Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

(Mengenai “Menkeu Sri Sindir Arcandra Tahar”)

Selamat datang di era baru pengelolaan energi yang lebih religius meski agak membingungkan (lawan dan kawan).

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Selamat datang di era baru pengelolaan energi yang lebih religius meski agak membingungkan (lawan dan kawan).

1.     "Yang tahu persis cadangan minyak bumi adalah Tuhan, manusia hanya bisa mengira-ngira dengan ilmu yang kita punya".
Makanya kita serahkan saja pada Tuhan apakah APBN tahun depan bisa mendapatkan tambahan dari produksi (dan cadangan) migas nasional yang hanya dikira-kira saja, tanpa kepastian. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana performance produksi dan penambahan cadangan migas kita ke depan.

2.     "Yang tahu persis apakah desain platform migas laut dalam itu aman dan menguntungkan hanya Tuhan, bahkan desain manusia yang dipatenkan pun hanya kira-kira berdasarkan pendekatan itung-itungan".
Makanya kita serahkan saja pada Tuhan apakah benar-benar nantinya platform-platform migas di Masela, Selat Makassar, dan di Natuna: bisa dibangun dan dioperasikan dengan aman dan tetap menguntungkan buat semua pihak yang berkepentingan. Hanya Tuhan yang tahu bagaimana kita bisa memanfaatkan kekayaan migas Indonesia di laut dalam.

3.     Welcome to the new era of more religious approach to the management and policy of Indonesia energy.

4.     Mohon jangan bingung bu Sri. Kita perbanyak saja doa dan puja puji.

Berita terkait:

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Debat Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir: You Can’t Please Everybody

Perdebatan mengenai perlu tidaknya Indonesia membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sepertinya belum akan berakhir, …

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Perdebatan mengenai perlu tidaknya Indonesia membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) sepertinya belum akan berakhir meskipun DPR telah menyetujui Kebijakan Energi Nasional 2015 – 2050 melalui Sidang Paripurna 28 Januari 2014 yang kemudian ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014, pada tanggal 17 Oktober 2014 oleh Presiden SBY. Pasal 10 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 secara tegas menyebutkan bahwa “Pemerintah akan mendahulukan potensi Energi Baru dan Terbarukan sesuai dengan nilai keekonomiannya, serta mempertimbangkannya (energi nuklir) sebagai pilihan terakhir dengan memperhatikan faktor keselamatan secara ketat”. Penting diketahui bahwa sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Energi Nomor 30 Tahun 2007 dalam Pasal 11 ayat 2 disebutkan bahwa PP tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN) harus melalui persetujuan DPR.

Keputusan energi nuklir sebagai “the last resort” dalam skema energi nasional kembali ditegaskan dalam Sidang Paripurna Dewan Energi Nasional (DEN) ke-3 pada 22 Juni 2016 lalu. Sidang yang dipimpin oleh Presiden RI Joko Widodo yang juga sekaligus Ketua Umum DEN, serta dihadiri pula oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla yang juga Wakil Ketua Umum DEN dan jajaran Kabinet Kerja, menetapkan RUEN (Rencana Umum Energi Nasional) yang merupakan penjabaran Strategi, Program dan Kegiatan dari KEN. Disepakati bahwa RUEN menempatkan implementasi PLTN sebagai pilihan terakhir dalam prioritas pengembangan energi nasional. Dengan kata lain, PLTN tidak akan dibangun dalam waktu dekat ini — paling tidak sampai 2025, dan pemerintah akan mengandalkan dan memprioritaskan Energi Terbarukan dan Energi Baru non-nuklir untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi fosil. Dalam arahannya, Presiden sebagai Ketua DEN juga menyetujui opsi di mana dalam waktu ke depan Pemerintah menyusun roadmap implementasi pemanfaatan nuklir, karena Indonesia masih berlimpah dengan potensi sumber daya EBT lainnya.

Pro-Kontra

Hal yang ingin dikemukakan dalam tulisan ini adalah fenomena menarik yang terjadi akhir-akhir ini, yaitu hampir dua tahun sejak ditetapkannya Kebijakan Energi Nasional sebagai Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014, mulai terdengar pro kontra (lagi) di level pembuat dan pengambil kebijakan tentang urgensi pembangunan PLTN di Indonesia. Di antara suara-suara tersebut tidak sedikit yang mengatakan PLTN bukan sebagai pilihan terakhir tapi segera! Bahkan sebagian anggota DPR secara lantang menyuarakan agar Pemerintah atau DEN segera mengubah - merevisi Kebijakan Eenergi Nasional tersebut.

Menilik ke belakang, Kebijakan Energi Nasional yang ada saat ini adalah merupakan hasil yang disepakati baik oleh pihak legislatif maupun eksekutif, melalui proses politik DPR 2009-2014 yang disetujui pada sidang Paripurna DPR tanggal 28 Januari 2014. Bukan sesuatu yang aneh, memang, kalau kemudian DPR atau salah satu unsur pemangku kepentingan menentang sebuah kebijakan yang sudah diambil secara demokratis pada periode sebelumnya. Itulah buah dari demokrasi kita.

Wacana mengenai urgensi pembangunan PLTN sedikit banyak telah memecah konsentrasi DEN dalam melaksanakan mandat untuk menindak-lanjuti Kebijakan Energi Nasional dengan penetapan RUEN (Rencana Umum Energi Nasional). Terjadinya kembali perdebatan tanpa akhir mengenai PLTN sedikit banyak telah memperlambat proses penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan supervisi pembuatan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) yang harus dilakukan oleh DEN, sebagai tindak lanjut dari keputusan yang diambil dalam Sidang Paripurna DEN, 22 Juni lalu.

Apabila memang DPR ingin memasukkan PLTN sebagai prioritas sumber energi Indonesia, maka sebaiknya DPR 2014 – 2019 mengambil inisiatif untuk merevisi PP No. 79/2014 tersebut melalui proses politiknya. Sementara itu, DEN dapat segera menyelesaikan RUEN dan melakukan supervisi pembuatan RUED tanpa harus menunggu lagi perubahan keputusan politik tentang PLTN ini. Apabila aspirasi untuk membangun PLTN dirasakan sangat kuat, tentunya DEN 2014 – 2019 dapat melakukan proses evaluasi dan revisi KEN, (termasuk urusan nuklir jika perlu) untuk kemudian usulan-usulan revisi tersebut diajukan kembali dan disetujui lagi oleh DPR masa bakti 2014 – 2019. Begitu juga selanjutnya: jika DPR periode berikutnya 2019 – 2024 tidak setuju dengan urusan nuklir hasil rekayasa DEN dan DPR periode 2014 – 2019, silakan saja diubah lagi tetapi dengan cara yang “prosedural-konstitusional”. Dengan demikian maka hal-hal yang mengatur Energi Baru dan Terbarukan (non nuklir) dalam RUEN dan RUED tidak terganggu.

You Can’t Please Everybody

Tidak ada satu keputusan yang bisa memuaskan semua pihak. Saya dan beberapa anggota DEN lainnya menyadari hal itu dan sangat mendukung PLTN untuk segera dibangun di Indonesia, namun kami juga menghormati keputusan “PLTN as the last resort” yang diambil melalui proses demokrasi yang panjang dan melelahkan. Namun catatan yang paling penting adalah percepatan penyediaan energi Indonesia yang sudah diambang krisis.

Berikut adalah terjemahan rumusan KEN dalam RUEN terkait dengan energi nuklir, antara lain:

  1. Pemerintah akan tetap membangun reaktor nuklir skala laboratorium sebagai reaktor daya eksperimen untuk mengakomodasi dan mengembangkan keahlian para ahli nuklir Indonesia;

  2. Pemerintah akan mendorong kerja sama dan hubungan internasional dalam nuklir agar tidak ketinggalan dari sisi penguasaan teknologi;

  3. Pemerintah akan mengalokasikan dana yang cukup untuk mendorong riset-riset di bidang energi nuklir.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Kesaksian 20 Hari

Minggu yang lalu dan bahkan sejak awal September 2016 beredar berita dan kesaksian tentang betapa dalam 20 hari, antara 27 Juli sampai 15 Agustus 2016, pemerintah kita telah berhasil menyelamatkan uang negara miliaran dolar, …

Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Dirilis dengan suntingan di
Opinikatadata.co.id.

Minggu yang lalu dan bahkan sejak awal September 2016 beredar berita dan kesaksian tentang betapa dalam 20 hari, antara 27 Juli sampai 15 Agustus 2016, pemerintah kita telah berhasil menyelamatkan uang negara miliaran dolar dari industri migas dan beberapa keputusan revolusioner telah dikeluarkan oleh Pemerintah dalam 20 hari itu sehingga bisa menggerakkan industri migas/energi di Indonesia. Klaim-klaim itu terutama menyangkut 4 hal yaitu: 1. Blok Masela, 2. Proyek IDD Selat Makassar, 3. Blok Migas Natuna Timur, dan 4. PP79/2010. Anehnya sampai sekarang tidak ada konfirmasi ataupun bantahan resmi dari pihak-pihak terkait tentang benar-tidaknya klaim-klaim tersebut.

Sebagai bagian dari pertanggungjawaban moral atas pengetahuan dan akal budi yang dianugerahkan oleh Allah SWT, saya terpanggil untuk menuliskan hal-hal berikut untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat dan juga penguatan kepada sahabat-sahabat saya dari Houston yang kebetulan mendapatkan cobaan masuk ke dalam pusaran karut-marut pengelolaan energi kita. Tulisan ini juga dimaksudkan sebagai kontribusi dan sekaligus dukungan kepada Pemerintah dan Negara untuk bersama-sama memperbaiki tata kelola energi/migas Indonesia melalui sharing penjelasan-penjelasan sebagai berikut:

  1. Setahu saya, sampai saat ini tidak ada satu pun dari pihak Inpex (sebagai pihak yang akan mengerjakan proyeknya) yang mengiyakan/setuju bahwa anggaran Masela yang 22 miliar dolar sudah bisa diturunkan sampai 14 Milyar dolar, dan sama sekali tidak ada pertemuan khusus yang membahas dan mengambil kesepakatan tentang hal itu antara ESDM dengan Inpex maupun dengan SKKMigas yang nantinya mengawasi pelaksanaan proyek itu. Bedakan antara "punya pendapat bahwa biaya bisa diturunkan sampai 14 miliar" dengan "bisa menurunkan biaya Masela sampai 14 miliar". Siapa pun (dengan pengetahuan dan pengalaman bahkan kurang dari 20 tahun dan lokalan dalam negeri saja) bisa saja membuat hitung-hitungan tapi masalahnya: apakah hitung-hitungan itu bisa dilaksanakan oleh pelaksana proyeknya nantinya atau tidak? Selama belum dilakukan persetujuan – negosiasi, klaim bahwa seseorang bisa menurunkan biaya dari 22 menjadi 14 miliar itu jadi klaim yang menggelikan!! (Kawan-kawan wakil rakyat yang percaya begitu saja dengan klaim itu akhirnya jadi nampak menggelikan juga.)

  2. Klaim bahwa dalam 20 hari seorang individu (juga) telah berjasa menurunkan harga proyek IDD dari 12 miliar dolar menjadi 9 miliar dolar juga klaim yang absurd dan mengada-ada. Karena, sama dengan klaim soal Masela, sampai saat ini tidak ada satu pun pihak Chevron yang merasa sudah pernah bicara dan negosiasi dengan ESDM maupun SKKMigas membahas tentang dan setuju dengan penurunan biaya IDD proyek tersebut. Bahwa proyek yang seolah "ditinggalkan" oleh Chevron dua tahun lalu karena tidak beraninya pemerintah memutuskan naik dari 9 ke 12 miliar dolar itu sekarang dievaluasi ulang sehingga kemungkinan bisa "masuk" dengan harga tetap 9 miliar dolar: itu wajar-wajar saja karena dua – tiga tahun lalu harga minyak masih di atas 100 dolar sementara sekarang sudah berkisar 35 – 45 dolar per barel. Jadi, sekali lagi, siapa pun yang mengevaluasi ulang harga IDD proyek pasti juga akan keluar dengan harga yang relatif lebih rendah dari harga dua – tiga tahun yang lalu, karena services juga sudah "turun" harganya mengikuti turunnya harga minyak dunia. Tetapi apakah bisa turun sampai 9 miliar dolar lagi: itu masih harus didiskusikan dengan pihak Chevron sebagai pelaksana. Dan tentunya dalam 20 hari dari akhir Juli sampai pertengahan Agustus kita sama-sama tahu: tidak ada negosiasi meeting itu dilakukan oleh pemerintah dengan Chevron. Sekali lagi: itu adalah klaim yang menggelikan. (Dan lagi-lagi, yang percaya dengan klaim itu kalau memang dia paham dengan urusan migas pasti dia hanya bercanda saja — karena lucu, atau memang yang percaya itu gak ngerti dengan urusan migas sama sekali babar blass.)

  3. Soal klaim bahwa dalam kurun waktu 20 hari antara 27 Juli sampai 15 Agustus 2016 sudah terjadi satu kali pertemuan antara ESDM, Pertamina, dan partner-partnernya di Blok Natuna Timur yang menyepakati PSC contract-nya juga adalah klaim yang mengada-ada. Yang jelas: Selasa 23 Agustus ada perintah mendadak dari ESDM untuk menyelesaikan PSC Contract East Natuna paling lambat 1 September 2016, yang kemudian pada Rabu 24 Agustus tim-tim dari Pertamina, Exxon, SKKMigas, dan lainnya tergopoh-gopoh datang ke Yogyakarta diundang oleh petinggi-petinggi Ditjen Migas untuk merundingkan PSC Contract tersebut. Lagi-lagi, tentunya, perundingan itu gak beres juga dalam sehari itu. Kalau memang beneran antara 27 Juli sampai 15 Agustus 2016 sudah disepakati PSC Contract East Natuna, ngapain juga ada perintah dari ESDM supaya diselesaikan 1 September dan ngapain juga semua tergopoh-gopoh meeting di Yogyakarta 24 Agustus itu. Lagi-lagi klaim bahwa East Natuna PSC sudah diselesaikan dalam 20 hari antara 27 Juli sampai 15 Agustus merupakan klaim yang menggelikan, dan anehnya tidak ada satu pun tulisan terbuka yang mempertanyakannya. Ajaib.

  4. Yang lebih bombastis lagi adalah klaim bahwa PP79/2010 (yang selama lima tahun terakhir ini menjadi hantu penyebab menurunnya minat eksplorasi dan eksploitasi investor-investor migas di Indonesia) telah disepakati revisinya dan tinggal tandatangan Presiden Jokowi saja nampaknya sampai sekarang hanya jadi klaim angin surga saja. Masih diperlukan usaha negosiasi politik birokrasi inter-departemen terutama dengan Kementrian Keuangan untuk bisa keluar dengan pasal-pasal revisi PP79/2010 yang disetujui dua belah pihak (ESDM dan Kemenkeu). Bahwa Kementrian Keuangan mulai ambil langkah serius untuk duduk bersama ESDM membahas revisi PP79/2010, itu pun sebenarnya hasil kerja keras dari ESDM dari Mei 2015 sampai Juli 2016 yang lalu di mana lewat Komite Eksplorasi Nasional secara resmi ESDM tak henti-hentinya menyuarakan "Cabut PP79/2010 supaya usaha E&P Migas Indonesia bisa bangkit kembali". Kemenko Ekonominya, Pak Darmin Nasution, mulai bikin Tim Khusus revisi PP79/2010 setelah pidato Pak Darmin di IPA Convention Mei 2016. BKFnya Kementrian Keuangan juga mulai serius membahas tentang kemungkinan revisi tersebut setelah FGD-FGD Komite Eksplorasi Nasional pada kurun waktu Januari sampai Juni 2016. Itu pun sampai sekarang (12 September 2016) belum ada kata sepakat dari Kementrian Keuangan untuk penghapusan pasal-pasal krusial dalam PP79/2010, meskipun berkali-kali (hampir tiap minggu dalam tiga minggu terakhir ini) selalu diumumkan bahwa "minggu depan insyaallah revisi PP79/2010 sudah ditekan presiden". Industri Migas Indonesia harap-harap cemas menunggu realisasi janji klaim ini dari ESDM dan Kemenkeu.

Mudah-mudahan tulisan di atas bisa dijadikan penyemangat oleh para eksekutif (maupun legislatif wakil rakyat) dalam membangun industri energi/migas Indonesia ke depan. Dalam hal ini, paling tidak, para penyelenggara negara kita itu jadi lebih waspada dan kritis dengan klaim-klaim sepihak yang belum tentu benar adanya. Kalaupun klaim-klaim itu benar, paling tidak dimohonkan untuk segera mengumumkan hasil akhir resminya dalam bentuk dokumen-dokumen negara maupun perjanjian-perjanjian yang mengikat dan bisa disaksikan oleh dan meyakinkan seluruh rakyat Indonesia.

Allahuakbar, allahuakbar, walillahilhamd.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

TDPT: Dimulai dari Mengabdi

Di acara jagongan budaya di UB Malang November 2015, Presiden Republik Jancuk Indonesia Sujiwo Tejo mengeluarkan Maklumat Kepresidenannya tentang TDPT (Tri Dharma Perguruan Tinggi).

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Di acara jagongan budaya di UB Malang November 2015, Presiden Republik Jancuk Indonesia Sujiwo Tejo mengeluarkan Maklumat Kepresidenannya tentang TDPT (Tri Dharma Perguruan Tinggi). Urutan Tri Dharma Perguruan Tinggi yang ideal menurut maklumat tersebut adalah: pengabdian dulu, disusul dengan penelitian, barulah setelah itu di-sebar luaskan-lah ilmu dari hasil "pengabdian" dan "penelitian" itu melalui pendidikan. Aku langsung bertepuk tangan sorak-sorak bergembira mendapat penguatan jiwa, legitimasi, justifikasi, dan pembenaran atas apa yang selama ini aku jalani di dunia akademisi maupun praktisi.

Semua mahasiswa yang mengambil mata kuliahku, Sedimentologi dan Stratigrafi, pasti tahu betul bahwa 80% – 90% kuliahku ada di alam, di lapangan, di pantai, di sungai, di singkapan batu, di danau, di sedimen-sedimen modern dan purba, di pulau-pulau terumbu karang, di kuala-kuala, di gunung api, di delta, di teluk, di lembah, di tebing jurang menganga, di air terjun patah, di padang rumput sabana, di gumuk-gumuk pasir kering kerontang, di rawa-rawa, .... di air, di tanah, di angin, di suara, di terik, di basah, ..... di mana pun proses alam yang bisa kita indra, di situ lah kita belajar tentang bumi bersama-sama. 10% – 20% sisa waktunya barulah berupa pertemuan di kelas, UTS dan UAS : itu pun jika memang dibutuhkan untuk ada. Itu lah yang aku sebut dengan pengabdian dan penelitian sekaligus pendidikan. Kenapa bisa begitu?

Persentuhan santri dengan bumi adalah bagian dari "pengabdian" kepada bumi. Persentuhan akademisi dengan masyarakat adalah bagian dari "pengabdian" perguruan tinggi pada masyarakat. Tanpa bersentuhan tak mungkin ada rasa cinta, tak mungkin ada empati, rasa mengalami, rasa ingin memberi. Tanpa melebur tak mungkin ada pemahaman, kesejajaran, keselarasan, kesamaan frekuensi.

Setelah menyentuh, berinteraksi, karonsih, melebur jadi satu, barulah kita bisa ikut menghayati dan sekaligus melakoni aliran getaran dinamika bumi (dalam kasus ilmu-ilmu alam) dan atau aliran getaran dinamika keindahan dan kemasyarakatan (dalam kasus seni dan ilmu ilmu sosial). Pada fase inilah pengabdian itu mencapai puncaknya implementasi.

Akademisi ilmu alam akan selalu mencoba menyelaraskan getaran batin dan tingkah laku raganya dengan irama getaran gelombang alam. Dia tidak akan mengintervensi proses alam tanpa memperhitungkan substitusi dan kesetimbangan, dia tidak akan buang sampah sembarangan, dia tidak akan mengambil berlebihan - secukupnya saja untuk kelangsungan kehidupan, dalam mengekstraksi alam pun selalu ada reservasi untuk mengembalikannya ke alam dalam bentuk yang selaras dengan harmoni, dst, dsb. Dengan demikian maka para pembelajar bumi akan secara efektif dan efisien menyerap ilmu dari bumi sekaligus berinteraksi.

Akademisi seni dan ilmu sosial pun akan melakukan hal yang sama. Puncak pengabdian adalah ketika mereka dapat selaras bergerak bersama harmoni gerak sosial masyarakatnya. Gotong royong melok gotong royong, musyawaroh melok musyawaroh, njoget nembang ngendang ya ikut larut di dalamnya. Baca mantra, menghayati upacara-upacara, submit tunduk cinta pada tata-cara, nguri-uri budaya. Pada saat yang sama juga individu-individu akademisi yang umumnya punya posisi, kesanggupan dan kompetensi yang lebih dibandingkan anggota masyarakat kebanyakan secara otomatis akan memberikan aksen individual pada perkembangan budaya dan kebudayaan masyarakatnya. Lewat stimulasi individu-individu tersebut masyarakat akan makin bergerak maju. Dalam konteks tersebut mereka adalah agen pembaharuan/agen kemajuan/agen perubahan, seperti yang selama ini dipersepsikan oleh stigma positif akademisi/intelektual/sarjana. Pembicaraan tentang Menara Gading Ilmu dan Kebenaran Akademis jadi kehilangan relevansinya di sini.

Tahapan selanjutnya setelah mengabdi adalah "meneliti" atau dalam konteks TDPT adalah penelitian. Sebagai bagian dari laku ilmiah, yang jadi ciri akademisi adalah kemampuan untuk melakukan penelitian atau riset ilmiah adalah syarat mutlak. Riset Ilmiah yang dimaksudkan di sini adalah pemerian fakta empiris yang keberadaan dan hubungannya dengan fakta lainnya dapat dijelaskan keabsahan dan ke berulangnya secara sistematis dan prediktif yang kemudian disusun secara bersistem menjadi ilmu pengetahuan.

Penyerapan fakta secara indriawi bukan hanya dengan mata (seperti yang biasa dilakukan di kuliah-kuliah/diskusi konvensional di ruang kelas yang menggunakan sorotan gambar-gambar slide) tapi juga dengan rabaan, ciuman, sentuhan, kontak tubuh, pori-pori dengan media, dan, terutama, menggunakan rasa akan menyetorkan jutaan-milyaran sensasi ke dalam jiwa raga.
Jutaan – milyaran? Yupps. Otak dan rasa kita mampu menampung jutaan milyaran data-informasi tersebut. Sementara itu: yang bisa kita ungkapkan kembali baik dalam bentuk tulisan maupun pernyataan verbal kata-kata mungkin hanya satu – dua atau 100 – 200 data informasi saja dalam satu ketika. Demikian juga buku-buku teks yang ditulis oleh para profesor peneliti ilmu alam dunia ini; hanya satu per sekian dari milyaran informasi yang mereka serap di dalam pori-pori jiwa raga yang dapat mereka tuangkan dalam bentuk buku-buku itu... sisanya melebur di dalam sistem penyimpanan (ilmu) pengetahuan di dalam diri mereka.

Fenomena "satu per milyaran ekspresi dari milyaran repository" di atas harusnya kita sadari bersama, sehingga kita tidak terbengong-bengong lagi dengan cara nenek moyang leluhur yang menurunkan "ilmu" mereka lewat getaran begitu saja kepada yang mereka inginkan, bukan lewat buku ataupun kuliah berbulan-bulan lamanya. Dengan cara demikian milyaran "pengetahuan" itu dapat diturunkan dalam jumlah paket yang jauh lebih besar dari pada kalau lewat buku atau sekolah formal.

Kembali ke topik penelitian, sudah semestinya juga para akademisi penyandang TDPT memfokuskan pemahaman pada fenomena-fenomena alam maupun sosial seni budaya kemasyarakatan yang genuine (asli) di sekitar tempat mereka sendiri berada. Akademisi Indonesia harusnya terdorong untuk bisa lebih paham tentang Indonesia dengan lebih banyak fokus meneliti alam dan budaya Indonesia. Bukannya malah peneliti-peneliti asing yang berpesta-pora menikmati kemewahan kekayaan variabilitas alam dan budaya kita, sementara akademisi kita hanya pasrah nrimo ing pandum menunggu hasil-hasil penelitian tersebut, yang sering kali dilakukan dengan asumsi-asumsi dan hipotesa-hipotesa dasar non lokal alias impor dari negeri jauh, sehingga jauh panggang dari api alias gak nyambung.

Ambil contoh misalnya: bagaimana karakter Delta Sungai Mahakam kita yang sering kali dirujuk sebagai analog dari sistem minyak bumi di bawah permukaannya. Sebelum ada riset tentang Delta Mahakam kebanyakan para eksplorasionis migas menerapkan analogi Delta Missisipi di Amerika sana untuk mengevaluasi dan memprediksi keberadaan migas di bawah tanah yang terkait dengan sistem pengendapan delta. Setelah menerapkan ilmu tentang Delta Mahakam barulah usaha-usaha eksplorasi migas meningkat keberhasilannya dalam menemukan dan memproduksi migas, terutama di Kalimantan Timur sana.

Beberapa topik penelitian lainnya yang perlu dipertimbangkan untuk dieksplorasi oleh para akademisi nusantara adalah:

  1. Hubungan vulkanisme, gempa, dan atau tsunami dengan muncul dan hancurnya budaya, kebudayaan, dan atau pranata sosial (karena hanya di Indonesia yang gunung apinya meletus tiap hari, gempanya menggetarkan bumi berkali-kali, dan tsunami setiap saat bisa terjadi),

  2. Pendokumentasian dan pengelolaan unsur Tanah Jarang (Rare Earth Element) untuk material-material Super Conductor yang dari indikasi awal menunjukkan betapa berlimpahnya di Indonesia, tapi sampai saat ini belum ada usaha negara yang serius untuk menyentuhnya — pihak asing saja yang memanfaatkannya diam-diam dimana-mana;

  3. Riset dan eksplorasi kekayaan laut dangkal Sundaland (antara Sumatra Kalimantan dan Jawa) untuk sebesar-besar manfaat bangsa dan dunia;

  4. Energi dari masal alu (Indonesia ancestor's energy treasure);

  5. Menguak sejarah, kearifan dan teknologi masa lalu lewat penelitian Katastrofe Purba;

  6. Hubungan antara situs-situs megalitik dengan mineralisasi emas dan tembaga;

  7. Mantra, legenda, hikayat, mitos, dan kepercayaan-kepercayaan leluhur tentang alam dan energi di Indonesia.

Tentunya masih banyak lagi topik/judul/objek penelitian yang dapat kita gali yang spesifik Indonesia, terutama terkait dengan kearifan lokal dan kekhasan alam dan budaya/sosial negeri kita sendiri.

Hasil-hasil penelitian dan pengabdian masyarakat seperti diuraikan di atas tentunya pada saatnya harus disosialisasikan dimasyarakatkan dan diturunkan turun temurun terus menerus kepada generasi berikutnya lewat pendidikan. Itulah TDPT yang terakhir.

Dengan demikian maka ilmu-ilmu yang diajarkan di Perguruan Tinggi Indonesia seharusnya juga mencakup ilmu-ilmu yang berasal dari kearifan lokal, kondisi alam lokal, budaya dan seni lokal Indonesia. Bukan hanya ilmu-ilmu yang dihasilkan dari penelitian-penelitian orang asing di negeri-negeri asing. Bukan ilmu fisika alam yang diturunkan dari karakter gletser di belahan dunia utara tapi ilmu fisika alam yang diturunkan dari karakter hujan dan kelembaban udara di khatulistiwa, fisika alam banjir-banjir bandang yang mengglontor tanah-tanah subur nusantara — bukan banjir-banjir karena aliran mendadak hujan sesaat di gurun-gurun pasir Jasirah Arabia, dst. Bukan hanya teori demokrasi berdasarkan Res Publica Yunani, tapi terutama adat musyawarah dan pranata sosial budaya suku-suku bangsa kita Indonesia.

Pada event-event yang digagas dan dilaksanakan oleh segenap simpul Jaringan Kampung Nusantara di seluruh Indonesia, ilmu-ilmu lokal, budaya-budaya lokal, seni-seni lokal, kuliner-kuliner lokal, diskusi-diskusi lokal: semuanya hidup dan berbangkit mengibarkan bendera kemerdekaannya. Merdeka untuk tidak lagi dikuasai oleh hegemoni politik bisnis seni budaya dari negara antah berantah yang membuat kita semua tercerabut dari akar kehidupan tanah air kita sendiri, yang membuat kehalusan budi dan ketajaman nalar tak bisa memecahkan masalah lokal kita sendiri. Bagaimana mungkin kita mengatasi masalah kebakaran lahan gambut di Buntoi kalau ilmu yang kita pakai berasal dari Missisipi, Luosiana atau Perancis sana? Dayak-dayak di Buntoi sana tentunya turun temurun pernah dan sudah tahu cara hidup selaras berdampingan dengan lahan gambut mereka. Kenapa musti menoleh keluar kalau di dalam banyak kearifan lokal yang bisa menyelesaikan masalah.

Maka demikianlah, sebagai akademisi perguruan tinggi dan intelektual yang bertanggung-jawab, sudah seharusnya kita camkan dan praktikkan maklumat Presiden Jancukers Indonesia Sudjiwo Tejo bahwa Tri Darma Perguruan Tinggi itu musti dimulai dari Pengabdian Masyarakat, disusul dengan Penelitian, baru kemudian digong-i dengan Pendidikan. Berputar terus bersiklus kembali ke Pengabdian Masyarakat, Penelitian, Pendidikan berikutnya sampai akhirnya lingkaran proses itu bersama-sama menggelinding maju menuju masa depan Nusantara yang gemilang.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Catatan Hari Sabtu tentang "Perintah Komando" Energi, Migas, dan Eksplorasi

Masalah-masalah energi yang belum beres, masalah migas, dan juga masalah eksplorasi: sebagian besar letaknya ada di luar sektor Kementrian ESDM, bahkan di luar lingkup Koordinasi Kemenko Maritim.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Masalah-masalah energi yang belum beres, masalah migas, dan juga masalah eksplorasi: sebagian besar letaknya ada di luar sektor Kementrian ESDM, bahkan di luar lingkup Koordinasi Kemenko Maritim.

Dalam konteks itu dibutuhkan pemimpin sektor yang berani dan memang punya kemampuan untuk memperjuangkan penyelesaiannya di luar sektor: menghadapi pemimpin-pemimpin sektor lain terkait energi (Keuangan, KLHK, BUMN, ATR, Kejaksaan, dan lain-lain) dan sekaligus mengawal Presiden untuk mematuhi amanat konstitusi terkait dengan energi, migas ataupun eksplorasi dalam "interaksi-persaingan"nya dengan sektor-sektor lain tersebut.

Memerintahkan jajaran "pasukan birokrasi" di bawah rentang kendali untuk menyelesaikan masalah internal terkait energi dengan tenggat waktu tertentu (bak komando perang militer) memang sangat diperlukan dan sangat mengesankan. Tetapi yang jauh lebih mengesankan lagi adalah apabila pemimpin sektor ini juga punya daya juang dan kemampuan dalam membereskan masalah yang ditimbulkan oleh pihak-pihak di luar sektor seperti disebutkan di atas tadi.

Revisi PP79/2010

Mempersiapkan revisi PP79/2010 yang menjadi momok penghambat kegiatan eksplorasi dan produksi migas Indonesia secara internal ESDM bisa-bisa saja dikasi tenggat waktu tertentu, karena memang persiapannya sudah dilakukan sejak lima tahun yang lalu dan dimatangkan dalam setengah tahun terakhir ini dengan difasilitasi oleh unit-unit ad hoc di ESDM. Maka bukanlah hal yang luar biasa kalau konsep revisi yang diperintahkan selesai dalam seminggu itu kemudian terealisasi begitu saja. Yang luar biasa adalah kalau: konsep revisi PP itu bisa juga disetujui oleh Kementrian Keuangan yang memang menjadi sektor yang berkepentingan dengan terus diberlakukannya PP tersebut. Dan lebih luar biasa lagi kalau pemimpin sektor ESDM dan atau Kemenko yang membawahinya bisa memberikan ultimatum deadline kepada sektor lain (Kementrian Keuangan) yang kemudian dilaksanakan dengan patuh.

Kita semua berdoa mudah-mudahan hal-hal luar biasa itu bisa kita saksikan ditunjukkan oleh pimpinan baru sektor energi kita. Bukan sekedar mengultimatum bawahan saja, tapi juga mengultimatum "pihak luar" yang kemudian dituruti kemauannya oleh pihak luar tersebut! Amiiin YRA.

Komando Tandatangan PSC Natuna Timur

Terkait dengan perintah untuk melaksanakan penandatanganan kontrak blok migas struktur AL dan AP di Laut Natuna yang harus dilakukan paling lambat 1 September 2016 kita juga harus angkat topi dan sekaligus harap-harap cemas. Angkat topi karena salut dengan tekad kuat maju dan menerobosnya Pemerintah kita, harap-harap cemas karena paham bahwa masalah kepemilikan kontrak dan sekaligus term and condition kontrak di area dengan cadangan gas terbesar se-Indonesia itu selama sepuluh tahun terakhir ini selalu deadlock dengan pihak luar, bahkan pihak asing.

Pertanyaannya: mampukah pasukan-pasukan internal yang diultimatum untuk segera selesaikan kontrak sebelum 1 September 2016 (seminggu lagi) itu bernegosiasi menghadapi pihak luar swasta asing yang biasanya diback-up oleh pemerintahannya meskipun jauh di seberang sana. Mampukah komandan menggertak pihak luar sedemikian rupa sehingga pasukan perunding bisa sukses mengajak pihak luar melaksanakan ultimatum itu?

Pengalaman menunjukkan: di Cepu kita tertipu, di Freeport kita repot, di Riau kita risau - di semua area kita kalah gertak oleh pihak asing dalam menguasai sumber daya alam kita, karena buru-buru, tidak teliti, dan pimpinan kurang paham dengan detail masalah yang terjadi. Mudah-mudahan di Natuna ini kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Bahkan kalaupun nantinya bisa ditandatangani tepat waktunya sesuai dengan komando pimpinan, kita yang ada di luar arena tapi menitipkan masa depan negara ke kawan-kawan birokrasi dan politisi itu musti mempertanyakan: bagaimana detail perjanjiannya, supaya tidak kejeblos berulang kali pada kebodohan yang sama kehilangan kuasa atas sumber daya alam kita. Ayo terus ber(ter)jaga!!!

Pilihan untuk menyegerakan PSC khusus untuk mengelola sumber daya minyak bumi yang sudah ketemu di Natuna Timur — dan sementara mengesampingkan masalah rencana pengembangan untuk gas raksasa bersih 46TCFG sekaligus ikutan 76% CO2 itu — adalah dalam rangka segera memulai kegiatan supaya kehadiran Indonesia langsung dapat dirasakan di daerah rawan konflik perbatasan itu. Sayangnya ESDM belum sepenuhnya menjajaki alternatif lain yang lebih memungkinkan untuk kick off kegiatan migas di NBT (Natuna Bagian Timur) ini, yang sebagiannya sudah direkomendasikan oleh Komite Eksplorasi Nasional. Tapi tidak ada kata terlambat; selain mendorong kegiatan produksi minyak bumi yang hanya 10-20 Juta Barel di Natuna Timur, pada saat yang sama kita juga masih bisa melakukan kegiatan-kegiatan terkait dengan perencanaan pengembangan migas terintegrasi dan lintas setor di NBT (Natuna Bagian Timur) seperti yang diusulkan Komite Eksplorasi Nasional.

Angkatan Laut Eksplorasi Migas

Yang lebih "menantang" lagi adalah berita terakhir mengenai rencana komando ESDM mengerahkan kapal-kapal Angkatan Laut mencari migas di lautan kita.

Kita hanya bisa menduga-duga dari Angkatan Laut negara mana komandan - pimpinan sektor Energi dan Kemaritiman kita itu mendapatkan ide tersebut. Pada dasarnya belum pernah ada rujukan ilmiah maupun berita yang dapat dijadikan acuan mengenai kapal perang/ patroli militer yang menjalankan kegiatan/fungsi militer BERSAMAAN dengan kegiatan eksplorasi migas seperti: Akuisisi Data Geofisika di laut: Gravity, Magnetik, apalagi Seismik. Terutama khususnya untuk seismik : kapal harus dimodifikasi supaya bisa membawa streamer yang semakin dalam jangkauan kedalaman seismik yang kita inginkan maka semakin panjang streamer yang kita pasangkan dan seterusnya. Selain itu alat perekam seismiknya sendiri, air gun-nya, dan lain sebagainya itu semua harus dibeli dulu, dipasang, dan dioperasikan dengan modus operasional/pergerakan tertentu yang kemungkinan tidak bersesuaian dengan fungsi operasional kapal-kapal militer itu sendiri.

Khusus untuk pembelian alat seismiknya ...lha wong kapal-kapal riset/eksplorasi kita di KKP, BPPT, PPGL, LIPI ataupun Dishidros semuanya nggak punya alat seismik laut yang layak untuk eksplorasi migas. Dam susah sekali untuk dapat approval Banggar DPR untuk dapatkan alat itu. Maka akan sangatlah mantaabh sekali kalau bisa beli alat seismik laut yang proper... Maka masalahnya juga di pembelian alat itu dan biaya (hari layar) untuk melakukan survei seismiknya.

Kalau negara membolehkan lembaga-lembaga penelitian yang saya sebutkan tadi untuk membeli alat-alat seismik laut dalam dan sekaligus mau serius biayai hari layarnya maka tanpa harus pake kapal militer pun lembaga-lembaga itu mampu untuk eksplorasi migas kita dengan proper bahkan di laut dalam....

Kalau dirasa kurang aman survey di daerah perbatasan, barulah kapal-kapal militer bisa mengawal....

Penutup Renungan

Mudah-mudahan sektor ESDM kita yang saat ini sedang di PLT-i oleh Kemenko Maritim segera mendapatkan Menteri definitifnya yang sama "komandan"nya dengan pelaksana tugas yang sekarang dan sekaligus paham tentang permasalahan (bukan sekedar dibisiki lalu dengan serta merta menyuarakan keras bisikan itu tapi tidak paham esensi dasarnya)

Read More