(Dikotomi Geologi: Sains Murni dan Sains Terapan)
Aku terheran-heran dengan dikotomi geologi sebagai sains murni dan sains terapan seperti yang dipahami oleh kaum akademisi dan para peneliti Indonesia, sementara bagiku yang lebih banyak bergerak di industri semua aspek dari geologi adalah sains terapan yang bisa langsung terkait dengan benefit maupun profit.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Aku terheran-heran dengan dikotomi geologi sebagai sains murni dan sains terapan seperti yang dipahami oleh kaum akademisi dan para peneliti Indonesia, sementara bagiku yang lebih banyak bergerak di industri semua aspek dari geologi adalah sains terapan yang bisa langsung terkait dengan benefit maupun profit.
Kalaupun toh sebagian besar geologis yang bekerja di industri ekstraksi kebumian, konstruksi, dan lingkungan mengatakan bahwa mereka tidak perlu memakai geologi dalam pekerjaan mereka sehari-hari itu dikarenakan mereka tidak benar-benar menghayati dan menguasai ilmu geologi. Mereka mengira diri mereka adalah engineer, manager, birokrat, regulator, ahli lingkungan atau bahkan politisi kebumian. Tapi ketika mereka tidak menerapkan prinsip-prinsip geologi dalam pekerjaan mereka sehari-hari sebenarnyalah mereka sekedar membonceng masuk dalam kancah tersebut sebagai geologis, kemudian selebihnya mereka adalah manusia biasa seperti yang lainnya.
Karena sebenarnya hanya ada dua golongan manusia di dunia ini: geologis dan non-geologis. Begitulah gusti Allah membuat keseimbangan di bumi. Dan para saintis di akademi maupun lembaga-lembaga penelitian itu, karena mereka tidak pernah benar-benar masuk dalam industri maka yang mereka tahu adalah kesan dan perlakuan diskriminatif para manusia biasa yang mengaku sebagai geologis itu terhadap ilmu geologi yang salah kaprah dan tersesat ke mana-mana.
Pantesan saja tidak ada terobosan konsep-konsep geologi baru Indonesia oleh orang Indonesia selama hampir empat dekade ini, karena pada kenyataannya semua peneliti dan akademisi sedang terhanyut di arus industri dan dijadikan manusia biasa oleh para proponen industrialisasi.
(Tim Kami tidak Mencari Gudang Emas di Situs Purbakala atau Piramida)
Tim kami tidak mencari gudang emas di situs purbakala atau piramida. Seperti yang selalu saya tuliskan: kami sedang mencoba melengkapi data periodisitas kebencanaan Indonesia. Spin off-nya adalah mendapatkan data kebudayaan, teknologi dan sejarah dari peninggalan yang terkubur bencana.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Tim kami tidak mencari gudang emas di situs purbakala atau piramida. Seperti yang selalu saya tuliskan: kami sedang mencoba melengkapi data periodisitas kebencanaan Indonesia. Spin off-nya adalah mendapatkan data kebudayaan, teknologi dan sejarah dari peninggalan yang terkubur bencana.
Makanya jadi penting untuk selalu objektif (merujuk pada objek) yaitu tulisan yang saya terbitkan tentang latar belakang pemikiran Tim Katastrofi Purba (salah satunya Pidato Kebudayaan 14 Agustus 2012 Bagian Kedua Tentang Bencana) dan bukan sekadar dari berita-berita di media. Karena premis dasar dan "multiple working hypothesis" seperti yang saya siratkan dalam tulisan itulah yang sebenar-benarnya ada di jalur prosedural kerja Tim Katastrofi Purba. Bukan seperti yang dipersepsikan oleh euforia media atau sebagian kalangan yang sengaja memanfaatkan berita penelitian mandiri tersebut dengan membelokkannya menjadi seolah Tim kami sedang mencari piramida dan gudang emas peninggalan kerajaan pra sejarah.
Kalau ingin mengomentari tentang persepsi atau berita media lebih baik kita "jembreng" beritanya terus kita bedah kebenarannya kata-per-kata sampai ke konteks ceritanya, atau kita coba hubungkan lebih elegan dengan "thread" yang ada dalam tulisan saya tentang Bencana tersebut sehingga tidak kelihatan "menjebal" dan tersesat.
Perlu disadari juga seringkali media membuat cerita berdasarkan persepsi populer di sebagian masyarakat yang menyeleweng dari fakta dan keterangan sebenarnya dari para penelitinya.
Sampai sekarang tidak ada kesimpulan sementara Tim yang menyebutkan secara meyakinkan/definitif/konsklusif tentang adanya "piramida" dan apalagi gudang emas di situs-situs purbakala yang kita teliti. Punden berundak raksasa memang kita indikasikan ada di Gunung Padang, Cianjur,.. Tapi apakah itu bentuknya piramida atau limasan atau yang lainnya masih memerlukan kerja lanjutan yang dikoordinasikan Tim Arkeologi dan banyak menyangkut metodologi kerja yang spesifik arkeologis seperti ekskavasi dan sebagainya ..(bukan lagi domain utama metodologi geologi yang jadi spesialisasi saya),.. Tim Katastrofi Purba yang sifatnya mandiri dan swadaya mungkin tidak akan lagi memimpin di depan, karena meskipun ada anggota Tim kami yang arkeolog dan ahli sejarah-budaya, tapi masalah tentang Gunung Padang (khususnya) sudah menjadi domain-nya Arkenas Kemendikbud setelah Tim Katastrofi Purba mempresentasikan temuan-temuan awal ke Pemerintah dalam kurun semester pertama 2012 kemarin.
Kalaupun ada gudang harta di situs-situs purbakala, harta itu bagi kita adalah pengetahuan yang terkubur di sana untuk kita pelajari sehingga kita tidak harus selalu mulai dari nol memahat mengukir dan memanfaatkan kebudayaan dan teknologi kita. Gudang emasnya? Biarlah itu jadi makanan media dan buruan para petualang seperti Indiana Jones dan sejenisnya....
(Merdeka!)
Merdeka!!! Ayo, Merdeka!!! Bener-bener Merdeka!!! Di ranah migas, energi, minerba, dan urusan bumi!!!
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Merdeka!!! Bebaskan pikiran terjajah yang anggap bangsa sendiri tak mampu kelola blok-blok migas raksasa,...
Merdeka!!! Jangan lagi ngobral perpanjangan kontrak blok migas yang dioperasikan bangsa lain ke mana-mana.
Merdeka!!! Stop keliru pikiran yang mengira turunnya produksi migas hanya karena sumur-sumur tua, unplannd shut down, dan tambal sulam e o r saja.
Merdeka!!! Jangan sekadar menyerahkan hak eksplorasi tambah data baru ke persusahaan asing, lakukan sendiri, kerahkan potensi-potensi riset perguruan tinggi, mikir! Mikir! Mikir! Cari konsep sendiri, jangan mau terima enaknya saja ngikut kata orang-orang asing di sini!
Merdeka!!! Berhenti main-main dengan joint study migas tanpa nambah data baru di daerah susah dan hanya mementingkan cuilan biaya untuk setoran ke pihak-pihak berkuasa!
Merdeka!!! Hentikan disharmoni, ketidakcocokan, persaingan gak sehat: ditjen migas, BPMigas, Pertamina!! Bagaimana mungkin jadi Indonesia incorporated keluar sana, wong di dalam aja bunuh-bunuhan demi kepentingan kuasa.
Merdeka!!! Renegosiasi kontrak karya bukan hanya masalah angka royalty dan atau kewajiban divestasi, tapi kontrol lebih kuat — penguasaan atas kekayaan negeri sendiri!!
Merdeka!!! Ayo, Merdeka!!! Bener-bener Merdeka!!! Di ranah migas, energi, minerba, dan urusan bumi!!!
Bumi yang Tidak Berbohong dan Kita yang Tidak Membaca (2)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Bagian Kedua: Bencana
Kapan di sini akan ada gempa lagi?
Sampai di mana nanti tsunami menerjang kampung kami?
Kapan itu tsunami akan terjadi?
Kapan Merapi meletus lagi?
Apakah Gunung Talang juga akan menyemburkan api?
Apakah investasi kami aman terhadap gerakan tanah, longsoran, gempa, dan tsunami?
Berapa lama siklus ulang kejadiannya?
Bisakah gempa diprediksi?
Tolong kasi tahu kapan gempa terjadi jadi kita bisa siap-siap mengungsi!
Itu dia pertanyaan-pertanyaan umum yang biasanya keluar dari masyarakat Indonesia yang meskipun secara tradisional nenek moyang kita punya banyak kearifan lokal untuk diteladani tapi karena pergeseran sistim budaya dan pengaruh modernisasi kemungkinan daya tahan, pengetahuan dan aspek mitigasi bencana kebumian kita tidak begitu menancap kuat di budaya masa kini.
Para ahli bumi Indonesia bukan hanya dituntut untuk mengetahui, menemukan dan mengelola potensi anugerah sumber daya bumi, tetapi juga potensi bencananya yang perlu dimitigasi.
Tidak terlalu banyak yang bergerak di bidang ini. Nama-nama seperti Dr. Danny Hilman Natawijaya, Dr. Hamzah Latief, Dr. Irwan Meilano, Dr. Dwikorita Karnawati, Dr. Surono, Dr. Totok Hendrasto, dan beberapa lagi yang tidak tersebutkan di sini, mereka adalah para peneliti bumi yang sepi dari hura-hura temuan-temuan kekayaan bumi. Mereka mengawal anugerah bumi yang ditemukan itu dengan mitigasi bencana, dengan pengetahuan-pengetahuan tentang potensi kebencanaan bumi, untuk diterapkan pada prosedur, tata ruang dan rencana tanggap darurat.
Kita masih perlu banyak ahli-ahli seperti mereka, dan seharusnya industri ekstraksi kebumian seperti perusahaan tambang emas, tembaga, mineral, migas, geotermal dan sejenisnya itu semuanya mengambil manfaat dan bekerjasama dengan tokoh-tokoh bumi itu sedemikian rupa sehingga nikmat anugerah yang mereka tangani dapat dinikmati oleh Indonesia tanpa harus tiba-tiba hancur, hilang, musnah hanya karena mitigasi yang tidak dilakukan dan prosedur kedaruratan yang tidak dijalankan. Ada sisi anugerah, ada sisi bencana, bumi geologi Indonesia.
Dan seharusnya juga kita bisa menarik ke belakang kejadian-kejadian bencana luar biasa dekade terakhir ini, dan menyimpulkan dengan gamblang bahwa Indonesia adalah ajang instabilitas bumi dengan 129 gunung api, separuh dari 95.000 kilometer pantainya rawan terjangan tsunami, belasan ribu kilometer daratannya disayat-sayat patahan aktif siap bergerak setiap saat. Tidak ada satu pun kawasan berpenghuni berpenduduk berdaulat seperti Indonesia ini yang punya ancaman bencana begitu banyak dan bervariasi.
Kalau memang seperti itu karakterisasinya, apakah ini hanya baru terjadi akhir-akhir ini?
Tentu saja tidak. Umur penunjaman lempeng-lempeng, pembentukan patahan-patahan besar dan pembentukan gunung-gunung api di Indonesia bukan hanya baru-baru ini. Mereka paling tidak sudah terjadi sejak 45 juta tahun lalu mulai kala Eosen, berlangsung dengan puncak-puncak katastrofe di kala Oligosen (penggenangan laut 30 – 23 juta tahun yang lalu), kemudian letusan-letusan gunung api dan pengangkatan-pengangkatan daratan pada Miosen 15 juta tahun yang lalu, silih berganti hingga ketika manusia dianggap mulai ada 1,5 juta tahun yang lalu (Pleistosen), 150.000 tahun yang lalu (fosil-fosil Sangiran), letusan super-volcano Toba 75.000 tahun yang lalu yang memusnahkan hampir 95% spesies di bumi, banjir besar 11.000 – 10.000 tahun yang lalu, letusan Krakatau berkali-kali, Tambora, Rinjani di masa sejarah, semua menunjukkan bahwa dari dahulu kala sampai sekarang kejadian-kejadian itu adalah keniscayaan, sunatullah, proses geologi biasa. Karena ada kita, manusia, maka itu semua kita anggap sebagai bencana.
Implikasinya adalah: Indonesia, Nusantara, Zamrud Khatulistiwa kita, yang konon dari bagian pertama pidato ini tadi ternyata punya potensi luar biasa sumber daya buminya, ternyata juga menyimpan cerita tentang bencana-bencana yang berulang-ulang kejadiannya. Pertanyaannya: lalu kenapa sejarah modern (tertulis) peradaban kita baru dimulai abad ke-4 Masehi? Kerajaan Kalingga, Mulawarman dan sesudahnya: itulah paling jauh nenek moyang yang bisa kita runut asal usulnya dalam tulisan-tulisan sejarah kita. Lalu pada waktu Yesus atau Nabi Isa berkiprah di dunia abad ke-0, ada apakah di Indonesia? Ketika Plato berfilsafat ria abad 8 sebelum Masehi, apakah tidak ada catatan apapun tentang dan di negeri super potensi kita ini? Waktu raja-raja Firaun membangun piramida-piramida megah 3000 tahun lalu di tempat yang susah-susah di padang pasir sana, apakah nenek moyang kita leyeh-leyehan saja tinggal di gua-gua dan tidak melakukan apa-apa?
Bagi saya yang mengerti sedikit tentang ilmu bumi, kemungkinan jawabannya adalah, “kita punya masa lalu yang harusnya sama atau lebih hebat dari masa lalu bangsa-bangsa lain di dunia karena keunggulan potensi alam kita. Tetapi karena sifat siklus kebencanaan yang ada maka catatan-catatan dan peninggalan-peninggalan masa lalu itu terhapus, terkubur, terpendam oleh letusan gunung api, terjangan tsunami, goyangan gempa dan gelontoran kuburan lumpur longsoran gerakan tanah di mana-mana”.
Setiap kali kebudayaan kita maju, ada bencana yang menghancurkannya, kemudian kita mulai mengulangi segalanya dari mula, dari nol, tanpa apa-apa. Tergantung siapa yang survive pada saat bencana itu. Kalau yang selamat pada waktu kebudayaan tinggi kita dilanda bencana itu adalah tukang rumput, maka kebudayaan kita pasca bencana adalah kebudayaan tukang rumput. Kalau yang selamat dari bencana-bencana itu adalah orang-orang yang bersembunyi di gua-gua, maka kebudayaan kita berulang menjadi kebudayaan manusia gua. Dan seterusnya. Kemungkinan juga ketika Merapi meletus 1000 tahun yang lalu pada tahun 1006 dan mengubur candi Borobudur, kebanyakan arsitek, insinyur sipil dan para perencana yang pintar-pintar juga terkubur semua bersamaan dengan katastrofe purba itu. Yang selamat mungkin tukang bikin cobek yang kebetulan pergi ke Semarang untuk kunjungan ke sanak jauh. Maka ketika dia kembali ke sekitar candi didapatinya semua kehidupan musnah. Maka dimulailah kebudayaan baru Borobudur dari awal, dari membuat ukir-ukiran, cobek, dan patung-patung batu. Tak ada lagi insinyur-insinyur Gunadharma, terkubur semuanya oleh bencana.
Maka perlu juga direnungkan untuk maju ke depan. Apakah memang sebenarnya dari dulu bangsa Indonesia itu sempat berkembang maju beradab berteknologi tinggi tapi kemudian dihapus berulang-ulang catatannya oleh bencana, atau memang masa lalu kita adalah: manusia-manusia gua, manusia-manusia jaman batu, bahkan ketika di Mesir orang-orang sudah berlomba membuat bangunan-bangunan megah?
Tugas kita bersama untuk mengurai masa lalu peradaban kita. Tugas para ahli bumi juga, termasuk mengurai bencana-bencana apa saja yang menyebabkan masa lalu kita terkubur di bawah sana atau hangus menguap seperti sia-sia. Pada saat kapan saja bencana-bencana itu terjadi dan di lokasi-lokasi mana: data-data itu semua akan sangat bermanfaat bagi penyusunan kerangka mitigasi keberulangan, periodisitas, dan juga magnitude bencana yang bisa dipakai untuk mengantisipasinya ke depan. Demi masa depan bangsa yang lebih cerah.
Bumi yang Tidak Berbohong dan Kita yang Tidak Membaca (1)
Apakah negara kita kaya emas? Apakah negara kita kaya migas? Apakah masih ada lagi cadangan di bawah sana?
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Bagian Pertama: Anugrah
Apakah negara kita kaya emas? Apakah negara kita kaya migas? Apakah masih ada lagi cadangan di bawah sana? Bagaimana dengan panas bumi berlimpah yang tidak bisa diekspor tapi juga tak kunjung termanfaatkan segera? Apakah kita mampu mengeksplorasi dan mengelola sumber daya bumi kita sendiri? Apakah kita punya teknologi dan modal untuk dirisikokan menggali bumi mencari kemanfaatan alam untuk anak-anak negeri?
Pertanyaan-pertanyaan itu sepertinya jadi aneh ketika keluar dari pembicaraan, pernyatan atau tulisan pejabat-pejabat yang mengurusi kekayaan negeri khususnya di bidang sumber daya kebumian/geologi seperti, mineral, batu bara, migas, panas bumi, air, energi, dan sejenisnya. Dan lebih parah lagi kalau ternyata para ahli kebumian-lah yang nyeletuk dan berkeluh kesah dengan nada-nada serupa hampir sama seperti terungkap dalam kurun waktu tujuh - delapan tahun terakhir ini. Ketika harta karun migas di bawah blok Cepu lama terpaksa kita relakan untuk dioperasikan bangsa lain, ketika kita kebingungan mempertahankan tingkat produksi migas dengan usaha tambal-sulam sedot-pompa cadangan tua yang sudah uzur dan terlunta-lunta, ketika tak satu pun kebijakan negeri ini berani berisiko menambah data: mengeksplorasi sendiri tanah airnya sendiri, ketika renegosiasi hanya dimaknai dengan perubahan royalty dan kepemilikan saham, ketika kontrak-kontrak blok-blok migas besar sudah mendekati dan kita tidak percaya atas kemampuan sendiri dan tetap mengelu-elukan orang asing dengan modal dan teknologi.
Ada dua jenis kategori anugerah kekayaan bumi: kategori pertama adalah sumber daya (resources) dan kategori kedua adalah cadangan (reserves). Sumber daya masih belum diketemukan, cadangan sudah diketemukan. Lalu timbul pertanyaan: bagaimana mungkin sesuatu yang belum ditemukan disebut sebagai sumber daya? Mungkin saja. Tanda-tanda alam dan bumi yang bicara, yang dalam bahasa geologi sering disebut sebagai indikasi sistem minyak bumi, sistem metalogeni, sistem hidrotermal panas bumi dan sistem cekungan sedimen pembawa batu bara — kesemuanya bisa dibaca dan dipahami oleh ahli bumi sehingga bisa dihitung sampai ke potensinya.
Ketidaktahuan kita tentang potensi sumber daya bumi yang masih terpendam dan belum ditemukan seringkali menyesatkan diri kita sendiri maupun rakyat kebanyakan yang lebih tidak mengerti lagi. Tataran kependekaran ahli bumi yang hanya mengacu/merujuk pada potensi mineral, migas, emas, batu bara, dan geotermal yang sudah ketemu dan yang kasat mata di atas muka bumi saja adalah tataran ilmu tenaga luar gwa-kang, belum sampai ke tenaga dalam alias lwee-kang. Sudah seharusnya para ahli bumi Indonesia tidak hanya menggunakan “tenaga luar”nya untuk mengelola tanah air Indonesia dengan apa yang sudah ada, tapi juga “tenaga dalam”nya untuk menemukan cadangan baru dari sumber daya yang ada: mencerahkan harapan ke depan, menata perencanaan energi dan kebutuhan hidup berbudaya lebih baik berdasarkan pengetahuan tentang apa yang kita punya. Pengetahuan kita sendiri, bukan hanya pengetahuan yang disumbang dan didiktekan oleh orang-orang asing tentang bumi kita.
Pengetahuan mereka penting, tapi lebih penting lagi adalah pengetahuan kita. Karena kalau mereka yang menguasai pengetahuan itu, otomatis mereka akan punya kendali terhadap apa yang kita punya. Kalau kita yang menguasai, sebaliknya, kita lah yang punya kendali atas apa yang kita punya. Sangat sederhana dan sarat logika. Jadi, kalau kita tidak berani bersiasat untuk berisiko eksplorasi melengkapi data-data sumber daya kebumian Indonesia, lalu malah sebaliknya kalah siasat dengan merelakan orang-orang asing begitu saja dengan bebasnya bikin survei tentang apa-apa yang ada di bumi kita tanpa kita mampu bargaining dengan mereka, maka beginilah jadinya: kita lihat dalam sepuluh tahun terakhir ini, kebanyakan data-data spec survey kita dikuasai oleh pihak asing. Kalau pun ada indikasi sistem minyak bumi atau pun metalogeni yang muncul dari data-data eksplorasi baru itu, tentu saja pihak-pihak tersebut akan lebih mudah menegosiasikannya ke kita. Siapa yang menguasai informasi, dia menguasai meja!
Jadi, marilah kita membaca bumi kita sendiri, bukan hanya yang kasat mata, tapi juga yang tidak terlihat di bawah sana. Bumi Indonesia telah bicara bahwa ada 86 cekungan migas di pangkuannya yang 18 diantaranya sudah terbukti menghasilkan, sementara sisanya masih jauh dari kita mengerti karena hampir kita tidak punya nyali untuk eksplorasi. Belum lagi pada versi resmi pemerintah ada 128 cekungan itu di Indonesia. Nah, apakah kita mau membaca tanda-tanda itu seterusnya? Atau kita hanya ber-puas diri di 18 cekungan saja? Tentu saja mereka yang kurang kuat visinya untuk melihat ke dalam dan ke depan akan selalu bilang: hei, minyak kita habis, migas kita makin menipis, ayo berhemat dan segera berganti model penggunaan energi. Ungkapan-ungkapan yang sangat bagus dipakai untuk membangkitkan semangat diversifikasi, mengurangi/menghapus subsidi, dan menumbuhkan persaingan kemajuan energi-energi alternatif terbarukan dan sejenisnya di negeri ini. Tapi sayang ungkapan-ungkapan itu tidak diarahkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk menggalakkan eksplorasi! Eksplorasi! Eksplorasi! Mencari! Mencari! Mencari!
Kalaupun krisis energi kita ini dipakai untuk menstimulasi eksplorasi, rangkaian panjangnya seringkali dilupakan, yaitu harus dibangun dulu tradisi dan kebiasaan dan dididik pendekar-pendekar eksplorasinya. Coba kita tengok kuil-kuil perguruan tinggi kita, apakah mereka menghasilkan pendekar-pendekar eksplorasi? Nope! Yang kita lihat mereka malahan banyak memasok industri dengan tenaga-tenaga baut dan sekrup untuk mengoperasikan program-software dan kerjaan-kerjaan rutin yang nir-kreativiti! Bagaimana pusat-pusat riset Perguruan Tinggi? Setali tiga uang: di urusan sumber daya kebumian ini, lebih banyak mereka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang non-riset terobosan, tapi lebih ke pesanan pekerjaan rutin industri yang coba diserap oleh Perguran Tinggi. Tentu saja menguntungkan kedua belah pihak, karena harganya murah bagi industri tapi tetap merupakan pendapatan berarti bagi perguran tinggi yang disuruh pemerintah untuk berbisnis menghidupi diri sendiri. O, gusti, mau ke mana kita ini?
Kalau tidak salah dengar pesan paling baru dari pimpinan negeri ini adalah: eksplorasi! Kita semua berdebar-debar kegirangan mendengarnya. Mudah-mudahan implikasinya pun dia mengerti. Termasuk tidak begitu mudah menyerahkan pengelolaan aset-aset cadangan mineral dan migas yang habis kontrak begitu saja ke orang-orang asing hanya karena mau bargaining sesuatu yang lain atau malah lebih parah lagi: karena takut bangsa sendiri tidak mampu mengurusi. Lho? Apa hubungan eksplorasi dengan habisnya kontrak-kontrak blok migas utama dan juga renegosiasi kontrak-kontrak pertambangan kita? Kalau pun toh harus tawar-menawar, kita minta saja mereka yang masih ingin mengangkangi operasional kekayaan kita itu dengan iming-iming masih boleh cawe-cawe (tentunya tidak sebagai operator lagi) tapi dengan syarat keluarkan duit, tenaga, teknologi, dan sejenisnya yang terkait risiko-risiko tinggi untuk bantu kita eksplorasi, tanpa embel-embel apa-apa lagi. Bantu saja. Nyumbang. Tidak boleh lebih.