Lima Tahun Tragedi Lumpur Lapindo: Perspektif Geologi

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Kilas Balik

Gunung lumpur (mud volcano) adalah ekspresi permukaan tanah (dan bawah laut) dari munculnya endapan lumpur tekanan tinggi yang berasal dari bawah permukaan bumi. Seringkali gunung lumpur dikaitkan dengan penyebab alamiah geologis, karena sebelum kejadian semburan Lusi 29 Mei 2006, khazanah literatur geologi dunia jarang mendokumentasikan kasus munculnya gunung lumpur yang dipicu oleh kegiatan manusia. Karena kejadian munculnya gunung lumpur di Sidoarjo ini pertama kali di sekitar lokasi pemboran sumur Banjar Panji-1 yang pada waktu itu sedang mengalami masalah “loss” dan “kick” disusul “underground blow-out” (semburan liar bawah permukaan), maka mengaitkannya sebagai pemicu munculnya gunung lumpur tersebut adalah sangat logis.

Waktu pertama kali diwawancara oleh koran daerah Surabaya tentang hal ini, 2 Juni 2006, saya pun sudah mengatakan bahwa fenomena awal dari semburan lumpur tersebut adalah dikarenakan adanya semburan liar bawah permukaan karena waktu itu saya sempat meninjau lokasi dari pinggir jalan tol saat mudik ke Malang, kota kelahiran saya. Fenomena permukaannya hampir serupa dengan kejadian semburan liar pemboran yang saya alami sendiri waktu bekerja di Kalimantan Timur sebagai wellsite geologist Huffco 1985. Demikian juga pendapat awal dari ahli-ahli geologi dari Lapindo sendiri yang waktu itu sempat kontak dengan saya, dan juga keterangan di website EMP (yang sekarang sudah dihapus) yang menyebutkan bahwa terjadi komunikasi dari lubang bor ke pusat semburan yang berjarak beberapa ratus meter dari BJP-1 waktu dilakukan penanggulangan tekanan dari sumur. Pendapat tersebut kemudian diformalkan pertama kali dalam bentuk publikasi oleh Richard Davies, dkk (2007) dalam jurnal GSA Today 17 (2): 4.

Seiring dengan waktu, geologist di Lapindo pun mulai mengubah pandangannya. Bersama dengan geologist terkemuka dari BPMigas, dari Oslo dan Jepang yang difasilitasi untuk melakukan peninjauan – riset di daerah semburan dan sekitarnya, keluarlah publikasi-publikasi tandingan yang menyebutkan bahwa gempa, kematangan tektonik, dan (secara spesifik) gerak patahan mendatar yang menekan di daerah Porong lah yang menyebabkan munculnya gunung lumpur tersebut.

Seiring dengan waktu juga, sampai sekarang saya masih berpendapat bahwa proses pemboran di BJP-1 merupakan pemicu dari munculnya gunung lumpur Lusi, sejalan dengan argumen-argumen yang dipaparkan Davies dkk, dan juga pengamatan yang saya lakukan pada real time drilling charts yang ditunjukkan oleh pihak kepolisian ke saya 2007 - 2008.

Mematikan Semburan?

Usaha teknis untuk mematikan semburan Lusi tidak bisa dipisahkan dari penanganan masalah sosialnya. Harus menjadi satu paket. Kalau tidak, maka jangan pernah berpikir untuk mematikannya. Kalau masalah sosial seperti pembayaran ganti rugi yang terkatung-katung karena pemerintah sangat toleran terhadap performance janji Lapindo tidak diberesi maka dijamin segala usaha keteknikan yang akan dilakukan akan mengalami hambatan di lapangan. Itulah yang terjadi sekarang ini. Biarpun konon kabarnya SBY mendapat bisikan banyak pihak dari luar maupun dalam yang terinspirasi oleh keberhasilan penanganan blow out di Montara (NWShelf) dan Horizon (Gulf of Mexico) untuk mulai berpikir lagi soal mematikan sumber semburan Lusi, tetap saja dia sebagai presiden tidak bisa lari dari kenyataan bahwa penanganan masalah sosial di LusI sampai sekarang masih amburadul. Makanya dari awal seperti ini sebelum sang presiden dipengaruhi oleh banyak pihak untuk grusa-grusu mengadopsi keberhasilan kill well di NWShelf maupun GOM untuk Lusi, saya teriakkan ke mana-mana: beresi juga ganti rugi dan masalah-masalah sosial lainnya (pemindahan penduduk, pendidikan, jalan raya macet dan sebagainya). Jangan cuma fokus ngomong tinggi-tinggi soal teknisnya. Biarlah masalah teknis dibicarakan dan direncanakan ahlinya, tapi masalah sosial harus dikawal dan dipaksakan sesegera mungkin untuk diberesi, supaya nantinya usaha teknis ini di-ridho-i dan tidak mendapat gangguan masyarakat.

Berdasarkan kesepakatan teknis saintifik yang sudah beberapa kali dibahas di level asosiasi profesi maupun di kalangan ahli lembaga-lembag pemerintah, disebutkan bahwa usaha teknis pertama yang harus dilakukan dalam rangka menuju ke perencanaan killing source (bukan well, karena well-nya sudah tidak kelihatan lagi?) dari Lusi ini adalah akuisisi data seismik 3D dengan desain khusus seperti yang sudah didesain oleh kawan-kawan BPPT dan Elnusa dan sudah diendorse oleh forum-forum IAGI maupun HAGI dalam berbagai kesempatan dalam dua tahun terakhir ini. Akuisisi data baru ini menjadi sangat krusial karena akan memberikan gambaran baru tentang kondisi bawah permukaan dalam di bawah Lusi yang selama ini cuma bisa dikira-kira saja oleh berbagai kalangan, termasuk oleh para drilling engineer yang mencoba merencanakan drilling program mematikan sumur BJP-1 (mereka menggunakan data-data engineering dari pemboran BJP-1, tapi masih perlu dikuatkan oleh data terbaru 3D seismik untuk konfirmasi).

Integrasi data dan interpretasi 3D seismik baru tersebut mutlak harus dilakukan dengan data engineering dari BJP-1 maupun relief well sesudahnya dan juga dari data geologi geofisik permukaan dangkal yang diakuisisi dalam empat tahun terakhir ini.

Khusus untuk asosiasi profesi seperti IAGI, HAGI, dan IATMI, dimohon untuk tidak berat sebelah dalam mengungkapkan berbagai data teknis dan interpretasinya, jangan mengulang kesalahan-kesalahan sebelumnya yang hanya memihak pada satu sisi pendapat para ahli tertentu saja, padahal secara nyata berkembang argumen-argumen counter dari pendapat-pendapat tersebut. Biarkanlah kedua-dua pendapat tersebut berkembang karena line of reasoning dari masing-masing bisa jadi akan bermanfaat bagi rencana penanggulangan mematikan semburan ini nanti. Biarlah nanti di level pengambilan keputusan melakukan excercise yang disebut sebagai: "probability atau uncertainity management", yaitu mengambil keputusan berdasarkan ketidakpastian dari berbagai teori penyebab maupun kondisi situasi bawah permukaan-permukaan Lusi. Tentunya dalam sekuen pengambilan keputusannya terkandung asas manfaat lebih banyak daripada mudharat.

Saat Ini

Saat ini upaya untuk melihat sejauh mana kerusakan subsurface dengan survei seismik 3D sedang dalam tahap perencanaan, desain, sosialisasi, dan tender. Survei seismik 3D ini di bawah koordinasi dan bujet Badan Geologi ESDM, dibantu sukarela oleh IAGI/HAGI; harapannya akhir 2011 image subusrface baru sudah ada, sehingga:

  1. Pihak-pihak yang merasa bahwa semburan bisa dimatikan dengan pemboran atau teknis lainnya bisa mengkongkretkan usulan dengan data bawah permukaan yang lebih jelas, bukan hanya asumsi-asumsi saja (yang seringkali satu dengan lainnya juga berbeda-beda), atau malah bisa juga membatalkannya karena melihat damage-nya sudah multi bidang, bukan hanya bidang tunggal; jadi “cost benefit”nya tidak matched.

  2. Dapat dibuat analisis prediksi modeling subsidence/penurunan tanah, sampai di surface area mana kemungkinan terjadi kerusakan dan seberapa tingkat bahayanya sehingga bisa dibuat peta risiko, zonasi yang baru, yang lebih update berdasar data subsurface, yang tidak harus tiap tahun diganti dengan Peraturan Presiden seperti selama ini terjadi.

  3. Ganti-rugi dan atau pemindahan penduduk untuk rencana pengelolaan jangka panjang area tersebut menjadi "once for all" solution kalau menggunakan hasil nomor dua di atas.

Usulan saya: sudah saja semua penduduk yang terdampak di sekitar daerah tersebut ditambah dengan  yang dari survei tim independent Provinsi Jawa Timur tahun lalu dan dari hasil evaluasi hazard 3D nanti, semua diganti-rugi sampai selesai dengan menggunakan duit yang ada (pinjaman dari pemerintah (?) yang nanti dibebankan pada Lapindo dan atau pengelola berikutnya).

Kemudian, daerah yang ditinggalkan dikelola oleh badan khusus (otorita?) untuk riset, wisata, maupun kegiatan eksplorasi lainnya bila memungkinkan...

Sangat mungkin nantinya bisa dilakukan lagi eksplorasi dan eksploitasi potensi cadangan migas di bawah daerah semburan lumpur tersebut. Karena probabilitas kehadiran cadangan migas (terutama gas) sangat besar di sini. Lapindo atau siapa pun yang berminat membantu pemerintah membereskan urusan ganti rugi dan evakuasi massal ini mungkin bisa berharap menghitung-hitung return dari investasi sosialnya saat ini.

Previous
Previous

Tentang “Protes” Andang Bachtiar

Next
Next

Seminggu Lagi 5 Tahun Lumpur Lapindo