Tentang Bendera Merah Putih di Puncak Gunung Padang

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Salah satu dari empat pertapa yaitu yang paling tua: dialah yang meminta izin kepada para Juru Kunci Gunung Padang untuk memasang bendera merah putih itu di masa-masa awal saat mereka mulai pertapaannya akhir 2011 lalu. Mereka sudah lebih dari sebulan ada di puncak Gunung Padang, ketika kami melakukan pemboran Januari 2012. Yang paling tua itu adalah bapak mereka, umurnya 80an tahun, tapi masih tegak kuat dan segar bugar seperti 50an. Pesan pak tua itu: biarkan saja bendera merah putih berkibar di sana, jangan diganti, jangan diturunkan sejenak juga, sampai nanti saatnya dia rusak cabik dan musnah dengan sendirinya.

Selama belasan puluhan tahun menjaga Gunung Padang, para juru kunci mengakui tidak pernah sekali pun melihat, mengalami, dan merasakan ada bendera merah putih dikibarkan di sana. Baru sekali inilah peristiwanya. "Dulu pak Karno pernah naik ke sini, maka untuk memperingati itu, biarlah saya pasang bendera merah putih ini di sini,” begitu kata pak tua 80 tahun itu kepada para juru kunci. Aneh? Masih ada yang lebih aneh lagi: coba simak juga berikut ini.

Seumur pengalaman para juru kunci itu tidak pernah ada orang atau rombongan orang yang ziarah lebih dari tiga hari tiga malam berturut-turut. Ini mereka berempat bukan hanya lebih dari tiga hari tiga malam, tapi sudah berbulan-bulan di situ. Kalau siang mereka tidur di tenda kalau malam pindah ke rerumputan bebatuan situs “melekan” semedi, dzikir, tafakur sepanjang malam. Kebutuhan makan minum sehari-hari nampaknya dicukupi/diurusi oleh salah satu juru kunci, tentunya dengan pembayaran jasa dan penggantian bahan makanan minuman yang mereka konsumsi. Lama-lama akrab juga mereka dengan saya. Mereka panggil saya “prof", sayang saya tidak tahu nama mereka. Entah apa yang mereka tirakati. Soal solat lima waktu paling nggak dhuhur dan ashar yang saya lihat mereka semua tidak pernah lewat waktu. Itu yang saya tahu.

Keanehan berikutnya, seolah-olah mereka ada di situ semuanya terkait dengan rencana tim kita melakukan penelitian Gunung Padang. Satu - dua minggu setelah mereka datang, Danny mulai dengan survei Gunung Padang tahap-1 nya. Menurut cerita hampir semua juru kunci, mereka cerita bahwa mereka tahu sejak awal bahwa akan ada orang-orang seperti kita yang akan meneliti isi Gunung Padang — sampai mengebornya malahan. Hampir semua juru kunci yang saya temui menceritakan tentang ke"weruh-sak-durunge-winarah" nya orang-orang pertapa itu tentang kita.

Dan tadi pagi jam 8an (5 Februari 2012) sebelum drilling dimulai dalam dialog yang cukup panjang dengan dua diantara mereka, mereka sangat salut dan kagum karena pemahaman keilmuan saya tentang situs itu dan juga (terutama) Cihandeuleum sama percis dengan pemahaman mereka. "Meskipun jalan dan cara kita berbeda, prof", kata mereka. Mereka senang sekali karena saya berhasil menyingkap/menyibak situs Cihandeuleum lewat sketsa di buku lapangan saya (saya perlihatkan ke mereka). "Percis seperti yang ada di gambar kepala saya ketika saya pejamkan mata", kata salah satu dari mereka. "Meskipun secara fisik saya tidak ke sana, tetapi itulah memang Cihandeuleum yang saya jelajah secara batin. Yang perlu prof temukan lagi di sana adalah tengkorak orang bersemadi, yang saya sebut sebagai fosilnya di sana. Dan kalau prof mau lebih jauh, di Gunung Karuhun pun ada peninggalan serupa". Lalu saya nyeletuk. ”kalau dari analisisku, Gunung Pasir Malang di sebelah timur Gunung Padang itu pun harusnya ada situsnya, pak! Lihat saja bentuknya seperti Tangkuban Perahu yang aneh itu. Dan juga untuk keseimbangan, karena di barat Gunung Padang khan ada Cihandeuleum, harusnya di timur juga ada. Itulah Gunung. Pasir Malang!" Mereka bilang: "Subhanallah, prof ini memang orang jarang!” (Mungkin maksudnya rambut saya jarang ada hitamnya ngkali? Hehehehe).

Bahwa kemudian ketika saya ungkapkan juga tentang pencarian keliling saya untuk singkapan natural asal columnar joint basalt menemui kegagalan dan saya kuatkan penalaran bahwa kemungkinan besar bentukan-bentukan batu Gunung Padang itu buatan manusia dengan alat tertentu dan atau yang kita sebut kesaktian (teknologi), maka makin berbinar-binarlah mata mereka. Itu klop dengan penglihatan batin mereka. Tentang kujang, tentang tapak macan, tentang batu cakar lima dan tentunya batu bernada yang aku bilang karena rongga (bj lebih kecil) dan kandungan logam (modifier frekuensi). Semuanya klop dengan penglihatan mereka. Apalagi juga ketika saya ungkapkan tentang kemungkinan tiga masa kebudayaan berbeda, zaman awal pembentukan situs awal (sekitar dua - lima ribu SM), zaman Prabu Siliwangi (abad 12 - 14) dan zaman Belanda (abad 17 - 19), nanti tergantung hasil carbon dating yang sedang dan akan kita run. mereka menyalami saya dan mengangguk-angguk senang. Itu yang saya suka dari prof, anda bisa menyerap seperti  pandangan batin kami dengan jelas dan terang (lho?!!).

Tentang bendera itu, saya juga baru tahu belakangan tadi (5 Februari 2012) sekitar jam 3 sore mau bubaran. Ternyata merekalah yang mengibarkan.

Mungkin juga itu pertanda bahwa kalibrasi metodologi dan alat kita di Gunung Padang akan ikut jadi tonggak penting penemuan kejayaan kemegahan Indonesia masa lalu untuk masa depan.

Wallahu alam...

 
Tentang Bendera Merah Putih.jpg
Previous
Previous

Aku Sering Ditanya

Next
Next

Peak Oil di Indonesia? Ayo, Jangan Menyerah!