Mahasiswa Kebumian: Ujung Tombak Sosialisasi Mitigasi Bencana Gempa, Tsunami, dan Gunung Api Indonesia

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Pada saat-saat seperti ini, saat semua orang berkonsentrasi pada usaha ke-gawat darurat-an penanganan langsung korban-korban bencana (Wasior, Mentawai, Merapi), mungkin tidak terlalu banyak yang bisa dilakukan oleh kalangan saintis maupun praktisi ilmu kebumian yang sesuai dengan jalur profesinya. Diantara kita ada yang ikut serta dalam arus besar kerja sukarela SAR (kalau mampu), penanganan pengungsi (kalau ada waktu), penyediaan air bersih sarana dan prasarana darurat (kalau memang ada di sektor yang bersesuaian), atau mungkin ikutan meneliti aspek-aspek terbaru dari fenomena geologinya sehingga bisa dipakai langsung dalam usaha relokasi recovery (nantinya) atau mitigasi-prediksi untuk membuat gambaran proses bencana geologi ini lebih lengkap jadinya. Tentu saja dalam hal sumbang menyumbang bahan makananan, medis, pakaian dan sebagainya seperti umumnya seluruh lapisan masyarakat lainnya, kita di komunitas profesional kebumian bisa juga bergerak bersama.

Tanpa mengurangi urgensi penanganan kedaruratan yang sedang beralangsung dan mumpung masih hangat, saya mencoba untuk mengingatkan kembali betapa jauh lebih pentingnya mengurangi risiko bencana daripada menghadapai bencana begitu saja tantang menantang tanpa persiapan apapun juga selain jor-jor-an dana penanggulangan di anggaran-anggaran pemerintah. Dan yang paling dasar dari proses pengurangan risiko tersebut adalah membangun kapasitas internal masyarakat sendiri untuk bersiap menghadapi bencana lewat pendekatan tradisi, budaya, pembenahan infrastruktur penyelamatan dan tata ruang yang antisipatif terhadap bencana serta latihan-latihan tanggap darurat (atau sering di-istilah keren-kan sebagai simulasi simulasi). Sosialisasi tentang masalah-masalah tersebut di atas harus terus menerus dilakukan terutama di daerah-daerah yang sudah jelas-jelas diidentifikasi oleh para ahli sebagai daerah yang potensial menuai bencana dengan siklus proses gempa-tsunami- letusan gunung api yang tertentu.

Soal sosialisasi mitigasi bencana paska gempa Mentawai (untuk menghindari korban - ekses dalam kejadian-kejadian paska-gempa), saya sangat yakin Pak Ade (IAGI Sumatera Barat, Distam) dan Pak Badrul (HAGI Padang, Unand) sudah berusaha sekuat tenaga, mengorbankan waktu-pikiran (dan bahkan dana pribadi) untuk melakukannya. Juga untuk mitigasi bencana paska Merapi atau gempa Yogyakarta, kawan-kawan dari Bandung maupun Yogyakarta sendiri baik secara kedinasan maupun inisiatif kelompok akademik, keprofesian maupun NGO, semuanya sudah berbondong-bondong turun lapangan. Tetapi kita semua juga tahu bahwa jumlah, tenaga, pikiran dan terutama "waktu" para ahli geologi-geofisik (baca: anggota IAGI maupun HAGI), sangat-sangatlah terbatas. Banyak diantara kita yang tidak bekerja di domain kebencanaan tersebut. Apa kata bos di kumpeni/instansi kalau kita sering-sering voluneering jalan-jalan untuk nyambangi masyarakat yang perlu penjelasan, ketenangan psikis, dan keyakinan bahwa mereka harus pindah (walau untuk sementara) dari zona-zona rawan paska gempa atau bahkan zona-zona rawan pre-syn-paska gempa (rawan forever). Termasuk (mungkin) kawan-kawan IAGI-HAGI di Sumatra Barat, Yogyakarta, Papua. Mereka pasti sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi apa daya, manajemen kerja/concern sosial kita masih belum terbentuk bagus. Tidak mungkinlah kita para ahli geologi-geofisik ini bisa bekerja full time melakukan sosialisasi-sosialisasi tersebut. Apalagi kalau kita bicara soal volunteering dengan network kawan-kawan IAGI-HAGI dari daerah lain dan (terutama) dari pusat (Jakarta-Bandung-Yogyakarta). Selain komunikasi antar kita lewat dunia email seringkali hanya sebatas wacana, analisis, dan saling-tukar-pengalaman (belaka) — jarang yang pasti-pasti untuk mengorganisasikan suatu kerja nyata, juga sistem tanggap-sosial organisasi keprofesian kita (IAGI-HAGI) nampaknya sedang tidak sigap.

Dalam kaitan dengan permasalahan tersebut, saya mengusulkan kepada kawan-kawan PP-IAGI, Pengurus Daerah IAGI, maupun Pengurus HAGI, untuk secara serius mengorganisasikan mobilisasi rekan-rekan mahasiswa kebumian (fisika, geofisika, geologi, geodesi, geografi) sebagai ujung-tombak sosialisasi-sosialisasi tersebut dalam arti yang sebenar-benarnya (bukan hanya wacana, diskusi, dan perencanaan di atas kertas dan rapat-rapat tanpa follow up).

Kenapa mahasiswa? Dari dulu (waktu kita masih mahasiswa) sampai sekarang "mahasiswa" adalah posisi yang relatif "sedikit beban" dibandingkan dengan kita-kita yang sudah "banyak beban". Waktu ekstra untuk berkegiatan kemahasiswaan maupun (seringkali) untuk diskusi-diskusi, bersosialisasi, pacaran, bahkan demonstrasi-demonstrasi relatif lebih banyak daripada para ahli yang sudah bekerja. Walaupun seringkali kita mendengar dari waktu ke waktu bahwa mahasiswa kita dituntut untuk sekolah cepat, tepat-waktu, gak neko-neko, dan sebagainya, terutama dengan beban kredit yang banyak dan regulasi yang makin ketat (DO, skors dan sebagainya) dan tuntutan untuk keep up dengan kebutuhan industri lewat interaksi dengan orang-orang industri dan teknologinya (di luar kuliah resmi), tetap saja masih ada waktu ekstra buat mereka untuk berkegiatan kemahasiswaan dan sebagainya. Masih banyak calon-calon pengganti kita yang concern, militan, dan mau bekerja untuk kepentingan organisasinya, berlatih, berinteraksi, di luar program-program resmi perkuliahan. Yang mereka butuhkan adalah fasilitasi, sedikit training-kursus tentang hal-hal advanced di khazanah mitigasi (yang dasar-dasar sudah mereka kuasai), dan dukungan network, pembiayaan (yang sangat-sangat minimal dibandingkan dengan kalau kita turun sendiri), dan kadang-kadang sekali-dua-kali kita-kita yang sudah "ahli' dan ingin ikutan jalan-jalan (dan waktu memungkinkan) bisa turun bersama mereka di kampung-kampung, desa-desa, daerah-daerah yang memerlukan sosialisasi tersebut. Menurut catatan saya ada 11 Perguruan Tinggi punya Jurusan Geologi, empat angkatan yang masih aktif jumlahnya bervariasi antara 4x30=120 sampai dengan 4x150=160 per perguruan tinggi. Jadi antara 1320 sampai dengan 1760 mahasiswa geologi aktif calon-calon penerus kita sedang belajar geologi di PT-PT kita. Taruhlah 20% saja yang punya minat dalam program kemahasiswaan-keprofesian-pengabdian masyarakat seperti ini; kita sudah punya 264 sampai dengan 352 mahasiswa yang bila dibagi di 12 Pengurus Daerah IAGI maka rata-rata tiap Pengurus Daerah bisa mendapatkan bantuan dari minimal 22 mahasiswa. Jumlah yang cukup banyak untuk secara bergantian, bergilir (menyesuaikan dengan jadwal kuliah, ujian dan sebagainya) memelopori jalan-jalan sosialisasi ke daerah-daerah yang sudah dan akan terkena bencana. Belum lagi kalau kita hitung potensi dari mahasiswa-mahasiswa Fisika, Geofisika, Geodesi, Geografi. Kemungkinan angka tersebut akan dapat berlipat tiga kali.

Kenapa sebenar-benarnya? Karena saya melihat dan merasakan selama ini organisasi profesi kebumian kita (IAGI, HAGI, IATMI, dan sebagainya) masih sibuk dengan urusan yang belum benar-benar menyentuh langsung ke bawah (ke masyarakat langsung). Yang tidak langsung sich banyak: berkiprah di profesi masing-masing demi menyumbang devisa negara, meningkatkan wacana pengetahuan anggota, dan sebagainya dan sebagainya. Usaha-usaha untuk bersinergi dengan potensi kekuatan yang namanya "mahasiswa" belum pernah benar-benar dilakukan oleh organisasi-organisasi kita dalam rangka mitigasi sosialisasi ini. Yang ada seringkali menggunakan mahasiswa sebagai volunteer untuk pertemuan-pertemuan ilmiah, ikut jadi panitia, tanpa ada peluang untuk mengedepankan mereka dengan segala potensi kekuatannya. Perhimagi sebagai kumpulan resmi organisasi-organisasi himpunan mahasiswa geologi kita juga kurang diberdayakan, jarang diajak ngomong, dan bahkan susah untuk berhubungan dengan kita-kita resmi atau tidak resmi (kecuali di beberapa Pengurus Daerah/Universitas, di mana dosen-dosennya juga punya concern kuat terhadap organisasi kemahasiswaan, seperti Mas Agus Hendratno di UGM: Salut!!!).

Kita bisa melakukannya. Sangat bisa!!! Pada waktu gempa Yogyakarta, siapa yang turun ke daerah-daerah? Mahasiswa!!! Termasuk mahasiswa-mahasiswa geologi kita. Mereka menyebarkan ribuan selebaran informasi tentang gempa-tsunami dalam rangka menenangkan masyarakat sekaligus juga mengedarkan bantuan-bantuan materi-makanan ke daerah-daerah. Mereka juga ikutan bercerita di tenda-tenda pengungsian menenangkan masyarakat, tentunya beberapa kali juga harus bersama mas Agus, mbak Rita, mas Eko Teguh, dan kawan-kawan. Kita semua ditempat kerja kita masing-masing karena keterbatasan status hanya bisa ikut menyumbang materi maupun ide. Merekalah yang jalan-jalan. Pada waktu paska gempa-tsunami Aceh serombongan Tim IAGI yang dipimpin oleh pimpinan produksi IAGI juga beranggotakan full mahasiswa Trisakti, ITB, UGM, Akprind, Unpad, UPN, dan sebagainya, untuk mencarikan dan mengebor air bersih buat pengungsi. Di Malang, mahasiswa-mahasiswa Fisika Unibraw (anak buahnya mas Adi Susilo) juga aktif bersama AMC (pecinta alam) memetakan bencana longsor di Malang Raya, memetakan pantai selatan JaTim dan indikasi-indikasi bencananya, dan sekaligus juga aktif membuat acara-acara sosialisasi di Malang (Cangar), Madiun, Kediri, Trenggalek. Mereka juga terus adakan itu di Blitar, Tulungagung, Lumajang, Jember, sampai Banyuwangi. Dalam kesempatan sosialisasi bersama AMC tersebut di Trenggalek mereka sempat berkolaborasi dengan Perhimagi Yogyakarta yang memberikan penjelasan tentang Geologi Bencana kepada pecinta-pecinta alam dihadapan Wakil Bupati dan DPRD Trenggalek. Bisakah kita seperti mereka? Sebebas mereka? Tentu saja tidak bisa. Tapi kita bisa berkolaborasi, mendukung, memfasilitasi, dan membiayai mereka untuk terus berjalan-jalan menceritakan tentang geologi dan bencana, mengingatkan masyarakat supaya siap-siap, kalau perlu pindah dan mengubah tata-ruang dan sebagainya atas nama ilmu kebumian dan kesadaran untuk mengabdikannya ke masyarakat.

Nah, tunggu apalagi?  

Note-1: Dari mana pun datangnya, besaran biaya yang mungkin akan dipakai oleh para ahli jalan-jalan ke Padang, pulau-pulau barat terluar, dan daerah-daerah rawan bencana letusan vulkanik cerita soal gempa letusan gunung api dan sebagainya ke masyarakat, jumlah yang sama besarnya bisa dipakai oleh kawan-kawan mahasiswa Fisika Unand Padang atau ITM Medan atau Geologi UGM, UPN, STTNAS, STIAkprind dan lain-lain untuk jalan-jalan lebih lama, lebih mencakup daerah yang luas, dan lebih menjangkau masyarakat, tentunya di bawah koordinasi IAGI/HAGI Pengda setempat, syukur-syukur PP-IAGI/HAGI juga bisa berperan dalam memfasilitasi programnya. 

Note-2: Bukan berarti saya men-discourage kita-kita para ahli geologi untuk sosialisasi ke daerah-daerah, tapi saya lebih menekankan pada program jangka panjang, lebih luas, dan lebih efektif-efisien bersama-sama mahasiswa setempat, tentunya sekali dua kali bersama kita juga.

Previous
Previous

Yang Tiba-Tiba Menyerang Benak Setelah Ketemuan Proyektor-Proyektor Konsultan Seberang

Next
Next

Bencana Kita: Gemes