Pesan buat Opung, Cacak, dan Uda
Tapi tolong, tengoklah ke dalam dulu: apa saja yang kita punya, apa saja masalahnya dan bagaimana peluang pemecahannya. Kalau tidak paham dengan itu semua karena memang pada dasarnya kapasitas dan kompetensi tidak ada, maka RENDAH HATILAH: BERTANYALAH, DENGARKANLAH, KOSONGKAN DIRI, TERIMALAH!!
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Opung, Cacak, dan Uda, kita semua tahu koq, kalian semua orang baru. Gak apa-apa.. Kita semua maklum akan hal itu dan banyak yang komit mau bantu. Tapi tolong, tengoklah ke dalam dulu: apa saja yang kita punya, apa saja masalahnya dan bagaimana peluang pemecahannya. Kalau tidak paham dengan itu semua karena memang pada dasarnya kapasitas dan kompetensi tidak ada, maka RENDAH HATILAH: BERTANYALAH, DENGARKANLAH, KOSONGKAN DIRI, TERIMALAH!! Banyak orang yang rela koq idenya di-claim, pendapatnya dipakai bahkan tanpa harus menyebut namanya, yang penting negara dan rakyat ini selamat melangkah ke depan dengan menerapkan ide, pendapat, dan rancangan-rancangan yang mereka sumbangkan.
Mohon jangan grusa-grusu tanpa melihat ke dalam dulu; tiba-tiba saja sudah terima tawaran dari luar buru-buru, dengan janji-janji manis memecahkan masalah sampai tuntas ke hulu, yang saking hebatnya mereka semua membungkus idenya. Dibutakanlah mata kita dengan kebohongan demi kebohongan yang makin lama makin tersingkap dengan mata awam telanjang bahkan bisa jadi nantinya timbul masalah baru. Tanpa kalian sengaja lewat kalian semua kita semakin tergantung pada orang-orang luar itu, yang pada akhirnya lagi-lagi membuat rawan kedaulatan kita.
Tengoklah ke bawah. Dengarkan suara-suara yang sudah bergulat sekian lama. Bisa saja mereka kalian anggap bias dan subjektif karena sudah terlalu lama ada di dalam dan gak punya cukup rujukan ke luar; tapi tetap saja jam terbang, pengalaman, dan kekayaan pengetahuan tentang apa yang ada di dalam akan sangat penting untuk dijadikan pertimbangan. Jangan karena berbeda afiliasi politik maka rumus trigonometri sederhana C2 = A2 + B2 kalian anggap tidak berlaku di segitiga kalian bertiga. Jangan hanya mendengar usulan dari luar yang kalian katakan sebagai out of the box, tapi box-nya sendiri kalian tidak pernah tahu seperti apa; bahkan mereka yang mengusulkannya pun diragukan: pernah tahu tentang box itu ataukah hanya khayalan mereka belaka?
Dan ingatlah, negara kita ini bukan negara coba-coba dan kita semua ini bukan rakyat coba-coba. Jadi janganlah terus menerus mencoba-coba, bereksperimen dengan riang gembira dan selalu excuse kalau terjadi salah, kemudian terus menerus mengoreksi langkah: padahal dari awal pun sebenarnya sudah diperingatkan tak henti-hentinya; tapi karena ngeyel tidak mau melihat ke dalam dan tidak mendengar dari bawah: ngotot saja melangkah coba-coba!! Sekali lagi: kita semua tidak rela kehilangan waktu berharga, membuat perkembangan sektor seperti mandeg berbulan-bulan lamanya, hanya karena ke-ngeyel-an dan ke-ngotot-an tanpa kompetensi dan kapasitas yang selalu memaksa. SADARILAH!!
Catatan Langit
Sering kali kita pikir kita sudah bicarakan segalanya terangan, menjlentrehkan semua argumen dan kontra argumen di atas meja, lalu menarik kesimpulan bahwa dengan sains dan demokrasi semua yang kita perdebatkan akhirnya bisa mencapai kata akhir penyelesaian, lalu kita sepakat sama-sama jalan.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Sering kali kita pikir kita sudah bicarakan segalanya terangan, menjlentrehkan semua argumen dan kontra argumen di atas meja, lalu menarik kesimpulan bahwa dengan sains dan demokrasi semua yang kita perdebatkan akhirnya bisa mencapai kata akhir penyelesaian, lalu kita sepakat sama-sama jalan.
Ternyata prinsip tersebut tidak sepenuhnya berlaku untuk masalah-masalah strategis, yang butuh lebih dari pembicaraan di atas meja untuk menuntaskan. Masalah-masalah "langit" : itulah sebutan saya untuk topik tersebut. Karena masalahnya masalah langit, maka yang bisa bicara adalah penguasa langit, bukan sekadar penguasa meja, dan apalagi pemain-pemain "di bawah meja".
Soal-soal "langit" terkait apa saja itu?
Soal nuklir yang dari tahun 60 gak mulai-mulai PLTNnya,
Soal Freeport dan konsesi "tambang abadi" untuk Amerika ,
Soal cadangan gas terbesar Indonesia di Natuna yang 43 tahun gak juga dikelola,
Soal cadangan-cadangan minyak terbesar Indonesia (Rokan dan Cepu blok) dan siapa saja kontraktor/pengelolanya,
Soal preferensi investasi proyek-proyek infrastruktur,
Soal ketergantungan pasokan energi pada Singapur,
Soal mineral tanah jarang yang terus menerus "dibiarkan" dicuri,
Soal sumber intan Martapura yang sampai sekarang "tidak pernah ditemukan" ..... dan soal-soal serupa lainnya ....
Dibutuhkan lebih dari sekadar pembicaraan di atas meja untuk menyelesaikan masalah-masalah langitan yang disebutkan di atas.
Masalah-masalah teknis, pro kontra soal lingkungan, apakah mau pakai offshore atau onshore, insentif-insentif, soal bahaya atau tidaknya pengoperasian proyek, risiko yang tinggi vs. risiko rendah, teknologi CO2, CNG-LNG-pipa, royalti, IRR, dan topik-topik sejenisnya semuanya innsyaAllah bisa dibicarakan di atas meja.
Kita-kita "orang bumi" adalah pihak yang merasa paling mengetahui tentang urusan tetek bengek nitty gritty di atas meja itu. Tetapi, sementara itu keputusan-keputusan terkait dengan masalah-masalah strategis itu sering kali sudah diambil duluan dari atas langit sana, lepas dari apakah kita (mereka) memahami fakta di atas mejanya atau tidak.
Orang-orang yang mencoba untuk naik ke atas langit dengan logika dan perilaku bumi, maka dia akan terpental terpeleset jatuh atau dijongkrokno sekalian ke jurang di bumi-bumi kenyataan.
Sampai suatu saat, ada orang sakti dari bumi yang bisa membedah langit dan meneriaki dewa-dewa langit supaya melepaskan hegemoninya atas masalah-masalah strategis tadi: barulah kita bisa mengimplementasikan apa yang seharusnya diimplementasikan dari fakta di atas meja seperti yang kita pahami bersama.
Selamat pagi, orang-orang bumi.
Tentang Air Mata
Menyanyikan Indonesia Raya saat pengibaran bendera di ESDM tadi pagi, air mata berleleran di wajahku.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Menyanyikan Indonesia Raya saat pengibaran bendera di ESDM tadi pagi, air mata berleleran di wajahku. Aku pun tidak berani terlalu keras menyuarakan lagu kebangsaan karena ketika kucoba : suara nyanyianku jadi gak karu-karuan di tengah isak haru, sedih, bangga, campur aduk jadi satu. Selain itu: nggak enak juga kelihatan dan didengarkan oleh pejabat-pejabat di kiri kananku yang sedang ikut upacara tujuh belasan itu.
Apa yang sebenarnya terjadi aku juga kurang tahu pasti. Tadinya ku pikir itu semacam perasaan self pity (sedih mengingat kemalangan diri) yang sepertinya mencoba "mencintai" negeri dengan berbuat secerdas mungkin untuk memperbaiki keadaan tapi ternyata tidak di"waro" oleh sang ibu pertiwi. Seolah-olah seperti perasaan cinta bertepuk sebelah tangan. Tapi dipikir-pikir lebih panjang: sebenarnya bukan ibu pertiwinya yang tidak menghargai/tidak mengapresiasi/tidak me"waro" aku, tapi para pemegang kendali atas berjalan lancarnya urusan negeri ini yang tidak peduli, sehingga apa yang kulakukan untuk ibu pertiwi jadinya seperti sia-sia. Begitulah. Maka berdleweran lah air mata ketika memandang dengan haru dan bangga bendera merah putih berkibar sambil menyanyikan Indonesia raya.
Memang, sih, tidak terlalu sering aku ikutan upacara bendera 17 Agustusan seperti hari ini. Tahun lalu dan tahun sebelumnya seingatku aku di ada lapangan (delta Mahakam), jadi nggak ikut upacara di mana pun juga. Tapi tiga tahun yang lalu (2014) aku sempat juga ikut upacara bendera di RW kalau nggak salah — nah waktu itu aku juga mewek-mewek nahan tangisku karena rasa campur aduk di dadaku.
Dulu ketika masih menjadi pegawai selama 17 tahunan dari 1984-2000 sebenarnya sudah ada bibit-bibit melankolis itu setiap kali upacara bendera 17an, tapi gak sekenceng dan sekuat perasaan beberapa tahun terakhir ini. Mungkin karena makin lama aku makin tua. Atau karena terlalu banyak beban numpuk di jiwa yang terkait dengan kekecewaan-kekecewaan atas kondisi negara tapi seolah aku gak bisa melakukan apa pun juga untuk memperbaikinya. Entah lah.
Malam ini tadi juga, dalam acara peluncuran buku Napas Anak Merdeka: In Memoriam Leo Kristi; acara resmi dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya tiga stanza. Dan lagi-lagi air mata berdleweran di wajahku. Kadang-kadang terlintas wajah almarhum bapakku dengan seragam hitam-hitam TRIP-nya. Lalu ungkapan-ungkapan retoris itu menggema berulang-ulang di rongga kepala: "kasihan, deh, kamu Yang .... seberapa pun cintamu pada ibu pertiwi yang sedang susah ini, seberapa pun mampu kau pikir otakmu untuk membenahi karut-marutnya, tetap saja kamu harus lihat kenyataan: rohmu, jiwamu, auramu belum lah terlalu kuat untuk menerobos segala barier kepentingan oligarki bisnis politik kekuasaan yang sedang berlupa, sedang semu berbangga, sedang merasa paling benar dengan segala tindakan dan firmannya". ..... Lagi-lagi hari ini 17 Agustus 2017, aku terisak menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Bukan hanya itu saja. Sebelum acara resmi peluncuran buku Napas Anak Merdeka, di sore harinya tadi: ada sesi cerita-cerita tentang almarhum Leo Imam Sukarno yang nama kesenimanannya Leo Kristi. Dalam sesi itu lagi-lagi aku terisak dleweran air mata ketika mendengar dan menghayati cerita mbak Titik Manyar tentang pengalaman batinnya dengan Leo termasuk di saat-saat akhir sebelum meninggalnya. Aku benar-benar ditunjuki Tuhan cermin di depan mata: bagaimana tulusnya cinta kasih "memberi" dan betapa luar biasanya kekuatan cinta.
Sebenarnya bisa juga dibilang agak gak nyambung: rangkaian bendera merah putih, lagu Indonesia raya, hari kemerdekaan dan isak tangis karena mendengar cerita saat-saat terakhir hidupnya Leo. Tapi bisa juga dibilang nyambung dengan benang merah: Cinta kasih merah putih ibu pertiwi .... dan air mata.
Mumpung belum lupa dan perasaan itu masih ada, kutuliskan saja.
(Ini Sudah Keterlaluan)
Gas kita banyak yang sudah ketemu (discovered) yang masih ada di dalam bumi (di reservoir) dan belum diproduksikan hanya karena gara-gara term dan fiskal yang tidak menarik bagi pengembang/investor karena negara masih mengharapkan pendapatan berlebih dari (mi)gas.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Ini sudah keterlaluan.. Gas kita banyak yang sudah ketemu (discovered) yang masih ada di dalam bumi (di reservoir) dan belum diproduksikan hanya karena gara-gara term dan fiskal yang tidak menarik bagi pengembang/investor karena negara masih mengharapkan pendapatan berlebih dari (mi)gas. Instead of MEMANFAATKAN gas-gas yang masih tersimpan itu untuk modal pembangunan, kemaslahatan bersama, pengembangan masyarakat, pengembangan industri dan Ketahanan Energi Nasional ....
..... eeee: malahan kita memberi sinyal akan terima supply dari negara yang sama sekali tidak punya sumber daya gas tapi jadi trader/pedagang canggih yang dari waktu ke waktu memanfaatkan ketidakpahaman dan kepicikan pandangan myopic kita dengan memasok gas ke "Negara Penghasil Gas" ini .... (padahal listrik mereka juga sebagian besar dari gas kita juga).
Untuk listrik di Nias? Di Lhoksuemawe? Di Riau? Itu biogenic gas melimpah di Pantai Barat Sumatra dan juga di Aceh dan Riau tapi gak dioprek sama sekali, .... koq ini kayak orang "desperate" berputus asa saja terus membiarkan saja orang/negara lain yang bukan penghasil gas menawarkan (sambil tertawa) ke kita untuk suplai gas untuk listrik di daerah-daerah tersebut?!! Jangan-jangan para pengambil kebijakan juga gak paham kalau kita punya banyak gas biogenic di offshore barat Sumatra sana dan juga beberapa di onshore Aceh dan Riau yang sudah ketemu tapi gak pernah bisa dikerjakan karena masalah term-fiskal.
Monggo sama-sama kita suarakan akal sehat. Supaya kita nggak terus menerus jadi negara tertawaan guyonan dunia!!!
Berita terkait:
Diminati
Pemberitaan tentang diminatinya blok-blok migas yang ditawarkan pemerintah oleh 17 perusahaan minyak akhir-akhir menimbulkan tanda-tanya besar di tengah kritik tentang tidak kompetitifnya kondisi Indonesia dibanding negara lain untuk investasi migas, …
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Pemberitaan tentang diminatinya blok-blok migas yang ditawarkan pemerintah oleh 17 perusahaan minyak akhir-akhir menimbulkan tanda-tanya besar di tengah kritik tentang tidak kompetitifnya kondisi Indonesia dibanding negara lain untuk investasi migas dan juga kritik tentang skema kontrak Gross Split yang menyertai blok-blok yang ditawarkan tersebut. Berita ketertarikan tersebut seolah paradoks positif yang menjawab kritik-kritik negatif tentang iklim investasi migas Indonesia. Apa yang sebenarnya terjadi?
Begitu kita telaah lebih rinci, ternyata yang dimaksud sebagai "meminati" blok-blok migas itu adalah "mengambil/membeli dokumen lelang". Bagi para "new venturer" bonafid, membeli dokumen lelang yang hanya beberapa Ribu USD per blok itu adalah bagian dari prosedur untuk mendapatkan informasi baik administrasi, fiskal maupun teknis tentang blok-blok yang ditawarkan dan tidak menjamin bahwa mereka akan berlanjut dengan memasukkan dokumen penawaran. Kebiasaan new venturing perusahaan-perusahaan E&P migas: makin banyak info, makin lengkap database, maka makin besar peluang untuk mendapatkan venture baru. Mengambil dokumen tender: selain untuk penjajakan teknis juga bisa dipandang sebagai bagian dari strategi pengembangan database.
Dari data empiris tahun-tahun sebelumnya, terlihat bahwa di 2015, 7 perusahaan membeli bid document blok konvensional tapi tidak ada satu pun yang memasukkan penawaran. Salah satu alasannya karena signature bonus ketinggian. Pada 2016 bahkan ada 19 perusahaan membeli/mengambil bid document blok konvensional tapi ternyata hanya satu yang tandatangan kontrak. Itu pun akhirnya mereka minta penangguhan waktu lagi untuk re-evaluate karena kontraknya diubah memakai Gross Split padahal waktu pengambilan dokumen masih menggunakan PSC konvensional.
Nah dari pemahaman tentang prosedur new venturing perusahaan E&P migas dan juga dari pembelajaran data empiris tahun-tahun sebelumnya, semestinya kita masih harus berhati-hati dan mawas diri bahwa : "banyaknya (17) perusahaan yang mengambil dokumen tender" belum tentu berhubungan dengan "makin berminatnya perusahaan minyak investasi di Indonesia".
Kita masih harus menunggu sampai akhir September 2017, berapa banyak dari 17 perusahaan yang mengambil dokumen tender tahun ini mengembalikan dokumen untuk mengikuti tender. Mudah-mudahan bukan nol seperti tahun 2015 dan atau satu seperti 2016.
Kita harus sama-sama mendoakan supaya optimisme pemerintah yang dengan gegap gempita mengumumkan ada 17 perusahaan meminati blok-blok migas yang ditawarkan akan benar-benar terwujud jadi investasi nyata. Tapi pada saat yang sama kita juga harus mawas diri, waspada dan terus introspeksi diri atas peringatan-peringatan dari berbagai pihak dari dalam maupun luar negeri yang menyatakan bahwa iklim investasi migas hulu Indonesia makin buruk karena berbagai masalah tata kelola yang tak kunjung teratasi.
Berita terkait: