Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Yang Tiba-Tiba Menyerang Benak Setelah Ketemuan Proyektor-Proyektor Konsultan Seberang

Maaf, kalau sekadar mencari proyek dan pendapatan, sepuluh tahun jadi kesia-siaan.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Sepuluh tahun lebih bukan bertahan, sepuluh tahun lebih ini perjalanan merangsek ke depan, september 2000 sampai sekarang, bukan sekadar ikuti arus mengerjakan block study, field mapping, POD, fuld field review, lead and prospect generation sembarangan, tapi lebih ke keasyikan menemukan konsep-konsep baru cekungan, tektonik, dan sedimentasi. Menguak misteri-misteri geologi minyak bumi yang selama ini tabu untuk digonta-ganti atau mengurai-urai benang-benang kusut strategi produksi yang disesatkan oleh model-model geologi asal-asalan di awal, kemudian menerangkan semuanya jadi jelas gamblang dan nyata, dan mendapatkan manfaat ari upside potential-nya.

Sepuluh tahun lebih mencoba terus mengembangkan, pandangan-pandangan baru tentang sedimentologi yang langsung diaplikasikan dalam kerja nyata tarikan-tarian korelasi pemerian deskripsi penggolong-golongan, yang sering juga berakhir di model geologi yang jauh berbeda dari sebelum-sebelumnyanya. Mematutkan proses geologi di sekitar di negeri seputar, akhirnya juga kembali ke lingkungan-lingkungan natural di halaman rumah sendiri; Delta Mahakam, Pantai Marangkayu, Pantai Bayah, Danau Toba, Pantai Cermin, Estuary Belawan, Sungai Rokan, Sungai Siak, Sungai Naborsahor, Cimandiri, Sungai Tamiang, Gunung walat, batu-batu Karangtaraje, Gunung Pegat, Danau Ranau, Danau Singkarak, Sungai Karama, Pantai Manohara, tebing-tebing Watan Mallawa, dataran Padang Lampe, Pulau Ungar, Laibobar dan daerah sekitar, Pantai Tamban, Pulau Sempu, Ujung Tarakan, batas negara, pedalaman Papua, Teluk Bintuni, tengah laut di Natuna,  tak bisa juga sempurna tertulis semua di buku-buku catatan perjalanan.

Sepuluh tahun lebih berputar-putar dari lingkungan hidup ke lingkungan pengendapan sedimen ke lingkungan bupati, walikota, gubernur yang beraroma migas. Dari lingkungan pendaki gunung ke LSM-LSM keras, ke lingkungan asosiasi profesi, berputar-putar di sekeliling istana, di sekeliling kantor-kantor politisi, di gedung-gedung rakyat, di panggung-panggung hingar bingar podium-podium sepi, meja-meja kelas kosong bahkan sampai di hamparan rumput dan batu-batu tempat mengajar murid-murid alam ilmu bumi. Di kampus, di pasar, di lembah, kesasar-sasar…

Maaf, kalau sekadar mencari proyek dan pendapatan,

Sepuluh tahun jadi kesia-siaan.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Mahasiswa Kebumian: Ujung Tombak Sosialisasi Mitigasi Bencana Gempa, Tsunami, dan Gunung Api Indonesia

Dalam kaitan dengan permasalahan tersebut, saya mengusulkan kepada kawan-kawan PP-IAGI, Pengurus Daerah IAGI, maupun Pengurus HAGI, untuk secara serius mengorganisasikan mobilisasi rekan-rekan mahasiswa kebumian (fisika, geofisika, geologi, geodesi, geografi) sebagai ujung-tombak sosialisasi-sosialisasi tersebut dalam arti yang sebenar-benarnya (bukan hanya wacana, diskusi, dan perencanaan di atas kertas dan rapat-rapat tanpa follow up).

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Pada saat-saat seperti ini, saat semua orang berkonsentrasi pada usaha ke-gawat darurat-an penanganan langsung korban-korban bencana (Wasior, Mentawai, Merapi), mungkin tidak terlalu banyak yang bisa dilakukan oleh kalangan saintis maupun praktisi ilmu kebumian yang sesuai dengan jalur profesinya. Diantara kita ada yang ikut serta dalam arus besar kerja sukarela SAR (kalau mampu), penanganan pengungsi (kalau ada waktu), penyediaan air bersih sarana dan prasarana darurat (kalau memang ada di sektor yang bersesuaian), atau mungkin ikutan meneliti aspek-aspek terbaru dari fenomena geologinya sehingga bisa dipakai langsung dalam usaha relokasi recovery (nantinya) atau mitigasi-prediksi untuk membuat gambaran proses bencana geologi ini lebih lengkap jadinya. Tentu saja dalam hal sumbang menyumbang bahan makananan, medis, pakaian dan sebagainya seperti umumnya seluruh lapisan masyarakat lainnya, kita di komunitas profesional kebumian bisa juga bergerak bersama.

Tanpa mengurangi urgensi penanganan kedaruratan yang sedang beralangsung dan mumpung masih hangat, saya mencoba untuk mengingatkan kembali betapa jauh lebih pentingnya mengurangi risiko bencana daripada menghadapai bencana begitu saja tantang menantang tanpa persiapan apapun juga selain jor-jor-an dana penanggulangan di anggaran-anggaran pemerintah. Dan yang paling dasar dari proses pengurangan risiko tersebut adalah membangun kapasitas internal masyarakat sendiri untuk bersiap menghadapi bencana lewat pendekatan tradisi, budaya, pembenahan infrastruktur penyelamatan dan tata ruang yang antisipatif terhadap bencana serta latihan-latihan tanggap darurat (atau sering di-istilah keren-kan sebagai simulasi simulasi). Sosialisasi tentang masalah-masalah tersebut di atas harus terus menerus dilakukan terutama di daerah-daerah yang sudah jelas-jelas diidentifikasi oleh para ahli sebagai daerah yang potensial menuai bencana dengan siklus proses gempa-tsunami- letusan gunung api yang tertentu.

Soal sosialisasi mitigasi bencana paska gempa Mentawai (untuk menghindari korban - ekses dalam kejadian-kejadian paska-gempa), saya sangat yakin Pak Ade (IAGI Sumatera Barat, Distam) dan Pak Badrul (HAGI Padang, Unand) sudah berusaha sekuat tenaga, mengorbankan waktu-pikiran (dan bahkan dana pribadi) untuk melakukannya. Juga untuk mitigasi bencana paska Merapi atau gempa Yogyakarta, kawan-kawan dari Bandung maupun Yogyakarta sendiri baik secara kedinasan maupun inisiatif kelompok akademik, keprofesian maupun NGO, semuanya sudah berbondong-bondong turun lapangan. Tetapi kita semua juga tahu bahwa jumlah, tenaga, pikiran dan terutama "waktu" para ahli geologi-geofisik (baca: anggota IAGI maupun HAGI), sangat-sangatlah terbatas. Banyak diantara kita yang tidak bekerja di domain kebencanaan tersebut. Apa kata bos di kumpeni/instansi kalau kita sering-sering voluneering jalan-jalan untuk nyambangi masyarakat yang perlu penjelasan, ketenangan psikis, dan keyakinan bahwa mereka harus pindah (walau untuk sementara) dari zona-zona rawan paska gempa atau bahkan zona-zona rawan pre-syn-paska gempa (rawan forever). Termasuk (mungkin) kawan-kawan IAGI-HAGI di Sumatra Barat, Yogyakarta, Papua. Mereka pasti sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi apa daya, manajemen kerja/concern sosial kita masih belum terbentuk bagus. Tidak mungkinlah kita para ahli geologi-geofisik ini bisa bekerja full time melakukan sosialisasi-sosialisasi tersebut. Apalagi kalau kita bicara soal volunteering dengan network kawan-kawan IAGI-HAGI dari daerah lain dan (terutama) dari pusat (Jakarta-Bandung-Yogyakarta). Selain komunikasi antar kita lewat dunia email seringkali hanya sebatas wacana, analisis, dan saling-tukar-pengalaman (belaka) β€” jarang yang pasti-pasti untuk mengorganisasikan suatu kerja nyata, juga sistem tanggap-sosial organisasi keprofesian kita (IAGI-HAGI) nampaknya sedang tidak sigap.

Dalam kaitan dengan permasalahan tersebut, saya mengusulkan kepada kawan-kawan PP-IAGI, Pengurus Daerah IAGI, maupun Pengurus HAGI, untuk secara serius mengorganisasikan mobilisasi rekan-rekan mahasiswa kebumian (fisika, geofisika, geologi, geodesi, geografi) sebagai ujung-tombak sosialisasi-sosialisasi tersebut dalam arti yang sebenar-benarnya (bukan hanya wacana, diskusi, dan perencanaan di atas kertas dan rapat-rapat tanpa follow up).

Kenapa mahasiswa? Dari dulu (waktu kita masih mahasiswa) sampai sekarang "mahasiswa" adalah posisi yang relatif "sedikit beban" dibandingkan dengan kita-kita yang sudah "banyak beban". Waktu ekstra untuk berkegiatan kemahasiswaan maupun (seringkali) untuk diskusi-diskusi, bersosialisasi, pacaran, bahkan demonstrasi-demonstrasi relatif lebih banyak daripada para ahli yang sudah bekerja. Walaupun seringkali kita mendengar dari waktu ke waktu bahwa mahasiswa kita dituntut untuk sekolah cepat, tepat-waktu, gak neko-neko, dan sebagainya, terutama dengan beban kredit yang banyak dan regulasi yang makin ketat (DO, skors dan sebagainya) dan tuntutan untuk keep up dengan kebutuhan industri lewat interaksi dengan orang-orang industri dan teknologinya (di luar kuliah resmi), tetap saja masih ada waktu ekstra buat mereka untuk berkegiatan kemahasiswaan dan sebagainya. Masih banyak calon-calon pengganti kita yang concern, militan, dan mau bekerja untuk kepentingan organisasinya, berlatih, berinteraksi, di luar program-program resmi perkuliahan. Yang mereka butuhkan adalah fasilitasi, sedikit training-kursus tentang hal-hal advanced di khazanah mitigasi (yang dasar-dasar sudah mereka kuasai), dan dukungan network, pembiayaan (yang sangat-sangat minimal dibandingkan dengan kalau kita turun sendiri), dan kadang-kadang sekali-dua-kali kita-kita yang sudah "ahli' dan ingin ikutan jalan-jalan (dan waktu memungkinkan) bisa turun bersama mereka di kampung-kampung, desa-desa, daerah-daerah yang memerlukan sosialisasi tersebut. Menurut catatan saya ada 11 Perguruan Tinggi punya Jurusan Geologi, empat angkatan yang masih aktif jumlahnya bervariasi antara 4x30=120 sampai dengan 4x150=160 per perguruan tinggi. Jadi antara 1320 sampai dengan 1760 mahasiswa geologi aktif calon-calon penerus kita sedang belajar geologi di PT-PT kita. Taruhlah 20% saja yang punya minat dalam program kemahasiswaan-keprofesian-pengabdian masyarakat seperti ini; kita sudah punya 264 sampai dengan 352 mahasiswa yang bila dibagi di 12 Pengurus Daerah IAGI maka rata-rata tiap Pengurus Daerah bisa mendapatkan bantuan dari minimal 22 mahasiswa. Jumlah yang cukup banyak untuk secara bergantian, bergilir (menyesuaikan dengan jadwal kuliah, ujian dan sebagainya) memelopori jalan-jalan sosialisasi ke daerah-daerah yang sudah dan akan terkena bencana. Belum lagi kalau kita hitung potensi dari mahasiswa-mahasiswa Fisika, Geofisika, Geodesi, Geografi. Kemungkinan angka tersebut akan dapat berlipat tiga kali.

Kenapa sebenar-benarnya? Karena saya melihat dan merasakan selama ini organisasi profesi kebumian kita (IAGI, HAGI, IATMI, dan sebagainya) masih sibuk dengan urusan yang belum benar-benar menyentuh langsung ke bawah (ke masyarakat langsung). Yang tidak langsung sich banyak: berkiprah di profesi masing-masing demi menyumbang devisa negara, meningkatkan wacana pengetahuan anggota, dan sebagainya dan sebagainya. Usaha-usaha untuk bersinergi dengan potensi kekuatan yang namanya "mahasiswa" belum pernah benar-benar dilakukan oleh organisasi-organisasi kita dalam rangka mitigasi sosialisasi ini. Yang ada seringkali menggunakan mahasiswa sebagai volunteer untuk pertemuan-pertemuan ilmiah, ikut jadi panitia, tanpa ada peluang untuk mengedepankan mereka dengan segala potensi kekuatannya. Perhimagi sebagai kumpulan resmi organisasi-organisasi himpunan mahasiswa geologi kita juga kurang diberdayakan, jarang diajak ngomong, dan bahkan susah untuk berhubungan dengan kita-kita resmi atau tidak resmi (kecuali di beberapa Pengurus Daerah/Universitas, di mana dosen-dosennya juga punya concern kuat terhadap organisasi kemahasiswaan, seperti Mas Agus Hendratno di UGM: Salut!!!).

Kita bisa melakukannya. Sangat bisa!!! Pada waktu gempa Yogyakarta, siapa yang turun ke daerah-daerah? Mahasiswa!!! Termasuk mahasiswa-mahasiswa geologi kita. Mereka menyebarkan ribuan selebaran informasi tentang gempa-tsunami dalam rangka menenangkan masyarakat sekaligus juga mengedarkan bantuan-bantuan materi-makanan ke daerah-daerah. Mereka juga ikutan bercerita di tenda-tenda pengungsian menenangkan masyarakat, tentunya beberapa kali juga harus bersama mas Agus, mbak Rita, mas Eko Teguh, dan kawan-kawan. Kita semua ditempat kerja kita masing-masing karena keterbatasan status hanya bisa ikut menyumbang materi maupun ide. Merekalah yang jalan-jalan. Pada waktu paska gempa-tsunami Aceh serombongan Tim IAGI yang dipimpin oleh pimpinan produksi IAGI juga beranggotakan full mahasiswa Trisakti, ITB, UGM, Akprind, Unpad, UPN, dan sebagainya, untuk mencarikan dan mengebor air bersih buat pengungsi. Di Malang, mahasiswa-mahasiswa Fisika Unibraw (anak buahnya mas Adi Susilo) juga aktif bersama AMC (pecinta alam) memetakan bencana longsor di Malang Raya, memetakan pantai selatan JaTim dan indikasi-indikasi bencananya, dan sekaligus juga aktif membuat acara-acara sosialisasi di Malang (Cangar), Madiun, Kediri, Trenggalek. Mereka juga terus adakan itu di Blitar, Tulungagung, Lumajang, Jember, sampai Banyuwangi. Dalam kesempatan sosialisasi bersama AMC tersebut di Trenggalek mereka sempat berkolaborasi dengan Perhimagi Yogyakarta yang memberikan penjelasan tentang Geologi Bencana kepada pecinta-pecinta alam dihadapan Wakil Bupati dan DPRD Trenggalek. Bisakah kita seperti mereka? Sebebas mereka? Tentu saja tidak bisa. Tapi kita bisa berkolaborasi, mendukung, memfasilitasi, dan membiayai mereka untuk terus berjalan-jalan menceritakan tentang geologi dan bencana, mengingatkan masyarakat supaya siap-siap, kalau perlu pindah dan mengubah tata-ruang dan sebagainya atas nama ilmu kebumian dan kesadaran untuk mengabdikannya ke masyarakat.

Nah, tunggu apalagi?  

Note-1: Dari mana pun datangnya, besaran biaya yang mungkin akan dipakai oleh para ahli jalan-jalan ke Padang, pulau-pulau barat terluar, dan daerah-daerah rawan bencana letusan vulkanik cerita soal gempa letusan gunung api dan sebagainya ke masyarakat, jumlah yang sama besarnya bisa dipakai oleh kawan-kawan mahasiswa Fisika Unand Padang atau ITM Medan atau Geologi UGM, UPN, STTNAS, STIAkprind dan lain-lain untuk jalan-jalan lebih lama, lebih mencakup daerah yang luas, dan lebih menjangkau masyarakat, tentunya di bawah koordinasi IAGI/HAGI Pengda setempat, syukur-syukur PP-IAGI/HAGI juga bisa berperan dalam memfasilitasi programnya. 

Note-2: Bukan berarti saya men-discourage kita-kita para ahli geologi untuk sosialisasi ke daerah-daerah, tapi saya lebih menekankan pada program jangka panjang, lebih luas, dan lebih efektif-efisien bersama-sama mahasiswa setempat, tentunya sekali dua kali bersama kita juga.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Bencana Kita: Gemes

Yang bisa menyelamatkan saudara-saudara kita di garis depan gempa tsunami itu bukan alat-alat canggih miliaran rupiah hasil sumbangan ataupun utang itu, tapi lebih ke kesiapan tradisi-budaya internal, pengorganisasian masyarakat, latihan-latihan, dan revisi tata ruang!

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Ayolah.. Bangun, bangun, bangun! Pelajaran sudah diberikan berkali-kali oleh gusti Allah, utamanya sejak 2004 sampai sekarang. Yang bisa menyelamatkan saudara-saudara kita di garis depan gempa tsunami itu bukan alat-alat canggih miliaran rupiah hasil sumbangan ataupun utang itu, tapi lebih ke kesiapan tradisi-budaya internal, pengorganisasian masyarakat, latihan-latihan, dan revisi tata ruang!

Segala macam pelampung besi, pengukur tinggi gelombang, sensor satelit, dan jalur-jalur hotline komunikasi itu semua hanya dalam rangka mengingatkan bahwa ada tsunami setinggi X meter di daerah Y pada 5 - 20 menit mendatang. Bayangkan saja apa yang bisa dilakukan orang dalam waktu kurang dari setengah jam untuk menyelamatkan diri dan harta benda mereka? Itu semua sangat tergantung dari kesiapan tradisi-budaya, pengorganisasian, latihan-latihan, dan revisi tata ruang! Tak perlu pemberitahuan tentang bahaya tsunami setelah gempa! Setiap terjadi gempa, langsung saja lakukan seperti simulasi dan tradisi-budaya yang kita bangun bersama.

Tidak usah menunggu pemberitahuan BMKG akan ada tsunami atau tidak! Kalau saudara-saudara kita menunggu pemberitahuan tersebut akan percuma, mereka sudah akan digulung gelombang tsunami! Sudah semakin nyata dalam 4 - 5 tahun terakhir ini bahwa alat-alat canggih ETWS yang kita pasang dengan bangga di mana-mana itu tidak terlalu banyak manfaatnya. Bahkan sejak dari awal pun harusnya kita sadar bahwa alat-alat itu lebih berguna buat orang-orang yang ada di Hawaii, di India, di Madagaskar, dan di daerah-daerah di luar Indonesia, karena waktu tempuh tsunami ke tempat mereka masih lumayan cukup lama dari pusatnya di daerah kita, bisa 1 - 2 jam atau bahkan bisa 1 - 2 hari. Lha, kita yang ada di dekat pusat sumber tsunaminya (gempa), apa gunanya alat-alat itu buat kita selain beban pinjaman bantuan dan juga maintainance berkepanjangan. Untuk mengingatkan kita pun, waktu yang ada hanya 5 - 20 menit saja dari pusat-pusat gerakan gempa. Apa yang bisa kita perbuat? Lebih fokus lah pada usaha-usaha penguatan kesiapsiagaan masyarakat!

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Jangan Termakan Isu Tentang Prediksi Gempa Jakarta

(Tentang SMS/BBM/email yang mengatakan jakarta akan dilanda gempa dalam dua - tiga hari ini.)

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

(Tentang SMS/BBM/email yang mengatakan jakarta akan dilanda gempa dalam dua - tiga hari ini.)

Pertama, sampai saat ini tidak ada satu pun ilmu prediksi kuantitatif gempa yang punya standar deviasi bisa sampai harian seperti itu. Jangan lagi bicara harian, wong bulanan aja gak bisa koq; paling banter tergantung dari data statistik dan karakter gempanya orang bisa memperkirakan plus minus 10 - 25 tahunan. Itu semua karena data dasar temporal statistik gempa kita juga masih terbatas pada dua - tiga  abad terakhir ini saja yang lengkap, selebihnya sampai zaman prasejarah orang hanya menginferensi dari cerita-cerita/catatan-catatan sejarah-prasejarah saja. Dan rekurensi/kehadiran kembali gempa-gempa yang dihasilkan oleh release dari terkuncinya gerakan lempeng/kerak bumi/blok batuan sampai sekarang hanya bisa dicatat setiap ratusan (100 sampai dengan 300 tahun sekali), makanya standar deviasi-nya juga tinggi (separuh dari 100an yaitu 50 tahunan). Jadi kalau ada orang yang bisa menyatakan akan ada gempa dalam hitungan hari, itu bukan pakai ilmu geologi/seismologi kuantitatif. Mungkin pakai ilmu lain seperti paranormal, metafisika, atau malahan ngaco dan memang sengaja nakut-nakuti.

Kedua, soal jakarta bakal dilanda gempa besar seperti Mexico atau kalau ada gempa di laut selatan maka jakarta akan terguncang hebat; belum ada satu pun indikasi/data yang menunjukkan jakarta dilewati atau berbatasan dengan patahan aktif. Jadi chance-nya untuk terkena imbas dari rambatan gempa yang berasal dari epicenter di selatan Jawa dan barat Lampung kecil saja karena gak ada patah penghubungnya ke daerah-daerah tersebut. Yang kita kenal di bawah Monas memang ada patahan arah utara selatan yang nyambung ke Teluk Jakarta, tapi berhenti hanya sampai Ciputat. Setelah itu ke selatannya lagi di tutupi endapan vulkanik Gunung Salak Gede Pangrango. Inilah kemungkinannya patahan yang bisa diaktifkan oleh gempa-gempa dari Selatan tapi tetap dengan ketidakpastian apakah dia menerus ke daerah Bogor - Sukabumi atau tidak... Dari analisis tektonik regional arah-arah kelurusan patahan utara selatan Ciputat ini tidak berhubungan dengan patahan-patahan yang berasal dari pantai selatan seperti Patahan Cimandiri - sepanjang Sungai Cimandiri. Jadi kalau daerah selatan terkena atau jadi pusat gempa, gempanya tidak akan dirambatkan ke utara (Jakarta) tapi besar kemungkinan malah ke timur sepanjang patahan Sungai Cimandiri tersebut, yaitu ke daerah yang selama ini memang sering dilanda gempa seperti Sukabumi dan Cianjur selatan.

Soal patahan Cimandiri menurut klasifikasi nomenklatur neotektonik dia termasuk patahan aktif, sebab kita bisa lihat bahwa di sepanjang tepinya banyak sekali dijumpai air terjun. Statusnya sebenarnya sama dengan Patahan Opak yang akhirnya bergerak kenceng di gempa Yogya 2006, Patahan Grindulu di Pacitan, dan Patahan Lumajang di Jawa Timur. Tapi arahnya bukan ke jakarta, malahan ke Bandung yang di daerah Citatah patahan ini juga membentuk offset parallel dengan Patahan Lembang. Jadi kalau ada trigger dari Laut di Selatan Sukabumi pas di sekitar ujung Sungai Cimandiri di Pelabuhan Ratu, maka gelombang gempanya akan disalurkan malahan ke Bandung, bukan ke jakarta.

Tapi ya itu tadi seperti saya sebutkan di awal, tidak ada yang bisa memprediksi sampai hitungan hari (bahkan beberapa tahun juga gak bisa) bahwa akan ada gempa besar di selatan dalam waktu dekat. Jadi, waspada memang perlu, tapi jangan sampai panik dan dipanikkan oleh berita yang gak jelas dasar ilmiahnya seperti itu.

Hidup bersama bahaya gempa, bukan berarti panik dan ngaco informasi, tapi tetap waspada, mengusahakan semua bangunan kita aman dan ramah gempa, dan juga tau tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengurangi bahaya gempa ketika terjadi. Bukan dengan panik dan ikut pula kena provokasi menyebarkan berita-berita gak berdasar ilmiah tersebut.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Ilmuwan Rusia dan Lusi

Lumpur Lapindo dikarenakan gempa bumi Jogja, kata ahli dari Rusia. Apa memang begitu Yang?

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Lumpur Lapindo dikarenakan gempa bumi Jogja, kata ahli dari Rusia. Apa memang begitu Yang?.. Apa tak ada ahli Indonesia yang bisa meyakinkan pemerintah?

Rek, yang bisa meyakinkan pemerintah dalam kasus Lusi ini adalah ahli politik, karena sudah dibikin sedemikian rupa di posisi-posisi kunci pemerintahan terkait dengan kasus Lusi ini diisi oleh orang-orang yang tidak lagi mau mendengar pendapat selain bencana alam tanpa penyebab proses manusia. Acara dan ekspose berita tentang Ilmuwan Rusia ini ditengarai sebagai salah satu gerak offensive mereka dalam rangka meredam kembali keinginan untuk menyelesaikan urusan Lusi ini (yang dirangsang oleh keberhasilan PTTEP di Montara Laut Timor dan BP di Horizon Gulf of Mexico). Perlu gerakan terpadu dan lebih bersistem untuk melawan pembodohan massal dan politisasi yang sistematis ini.

β€”

Yang apa kabar.. Semoga masih ada geologist lokal yang masih waras; karena aku lihat di tvOne ada "pakar" rusia bilang Lumpur Sidoarjo karena gempa bumi ngantem mud volcano. Tidak ada hubungan dengan pemboran.. What do u say?

tvOne khan punya Bakrie, broer. Dan acara ilmuwan rusia itu menurut analisisku direkayasa untuk menahan laju gerak kesadaran sebagian birokrat sekitar SBY dan masyarakat yang terinspirasi sukses killing well PTTEP di Montara Laut Timor dan BP di Horizon Teluk Meksiko untuk jajaki lagi kemungkinan hentikan semburan Lumpur Sidoardjo terutama dengan nge-run 3D seismic dulu. Mungkin mereka khawatir gerakan meninjau kembali kondisi Lusi akan menyeret mereka kembali. Makanya mereka meng-endorse dan sekaligus menyebarluaskan acara itu. Kalau kita amati, basis saintifik rusia itu lemah dan legitimasi lembaganya dipertanyakan. Di acara itu sama sekali gak diundang para ahli geologi yang punya pendapat beda. Sebagian besar birokrat kita yang berurusan dengan Lusi ini pun nampaknya sudah ikut dalam skenario dan punya kepentingan semua: Badan Geologi (ESDM), BPLS. dan juga BPMIGAS. Untung IAGI yang diwakili Ketua Umumnya (Presiden) Lambok Hutasoit menyatakan bahwa seminar tersebut gak imbang. Malah dia menantang orang-orang Rusia itu datang ke ITB untuk diskusi dengan ilmuwan-ilmuwan yang punya pendapat beda. So, it’s all about politics.

Read More