Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Piramida Kontroversi Freeport Papua (1)

Kontroversi kasus divestasi Freeport yang lagi rame akhir-akhir ini: urusannya bukan semata-mata mana yang benar mana yang salah, atau 1 + 1 = 2, tapi siapa yang punya kuasa dan siapa yang menanggung risikonya. Fakta dasar boleh sama, tapi “kebenaran” puncaknya bisa berbeda-beda. Sekali lagi: tergantung siapa yang punya kuasa. Seperti piramida.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Kontroversi kasus divestasi Freeport yang lagi rame akhir-akhir ini: urusannya bukan semata-mata mana yang benar mana yang salah, atau 1 + 1 = 2, tapi siapa yang punya kuasa dan siapa yang menanggung risikonya. Fakta dasar boleh sama, tapi “kebenaran” puncaknya bisa berbeda-beda. Sekali lagi: tergantung siapa yang punya kuasa. Seperti piramida.

Piramida itu dasarnya kotak dan bidang-bidang vertikalnya segitiga; idealnya sama sisi tapi bisa juga hanya sama kaki, bahkan bisa nggak sama semua. Dengan dasar fakta yang sama, kita bisa tarik puncak piramida yang berbeda posisi dan tingginya, tergantung bagaimana kita mengonstruksikan bidang-bidang vertikal segitiganya.

Piramida ideal kalau kita sayat mendatar di setiap jenjangnya akan selalu kita dapatkan kotak sempurna: yang makin ke atas makin mengecil luasannya dan akhirnya menjadi titik tertinggi piramida. Tapi kalau terjadi distorsi, sayatan mendatar yang kita potongkan di jenjang-jenjang atasnya tidak akan berbentuk kotak sempurna.

Seperti juga kontroversi Blok Rokan (yang kemungkinan akan diserahkan kepada Chevron lagi), kontroversi Blok Mahakam beberapa tahun lalu (yang sampai sekarang kayaknya masih mau diutak utik lagi?), gonjang-ganjing penguasaan Blok Cepu 2005 (yang akhirnya dikelola Exxon), kontroversi Kontrak Migas Gross Split vs. Cost Recovery, Subsidi BBM vs. Non Subsidi, BBM Satu Harga vs. Kerugian Pertamina, Holding BUMN Energi/Migas/Gas/Tambang yang sebagian menentang (kemarin juga jadi bagian dari aspirasi demo serikat pekerja Pertamina), Harga EBT yang harus bersaing dan murah, Kilang gas Masela offshore vs. onshore, dsb. Semua itu urusannya adalah urusan puncak piramida politik dan kekuasaan, jauh dari urusan teknis di jenjang bawahnya. Apalagi basic natural science yang jadi kotak dasarnya!

Makanya ketika para geologist dan mining engineer angkat bicara soal Freeport ini, bukan bidang mereka sehari-sehari yang mereka bahas tapi urusan hukum dan bisnis di jenjang atasnya yang mereka celotehkan. Kadang-kadang ada juga yang sampai menyentuh analisis politik, kekuasaan, dan konspirasi. Tapi buru-buru mereka dibully, jangan ngomong diluar kompetensi! Nah loe. Padahal boleh dibilang seolah-olah nggak ada yang punya “kompetensi” menyeluruh terkait hal ini kecuali para pemegang titik puncak piramida: para penguasa dan penentu kebijakan di negeri ini. Lebih seru lagi sering kali yang memprotes dan membully itu justru lebih nggak tau urusannya apa, bahkan secuil metodologi pun terkait urusan mineral, tambang dan pengusahaannya sama sekali nggak mereka kuasai. Malah kadang-kadang mereka berasal dari piramida yang berbeda.

Maka ketika ada yang mengusulkan, “serahkan kepada ahlinya,” tersadarlah kita bahwa sejatinya tidak ada satu pun dari kita yang layak disebut sebagai ahli karena permasalahan Freeport ini seperti piramida multi-jenjang multi-dimensi. Yang ujung-ujung atasnya nggletek yo balik iku-iku maneh, kekuasaan dan politik oligarki.

Agak di bawah sedikit dari ujung piramida iku, Bisni, Ekonomi, dan Keuntungan. Di bawahnya lagi, Hukum dan Regulasi. Yang paling bawah barulah analisa-analisa teknik yang jadi alat semata-mata. Kalau mau naroh satu lapisan lagi paling bawah dari dimensi masalah multi-jenjang ini, itulah jenjang para periset - saintis yang konsepnya dipakai oleh para ahli teknik. Boleh dibilang mereka lah yang jadi rujukan dari semua masalah. Tapi, orang-orang di dasar ini sama sekali nggak punya kuasa menentukan pucuk-puncuk piramidanya.

Dalam kasus kontroversial seperti Freeport ini selalu ada pembenaran dari setiap argumen yang saling berlawanan; di setiap jenjangnya dan di setiap sayatan mendatar di atas dasarnya. Yang jarang dituliskan terang-terangan adalah pembenaran paling atasnya, Politik dan Kekuasaan. Bahkan malahan sering kali “diingkari” daripada dinyatakan terus terang.

Saya coba menuliskan sesuatu terkait jenjang-jenjang dasar piramida masalah kontrak karya dan divestasi Freeport, untuk melengkapi pemahaman dari mereka yang sibuk membahas jenjang-jenjang piramida di bagian atas sampai ke puncaknya.

Kotak Dasar Piramida: Apa yang Ada di Bawah Tanah

Piramida-piramida masalah dan penyelesaiannya itu pada dasarnya dibangun di atas KOTAK fakta-fakta scientific yang kurang lebih sama. Misal, ada sumber daya tembaga dan emas di bawah area Freeport sana; semua pasti setuju tentang hal itu. Ada pula yang menyatakan ada Uranium segala. Tapi bagi yang paham geologi mineral dan teknologi ekstraksi, kadarnya sangat tidak memungkinkan untuk jadi ekonomis dengan teknologi yang “publicly available” saat ini.

Terdapatnya sumber daya menyebar di bawah tanah dan untuk mengambilnya harus dengan teknologi underground mining pun “fakta”nya hampir semuanya sama dan tidak terlalu banyak diperdebatkan.

Jumlah sumber daya Freeport yang bisa dijadikan cadangan pun nggak terlalu jadi masalah, uwakeh pokok e. Sak ndhayak! Kita terima saja lah laporan tahunan Freeport yang mestinya sudah diverifikasi oleh Competent Person untuk kepentingan bursa saham. Di laporan 31 Desember 2017 itu disebutkan ada 33.9 juta ons emas dan 38.8 miliar pon tembaga yang bisa ditambang sampai 2041. Totalnya kalau didolarkan dengan harga komoditi sekarang adalah ekuivalen dengan (minimal) 152 miliar dolar atau setara dengan Rp 2,200 triliun.

Untuk membayangkan kekayaan mineral di area Freeport di Papua itu mari kita bandingkan dengan kekayaan sisa Blok Migas Mahakam yang juga sudah pernah dikelola 50 tahun oleh Kontraktor. Waktu diambil alih Pertamina, itung-itungan sisa gasnya 5 Tcf. Kalau harga gas $6/MMBtu, maka cadangan Blok Mahakam itu setara dengan 30.4 miliar dolar atau sekitar seperlima-nya kekayaan mineral di area Freeport Papua sana. Itu pun dengan gegap gempita akhirnya kita operasikan sendiri lewat BUMN kita Pertamina. Alhamdulillah.

Masih ada lagi kah selain itu? ADA! Namanya “Mineralized Material” yaitu bijih-bijih dengan kadar lebih rendah yang kalau harga bijih merangkak naik maka mereka bisa ikut ditambang dan atau diproses. Di buku laporan tahunan Freeport itu disebutkan jumlahnya 18.4 miliar pon atau setara dengan 51 miliar dolar.

Yang nggak dilaporkan Freeport di bukunya itu adalah jumlah sumber daya yang bisa ditambang beyond 2041. Karena memang nggak boleh ngasih harapan yang kepastiannya masih kecil menurut aturan bursa. Tentunya potensi itu masih lebih banyak lagi. Apakah kita/pemerintah Indonesia tahu berapa sumber dayanya beyond 2041? Patut untuk diragukan kalau kita punya datanya. Meskipun dalam aturan mereka harus masukin laporan secara berkala termasuk hasil eksplorasinya, koq rasanya selama ini nggak ada praktiknya di mana kumpeni-kumpeni pemegang KK/KP yang sekarang jadi IUP itu melaporkan sumber daya sekumplit-kumplitnya, apa adanya.

Rasanya koq agak kurang yakin para negosiator pemerintah mengapresiasi secara mendalam aspek-aspek sains dan teknis besaran kekayaan didasar piramida itu. Kalau mereka apresiasi mestinya mereka sadar. Lha wong kekayaan bangsa yang nilainya seperlima sampai sepertujuhnya Freeport aja kita perjuangkan koq (Blok Migas Mahakam), apalagi yang lebih gede ini. Mestinya ya harus lebih mati-matian.

Jenjang Teknis Penambangan: Trapesium Masalah

Ok. Nah, di atas aspek dasar sains dan teknis bawah permukaan itu tadi, ada aspek teknik penambangan di jenjang piramida berikutnya. Di jenjang ini saya mulai melihat ada distorsi sayatan mendatar piramida. Bukan lagi kotak sempurna, tapi sudah mulai memanjang memendek sisi-sisinya nggak sama. Mungkin hampir jadi dasar trapesium nantinya. Apa penyebabnya?

Sebagian penghuni sayatan piramida jenjang bisnis dan jenjang politis yang notabene posisinya di atas jenjang teknis ini sering kali mengklaim bahwa teknik penambangan di area penambangan Freeport di Papua itu sedemikian canggih dan rumitnya, sehingga kalau Freeport pergi dari sana maka tidak ada pihak manapun yang mampu melanjutkannya dengan sempurna. Kita orang Indonesia belum mampu melakukannya, perlu transisi, dan sebaginya. Karena teknologi itu milik Freeport, jadi kalau Freeport pergi maka tak ada lagi akses kepada teknologi canggih itu. Malah, lebih parah lagi, ada yang mengatakan begitu proses penambangan berhenti maka tambang bawah tanah akan ambruk seketika dan harta karun kita yang miliaran dolar di bawah sana akan hilang selamanya.

Kita mesti lebih berhati-hati dalam menerima klaim dari atas tentang bentuk jenjang teknis ini sedemikian rupa sehingga tidak jadi geli sendiri — ketawa sendiri seperti stand-up comedy yang gagal audisi. Kalau nggak hati-hati, maka bukan kotak lagi sayatan piramida di sini, tapi empat persegi panjang atau dasar trapesium yang semua sisinya nggak sama paniangnya.

Coba kita tanya ke para ahli penambangan. Apa komentar mereka terkait dengan teknologi dan operasionalisasi tambang di Freeport Papua ini, terus kita bahas dalam kaitannya dengan klaim-klaim di atas tadi?

Hengky Rumbino, VP Underground Mine Operation yang asli Papua mengatakan, "tambang bawah tanah juga lebih dari 90% dijalankan oleh anak-anak Indonesia. Tantangan yang kita punya, tambang bawah tanah kita termasuk dalam. Kita menambang di kedalaman 1.6 kilometer di bawah tanah. Tantangannya bagaimana memastikan kestabilan batuan, bagaimana penambangan dapat dilakukan dengan baik tanpa adanya kecelakaan. Tantangan paling besar adalah menambang di kedalaman dan meledakkan batuan," ujarnya. “Tantangan pasti unik, karena kita beroperasi di medan yang sangat ekstrem, membutuhkan ketangguhan operator yang baik dengan perubahan iklim drastis, fatigue issue, orang cepat lelah, kondisi alam berubah-ubah. Tapi kita mampu, tambang sebesar itu bisa dioperasikan oleh insinyur-insinyur Indonesia," kata Hengky kepada detikfinance.

Saya beri cuplikan dua kalimat kunci utama dari komentar ahli tambang asli Papua di atas tadi untuk memberikan keseimbangan informasi atas klaim kalangan atas tentang teknik penambangan Freeport:

  1. “Tambang bawah tanah juga lebih dari 90% dijalankan oleh anak-anak Indonesia.“

  2. “Tapi kita mampu, tambang sebesar itu bisa dioperasikan oleh insinyur-insinyur Indonesia,"

Kalau masih belum yakin juga dengan betapa nggak berdasarnya klaim-klaim dari atas itu, saya tambahkan cuplikan percakapan di chat WhatsApp berikut ini dengan Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia:

“Rek, sebagai Ketua Perhapi (Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia): kalau sampeyan ditanya rakyat: sebenarnya MAMPU NGGAK orang2 Indonesia menerapkan - menjalankan teknologi yg dipakai selama ini di underground mining Freeport Papua (Block Caving dsb) untuk meneruskan operasi tambang Freeport itu? Tulung kasi pencerahan rek. Anggep aja aku mewakili masyarakat. Soal e aku durung krungu suarane Perhapi resmi dalam kasus gede iki. Bbrp kenalanku di sana, anak2 tambang dr Yogja : mereka bilang: SIAPA TAKUT?!! Mereka merasa mampu je. Cumak bos2 nya nggak ada yg berani speak up.”

“Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh ... yak opo kabare Kanjeng Mas Andang? Kalau aku pribadi bilang ya mampu dong. Wong dari dulu sampai sekarang yang mengerjakan ya orang Indonesia juga kok.”

Nah, yok opo koen sak-iki?

Memang mereka semua nggak bilang bahwa kalau Freeport pergi maka dengan mulus operasi akan terus berjalan seperti semula, tapi dari keyakinan para ahli itu cukuplah bagi kita semua untuk menyadari bahwa klaim-klaim pesimis fatalis katastrofe dari kalangan atas tentang ketakutan akan tidak berlangsungnya lagi operasi tambang Freeport di Papua kalau dioperasikan oleh Indonesia (Perusahaan, Manajemen, dan Para Ahli dari Indonesia) adalah klaim-klaim yang agak kurang logis. Kecuali kalau Freeport pergi dan orang-orang Indonesia yang sekarang kerja di sana ikut Freeport semua balik ke Amerika. Apa ya begitu naif asumsi kita? Nggak lah.

Apakah Freeport punya hak/klaim/paten atas teknologi penambangannya sehingga kalau mereka pergi maka teknologinya nggak boleh dipakai lagi kalau nggak bayar ke mereka (dan bayarnya mahal sekali)? Terus terang saya meragukan hal itu. Mungkin ada di antara kawan-kawan ahli pertambangan yang bisa menambahkan di sini. Setahu saya sampai saat ini nggak ada hak paten khusus tentang teknologi penambangan bawah tanah yang disebut metoda Block Caving itu. Kecuali mungkin saat-saat ini, dalam rangka mengantisipasi negosiasi ke depan, pihak Freeport sedang berusaha mendaftarkannya ke pihak-pihak otoritas paten di manapun yang mereka mau.

OK, mudah-mudahan sekarang jadi lebih jelas lagi anatomi geometri terdistorsi dari piramida kontroversi tentang divestasi Freeport ini; khususnya tentang Teknik Penambangan yang kelihatannya bikin ngeri kalangan bisnis, birokrasi, dan politisi itu. Yang kuatirnya, karena ketidakpahaman dan kengerian gak berpengatahuan itulah akhirnya mereka ambil keputusan-keputusan yang bikin menclagh-menclegh bentuk piramida kita ini.

Ada satu tambahan rujukan lagi. Waktu rame-ramenya usaha untuk memosisikan Pertamina sebagai operator blok Mahakam-pun kampanye hitam tentang ketidakmampuan bangsa Indonesia dan penonjolan kehebatan teknologi, Total pun terus menerus dilakukan persis seperti yang terjadi sekarang ini di kasus Freeport. Seolah kalau Total pergi maka semua teknologi dan sistim operasi blok Mahakam akan mandegh, saking canggih dan spesifiknya teknologi dan sifat propietary “hak paten” Total atas teknologi itu. Seriusan lho, ada yang bilang seperti itu. Kenyataannya: meskipun sempat mengalami anjlok produksi, tetap saja sampai sekarang migas Blok Mahakam masih terus kita nikmati, padahal sekarang sudah dioperasikan Pertamina mulai awal tahun ini.

Ayolah, janganlah para ahli hukum, ahli bisnis, ahli keuangan, ahli politik bangsa Indonesia ini sampai mengulang kesalahan yang sama di urusan Freeport ini, yaitu tidak percaya sama kemampuan perusahaan dan personel ahli bangsa sendiri. Jadi menggelikan kalau tren ketidakpahaman teknologi oleh kalangan pengambil keputusan ini terus dibiarkan terjadi.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Kewajaran “Bi tu Bi”: Refleksi Share-Down, Spin-Off dan Divestasi

Membaca dari jauh tentang gonjang-ganjing divestasi, share-down, dan spin-off akhir-akhir ini aku jadi ingat tentang hal sama yang berulang kali terjadi secara periodik di dunia investasi energi-sumber daya mineral Indonesia.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Membaca dari jauh tentang gonjang-ganjing divestasi, share-down, dan spin-off akhir-akhir ini aku jadi ingat tentang hal sama yang berulang kali terjadi secara periodik di dunia investasi energi-sumber daya mineral Indonesia. Perulangan periode siklus apa ini? Siklus pemilu tiap lima tahun sekali! Dan gonjang-ganjingnya terjadi satu – dua tahun sebelum pelaksanaan Pemilu itu sendiri. Mungkin juga siklus-periode yang sama terjadi di sektor lain; tapi karena itu semua di luar radar data, minat, dan kompetensiku, maka untuk sementara aku abaikan saja dulu.

Kenapa divestasi, spin-off, dan share-down menjelang Pemilu? Karena dalam proses-proses itu terjadi deal-deal bisnis B2B (bi tu bi) yang dianggap sebagai kewajaran kalau melibatkan: broker (yang dapat fee), konsultan (yang kadang mau jadi kepanjangan tangan hengki pengki), premium (yang bisa dibagi) , dan entertainment (untuk melancarkan negosiasi). Sebagian proceed yang dihasilkan dari kewajaran proses bisnis itu mengalir ke berbagai pihak yang berkepentingan untuk membuat semua deal itu terjadi. Apa hubungannya dengan pemilu? Nggak tahulah, tolong dipikirkan sendiri. Jangan lupa, itu semua terjadi selalu satu – dua tahun menjelang Pemilu di negeri ini. Terutama setelah masa reformasi.

Coba perhatikan; Menjelang Pemilu 2004, Pertamina menerbitkan kontrak-kontrak TAC/KSO baru sebagai pengganti TAC lama yang sebagian akan habis juga berapa tahun mendatang. Kontrak-kontrak baru PSC 2003 diterbitkan dengan term baru yang lebih menarik dan menantang ¾walaupun mulai saat itu FTP tidak dibagi dengan kontraktor.

Kemudian 2007, 2008, dan 2009. Total mulai memasukkan permohonan perpanjangan Blok Mahakam 2007 dan kelihatannya ditarik-ulur saja waktu itu. Juga pembelian-pembelian dan akuisisi besar terjadi di kurun waktu 2007 – 2009 ini. BMG Australia (yang sekarang jadi masalah) dan juga akuisisi ONWJ oleh Pertamina yang harga akuisisinya juga banyak dipertanyakan. Juga saat itu di 2007 – 2008 euphoria bikin kilang minyak baru menggebu-gebu. Banyak surat izin pembuatan kilang minyak diterbitkan dan tentunya diperjual-belikan. Dan sampai sekarang hasilnya nihil (ada satu kilang mini tapi itupun akhirnya “mati” karena regulasi). Tentunya banyak yang dapat cipratan dari jual beli izin itu: yang ditengarai semuanya dalam rangka menantang Singapura (yang punya kilang sampai 1,3 - 1,6 juta BOPD) untuk keluarin duit, mencegah itu semua terealisasi.

2012 – 2014: masih ingat dengan Brigade 200 ribu-nya Pak Dahlan Iskan? Usaha mulia untuk meningkatkan produksi Pertamina sampai tembus 200 ribu barel per hari itu ternyata nggak jalan seperti yang direncanakan. Bahkan waktu itu makan korban, ada yang dilengserkan karena gak sepaham dengan ide yang nggak mungkin terlaksana; yang akhirnya sekedar membagi-membagi kontrak KSO dengan pihak-pihak luar saja. Waktu itu 2011 – 2012 ada juga urusan blok WMO lepas kontrak dari Kodeco yang akhirnya sekarang dikelola Pertamina sendiri. Konon, sempat juga ada dua perusahaan lokal “nyasar” yang nggak ada satupun komunitas migas Indonesia pernah dengar namanya. Nyoba-nyoba beli PI, tentunya dengan penjelasan dari para penguasa waktu itu bahwa semuanya proses bi tu bi. Akhirnya nggak jadi, karena keburu diprotes rame-rame — terutama oleh Serikat Pekerja Pertamina sendiri.

Nah, sejak setahun terakhir ini sampai sekarang — menjelang Pemilu 2019 nanti — mulai marak gerakan-gerakan divestasi, spin-off, dan share-down ini. Baik di migas, energi umumnya, maupun pertambangan. Selain kemungkinan memang benar pas waktunya bertepatan dengan akan berakhirnya kontrak Freeport 2021, tapi usaha untuk ngurusi divestasi ini penuh dengan “huru-hara” keterburu-buruan yang serba mencengangkan dan menimbulkan kerutan dahi.

Juga pemberian delapan blok habis kontrak ke Pertamina yang kemudian disusul dengan  mengubah aturan di mana Pertamina nggak dapat hak istimewa lagi untuk dapatkan blok produksi habis kontrak (khususnya blok Rokan yang produksinya masih sekitar 180 ribu barel per hari). Sementara itu, sudah banyak pihak swasta dengan back up pendanaan baik dari kelompok mereka sendiri ataupun dukungan dari luar negeri ngantri siap-siap ikutan partisipasi. Baik di delapan bloknya Pertamina itu maupun juga terutama di Blok Rokan yang menggiurkan. Tentunya semua proses dilakukan secara bi tu bi dengan “kewajaran-kewajaran” seperti disebutkan di awal tulisan ini tadi.

Lalu, timbul pertanyaan: apakah share-down, spin-off, dan divestasi itu bukan karena Pertamina sedang berdarah-darah karena keuangannya kegerus usaha di hilir mempertahankan harga BBM murah dan satu harga seluruh Indonesia ¾di tengah meningkatnya harga crude dunia yang sekarang sudah di atas sekitar $70 USD/bbl? Kalau dipikir-pikir ada juga faktor itunya, tapi ya itu tadi, istilah wong jowone, “Tutup Ketemu Tumbu”. Khan definisi sukses itu, “persiapan yang matang ketemu dengan kesempatan”. Nah, dalam hal ini persiapannya adalah rangkaian rencana share down, spin off dan divestasi. Kesempatannya adalah saat Pertamina disuruh mempertahankan harga BBM tetap rendah dan sama di seluruh negeri. Klop dah!

Mudah-mudahan semua proses yang sedang terjadi ini membawa kebaikan bagi negeri. Perkara ada yang coba-coba memanfaatkannya untuk nyari rezeki buat golongan atau pribadi dari proses-proses bi tu bi itu, ya, kita serahkan kepada yang berwenang untuk mengevaluasi. Apakah masih wajar saja atau sudah tidak bisa ditoleransi.

Yang aku lakukan hanya sekadar menuangkan sedikit pemahaman dan pengamatan, supaya sekelilingku jadi lebih pinter dan mengerti: nggak cuma lihat semuanya hitam dan putih.

Monggo.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Tentang Video Viral Ceramah Cak Nun Tentang Energi dan Tanah Air yang Ditelanjangi

Aku ditanya keluargaku, ditanya konco-koncoku, wong-wong sekitarku tentang video viral Emha Ainun Najib (Cak Nun) ini. Apakah yang diceramahkan Cak Nun itu datanya valid?

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Aku ditanya keluargaku, ditanya konco-koncoku, wong-wong sekitarku tentang video viral Emha Ainun Najib (Cak Nun) ini. Apakah yang diceramahkan Cak Nun itu datanya valid?

Berikut ini penjelasanku sebagai orang yang sedikit belajar tentang geologi dan energi.

  1. Bahwa kata Cak Nun “gas dan energi” sudah akan beralih ke panas bumi. Yupps, kita SUDAH beralih tapi SERET. Kalaupun lancar, potensi panas bumi seluruh Indonesia yang bisa dijadikan energi (29 GWe) untuk kebutuhan seluruh rakyat Indonesia – bahkan untuk saat ini saja (60 GW) – TIDAK CUKUP. Harus ada sumber energi lain yang kita pakai selain panas bumi saat ini dan (apalagi) di masa mendatang (400 GW di tahun 2050, misalnya). PLTA (air) masih akan dipakai dan bertambah, demikian juga EBT lainnya seperti PLTB (bayu), PLTS (surya), PLTN (nuklir), PLT Biomassa, dan sebagainya. Dan, tentu saja, energi fosil masih akan tetap jadi andalan bahkan sampai 2050 nanti. Angka penggunaannya di Indonesia diperkirakan mencapai 69% di 2050 nanti. Jadi, statement beralihnya gas dan energi ke panas bumi hanya valid 50%.

  2. Bahwa semua gunung api yang ada potensi panas buminya sudah dikavling-kavling, dikontrak 30 – 40 tahun. Pernyataan ini valid 50% karena BELUM SEMUA potensi panas bumi dikontrakkan untuk dieksplorasi maupun dieksploitasi karena memang pemerintah nggak punya duit sendiri untuk melakukan E&P panas bumi itu. Juga, di seluruh dunia, pengusahaan E&P panas bumi (dan energi pada umumnya) memang dengan sistim kontrak atau royalti atau bagi hasil dan sebagainya; bukan dikerjakan sendiri oleh pemerintah. Paling jauh, pemerintah “mengerjakan sendiri” lewat perusahaan negara. Di Indonesia, Pertamina sebagai BUMN menguasai sebagian besar kontrak pengusahaan panas bumi di gunung-gunung api tersebut. Jadi, dikavling-kavling dan dikontrakkan dalam arti negatif berarti NGGAK VALID. Tapi, dalam arti positif, VALID. Yang berarti: DIKERJAKAN! Walaupun jumlahnya yang “semua” itu nggak valid.

  3. Pernyataan “Ya Merapi, ya Merbabu, di mana saja yang kira-kira ada panas buminya, sudah dijual oleh pemerintah tanpa kalian tahu,” adalah pernyataan yang tidak sejalan dengan statement sebelumnya yang “dikavling-kavling, dikontrakkan”. Dikontrakkan pengusahanya sangat berbeda dengan dijual. Nggak ada satu pun gunung api yang dijual. Yang ada adalah hak eksplorasi dan eksploitasi panas buminya dikontrakkan ke perusahaan E&P geotermal. Para kontraktor E&P itu jelas tidak berhak memiliki gunung api; baik itu tanah, hutan, area, maupun udaranya. Mereka hanya berhak mengeksplorasi (mencari) sumber panas buminya dan mengusahakannya menjadi listrik. That’s it!!!! Jadi, pernyataan penjualan gunung api itu 100% GAK VALID.

  4. Bahwa ada tiga lempeng benua di bawah pulau Jawa di area Pegunungan Kendeng di Jawa Tengah dan Jawa Timur, itu adalah pernyataan yang tidak valid. Pengetahuan tektonik kita saat ini hanya mengetahui bahwa di daerah dimaksudkan ada DUA lempeng benua yang berinteraksi, yaitu lempeng Benua Asia dan lempeng Benua Australia. Kalau ditambah dengan lempeng SAMUDRA (bukan Benua) maka memang ada tiga lempeng yang ketemu di bawah Jawa Tengah Jawa Timur. Jadi, yang valid: ada dua lempeng benua dan satu lempeng samudra yang ketemu di bawah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Note: Mungkin hal ini dikelirukan dengan pengetahuan umum geologi kita yang mengatakan bahwa Indonesia secara keseluruhan di bentuk oleh interaksi tiga lempeng yaitu lempeng Asia, lempeng Australia dan lempeng Pasifik! Tapi seharusnya itu dikatakan sebagai “ringkasan“ tektonik seluruh Indonesia, bukan di bawah Jawa Timur dan Jawa Tengah.

  5. Pernyataan tentang adanya cekungan-cekungan yang banyak hanya 50% valid. Memang cekungan-cekungan sedimen itu ada, tapi tidak “banyak”. Mungkin hanya lima – delapan cekungan saja (tergantung dari batasan kita tentang dimensi cekungan). Di daerah onshore Jawa Tengah dan Jawa Timur bagian utara ada cekungan Zona Rembang, Zona Randu Blatung, dan Zona Kendeng. Di selatannya ada cekungan Yogyakarta dan Jawa Timur bagian selatan (Pacitan, Kediri, Malang, Pasuruan). Jumlah seluruh cekungan Indonesia yang dipetakan resmi oleh pemerintah adalah 128. Nah, apakah lima – delapan cekungan dibanding dengan 128 cekungan itu bisa dikategorikan sebagai BANYAK cekungan? Hmmmmm....

  6. Dan bahwa pernyataan tentang cekungan-cekungan sedimen itu diurutkan di cermah untuk menjustifikasi kekayaan panas bumi kita: NGGAK VALID!!! Cekungan-cekungan sedimen yang dimaksudkan itu berasosiasi dengan adanya energi migas dan batu bara sementara untuk panas bumi urusannya bukan dengan cekungan migas, melainkan dengan keberadaan gunung api yang posisinya membatasi cekungan-cekungan Jawa bagian utara dengan Yogyakarta dan Jawa Timur bagian selatan. Jadi: nggak nyambung!

  7. Pernyataan tentang “ada frame-frame yang merupakan pusat kekayaan Indonesia masa depan” membingungkan. Istilah frame-frame tidak valid secara ilmu kebumian. Mungkin yang dia maksud teranne (rimanya sama dengan frame). Teranne atau Teran (atau Mintakat) adalah potongan-potongan lempeng bumi (umumnya lempeng benua) yang berasal dari berbagai paleo-location kemudian mengalami pemecahan dan pemisahan yang pada akhirnya saling bertemu (karena mereka bergerak menjauh, mendekat, menggeser satu sama lainnya dalam teori tektonik lempeng) membentuk satu kumpulan terrane yang kemudian dilabeli sebagai lempeng Asia, lempeng Australia, dan sebagainya. Lalu, soal “pusat kekayaan Indonesia masa depan” itu juga belum dikuantifikasi secara kegeologian. Jadi: NGGAK VALID.

  8. Aku agak setuju dengan pernyataan “tanah air diudani (ditelanjangi) oleh orang luar negeri”. Itu terjadi karena karena kita malas untuk belajar tentang tanah air kita sendiri. Salah satu contoh: tidak akuratnya atau tidak validnya banyak aspek geologi “tanah air” yang diceritakan dalam ceramah itu menunjukkan bahwa kita tidak memahami tanah air kita sendiri.

  9. Maka sebagai orang yang sedikit lebih mengerti tentang geologi tanah air dibanding kebanyakan orang di Indonesia, aku merasa sangat berterima kasih dengan adanya video viral ceramah Cak Nun tentang panas bumi dan telanjang-menelanjangi tanah air itu. Karena apa? Dari situ kita disadarkan bahwa masih banyak tugas ke depan untuk mendidik bangsa Indonesia mengenali dirinya sendiri, tanah airnya sendiri. Sehingga nantinya para tokoh pimpinan masyarakat seperti Cak Nun pun dapat merujuk dengan gampang dengan mudah pada pengetahuan kita tentang geologi, panas bumi, migas Indonesia; tanpa harus salah-salah dan keliru dan membuat masyarakat bangsa ini makin terjerumus pada keterbelakangan ilmu dan persepsi.

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

(Setelah Empat Tahun jadi Presiden)

Akhirnya.... Setelah empat tahun jadi presiden, barulah Jokowi mulai “menoleh” ke migas. Pagi ini tadi presiden kita menghadiri dan membuka event tahunan migas terbesar Indonesia “IPA CONVENTION” yang ke 42, yang berlangsung 2 – 4 Mei 2018 ini.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Akhirnya.... Setelah empat tahun jadi presiden, barulah Jokowi mulai “menoleh” ke migas. Pagi ini tadi presiden kita menghadiri dan membuka event tahunan migas terbesar Indonesia “IPA CONVENTION” yang ke 42, yang berlangsung 2 – 4 Mei 2018 ini. Berturut-turut tiga tahun sebelumnya (2015, 2016, dan 2017) permintaan-permintaan untuk membuka acara IPA hanya didelegasikan ke Menko (2015), kemudian ke Menko lagi (2016), kemudian hanya ke level Menteri ESDM saja di 2017 kemarin.

Perlu juga dicatat bahwa ini semua terjadi setelah Oktober tahun lalu Jokowi menolak di depan publik ketika diminta oleh Tim Rembuk Nasional untuk jadi “panglima” energi (selain jadi “panglima” infrastruktur yang selama ini dilakukannya). Maksudnya waktu itu mbok ya beliau turun tangan langsung lebih serius membenahi masalah energi Indonesia seperti beliau turun tangan langsung di bidang infrastruktur. Alasan “keberatannya” waktu itu: mau fokus dulu di infrastruktur. Tapi rupanya dalam setengah tahun berikutnya, dengan naiknya harga minyak di atas 70$/bbl yang menekan kebijakan populis energi murah dan kebutuhannya untuk tetap eksis menjelang Pemilu 2019, Jokowi mulai sadar bahwa dia harus “mulai turun tangan” mendekati investor dan industri migas Indonesia. Mungkin karena dia juga mulai menyadari ketahanan energi kita mulai collapse.

Mudah-mudahan demikian adanya. Ada kemauan politik untuk lebih mendengarkan dan memperhatikan suara-suara dari industri migas (dan energi) Indonesia, meskipun sebagian besar itu dalam rangka memenangkan hati rakyat menjelang Pemilu 2019.

Satu lagi yang menarik; dalam sambutan pembukaannya, Jokowi juga menekankan perlunya eksplorasi dalam meningkatkan produksi migas kita ke depan, dan – ini dia serunya – dia seakan heran dan gak habis pikir (pakai geleng-geleng kepala, menurut pemberitaan CNN) kenapa tidak ada eksplorasi besar (oleh Pertamina) sejak tahun 1970 dan kenapa kegiatan eksplorasi semakin menurun saja.

Menariknya adalah setelah empat tahun berjalan seolah-olah pak presiden baru sempat mencerna data yang sebenarnya sudah bisa dicerna awal-awal pada saat dia mulai menjabat (data temuan eksplorasi Pertamina atau Indonesia sejak 1970).

Hal itulah yang kemungkinan mengakibatkan “lack of urgency - lack of crisis awareness” beliau selama ini tentang kondisi migas (dan energi juga sih) Indonesia. Kemungkinan selama ini Jokowi hanya terima laporan “selalu bagus dan aman-aman saja” tentang kondisi migas dan energi Indonesia dari para pembantunya. Mudah-mudahan kesadaran ini datangnya belum terlalu terlambat.

Ayo kita gunakan kesempatan baik ini untuk membenahi migas dan energi Indonesia. Termasuk utamanya meningkatkan eksplorasi dan produksi migas kita. Dan juga jangan lupa: peran BUMN dan BUMD Migas di dalamnya harus terus diberdayakan, diperkuat dan dibebaskan dari gangguan-gangguan politik jangka pendek kelompok kepentingan dan golongan-golongan.

 
 
Setelah Empat Tahun.jpg
 
Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Gempa Bumi Megathrust M=8.7, Siapkah Jakarta?

(Tsunami dari Selat Sunda: YES!! Rambatan gempa dari Selat Sunda: LESS LIKELY, Rambatan dari Bayah – Pelabuhan Ratu: MORE LIKELY)

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

(Tsunami dari Selat Sunda: YES!! Rambatan gempa dari Selat Sunda: LESS LIKELY, Rambatan dari Bayah – Pelabuhan Ratu: MORE LIKELY)

Atas pemberitaan akhir-akhir ini tentang potensi Gempa Jakarta 8.7 SR yang dirilis bersamaan dengan penyelenggaraan acara BMKG “Gempa Bumi Megathrust M=8.7, Siapkah Jakarta” Rabu, 28 Februari 2018 yang lalu, saya ingin memberikan perspektif yang mudah-mudahan bisa mengurangi kebingungan.

Isu tentang Gempa Bumi Megathrust M=8.7 mengancam DKI Jakarta ini bukan pertama kali diungkapkan sekarang-sekarang ini. Tapi pada Mei 2011 (7 tahun yang lalu) isu ini pertama kali dilontarkan oleh Andi Arif, staf khusus (stafsus) SBY bersama dengan Dr. Danny Hilman, peneliti gempa kenamaan dari LIPI setelah mereka selesai dengan pembuatan peta gempa terbaru Indonesia (lihat slide terlampir)

Beberapa hal teknis yang saya tulis pada tujuh tahun yang lalu saya ulangi lagi di sini untuk menjelaskan tentang isu tersebut.

Dari segi tektonik, bukan hanya jarak dari epicenter yang menentukan besar kecilnya pengaruh gempa dirasakan di suatu tempat. Tetapi juga apakah ada jalur-jalur patahan yang menghubungkan daerah epicenter dengan tempat tersebut..

Dalam hal potensi ancaman gempa yang epicenter-nya di terusan patahan geser Sumatra ataupun Mentawai di Selat Sunda maupun apalagi di zona penunjaman sebelah baratnya, kemungkinan besar daerah yang punya kelurusan struktur langsung dengan patahan-patahan tersebut di Banten yang mendapatkan pengaruh goncangan terbesar.

Hubungan Teluk Jakarta dengan daerah Selat Sunda nampaknya lebih difasilitasi oleh terhubungnya kedua perairan tersebut oleh kolom air Laut Jawa di antara keduanya. Sampai sekarang kita belum memperoleh bukti data adanya kelurusan patahan arah barat-timur yang menghubungkan keduanya. Dengan demikian memang ada potensi akan terjadi tsunami di Teluk Jakarta apabila ada gempa 8.7 SR di Selat Sunda dan atau zona penunjaman di sebelah baratnya. Perhitungan awal apabila terjadi gempa 8.5 SR di Selat Sunda, maka Kepulauan Seribu dan Teluk Jakarta akan terendam tsunami yang run up-nya sampai dengan 1 meter (Data dari simulasi Dr. Hamzah Latief: bahan sosialisasi bencana gempa-tsunami IAGI-HAGI 2005-2006).

Tetapi kecil kemungkinannya gempa 8.7 SR tersebut merambat & dirasakan dengan kekuatan yang sama di Jakarta, karena tiadanya jalur patahan barat-timur itu. Kalaupun toh dirasakan di Jakarta mungkin getarannya sudah jauh berkurang dari di pusatnya yang 8.7 SR itu. Tapi ya tetep saja goyang bergoncang. Berapa besaran MM nya? Kawan-kawan geoteknik perlu menghitungnya terutama dikaitkan dengan usaha micro zonasi kegempaan untuk kode bangunan di Jakarta.

Saya malahan melihat kemungkinan Jakarta lebih rawan "serangan" gempa dari arah selatan, yaitu dari Pelabuhan Ratu – Sukabumi dan sekitarnya. Karena sampai saat ini data gravity dan seismik menunjukkan tinggian-rendahan utama yang dibatasi patahanpatahan di daerah Jakarta arahnya utara selatan. Salah satu dari patahan itu membatasi Tinggian Tanggerang di bagian barat dari Cekungan Ciputat yang melampar ke timur sampai ke Tinggian Rengasdengklok. Patahan berarah utara selatan itu trase permukaannya di sekitar jalur S. Cisadane. Jalur patahan di bawah permukaan bisa diamati sampai ke daerah Leuwiliang Bogor, tetapi kemudian jejaknya tertutup oleh endapan vulkanik Gunung Salak. Kemungkinan jalur utara selatan lewat patahan itu bisa menerus di bawah Gunung Salak sampai akhirnya terhubung dengan daerah Sukabumi – Pelabuhan Ratu. Jika terjadi pergeseran intra plate di penunjaman lempeng selatan Pelabuhan Ratu dan getaran gempanya bisa diteruskan ke utara lewat jalur tersebut, maka Jakarta bisa-bisa ikut bergoyang. Lebih banyak bukti menunjukkan bahwa gempa-gempa di selatan Jawa Barat sering kali juga terasa meggoyangkan Jakarta (Gempa Pangandaran 2006, Gempa Tasikmalaya 2009, Gempa Sukabumi).

Tentang kemungkinan Jakarta diancam tsunami dari gempa Selat Sunda maupun volcanic activity Krakatau: catatan-catatan sejarah membuktikannya. Penelitian Tim Katastrofe Purba 2010-2011 di daerah Batujaya, Krawang (Teluk Jakarta timur) tentang penyebab terkuburnya kebudayaan prasejarah di sana (dari situs-situs arkeologinya) menunjukkan tanda-tanda bekas adanya bencana purba. Bencana purba pada lapisan-lapisan pengubur situs Batu Jaya antara abad empat – lima kemungkinan adalah Tsunami atau letusan gunung api dari Selat Sunda.

Jadi, memang kita semua harus terus bersiap. Jakarta juga tidak aman-aman banget dari potensi ancaman gempa dan apalagi tsunami. Tapi bukan gempa langsung M 8,7 di bawah Jakarta. Gempa 8,7nya bisa berasal dari Megathrust di barat Selat Sunda, bisa juga dari Megathrust di Selatan Jawa. Jakarta sendiri tidak punya potensi untuk jadi epicentrum gempa 8,7 M tersebut. Kena imbas rambatan dan kena imbas tsunaminya: IYA. Langsung digoyang oleh M 8.7: kecil kemungkinannya.

Embusan kembali isu Megathrust M 8,7 mengancam Jakarta bagus sekali untuk mengingatkan kita semua agar terus menerus meningkatkan mitigasi — pengurangan risiko bencana— bagi ibu kota negara ini. Embusan isu ini bukan pertama kalinya. Coba browsing berita-berita Mei 2011 — alias 7 tahun yang lalu. Andi Arif stafsus SBY dan juga Danny Hilman dkk juga waktu itu pertama kali mengingatkan masyarakat tentang potensi adanya pengaruh Megathrust M 8.7 ini untuk DKI Jakarta.

Ayo lebih kita kencengin mitigasi dan penelitian-penelitiannya. Tanpa riset-riset: GPS, tomografi, monitoring patahan aktif, catatan-catatan sejarah, dating endapan tsunami, koral, dan sebagainya, kita meraba dalam gelap. Dengan riset-riset mitigasi, kita jadi lebih siap; tahu segmen lempeng mana yang siap bergerak dan berapa besar besar skalanya, daerah mana yang kena, dan sebagainya. Makin banyak catatan sejarah/stratigrafi dari pemelajaran perulangan gempa-tsunami di suatu tempat, makin sempit simpangan ketidakpastian prediksi.

Kita sudah sampai pada level prediksi lokasi dan besaran gempa termasuk untuk Siberut, Padang, Selat Sunda, Jawa Selatan, dll. Tapi prediksi kapan waktunya masih banyak tanda tanya. Masih terlalu sedikit data untuk diambil regresi linier statistiknya mendapatkan kepastian dengan simpangan rendah.

Mitigasi bukan untuk menakut-nakuti, tetapi membuat orang menjadi lebih siap mengantisipasi, mengevaluasi mana yang kurang dan harus diperbaiki.

Gempa Megathrust.jpg
Read More