The Explorer Vs. Mainstreamer

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Coba lihat itu kasus Gunung Padang, bagaimana proses aksi-reaksi yang terjadi pada inisiatif masyarakat yang disebut sebagai Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang yang sejak 2010 – 2011 mulai meneliti Gunung Padang dengan berbagai metode geologi-geofisika, arsitektur dan arkeologi itu. Tim ini difasilitasi oleh Andi Arief (AA) untuk kemudahan perizinan kerja legal-formalnya tapi tidak sepeser pun Tim ini mendapatkan dana untuk penelitian Gunung Padang dari Andi Arief atau pemerintah, semua pake biaya pribadi sendiri-sendiri.

Di dalam fasilitasi dan kepemimpinan AA tersebut dilakukan penyiaran terus menerus hasil-hasil kerja sementara Tim lewat kuatnya jaringan media yang dapat dijangkau oleh bekas aktivis mahasiswa ‘98 ini. It is a science journalism militant works indeed. Akibatnya juga “militant”: yaitu Gunung Padang akhirnya menjadi pusat perhatian masyarakat lebih dari sebelum-sebelumnya. Jumlah kunjungan meningkat meroket tajam dalam dua tahun terakhir ini. Pro dan kontra pun terjadi terus menerus. Analisis-analisis sementara dari data-data geologi – geofisika – arsitektur – arkeologi sering kali langsung dilemparkan begitu saja ke masyarakat, sehingga membuat masyarakat menjadi “bergairah”, sekaligus “resah”.

Resah???!!! Tentu saja! Karena hasil-hasil sementara itu sering kali bertentangan dengan kesimpulan-kesimpulan lama tentang budaya – kebudayaan – teknologi – arkeologi mainstream yang dianut/diyakini oleh sebagian besar saintis-saintis “pemerintah” dan individu-individu swasta mainstream lainnya. Itulah yang membuat para saintis mainstream merasa tertantang. Maka setelah dengan segala cara dilakukan counter argument, counter berita, maupun lewat pertemuan dan diskusi yang difasilitasi ternyata masih juga Tim Terpadu tersebut tidak bisa dicegah pengaruhnya (karena yang meng-counter hanya mengandalkan data-data lama, atau analogi-analogi belaka dan waktu itu belum melakukan survey tandingan ke Gunung Padang), maka dilakukanlah penelitian resmi yang dibiayai pemerintah memakai uang Negara pada akhir 2012 (Oktober - November 2012) oleh lembaga pemerintah yang berwenang dengan tujuan membuktikan bahwa klaim Tim Terpadu tersebut tidak benar. Dan sesuai dengan tujuannya, riset tandingan itu pun akhirnya menyimpulkan bahwa klaim Tim Terpadu tentang umur yang tua, luas, tinggi dan besar yang jauh melebihi aslinya, teknologi canggih yang membangunnya, kemungkinan ada rongga/ruang di bawah situs puncaknya: semua itu tidak benar. Meskipun Tim verifikasi tersebut tidak memakai alat dan metode geofisika yang sama, tidak melakukan pemboran, tidak melakukan carbon dating, dan berbagai metodologi seperti yang dipakai oleh Tim Terpadu. Dan parahnya: kedua tim tersebut (Tim Terpadu Mandiri dan Tim Pemerintah) tidak pernah bertemu untuk membahas satu persatu pokok bahasan, temuan, konsep, perhitungan, dan analisis yang masing-masing mereka lakukan.

Kemudian di akhir 2012 dan triwulan pertama 2013 ini, Tim Terpadu pun terus melakukan kerja risetnya. Kali itu mereka tidak lagi meneliti daerah SITUS yang benar-benar sudah dianggap sebagai situs yang dilindungi oleh Undang-Undang, yaitu di bagian atas yang sudah dipagari sesuai dengan SK Mendikbud No. 139/M/1998 tertanggal 16 Juni 1998. Tetapi Tim Terpadu justru ingin membuktikan kemenerusan situs itu ke timur, barat, dan utaranya, dan secara lebih khusus melakukan ekskavasi di tanah masyarakat (yang tidak dianggap sebagai situs, karena di luar pagar dan tidak masuk dalam penetapan SK Mendikbud). Ekskavasi itu pun resmi mendapatkan ijin dari Bupati Cianjur (karena belum ditetapkan sebagai daerah situs maka ijinnya dari Bupati).

Apa yang ditemukan dan kemudian di-lab analyses dan direkonstruksi-kan oleh Tim Terpadu dari hasil “ekskavasi” sesi terakhir mereka itu ternyata semakin menambah keyakinan bahwa luasan – besaran – dimensi Gunung Padang jauh lebih besar dari apa yang menyembul muncul di permukaannya yang terlihat di puncak sebagai situs 900 meter persegi itu. Masih ada puluhan meter “badan situs” yang menerus ke arah lereng timur, dan selain itu dari hasil ekskavasi sekitar 4,5 meter di luar situs resmi, didapatkan “semen-purba”, slag-besi, alat potong besi, dan fenomena-fenomena pecahan batu yang tersusun tidak alamiah.

Ditambah dengan puluhan data akuisisi bawah permukaan baru yang lebih rinci, maka fakta-fakta baru di atas mendorong Tim Terpadu untuk memformalkan proses “pengulitan” lereng timur Gunung Padang melalui program “Ekskavasi Bersama Masyarakat” yang sebenarnya adalah usaha untuk membersihkan bangunan luar lereng timur Gunung Padang dari tanah penutup sekitar 50 sentimeter – 2 meter tebalnya. Dan itu pun adalah daerah yang selama ini bukan dianggap sebagai situs. Justru dengan pembukaan atau pengulitan atau “ekskavasi” inilah maka bentuk luar dari bangunan lereng timur Gunung Padang itu akan menampakkan dirinya. Barulah setelah itu akan dilakukan penelitian lebih lanjut ke dalam – menjajaki kemungkinan adanya rongga-ruangan seperti yang diindikasikan dari interpretasi geofisika-geologi bawah permukaan, sambil diusulkan – diproses untuk menjadi daerah situs yang dilindungi. Tentu saja proses ekskavasi yang melibatkan masyarakat di daerah non-situs itu akan dikawal oleh tenaga-tenaga ahli arkeologi dan kelengkapan profesi yang mengiringinya: geologi, geofisika, lingkungan, dan sebagainya. Bukan sembarangan ekskavasi.

Lalu, kenapa sampai ada petisi yang menolak segala acara untuk membersihkan – menguliti – mengekskavasi lereng timur Gunung Padang yang tidak termasuk ke dalam situs resmi itu? Kenapa usaha untuk membuktikan kebesaran monumen teknologi tinggi bangsa kita zaman ribuan tahun lalu itu pake dipetisi-petisi disuruh berhenti? Salah persepsi? Kurang komunikasi?

Entahlah.

Coba kamu analisis, kenapa ini semua terjadi.

Previous
Previous

“Scientific Truth in the Making” (Surat untuk Gesit di Kanada)

Next
Next

Kesadaran (Solidaritas) Geologi untuk Arkeologi Indonesia