut hidrotermal alteration: warna batuan jadi putih kekuningan berbau belerang dan banyak mineral-mineral pirit dan sebagainya — tapi tidak ada emasnya).
Nah, waktu pemboran di Gunung Padang pun petinggi militer setempat yang ikut meninjau waktu itu sempet nanya ke geologis saya (karena saya kebetulan tidak ada di lokasi), “itu kalo nanti ketemu urat emas di pemboran bagaimana, dik?” Dan seterusnya. Jadi memang nampaknya persepsi/kecurigaan orang awam selalu ada bahwa penelitian kita itu bisa jadi sebenarnya nyari emas atau eksplorasi urat mineralisasi emas dan sebagainya. Dengan demikian isu-isu orang awam bahwa ada yang berminat menggelontorlan dana karena mau nyari urat-urat emas jadi sangat dimengerti.
Kalaupun memang kita menemukan "endapan" emas natural berupa urat-urat emas di pemboran Gunung Padang, tentunya harus dilaporkan ke pihak yang berwenang (Dis ESDM Cianjur dan juga tentunya Balar karena ada di daerah kekuasaan mereka). Tapi apakah dengan demikian terus situs Gunung Padang akan dibongkar habis karena adanya urat emas tersebut tentunya kita semua para stakeholder ini tidak akan seceroboh itu. Jadi, akan sangat berat bagi penggelontor dana untuk nantinya menindaklanjuti kalau ada urat emas di dalamnya karena regulasi-regulasi yang terkait kepurbakalaan dan juga tantangan dari banyak kalangan (termasuk dari saya sendiri walau latar belakang saya adalah geologis ekstraktif kebumian — oil and gas — karena tidak sesuai dengan prinsip keseimbangan yang kami anut dalam eksplorasi-eksploitasi sumber daya alam).