(Penyelesaian Masalah Sosial Lapindo)
Ada instruksi baru dari Presiden untuk lebih ”menekan” Lapindo bayar janji/utang ke rakyat dan soal penyelesaian teknis jangka panjang yang tidak mungkin dimulai tanpa penyelesaian masalah sosial.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Ada instruksi baru dari Presiden untuk lebih ”menekan” Lapindo bayar janji/utang ke rakyat dan soal penyelesaian teknis jangka panjang yang tidak mungkin dimulai tanpa penyelesaian masalah sosial.
Lihat: Detik.
Alhamdulillah, muncul kesadaran baru bahwa: pengingkaran Lapindo atas janji pembayaran itu ternyata berakibat pada ancaman bahaya bencana lebih besar (jebolnya tanggul dan rusaknya infrastruktur) dan opportunity lost penemuan cadangan migas yang cukup besar di blok-blok sekitar.
Apakah “instruksi” SBY kali ini akan terealisasi atau “same old story” seperti dua tahun lalu (dengan posisi sama di mana 800 milyar utang masih jadi janji Lapindo), kita doakan saja bersama: mudah-mudahan situasi “politik sandera-menyandera” ini ada jalan keluarnya, sehingga rakyat tidak terus menerus jadi korbannya.
Berikut ini adalah poin-poin yang saya paparkan Sabtu kemarin sehingga keluar instruksi tersebut.
Lunasi utang pembayaran ke korban yang sudah dijanjikan Lapindo yang masih 800 milyar lagi (sesuai dengan prinsip: tidak mungkin ada penyelesaian teknis permanen kalau penyelesaian masalah sosial, utang janji ganti rugi jual, beli Lapindo dengan korban belum dibereskan)
Efek dari berlarutnya penyelesaian Lumpur Lapindo: Exxon hengkang dari Gunting Blok di Jombang – Mojokerto – Pasuruan – Probolinggo karena rakyat trauma. Opportunity lost: 288 juta barel minyak atau 1,7 triliun kaki kubik gas di blok tersebut tak tergarap.
Bahkan BPLS pun tidak dapat beroperasi di dalam tanggul selama enam bulan di 2012 dan dua bulan di 2013 kemarin, karena blokade oleh masyarakat yang tak kunjung dilunasi janji penggantian tanahnya oleh Bakrie. Kondisi ini sangat membahayakan: lumpur terus menumpuk, tanggul bisa tambah kritis karena tidak kontinu dikelola. Bahaya bencana jebol-longsor sewaktu-waktu.
Jadi, pelunasan utang/janji Lapindo untuk menyelesaikan masalah penggantian 800 milyar kepada masyarakat sangat terkait erat dengan keselamatan masyarakat — infrastruktur jangka pendek (pengelolaan lumpur/tanggul yang terkendala) dan penyelesaian teknis jangka panjang (akuisisi data/riset bawah permukaan yang terhambat).
Bila masalah sosial alias janji penggantian yang 800 milyar itu bisa diselesaikan, segera lakukan akuisisi seismik 3D untuk area dalam tanggul yang sudah direncanakan tapi gagal dilaksanakan 2011 karena masalah sosial yang belum beres itu.
Perbarui data time series penurunan tanah (land subsidence) dengan melakukan pengukuran-pengukuran geodetik ulang di berbagai titik pengamatan di dalam dan luar tanggul.
Dari analisis data seismik 3D dan data penurunan tanah, delineasikan daerah terdampak permanen termutakhirkan (update) dan proyeksikan daerah terdampak di luar tanggul dalam jangka panjang dengan modeling.
Hitung/model ulang volume zona overpressure di bawah permukaan yang dapat di-image dari data seismik 3D, kemudian hitung timing (durasi proses ekstrusi lumpur) berdasar model volume baru tersebut dan data mutakhir time series kecepatan (rate) semburan
Revisi desain dan operasionalisasi penampungan/penyaluran lumpur berdasarkan data terbaru poin tujuh dan delapan.
Ketika seluruh daerah dalam tanggul sudah beres urusan sosialnya dan juga daerah terdampak di luar tanggul diverifikasi dan diganti rugi, maka usaha selanjutnya adalah membuat daerah terdampak Lumpur Lapindo menjadi daerah otoritas penyaluran lumpur, riset dan wisata.
Lakukan rekayasa keteknikan infrastruktur perumahan, fasilitas dan jalan raya untuk area di luar tanggul yang diproyeksikan akan terkena dampak jangka panjang dari analisis data poin tujuh dan delapan di atas.
Untuk sementara waktu, sampai terjadi kesetimbangan baru, sistim overpressure yang terdedah ke permukaan itu (durasi max: berasal dari perhitungan pada poin delapan — saat ini angkanya masih sampai dengan tahun 2037 yang berarti 25 tahun lagi) canangkan kebijakan moratorium pengeboran eksplorasi migas di daerah tersebut sampai batas terluar yang didelineasi pada poin delapan di atas.
Sequence Stratigraphy dan "Keselarasan" Manusia Gua Indonesia
Kalau terjadi katastrofe di Jakarta, maka akan terjadi "ketidakselarasan" di Jakarta: daya dukung lingkungan hancur, banyak "species" punah, proses pertumbuhan di-reset ke awal lagi. Itulah batas sekuen kita!
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
(Renungan Pagi Stratigrafi Arkeologi)
Batas sekuen adalah ketidakselarasan yang berkorelasi dengan keselarasan sebanding (prinsip dasar Sequence Stratigraphy).
Kalau terjadi katastrofe di Jakarta, maka akan terjadi "ketidakselarasan" di Jakarta: daya dukung lingkungan hancur, banyak "species" punah, proses pertumbuhan di-reset ke awal lagi. Itulah batas sekuen kita!
Tapi ingat: Stratigrafi Sekuen juga mengajarkan adanya "Keselarasan sebanding" yang berkorelasi dengan Ketidakselarasan karena katastrofe tersebut. Di manakah "keselarasan" itu? Di mana kah survivor-survivor kita ketika Jakarta dihancurkan, ketika Aceh digempa-tsunamikan, ketika Danau Bandung dikeringkan, ketika Toba diletuskan?
Jawabnya ada di definisi "keselarasan" itu sendiri: mereka yang terus menerus hidup selaras dengan alam, besar kemungkinan akan menjadi survivor - keselarasan itu, yang nantinya akan jadi pioneer-pioneer biosfera ekosistem baru paska-katastrofe! Saudara-saudara kita di Badui, di Kubu, di Samin, adalah contoh dari mereka yang hidup selaras dengan alam sekarang ini tanpa harus memanipulasi alam itu sendiri. Mereka mengekstraksi alam secukupnya untuk kehidupan mereka sehari-hari, bukan "memanipulasi" dan mengambilnya berlebih-lebih! Merekalah yang terselamatkan oleh "alam", ketika teknologi maju menghancurkan dirinya sendiri.
Bahkan ketika tsunami, gempa, letusan gunung api menghantam kebudayaan tinggi di dataran rendah, mereka yang tinggal di gua tempat tinggi jauh dari jangkauan tsunami lah yang berhasil menyelamatkan diri. Musim dingin enam tahun karena letusan super vulkano Toba pun mungkin akhirnya bisa mereka siasati dengan hidup di gua-gua dan bertahan dari generasi ke generasi.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika seringkali kita dihadapkan pada kenyataan bahwa sebelum abad 4 Masehi sejarah Indonesia hanya didominasi oleh “manusia-manusia gua" alias dianggap sebagai zaman "pra-sejarah" semua. Kita saja yang belum bisa menemukan bekas-bekas peninggalan kebudayaan tinggi yang memanipulasi alam pada waktu itu yang dihancurkan oleh siklus proses alam sendiri. yang lebih mudah kita temukan adalah peninggalan manusia gua yang notabene selalu "lebih terselamatkan" dan lebih "bisa beradaptasi" menghadapi bencana katastrofe.
Kebudayaan tinggi kita di abad ke-0 ketika Nabi Isa/Yesus mengejawantah di dunia, terkubur oleh katastrofe. Sisa kejayaan negeri khatulistiwa saat Plato berpidato di Eropa sana abad 8 sebelum masehi-pun masih harus kita temukan di mana adanya mereka kini. Juga kebudayaan sebanding atau lebih tinggi dari piramida Mesir yang konon dibangun 3000 tahun sebelum masehi, mustinya bisa juga kita temui di Indonesia ini.
Bukti-bukti "ketidakselarasan" karena katastrofe itu semuanya menunggu untuk kita gali dan pelajari. Janganlah karena yang sering kita dapati adalah bukti "keselarasan"nya (yaitu manusia gua), maka terus saja kita menganggap proses kebudayaan kita linier satu fase saja: pra-sejarah-sejarah-modernisasi. Padahal bumi telah mengajarkan lewat sequence stratigraphy: bahwa semua proses pembentukan pertumbuhan kehancuran dan keseluruhan perjalanan bumi bukan linearisme uniformitarianity, tapi siklus-siklus katastrofe!!!!
Maka, demikianlah kira-kira itibar yang dapat kita ambil dari Sequence Stratigraphy.
Subhanallah. Allahuakbar.
(Renungan Revolusi Sedimentologi)
Jadi, silahkan saja. Toh itu hanya istilah.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Kenapa kita tidak menyebut graded bedding sebagai fining upward?
Kenapa juga tidak kita katakan reverse graded bedding sebagai coarsening upward?
Itu semua sebenarnya hanya masalah perjanjian atas simbol yang dituangkan dalam istilah bahasa yang seolah-olah disetujui bersama yang kalau tidak dikomplikasikan seperti itu maka ilmu pengetahuan menjadi milik orang-orang biasa, bukan orang-orang sekolahan yang susah payah menghafal fenomena dan berlatih mensistimatikakannya – sering kali bukan untuk memecahkan masalah, tapi untuk menambah-nambah keruwetannya.
Maka, mari kita hidup sederhana bersama orang-orang biasa. Menggunakan sedimentologi untuk menolong mereka; bukan malah untuk membingungkan mereka, apalagi membingungkan diri sendiri: kita.
Jadi, silahkan saja. Toh itu hanya istilah.
(Kalau ada yang ngeyel: yang satu karena gravity flow yang lainnya karena traksi; memangnya mereka ngeliat bener prosesnya waktu struktur yang sedang dibahas di batu itu dicetak Gusti Allah di sana? :-p )
“Scientific Truth in the Making” (Surat untuk Gesit di Kanada)
Gesit, coba browsing, kumpulkan, dan kemudian klipingkan pemberitaan tentang bencana (gempa, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, sampai ke "meteor impact") yang terkait dengan Andi Arief, Staff khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial & Bencana, termasuk pemberitaan tentang Katastrofe Purba dan ramainya perang opini tentang riset Gunung Padang akhir-akhir ini.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Gesit, coba browsing, kumpulkan, dan kemudian klipingkan pemberitaan tentang bencana (gempa, tsunami, letusan gunung api, banjir, tanah longsor, sampai ke "meteor impact") yang terkait dengan Andi Arief (AA), Staff khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial & Bencana, termasuk pemberitaan tentang Katastrofe Purba dan ramainya perang opini tentang riset Gunung Padang (Petisi Arkenas dan lain-lain) akhir-akhir ini.
Perhatikan gaya komunikasi AA: pernyataan-pernyataan yang dilontarkannya, prediksi-prediksinya, warning-nya, dan sejenisnya. Itu semua bisa jadi bahan telaah fenomena baru: science journalism yang sekarang sedang kamu utak-atik di sana. Gaya komunikasi AA tersebut menghadapkan sains langsung kepada masyarakat. Tidak lagi menyembunyikannya diam-diam dan menunggu menggodoknya matang sebelum hasil akhirnya nanti dilemparkan ke masyarakat. Gaya tersebut mencoba menyuguhkan sains yang rumit menjadi "sederhana" untuk dicerna dan —yang terpenting — bermanfaat untuk masyarakat, bahkan ketika masih dalam fase penelitian.
Prediksi tentang masih akan munculnya mega-thrust di barat Sumbar/Bengkulu dalam waktu dekat, tentang Jakarta yang dapat sewaktu-waktu terimbas gempa dan tsunami dari Selat Sunda, mengingatkan gempa-gempa susulan setelah adanya gempa-gempa besar, banjir, tanah longsor, aktivitas gunung berapi yang silih berganti di Indonesia, dan sebagainya. Hal-hal yang dulu pra 2009 (apalagi pra 2004) tabu untuk dibicarakan dan jarang dimuat di media-media terkait dengan potensi-potensi bencana tersebut, makin ke sini makin hampir tiap hari tersebar lewat media sosial bahkan sampai ke media konvensional. Coba hitung berapa banyak dari berita itu yang berasal dari kelompok AA (SKP-BSB) dan para saintis independent yang bukan di “mainstream” pemerintahan, dan berapa banyak yang berasal dari otoritas “resmi” (keilmuan maupun pemerintahan).
Itu semua adalah gaya baru dalam mengkomunikasikan sains dan "ketidakpastiannya" ke masyarakat. Coba eksplorasi lebih lanjut, mungkin dengan latar belakang geologi dan science journalism-mu kamu dapat lebih memahami fenomena baru ini dan kalau bisa ikut andil dalam mengembangkannya lebih lanjut untuk kepentingan yang lebih besar: partisipasi, pemahaman dan aplikasi sains dari dan oleh masyarakat terbuka Indonesia untuk kemajuan bangsa!!! (Hehehehe, harus selalu ada visi dan misi besar di depan supaya kita tergetar untuk selalu bergerak meraih ayunan tangga ke level hakikat yang lebih tinggi — ke hadapan Tuhan).
Mungkin gaya seperti itu bisa kita sebut sebagai gaya era baru keterbukaan sains yang, dalam proses penelitian pencarian kebenarannya, hasil-hasil (sementara)nya terus menerus dikomunikasikan ke masyarakat. Banyak positifnya, tapi ada juga negatifnya, terutama ketika berhadapan dengan establisme otoritas keilmuan yang ortodoks dan kaku. Bahkan sampai menimbulkan konflik-konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi kalau masing-masing pihak legowo dan mau "mendengarakan" dalam komunikasi.
Menarik untuk diikuti. Scientific truth in the making — pembuktian kebenaran saintifik yang sama-sama disaksikan masyarakat. Harusnya tidak perlu ada yang sampai merasa tersinggung dengan berbagai klaim yang saling dilemparkan ke masyarakat. Bisa jadi kebenaran ilmiah diklaim sebagai milik segelintir dewa dan otoritas lembaga, tapi kebenaran hakiki adalah yang paling membawa manfaat buat bangsa-masyarakat dunia akhirat sebagai proxy untuk mendekati kebenaran mutlak yang dimiliki Allah subhanahuwata’ala.
Kelemahan lain dari science journalism model langsung seperti digambarkan di atas adalah: hasil-hasil awal, sementara dari penelitian bisa saja dipersepsikan oleh masyarakat sebagai hasil final/hasil akhir, yang mana hal tersebut dapat menimbulkan kekecewaan nantinya apabila ternyata di hasil akhirnya tidak sesuai dengan hipotesis. Bagi peneliti-saintis, hal tersebut tidak menjadi masalah. Hipotesis itu dibuat untuk dibuktikan benar atau salahnya. Bagi masyarakat yang kadung percaya bahwa hipotesis itu adalah kebenaran, maka hasil awal yang mendukung hipotesis bisa memelesetkan kepercayaan mereka kepada hasil akhir yang tidak sesuai dengan hipotesis. Pastinya kalau nanti tidak terbukti bahwa Gunung Padang itu tidak punya ruang bawah tanah, tidak sebesar sepuluh kali Borobudur, hanya produk budaya seperti pengertian semula yang 2500 tahunan saja, maka masyarakat yang mengharapkan masa lalu Indonesia yang gemilang akan kecewa (dan mungkin malah tidak mempedulikan hasil akhir tersebut). Sementara masyarakat yang konon katanya lebih realistis dan menganut konsep-teori mainstream budaya linear manusia akan merasa lega, karena otoritas keilmuannya tidak lagi terbantahkan.
Tapi apakah hasil awal itu, dan apakah hasil akhir itu? Selama saintis tetap berpikir kritis, selama sains terus ada dan tidak dikekang, maka semua hasil adalah hasil awal. Dan kita semua harus secerdik-cerdiknya memanfaatkan kesementaraan hasil sains yang selalu awal itu untuk kepentingan yang lebih luas: kesejahteraan manusia. Jangan sampai ada hasil akhir. Jangan sampai kita berhenti.
The Explorer Vs. Mainstreamer
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Coba lihat itu kasus Gunung Padang, bagaimana proses aksi-reaksi yang terjadi pada inisiatif masyarakat yang disebut sebagai Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang yang sejak 2010 – 2011 mulai meneliti Gunung Padang dengan berbagai metode geologi-geofisika, arsitektur dan arkeologi itu. Tim ini difasilitasi oleh Andi Arief (AA) untuk kemudahan perizinan kerja legal-formalnya tapi tidak sepeser pun Tim ini mendapatkan dana untuk penelitian Gunung Padang dari Andi Arief atau pemerintah, semua pake biaya pribadi sendiri-sendiri.
Di dalam fasilitasi dan kepemimpinan AA tersebut dilakukan penyiaran terus menerus hasil-hasil kerja sementara Tim lewat kuatnya jaringan media yang dapat dijangkau oleh bekas aktivis mahasiswa ‘98 ini. It is a science journalism militant works indeed. Akibatnya juga “militant”: yaitu Gunung Padang akhirnya menjadi pusat perhatian masyarakat lebih dari sebelum-sebelumnya. Jumlah kunjungan meningkat meroket tajam dalam dua tahun terakhir ini. Pro dan kontra pun terjadi terus menerus. Analisis-analisis sementara dari data-data geologi – geofisika – arsitektur – arkeologi sering kali langsung dilemparkan begitu saja ke masyarakat, sehingga membuat masyarakat menjadi “bergairah”, sekaligus “resah”.
Resah???!!! Tentu saja! Karena hasil-hasil sementara itu sering kali bertentangan dengan kesimpulan-kesimpulan lama tentang budaya – kebudayaan – teknologi – arkeologi mainstream yang dianut/diyakini oleh sebagian besar saintis-saintis “pemerintah” dan individu-individu swasta mainstream lainnya. Itulah yang membuat para saintis mainstream merasa tertantang. Maka setelah dengan segala cara dilakukan counter argument, counter berita, maupun lewat pertemuan dan diskusi yang difasilitasi ternyata masih juga Tim Terpadu tersebut tidak bisa dicegah pengaruhnya (karena yang meng-counter hanya mengandalkan data-data lama, atau analogi-analogi belaka dan waktu itu belum melakukan survey tandingan ke Gunung Padang), maka dilakukanlah penelitian resmi yang dibiayai pemerintah memakai uang Negara pada akhir 2012 (Oktober - November 2012) oleh lembaga pemerintah yang berwenang dengan tujuan membuktikan bahwa klaim Tim Terpadu tersebut tidak benar. Dan sesuai dengan tujuannya, riset tandingan itu pun akhirnya menyimpulkan bahwa klaim Tim Terpadu tentang umur yang tua, luas, tinggi dan besar yang jauh melebihi aslinya, teknologi canggih yang membangunnya, kemungkinan ada rongga/ruang di bawah situs puncaknya: semua itu tidak benar. Meskipun Tim verifikasi tersebut tidak memakai alat dan metode geofisika yang sama, tidak melakukan pemboran, tidak melakukan carbon dating, dan berbagai metodologi seperti yang dipakai oleh Tim Terpadu. Dan parahnya: kedua tim tersebut (Tim Terpadu Mandiri dan Tim Pemerintah) tidak pernah bertemu untuk membahas satu persatu pokok bahasan, temuan, konsep, perhitungan, dan analisis yang masing-masing mereka lakukan.
Kemudian di akhir 2012 dan triwulan pertama 2013 ini, Tim Terpadu pun terus melakukan kerja risetnya. Kali itu mereka tidak lagi meneliti daerah SITUS yang benar-benar sudah dianggap sebagai situs yang dilindungi oleh Undang-Undang, yaitu di bagian atas yang sudah dipagari sesuai dengan SK Mendikbud No. 139/M/1998 tertanggal 16 Juni 1998. Tetapi Tim Terpadu justru ingin membuktikan kemenerusan situs itu ke timur, barat, dan utaranya, dan secara lebih khusus melakukan ekskavasi di tanah masyarakat (yang tidak dianggap sebagai situs, karena di luar pagar dan tidak masuk dalam penetapan SK Mendikbud). Ekskavasi itu pun resmi mendapatkan ijin dari Bupati Cianjur (karena belum ditetapkan sebagai daerah situs maka ijinnya dari Bupati).
Apa yang ditemukan dan kemudian di-lab analyses dan direkonstruksi-kan oleh Tim Terpadu dari hasil “ekskavasi” sesi terakhir mereka itu ternyata semakin menambah keyakinan bahwa luasan – besaran – dimensi Gunung Padang jauh lebih besar dari apa yang menyembul muncul di permukaannya yang terlihat di puncak sebagai situs 900 meter persegi itu. Masih ada puluhan meter “badan situs” yang menerus ke arah lereng timur, dan selain itu dari hasil ekskavasi sekitar 4,5 meter di luar situs resmi, didapatkan “semen-purba”, slag-besi, alat potong besi, dan fenomena-fenomena pecahan batu yang tersusun tidak alamiah.
Ditambah dengan puluhan data akuisisi bawah permukaan baru yang lebih rinci, maka fakta-fakta baru di atas mendorong Tim Terpadu untuk memformalkan proses “pengulitan” lereng timur Gunung Padang melalui program “Ekskavasi Bersama Masyarakat” yang sebenarnya adalah usaha untuk membersihkan bangunan luar lereng timur Gunung Padang dari tanah penutup sekitar 50 sentimeter – 2 meter tebalnya. Dan itu pun adalah daerah yang selama ini bukan dianggap sebagai situs. Justru dengan pembukaan atau pengulitan atau “ekskavasi” inilah maka bentuk luar dari bangunan lereng timur Gunung Padang itu akan menampakkan dirinya. Barulah setelah itu akan dilakukan penelitian lebih lanjut ke dalam – menjajaki kemungkinan adanya rongga-ruangan seperti yang diindikasikan dari interpretasi geofisika-geologi bawah permukaan, sambil diusulkan – diproses untuk menjadi daerah situs yang dilindungi. Tentu saja proses ekskavasi yang melibatkan masyarakat di daerah non-situs itu akan dikawal oleh tenaga-tenaga ahli arkeologi dan kelengkapan profesi yang mengiringinya: geologi, geofisika, lingkungan, dan sebagainya. Bukan sembarangan ekskavasi.
Lalu, kenapa sampai ada petisi yang menolak segala acara untuk membersihkan – menguliti – mengekskavasi lereng timur Gunung Padang yang tidak termasuk ke dalam situs resmi itu? Kenapa usaha untuk membuktikan kebesaran monumen teknologi tinggi bangsa kita zaman ribuan tahun lalu itu pake dipetisi-petisi disuruh berhenti? Salah persepsi? Kurang komunikasi?
Entahlah.
Coba kamu analisis, kenapa ini semua terjadi.