Titik Geser
Orang-orang oil patch yang paham tentang konstelasi politik energi dunia mestinya sih sekarang ini sudah mulai bikin strategi titik geser (atau titik belok?) mengantisipasi job scarcity di Oil & Gas Industry yang bahkan sudah terjadi —saat catatan ini dibikin— ditengah euphoria transisi energi yang makin menguat.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Orang-orang oil patch yang paham tentang konstelasi politik energi dunia mestinya sih sekarang ini sudah mulai bikin strategi titik geser (atau titik belok?) mengantisipasi job scarcity di Oil & Gas Industry yang bahkan sudah terjadi —saat catatan ini dibikin— di tengah euphoria transisi energi yang makin menguat.
Dua tahun pandemi, krisis harga minyak tahun 2020 lalu yang sampai minus di bawah $0/bbl, dan COP26 Oktober - November kemarin, semuanya memberikan aba-aba untuk segera berubah haluan. Itu kalau paham.
Kalau gak (mau) paham, ya monggo saja. Dalam dua - tiga tahun ke depan mereka yang berpegangan pada kesetiaan buta pada gemerlap semu dunia migas (khususnya Indonesia) akan mengalami kejutan tiba-tiba: begitu saja terlempar keluar dari dunia kerja. Perubahan-perubahan strategi perusahaan IOC ex-7 sister yang drastis dalam dua tahun terakhir untuk mengurangi portofolio eksplorasi migas mereka, terutama minyak bumi, termasuk baru-baru ini pemisahan Shell dari Royal Shell, dan efek berantai dari lay-off massal di perusahaan-perusahaan itu, termasuk di Indonesia, semuanya mengindikasikan bahwa perubahan sedang terjadi.
Bahkan sekarang pun susah sekali untuk membayangkan kebanggaan mengumumkan discovery lapangan minyak raksasa seperti jaman hey-day discovery minyak di laut dalam dunia beberapa tahun yang lalu di West Africa, Gulf of Mexico, dan Guyana-Suriname. Karena begitu discovery, untuk mencari dana pengembangannya dari uang publik sudah makin susah dilakukan. Publik sudah banyak termotivasi untuk investasi di energi hijau daripada minyak bumi (dan gas bumi). Kalaupun dana itu tersedia, bunganya selalu lebih mahal daripada dana-dana untuk energi hijau. Sebagai catatan: sebagian besar discovery deep water lima - tujuh tahun terakhir di West Africa pun sampai sekarang banyak yang masih kesulitan untuk cari dana pengembangannya.
Nah, mau geser ke mana, mau belok ke mana G&G sub-surface Oil & Gas kita? Lihat AAPG/SEG/SPE,tahun ini dan tahun depan makin banyak acara kumpul-kumpulnya membahas tentang CCS/CCUS, Zero Emmision, Shifting to Transition Energy, dan lain-lain. AAPG pun sudah punya rencana besar merger dengan SPE tahun depan ini. Di level organisasi induknya lho, bukan sekedar di event convention-nya. Nah, apakah kita di Indonesia juga terus akan berlupa-lupa dan asyik membahas ilmu subsurface untuk menemukan migas kita saja tanpa mempedulikan tren dunia itu semua, atau kita mau ikutan bersiap untuk berubah?
Monggo saja.
(Buat yang Pusing, …)
Buat yang pusing, kelimpungan, bingung, dan keheranan atas segala kekacauan yang terjadi di dalam rumah karena atap yang berubah-ubah dan kita terlalu rendah untuk ikut menggapai memperbaikinya…
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Buat yang pusing, kelimpungan, bingung, dan keheranan atas segala kekacauan yang terjadi di dalam rumah karena atap yang berubah-ubah dan kita terlalu rendah untuk ikut menggapai memperbaikinya…
Lakukan apa yang bisa kalian lakukan dalam lingkup ruang yang dalam jangkauan. Tetaplah profesional dan tetap semangat untuk kemajuan Pertamina dan ketahanan energi Indonesia yang lebih kuat!
Pada saatnya nanti, kalian lah yang musti ambil tongkat komando energi Indonesia ini dengan lebih menggunakan akal sehat, nurani, dan profesionalisme yang lebih mumpuni dan dengan patriotisme yang tetap tinggi.
Uncertain Future? (Let’s Make it More Certain, Then)
Bagi yang masih ragu tentang apa yang akan terjadi dengan energi kita di masa depan, you are not alone. Saya juga kok.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
“.....Oil and gas exploration and development faces an uncertain future that is not driven by supply and demand but rather public perception and acceptance; this is an industry-wide challenge that we are best-equipped to navigate together.....”
Di atas itu adalah cuplikan pesan Presiden AAPG (Rick Fritz) pada email ke anggota AAPG sebagai pengantar rencana Penggabungan (Merger) AAPG dan SPE, Selasa 25 Mei 2021.
Bagi yang masih ragu tentang apa yang akan terjadi dengan energi kita di masa depan, you are not alone. Saya juga kok. Tapi dari cuplikan di atas itu paling tidak kita tahu bahwa ada yang sedang bergerak mengantisipasi ketidakpastian itu. Asosiasi profesional migas dunia seperti AAPG Itu kelihatannya sudah mahfum dan siap bertindak untuk memitigasi dampak buruknya bagi profesi petroleum geologist, salah satunya dengan cara merger dengan asosiasi para insinyur perminyakan dunia yaitu SPE alias Society of Petroleum Engineer.
Terus, bagaimana kita-kita di Indonesia mengantisipasinya? Bagaimana ISPG/IAGI? Bagaimana IATMI, HAGI dan IPA? Bagaimana SKK Migas, Ditjen Migas, ESDM? Kok kelihatannya sampai sekarang tenang-tenang saja? Wacana tentang akan berakhirnya era migas itu sesekali muncul di komunikasi media sosial, tetapi jarang ada yang mau membahasnya berkepanjangan. Isu itu sering tenggelam oleh hiruk pikuk diskusi technicalities saling berbagi pengalaman dan semangat untuk terus bergerak di gemerlap semu dunia migas Indonesia (dan dunia?).
Kebijakan Energi yang Obsolete
Suasana gemerlap semu itu diakibatkan oleh implementasi kebijakan energi Indonesia yang unik sekaligus obsolete. Unik karena cara implementasinya seperti Sisipius Mendorong Bongkah Batu ke Atas Bukit, obsolete karena asumsi dasar kebijakan itu adalah situasi dan aspirasi Indonesia dan dunia tahun 2009 —yang bahkan sebelum pandemi ini pun sudah jauh berbeda dengan kondisi nyata, apalagi setelah 1,5 tahun pandemi ini.
KEN (Kebijakan Energi Nasional) kita masih MELENAKAN para energi-fossilis karena rencana resmi negara dan kenyataannya dari sisi supply-demand: kita masih akan terus ngeyel memakai minyak bumi di bauran energi, yakni: 25% di 2025 dan 20% di 2050.
Selain itu masih berkobar-kobar juga tekad dan usaha untuk memproduksi 1 juta BOPD 2030. Walau dengan itu pun kita masih akan tekor 1,2 juta BOPD dari sisi supply (total demand 2,2 juta per 2030), sehingga masih harus terus mengandalkan impor.
Aspirasi hijau dari berbagai kalangan NGO terus menggedor, tapi pemerintah kita dan sebagian besar pebisnis nasional plus makelar-makelar politik bisnis pencari rente, nampaknya masih ingin terus menikmati gurihnya duit minyak bumi. Bahkan (apalagi) ketika kita harus net-impor minyak bumi itu sejak 2004 yang lalu, maka makin banyaklah peluang bisnis dan pencarian rentenya.
Di panggung dunia, IEA merekomendasikan untuk menghentikan eksplorasi minyak bumi (dan batu bara) mulai 2025 untuk bisa mencapai target Zero Emission di 2050. Di dalam negeri fenomena hengkangnya para Majors (Oil Compamy) dari Indonesia juga musti dijadikan alarm untuk bersegera dengan antisipasi ke depan. Shell mau keluar dari Masela, Chevron mundur dari IDD, dan terakhir Conoco Philip Mei kemarin mengumumkan bahwa mereka akan pergi dari Blok Koridor.
Suara-suara dari masyarakat yang mengingatkan untuk segera merombak Kebijakan Energi Nasional dalam tiga - empat tahun terakhir ini kelihatannya belum direspon secara mendasar. Ada usaha improvisasi positif berupa: pembuatan Grand Strategy Energi Nasional, yang dalam tata urutan nomenklatur istilah dan perundangan formal tidak dikenal positioning-nya. GSEN merupakan usaha untuk tidak jadi Sisipius, oke lah. Tapi bahkan di dalam GSEN itu pun kita masih berhadapan dengan Obsoleteness yang sama terkait dengan Kebijakan Energi Nasional. Salah satunya: Bauran Energi yang masih keukeuh mau pakai Minyak Bumi lebih banyak daripada Gas di 2025 maupun 2050.
Masih Selalu Ada Niche untuk Minyak Bumi?
Ada yang berpendapat: tidak mengapa dunia sedang berubah menuju Energi Terbarukan, tapi kan minyak bumi masih akan terus dipakai, bukan sebagai pemain utama, tetapi pemain cadangan. Dan sebagai bahan baku, minyak bumi juga masih akan terus dipakai untuk jadi produk-produk petrokimia yang bermanfaat bagi umat manusia tanpa harus bikin emisi sebesar kalau dia dipakai sebagai sumber energi. Masih ada lah “niche” itu. Masih ada ruang bergerak itu. Beberapa perusahaan minyak mediocre dan kecil (yang jarang atau tidak pernah masuk di radar pemberitaan dunia) mencoba menyikapi situasi dengan memanfaatkan “niche” itu.
Tetapi kita juga tahu: “niche” —ruang khusus untuk terus menyuplai minyak dengan segala implikasi keuntungan bisnisnya itu akan diperebutkan oleh banyak pihak. Termasuk terutamanya oleh negara/perusahaan surplus minyak bumi. Dan kita sama-sama tahu, Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Surplus dari mana? Lha, wong kita net import minyak bumi je, sejak 17 tahun yang lalu.
Jadi Bagaimana Sebaiknya Kita Bertransisi Energi?
Kelihatannya mulai ada kesadaran di atas sana. Ide tentang perombakan-perubahan menuju Transisi Energi yang di depan sananya masih tidak pasti itu mulai diwacanakan di beberapa kelompok yang concern dengan energi Indonesia sejak awal pandemi 2020 yang lalu. Salah satunya di kelompok Bimasena yang dikomandani begawan energi kita Prof Subroto. Beberapa kali Bimasena mengadakan acara membahas bagaimana kita harus merombak regulasi menuju Transisi Energi. Mereka menyuarakan usulannya ke pemerintah secara resmi. Juga aktivis-aktivis ET di asosiasi-asosiasi METI, AESI, API, ASELI, APAMSI, dan sebagainya, tak henti-henti,nya selama pandemi 2020 sampai sekarang ini menggedor ruang publik webinar kita dengan materi2 penyadaran perlunya perombakan-perubahan regulasi menyangkut Transisi Energi ini.
Usaha pemerintah (ESDM) membuat Grand Strategi Energi di akhir 2020 dan mengemasnya dalam regulasi resmi (sampai sekarang belum keluar Perpresnya?) termasuk antisipasi yang perlu diacungi jempol, meskipun masih belum menjawab permasalahan secara konkret dalam bentuk eksekusi. RUPTL 2021-2030 juga lebih menekankan prioritas pembangkitan listrik dari PLTP (panas bumi) dan PLTA (air), meskipun masih banyak protes/ketidakpuasan dari para aktivis ET karena batu bara yang “kotor” masih tetap menjadi andalan —tidak juga ada rencana phase out-nya yang jelas.
Yang paling mutakhir: awal Juli kemarin ini DEN (Dewan Energi Nasional) mulai menyusun Peta Jalan Transisi Energi Menuju Energi Bersih yang jadi program utama mereka periode 2021-2025 ini. Dari segi tata urutan regulasi, mestinya sih peta jalan itu akan mengubah, merivisi, merombak PP79/2014 Kebijakan Energi Nasional termasuk di dalamnya mengubah bauran energi kita. Mudah-mudahan.
Tapi tetap saja gerakan-gerakan antisipasi yang saya uraikan di atas itu masih terkesan di atas kertas, rencana, peta jalan, imbauan, usulan, rekomendasi, wacana dan sejenisnya. IMPLEMENTASI-nya butuh infrastruktur kelembagaan dan politik dan aktor-aktornya yang paham, militan, dan konsisten menjalankan apa yang ada di atas kertas itu semua. Pengalaman kita dengan KEN (Kebijakan Energi Nasional, PP 79/2014) dan RUEN (Rencana Umum Energi Nasional, Perpres 22/2017), keduanya seringkali hanya jadi rujukan verbal formal tanpa kekuatan mengikat yang berarti. Para pemimpin (sektor maupun sentral) yang kebetulan tidak begitu memahami dan atau menyerap roh inti dari aturan-aturan itu seringkali malahan bikin aturan pelaksana yang bertabrakan atau malah menindas aturan-aturan tertulis itu, demi pragmatisme kebutuhan sesaat anggaran-keekonomian yang jalan pintasnya dengan melanggar aturan-aturan besar tersebut. Soal batu bara misalnya, sampai sekarang angka-angka yang ada di KEN maupun RUEN itu nggak pernah ditaati, dilangkahi begitu saja.
Jadi? Reformasi juga lah itu kelembagaan dan para pemimpin eksekusinya. Atau, minimal, kita harus didik mereka terus menerus untuk bisa paham dan militan menjalankan rencana-rencana besar ini. Tapi, kalau sudah di atas sana, harusnya kita nggak perlu lagi lah mendidik orang-orang itu. Kan mestinya mereka adalah orang-orang pilihan yang mumpuni. Kecuali kalau memang sistemnya adalah sekadar bagi-bagi jatah balas jasa pasukan tanpa memperhitungkan kompetensi. Mau bagaimana lagi?
Gas! Gas! Gas! (Gaskeun Poll Gaes)
Di atas itu tadi baru usulan di tataran/level Kebijakan Energi besarnya. Bagaimana dengan usulan di sektor Energi MiGas yang di pembukaan tulisan kita jadikan referensi? Bagaimana harusnya kita bersikap di urusan MiGas ini?
Menyadari bahwa cadangan gas kita dua - tiga kali lipat dari cadangan minyak bumi (data 2020 ESDM gas 62.4 TCF, minyak bumi 4.2 BBO) dan potensi temuan baru cekungan-cekungan kita lebih banyak gas-nya daripada minyak bumi, maka sebaiknya kita lebih memprioritaskan gas daripada minyak bumi dalam rencana bauran energi Indonesia. Bauran gas versus minyak dengan perbandingan 25% : 20% di 2025 dan 20% : 22% di 2050 harus berani kita ubah menjadi 15% : 30% di 2025 dan 5% : 47% di 2050, misalnya. Tentunya perhitungan rincinya akan tergantung dari berapa banyak kita berani mengurangi pemakaian batu bara dan juga memasukkan nuklir sebagai sumber energi dalam bauran tersebut.
Nah, sambil merombak bauran energi dalam Kebijakan Energi Nasional supaya lebih ke gas daripada minyak dalam transisi energi ini, maka pada saat yang bersamaan kita harus terus menerus secara militan menjalankan paradigma Energi Sebagai Modal Dasar Pembangunan Bukan Sebagai Penghasil Revenue Semata dalam mengeksekusi persetujuan-persetujuan POD maupun terutama dalam merencanakan dan membangun infrastruktur-infrastruktur gas di Indonesia.
Untuk POD yang butuh insentif, berikan terus insentif-insentif itu. Terutama untuk POD-POD lapangan gas. Kalau perlu bahkan kurangi bagian pendapatan negara asalkan di mid-stream maupun hilirnya produk migas tersebut dapat memicu multiplier efek yang menghasilkan gain ekonomi yang lebih besar bagi negara.
Untuk infrastruktur gas, akan sangat ideal kalau Presiden perintahkan supaya sebagian besar pipa-pipa regional dan juga terminal-terminal regas dibangun dengan biaya/investasi pemerintah. Infrastruktur energi musti diperlakukan sebagai infrastruktur dasar ekonomi seperti jalan raya, pelabuhan dan jembatan.
18 BCFPD Gas 2030
Selain dua hal di atas, mari kita rombak sama-sama target 1 juta BOPD dan 12 BCFGPD di 2030 menjadi 18 BCFPD Gas 2030. Yang 1 juta minyak bumi itu kita substitusi dengan 6 miliar kaki kubik gas, ditambahkan pada target awal 12 miliar kaki kubik menjadi total 18 miliar.
Target produksi minyak buminya bagaimana? Gak usah dibikin targetnya. Toh, nantinya di 2030 kebutuhan minyak bumi di pembangkitan listrik maupun di bbm kendaraan transportasi darat akan jauh berkurang disesuaikan dengan target baru bauran energi kita yang lebih dominan ke gas daripada minyak. Tentunya juga target substitusi kendaraan ber-bbm dengan kendaraan listrik musti secara ketat diimplementasikan. Kalau keseluruhan operator kontrak migas di bawah SKKmigas berhasil discovery sampai bisa produksi 1 juta BOPD di 2030 itu ya alhamdulillah. Kalau nggak tercapai ya gak apa-apa.
Mudah-mudahan saja perhitungan baru bauran energi kita di 2030 (yang saya asumsikan akan dikerjakan oleh DEN periode ini dalam kerja Pembuatan Peta Jalan Transisi Energi) mencukupkan kebutuhan minyak bumi kita hanya dari produksi dalam negeri sehingga tidak perlu sampai import segala. Kalaupun mendatangkan dari luar negeri cukup dengan mengambil alokasi minyak bumi yang dihasilkan oleh perusahaan-perusahaan migas nasional yang beroperasi di luar negeri, terutama Pertamina.
Gas di Indonesia Timur Masih Oke
Dalam konteks menggantikan target 1 juta BOPD jadi tambahan 6 BCFGPD pada target gas, maka menjadi penting untuk memaknai hasil pertemuan para ahli senior G&G Indonesia yang dikoordinir oleh ESDM baru-baru ini yang mengindikasikan banyak daerah di Indonesia Timur lebih gas-prone daripada oil-prone. Dan karena target 2030 adalah minyak bumi maka para ahli itu menyarankan untuk tidak fokus pada daerah-daerah yang banyak tersebut, tapi cukup di lima area yang kemungkinan masih ada minyaknya, yaitu: Seram, Timor, Warim, Salawati Trend, dan Buton.
Dengan perubahan target minyak menjadi gas seperti diusulkan di atas, maka alternatif area pencarian sumber hidrokarbon baru di Indonesia Timur tersebut jadi lebih banyak. Bahkan daerah-daerah yang sudah dicoret dari daftar seperti Arafura Selatan, Selaru, Boka, Gas di Mamberamo, Kelanjutan Trend Gas PNG ke daerah Warim Papua, semuanya dapat dijadikan target program eksplorasi masif lewat penawaran-penawaran blok baru dengan data-data baru dari KKP dan tentunya terms baru yang lebih menarik.
Biogenik, Non Konvensional, Basement, Vulkanik, Pra-Tersier, dan Hidrat
Dalam rangka Transisi Energi dari Energi Fossil menjadi Energi Terbarukan MELALUI GAS, kita perlu menengok ulang apa saja yang pernah diusulkan berbagai stakeholder migas beberapa tahun terakhir ini untuk mengakselerasi eksplorasi di Indonesia. Salah satunya adalah menggalakkan riset-riset (dasar dan terapan) G&G&E yang terkait dengan gas biogenik, migas non konvensional, migas di batuan dasar, migas di cekungan yang tertutup vulkanik, stratigrafi dan sistim minyak bumi pra tersier dan juga tentang gas hidrat.
Aspek gas dari berbagai objek riset tersebut di atas sangat dominan, meskipun tentunya masih ada juga alternatif mendapatkan minyak bumi dari reservoir non konvensional, dari batuan dasar, vulkanik dan atau di batuan pra-tersier Indonesia Barat. Revival (menghidupkan kembali) semangat riset di lembaga-lembaga riset dan perguruan tinggi kita terkait dengan objek-objek penelitian tersebut akan langsung meng-upgrade usaha kita bersama mengawal transisi energi ini menjadi relatif lebih pasti daripada statusnya yang sekarang ini.
Usaha-usaha terobosan kreatif sedang dilakukan oleh SKKMigas dan ESDM untuk memungkinkan kita semua memulai riset - eksplorasi migas konvensional, kelihatannya dimulai dari blok Rokan. Mudah-mudahan saja lancar.
Discovery cadangan gas raksasa di batuan dasar di Kaliberau Dalam oleh Repsol dua tahun yang lalu juga memberikan sinyal positif kepada pemerintah untuk terus mendukung dan memfasilitasi riset-riset dan eksplorasi terkait dengan basement reservoir kita. Mudah-mudahan saja dana riset untuk Badan Geologi dan Lemigas lebih ditingkatkan untuk menyasar obyek-obyek riset energi migas strategis itu. Kerjasama antara perusahaan kontraktor migas dengan lembaga riset dan perguruan tinggi memanfaatkan dana KKP mereka diharapkan juga dapat menyasar topik-topik strategis migas tersebut.
Halo Asosiasi Profesi
Uraian berbagai pemikiran terkait dengan transisi energi, migas dan kepastian masa depannya di atas itu akhirnya kembali ke sebagian pertanyaan di awal tulisan. Apa yang sudah (dan akan) dilakukan asosiasi profesi kita seperti ISPG/IAGI, HAGI, IATMI, IAFMI, dan chapter-chapter Indonesia dari Asosiasi-Asosiasi Permigasan dunia dalam rangka mengantisipasi ketidakpastian masa depan industri migas dunia (dan Indonesia) itu?
Apakah perlu meniru AAPG dan SPE dengan menggabungkan ISPG, IATMI, IAFMI dalam komunitas migas Indonesia? Atau jalan saja terus seperti sekarang ini dengan konsekuensi makin berkurangnya resources dana dan SDM karena persaingan pencarian volunteer dan sponsor yang makin ketat karena berkurangnya aktivitas industri migas kita?
Tentunya dari segi program peningkatan kompetensi dan advokasi regulasi terkait profesi, perlu juga dipertimbangkan berbagai uraian/analisis tentang gerak langkah dunia (dan Indonesia) di era transisi energi ini. Kompetensi-kompetensi terkait dengan gas, migas non konvensional, hidrat, dan terutama Energi Terbarukan perlu untuk mulai diprioritaskan. Prinsip-prinsip teknis bawah tanah dan permukaan terkait CCSU (Carbon Capture Storage and Usage) mustinya juga mulai banyak disasar dalam diskusi-diskusi dan acara-acara temu teknis.
Khusus untuk IAGI atau HAGI yang spektrum keprofesiannya lebih luas dari sekadar migas, perlu dipertimbangkan untuk mendiversifikasi kegiatan jadi lebih beragam. Keahlian rekayasa geosains seperti geoteknik dan hidrogeologi konstruksi fasilitas energi, geologi & geofisika lingkungan, teknologi injeksi/pembuangan limbah berbahaya di permukaan dan bawah permukaan, kesemuanya jadi penting untuk dijadikan fokus baru kegiatan keprofesian dalam rangka mengantisipasi berkurangnya peran migas kita ke depan.
Catatan Penutup
Jaman dominasi minyak bumi di Indonesia sudah berakhir. Yang masih terus mengandalkan minyak bumi untuk ketahanan energi Indonesia berarti tidak membaca perubahan data potensi G&G&E migas kita dan tidak peka terhadap luka sejarah politik energi dan keuangan negara yang diakibatkan oleh status net-impor minyak bumi Indonesia sejak 2004 (17 tahun lalu) sampai zaman pandemi 2021 ini. Kita masuk ke transisi energi menuju pemakaian energi terbarukan yang lebih bersih melalui fase utilisasi gas yang lebih mendominasi daripada minyak bumi dan insyaallah akan bisa mencapai dominasi ET 30, 40, 50 tahun dari sekarang ini.
Biarpun zaman batu, zaman perunggum dan jaman besi sudah berakhir, tetapi sampai sekarang manusia juga masih terus memakai batu, perunggu, dan besi untuk kehidupan sehari-hari. Dominasi minyak bumi di Indonesia memang sudah berakhir. Tetapi apakah profesi geologist, geophysicist dan engineer E&P minyak bumi di negeri kita juga segera berakhir, tergantung pada bagaimana kita semua mengantisipasinya.
Ketidakpastian masa depan industri dan profesional migas di Indonesia dapat lebih kita pastikan dengan menggariskan tegas rencana langkah perubahan dan mulai melangkah sekarang, bukan sekadar berwacana.
Monggo.
(Kalau Indonesia, mah, Tergantung para Pebisnis yang Menguasai Politik Kita)
Mas Yayang, itu EU sudah menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca 55% tahun 2030 dan bebas kendaraan diesel dan BBM, terus bagaimana dengan future industri migas? Indonesia saja lagi bangun kilang minyak, kalau stop penggunaan BBM tahun 2030, investasinya bakalan nggak balik modal.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Mas Yayang, itu EU sudah menargetkan pengurangan emisi gas rumah kaca 55% tahun 2030 dan bebas kendaraan diesel dan BBM, terus bagaimana dengan future industri migas? Indonesia saja lagi bangun kilang minyak, kalau stop penggunaan BBM tahun 2030, investasinya bakalan nggak balik modal.
Ngene lho rek, EU memang sudah sangat drastis meninggalkan batu bara dan minyak bumi dalam 10 - 15 tahun terakhir ini, tapi kelihatannya mereka masih akan tetap memakai gas (supply dari Rusia) dalam rangka transisi energi menuju dominasi Renewable Energy di 2030. Jadi, meskipun minyak bumi akan makin nggak laku di EU, masa depan industri Migas (dalam konteks ini adalah gas) masih akan oke di EU, meskipun harus bersaing dengan pemain-pemain besar dengan resources besar seperti Qatar, Rusia, Amerika (Shale Gas), Afrika Timur, Australia, dan lain-lain.
Kalau Indonesia, mah, tergantung para pebisnis yang mengusai politik kita. Kalau sistem politik masih oligarki politik yang ditunjang kepentingan bisnis seperti 17 tahun terakhir ini (Sejak SBY dan makin menjadi jadi di era Jokowi), maka masih akan tetap dipaksakanlah negara kita pakai energi fosil terutama batu bara dan minyak bumi. Batu bara karena paling gampang didapatkan dan banyak politisi yang punya kepentingan bisnis di situ, minyak bumi karena rente impor iku paling manis dan masih akan terus jadi andalan untuk menghidupi oligarki politik bisnis itu dan menampung kelebihan-kelebihan supply minyak dunia yang makin tidak diterima oleh EU dan negara-negara maju lainnya yang taat dengan protokol-protokol/perjanjian-perjanjian aksi pelestarian bumi (dengan segala latar belakang motivasinya).
Bahwa produksi dan cadangan minyak kita sudah makin anjlok dibanding dengan kebutuhan (yang makin meningkat lebih dari dua kali lipat produksi kita), sementara gas kita berlimpah tapi tak kunjung bisa menggantikan minyak bumi dalam bauran energi (karena problem infrastuktur dan masalah harga yang sangat lamban ditangani), dan bahwa banyak pihak bertubi-tubi menyarankan supaya pemerintah segera mengubah drastis kebijakan energi untuk lebih memprioritaskan gas daripada minyak bumi (seperti tren transisi energi dunia), itu semua pun tidak bisa menggerakkan perubahan terjadi.
Teteuuup saja kita masih bermain-main dengan target-target besar seperti 1 juta BOPD dan 12 BCFD yang meskipun itu semua tercapai, ketahanan energi kita akan terus kritis/rawan karena kita masih harus terus impor minyak bumi (dan mungkin juga akan impor gas juga), kalau bauran energi dalam Kebijakan Energi Nasional kita nggak kita ubah drastis!
Soal penurunan emisi di Indonesia? Semuanya hanya hitung-hitungan di atas kertas dan janji-janji. Selama ini gak pernah hal mendasar tentang konsekuensi saintifik logisnya benar-benar dipahami oleh para penguasa politik kita. Jadi, ya akan terus jadi lip service saja.
Hiks…
Is This A Joke?
They praise the effort to minimze the CO2 emission to just 3,8 kilogram only in producing oil, which will eventually emit 430,8 kilogram of CO2 per barrel to the atmosphere?
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
(Menanggapi: World’s first certified, carbon neutrally produced oil sold.)
The field is certified as low carbon at 3.8 kg of CO2 per barrel of oil equivalent (boe) for full life of field emissions, including exploration, development and production, five times less than the world average2.
Exerpt from EPA Report 2020:
The average carbon dioxide coefficient of distillate fuel oil is 430.80 kg CO2 per 42-gallon barrel (EPA 2020).
They praise the effort to minimze the CO2 emission to just 3,8 kilogram only in producing oil, which will eventually emit 430,8 kilogram of CO2 per barrel to the atmosphere?
What kind of mathematical equation do we use to legitimate this joke?
—ADB, Joke Analyst