Migas Miscellaneous (Cuplikan Paper Bambang Istadi, Andang Bachtiar, dan Ariadi Subandrio, 2006: Masih Valid Juga)

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

(Mencuplik dan mem"posting" dengan pertanyaan menggelayut, “itu menteri ESDM baru yang ahli keuangan kira-kira nyantol nggak ya dilempari masalah-masalah seperti ini?”)

Terobosan Kebijakan

Salah satu rekomendasi Munas IAGI 2005 untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi adalah turun tangan dan peran serta nyata Pemerintah untuk mempercepat siklus eksplorasi dengan melakukan akuisisi data-data baru untuk menganalisa potensi serta risiko pada cekungan-cekungan yang belum dieksplorasi/ belum berproduksi agar dapat menguak potensi penambahan resources dan reserve replacement dapat tercapai. Pendapatan sektor migas harus disisihkan untuk usaha akuisisi data baru ini dalam bentuk speculative surveys dan pemboran wild cat exploration wells. Usaha ini dianggap penting untuk menjembatani kurangnya data dan rendahnya geological chance of success karena keberadaan hidrokarbon belum terbuktikan. Seberapapun cantiknya Open Area/blok-blok baru dikemas, meski dengan insentif frontier area, pada akhirnya data pula yang berbicara.

Prioritas utama lainnya adalah perlunya dibentuknya Exploration Think-Tank Indonesia, suatu task force yang melibatkan semua stake holders untuk menentukan basin-basin yang berpotensi, skala prioritas eksplorasi/studi dan kebijakan fiskal untuk basin-basin yang belum dieksplorasi/belum berproduksi. Langkah ini perlu diambil sebagai usaha serius penambahan cadangan migas dengan langkah besar yang nyata.

Salah satu tugas Exploration Think Tank Indonesia adalah "merawat, mengembangkan, melatih, mendidik, dan mendandani" bayi-bayi cantik kita, berupa open block/area baik yang terselip di lapangan "tua" di 16 cekungan yang sudah dianggap matang di Indonesia, maupun (terutama) di 50 cekungan lain di Indonesia.

Selama ini, pembicaraan tentang "insentif" didominasi oleh hal-hal yang bersifat economic, finance, bisnis, pajak, dan sebagainya. Hal itu tidak mengherankan, karena sebagian besar pengambil kebijakan dan pembuat opini di industri migas hulu kita adalah para birokrat profesional yang fasih, paham, dan terdidik dengan masalah economics karena memang berlatar belakang engineering, economy, management terutama dengan paradigma "reserves-economy" bukan "resources-economy". Oleh karena itu insentif cenderung lebih berat ke kebijakan untuk "komoditi" yang sudah jadi "reserves". Tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan-kebijakan untuk membuat resources menjadi reserves pun sudah pula digariskan dan diimplementasikan. Namun demikian, titik beratnya selalu pengaturan masalah split, pajak, investment credit, dan hal-hal keekonomian lainnya. Oleh karena itu task force ini perlu melibatkan para praktisi G&G eksplorasionis yang punya pemahaman dan penghayatan tentang faktor "seni" dan "risiko" dalam eksplorasi dan sudah terbiasa dengan kutak-kutik ”Play Concepts” yang perlu didandani, disegarkan, dicarikan konsep-konsep baru. Dan yang terutama, ditambah data-data baru agar riset, pemikiran-pemikiran baru tentang lapangan, blok, maupun cekungan-cekungan di Indonesia dan pemahamannya bisa ditingkatkan.

Sub Direktorat Penyiapan Lahan di bawah Direktorat Eksplorasi Ditjen Migas setiap tahun bertugas untuk mendandani open block/area untuk ditawarkan ke investor berupa kontrak kerja sama (PSC). Tahun 2005 ada 14 open area yang ditawarkan, studi penyiapan lahan setiap blok menelan biaya kurang lebih 100 ribu dolar. Ditambah administrasi, data, hardware, software, dan lain-lain, diasumsikan sekitar 2 juta dolar diperlukan untuk penyiapan lahan tersebut. Signature bonus untuk tiap blok minimal 500 ribu dolar (disyaratkan mutlak dalam bid 2005), dan firm-commitment tiga tahun tiap blok bisa bervariasi antara 5 - 25 juta dolar, ambil saja rata-rata 15 Juta dolar. Jadi, untuk mendapatkan pemasukan negara bukan pajak yang pasti minimum 7 juta dolar dan investasi 230 juta dolar; pemerintah hanya perlu mengeluarkan 28,5% dari pendapatan langsung signature bonus atau 0.87% dari potensi investasinya. Memang kalau ditinjau secara ekonomi (negara) hal ini sangat menguntungkan, tetapi bisa lebih menguntungkan lagi dalam jangka panjang jika Pemerintah lebih memperhatikan aspek "mendadani" bayi-bayi cantik berikutnya sehingga akan makin banyak investasi masuk, dengan cara memakai semua signature bonus tersebut (7 juta dolar) untuk kepentingan studi open area baru atau mengakuisisi data-data baru, sedemikian rupa sehingga investor jadi lebih tertarik dan lebih bergairah.

Terobosan-terobosan peraturan tentang spec survey yang disampaikan pada bentuk Joint Study pada KKS khusus tanpa komitmen pemboran nampaknya sudah mulai diinisiasi oleh Pemerintah (Ditjen Migas-BPMigas). Usaha-usaha deregulasi tersebut perlu didukung bersama, terutama di masalah-masalah krusial penentuan term spec survey-nya, sedemikian rupa sehingga Pemerintah mendapatkan masukan yang profesional dari para stake holder antara lain dari Exploration Think-Tank Indonesia yang terdiri dari para praktisi G&G explorationist Indonesia. Tentu saja dengan syarat Pemerintah juga tidak sungkan-sungkan untuk membuka diri terhadap dialog dengan kalangan Asosiasi Profesional seperti IAGI-HAGI, IATMI maupun Perhapi. Usaha komunikasi Pemerintah dengan asosiasi perlu ditingkatkan ke arah yang lebih menggigit, terutama tidak hanya memprioritaskan mendengar hanya dari Asosiasi Perusahaan (IPA, IMA, Assosiasi Pengeboran Minyak Indonesia, dan sebagainya).

PSC Terms

PSC Term kita selama ini (termasuk yang terakhir 2003 onward) tidak optimum mempertimbangkan nilai resources dan risk yang berkaitan dengan ”Plays” yang ada dalam blok tersebut. Ada blok dengan resources besar dan risk kecil dapat term yang lebih bagus dari blok dengan resources kecil dan risk besar, dan sebagainya. Kunci pemecahannya ada pada analisis awal dari blok-blok tersebut sebelum ditenderkan oleh pemerintah. Keterlibatan BPMigas yang memiliki data-data berbagai KKKS diperlukan dalam mengusulkan blok-blok baru yang akan ditawarkan. PSC Term kita paska keterlibatan aktif BPMigas akan jadi jauh lebih baik karena BPMigaslah yang banyak tahu detail teknis dari aset geologi yang ada dalam blok-blok tersebut, terutama yang sudah di-relinquish oleh KKKS-KKKS terdahulu. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan juga meningkatkan peran dari ESDM (baca: Direktorat Eksplorasi Ditjen Migas dan Lemigas dan BGESDM) dengan cara menantang mereka untuk lebih tajam lagi menganalisis daerah-daerah terbuka sebelum ditenderkan.

Perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah untuk membuat klasifikasi term kontrak (KKKS/PSC) berdasarkan kedalaman dan target play meskipun bloknya tetap. Contoh untuk zona dangkal yang play-nya sudah proven termnya 85:15, untuk zona menengah yang play-nya masih probable termnya 75:25, dan untuk zona dalam yang play-nya masih possible termnya 60:40, dan sebagainya.

Esensi dasar sistem PSC adalah pada adanya "cost-recovery" di mana kontraktor mengeluarkan biaya E&P atas tanggungan risikonya sendiri tetapi mendapatkan pengembalian keseluruhan biaya sebelumnya yang dikeluarkan pada tahap eksplorasi setelah adanya produksi dan bagi hasil setelah dipotong penggantian pembiayaan produksi. Asumsi dasar dari keberhasilan implementasi cost recovery adalah adanya perangkat kontrol yang ketat, kuat, dan profesional dari pemerintah (BPMigas) sedemikian rupa sehingga "kecenderungan boros" dan juga "pengambilan keuntungan yang tidak wajar pada operatorship (biaya berputar di lingkungan sendiri)" dapat diminimalkan. Seandainya ada loopholes dalam implementasinya, yang perlu diperkuat dan benahi adalah sistem persetujuan, monitoring, pengawasan, eksekusi cost recovery dan paska eksekusi audit. Dan semuanya itu mengarah pada penguatan sistem kerja dan personalia yang ada di BPMigas.

Namun demikian “kecenderungan boros” mungkin bisa di atas bila sistem PSC dimodifikasi dari split net production setelah dipotong biaya cost recovery, menjadi split berdasarkan gross production. Hal ini mungkin saja diterapkan pada perpanjangan kontrak PSC di mana operator tidak banyak menanggung risiko gagal pada saat eksplorasi, karena lapangan sudah ditemukan dan sudah pada tahap development atau me-maintain produksi. Dengan demikian operator akan dengan sendirinya berhemat dan mengkaryakan lebih banyak tenaga lokal dan mengurangi tenaga asing yang mahal.

Hambatan Lainnya (Data)

Terobosan masalah data diperlukan dengan meninjau term-term dalam PSC dan juga UU22/2001 dan PP Hulu 35/2004 (dan PP34/2005) masalah aturan kepemilikan/kerahasiaan data. Disinyalir lebih gampang mencari data-data lapangan dan sumur migas Indoneisa di Singapura daripada di Indonesia sendiri. Padahal data sangat dibutuhkan dalam pemahaman suatu daerah dan dalam mengembangkan konsep-konsep eksplorasi. Masalah kepemilikan dan kerahasiaan data perlu ditinjau ulang dan dibatasi beberapa tahun saja agar lebih banyak pihak yang dapat mengakses dan mengolah data dengan mudah dan murah. Multiplier effect dari mudah dan murahnya mendapatkan data antara lain ketertarikan calon investor yang selama ini harus melalui proses panjang yang berbelit dan mahal.

Aturan-aturan rinci mengenai data di bawah PP perlu dibenahi untuk memudahkan implementasi persetujuan, monitoring, pengawasan, dan eksekusinya di BPMigas dan Ditjen Migas. Definisi dan contoh lebih rinci diperlukan seperti kriteria-kriteria data (mentah, terolah, ditafsirkan) seperti yang disebutkan dalam UU dan PP. Selain itu kelembagaan data-pun (Ditjen Migas, BPMigas, Pusat Data Nasional, Patra Nusa Data) perlu untuk dibuatkan juklak mekanisme rincinya, untuk menghindari tumpang tindih peran dan saling lempar tanggung-jawab.

Permasalahan lain seperti masalah lingkungan, masyarakat, dan peran daerah yang makin menonjol serta masalah pembagian pusat dan daerah perlu segera diselesaikan dan dicarikan jalan keluar terbaik bagi berbagai pihak terkait karena bisa menghambat usaha eksplorasi dalam mencari potensi resources dan cadangan-cadangan baru.

Sumber Daya Manusia

Prioritas penggunaan "local content", terutama dari segi ketenagakerjaan, perlu mendapatkan perhatian serius agar tenaga kerja Indonesia juga dapat mengembangkan potensi pada dirinya dan berkompetisi secara sehat dan fair dengan tenaga kerja asing. Situasi kondusif dan ”proteksi” masih diperlukan agar terbuka kesempatan kerja yang sebesar-besarnya bagi lulusan berbagai institusi dalam negeri dan kaderisasi pemimpin-pemimpin industri migas di masa mendatang.

Hijrahnya pada profesional migas Indonesia ke Malaysia dan negara-negara Timur Tengah bisa menjadi ancaman bagi kelangsungan kegiatan eksplorasi dan pengembangan migas Indonesia, dan bisa menjadi alasan untuk berbagai perusahaan multinasional untuk menambah tenaga asingnya atau me-TSA-kan (Technical Services Assistance/Abroad) studi atau pekerjaannya di kantor pusat karena tenaga lokal yang berpengalaman tidak banyak yang ”available”. Namun tren ini di lain sisi juga membuka peluang bagi para fresh graduate untuk diserap dalam industri migas. Selama ini terjadi ketimpangan yang cukup signifikan antara jumlah lulusan dan peluang kerja yang tersedia bagi para lulusan geologi, geofisika dan perminyakan.

Untuk "local content", IAGI sudah punya program sertifikasi petroleum geologist, IATMI juga punya program yang sama, sedangkan HAGI sedang mengupayakannya. Di samping itu ada sertifikasi PII, HSE, dan lain lain yang sebenarnya semuanya sudah IN-PLACE untuk dijadikan bargaining oleh Ditjen Migas, Ditjen Binawas Depnaker, BPMigas membuat peraturan dan sekaligus meng-enforce-nya, terutama menyangkut "screening" tenaga kerja asing di oil and gas. IAGI sudah pernah mencoba men-"challenge" masalah ini ke Direktorat Pembinaan Pengusahaan Migas Ditjen Migas (semester 1 2005) tapi ternyata sampai sekarang "tantangan" kami tersebut tidak dijawab dan ditindaklanjuti oleh pemerintah. Tugas kita bersama untuk terus meneriakkan "challenge" tersebut sehingga kita bersama dapat menjawab permasalahan "local content" profesional Indonesia bidang migas ini dengan nyata.

Previous
Previous

Mencumbu Sesar Adang (Catatan buat Pur dkk di Hutan Kalimantan Tengah)

Next
Next

Granit Indah, Bukit Kunyit, Pantai Klara, Pantai Ketapang: Lampung Selatan