Laut Timor Tercemar Tumpahan Crude dari Blowout Sumur Montara - NW Shelf Australia
Rangkaian SMS dan CC e-mail dari teman-teman di Kupang sejak awal September yang lalu makin gencar mengabarkan keresahan saudara-saudara kita di NTT sana atas musibah yang mereka alami dengan tercemarnya laut Timor oleh tumpahan minyak dari ledakan (blowout) sumur/platform Montara.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
(dan ada claim dari kawan-kawan NTT bahkan spill tersebut sudah sampai ke pantai-pantai Selatan Timor - Rote: perlu diseriusi!!!)
Rangkaian SMS dan CC e-mail dari teman-teman di Kupang sejak awal September yang lalu makin gencar mengabarkan keresahan saudara-saudara kita di NTT sana atas musibah yang mereka alami dengan tercemarnya laut Timor oleh tumpahan minyak dari ledakan (blowout) sumur/platform Montara. Platform tersebut berada di perairan Australia, tapi bocoran/tumpahan minyaknya sudah bergerak – migrasi masuk ke perairan Indonesia seperti ditunjukkan dalam gambar-gambar satelit yang (bahkan) secara publik dimuat di akun Flickr SkyTruth. Sumur H-1 di platform Montara tersebut blowout 21 Agustus 2009 yang lalu dan menumpahkan sampai dengan 2000 BOPD ke perairan Laut Timor. Berita terakhir menyebutkan bahwa usaha relief well berhasil membunuh (kill) the well pada 17:15 CST 3 November Selasa sore kemaren, suatu usaha kill well yang lumayan sukses dilakukan sejak 10 September 2009 (55 hari).
Masalahnya adalah: claim dari YPTB (Yayasan Peduli Timor Barat) menyebutkan bahwa tumpahan minyak tersebut juga sudah sampai di pantai-pantai selatan Timor dan Rote dan menyebabkan banyak ikan mati di sana. Sementara itu, Press Release Kedutaan Australia 2 November kemaren disebutkan bahwa tidak mungkin minyak tersebut berasal dari Montara Platform, karena data mereka menunjukkan bahwa dispersi spill tersebut hanya "sedikit masuk" ke perairan Indonesia.
Apapun pemicunya, nampaknya memang kita di Indonesia tidak terlalu sigap menghadapi hal-hal seperti ini. Mustinya dari awal-lah Tim Penanggulangan Tumpahan Minyak kita bergerak. Tentunya juga berkoordinasi dengan Australia dan PTTEP yang mengoperasikan platform tersebut. Dari cerita media, Tim kita sudah mengunjungi Darwin dan diterbangkan keliling-keliling di atas tumpahan minyak oleh Australia 30 September yang lalu (lebih dari sebulan setelah kejadian spill - lambat benar?). Saya ragu juga, apakah Tim kita punya independent source of data/modelling untuk dibandingkan pada waktu mereka cek lapangan tersebut (bahkan sampai sekarang saya ragu: karena ketika saya tanya kawan-kawan saya yang expert marine oil spill dispersion modelling di perguruan tinggi, mereka juga angkat bahu tidak tau menahu persoalan ini).
Tim penanggulangan tumpahan minyak setahu saya leading sector-nya adalah Departemen Perhubungan, meskipun demikian mustinya KLH, DKP dan juga kawan-kawan dari ESDM juga aktif terlibat sehubungan dengan keterkaitan kompetensi teknisnya.
Langkah awal yang relatif murah adalah langsung mengakses data-data satelit, dengan berbagai cara — kita punya LAPAN, kawan-kawan BPPT dan juga DKP — yang punya akses privilege untuk mengunduh data-data satelit tersebut. Pembuatan model dispersi musti juga diimbangi dengan informasi yang memadai tentang data teknis sumur Montara sendiri, berapa banyak tumpahannya per-hari (menurut info sampai dengan 2000 BOPD), apa saja komposisi hidrokarbon yang keluar, dan sebagainya. Selain itu, data-data oseanografi meteorologi musti juga segera diakses oleh tim tersebut. Dan ini semua harusnya sudah dilakukan sejak awal-awal September, dua bulan yang lalu. Oil to oil correlation perlu segera dilakukan untuk memastikan asal muasal minyak yang terdampar di pantai-pantai pulau pulau kita; selain juga memodelkan dispersinya.
PTTEP has estimated the leak from the damaged wellbore at between 300 to 400 barrels of oil per day, but the Department of Resources, Energy & Tourism told a Senate committee last week it believed up to 2000 bpd was leaking into the sea.Based on the Thai operator's figures, between 21,300 and 28,400 barrels have leached into the Timor Sea since the blowout.
Mudah-mudahan spill dari blow ut tersebut memang benar-benar sudah berhenti. Sekarang tinggal bagaimana usaha-usaha kita untuk membersihkan perairan Laut Timor. Australia sebagai negara tetangga dan PTTEP sebagai kumpeni yang bertanggung-jawab atas pemboran di Montara tersebut mudah-mudahan lebih bisa diandalkan komitmennya. Asalkan tim kita juga proaktif.
Berita terkait:
Mencari Minyak di Sumur Kering (Well Post Mortem - Dry Hole Analyses - Dry Hole Revival)
Ribuan sumur eksplorasi (bukan produksi) di Indonesia ada yang berstatus dry holes ada pula yang berstatus temuan yang kemudian dikembangkan sebagai lapangan dengan melakukan pemboran sumur-sumur pengembangan/produksi mengikuti sukses sumur eksplorasi tersebut. Sumur-sumur kering alias dry holes tersebut ternyata bisa juga gagal eksplorasi karena gagal evaluasi.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
(Cuplikan dari white paper Exploration Think Tank Indonesia untuk percepatan penambahan produksi migas Indonesia 2008.)
Ribuan sumur eksplorasi (bukan produksi) di Indonesia ada yang berstatus dry holes ada pula yang berstatus temuan yang kemudian dikembangkan sebagai lapangan dengan melakukan pemboran sumur-sumur pengembangan/produksi mengikuti sukses sumur eksplorasi tersebut. Sumur-sumur kering alias dry holes tersebut ternyata bisa juga gagal eksplorasi karena gagal evaluasi.
Sumur-sumur dry holes bisa jadi gagal evaluasi karena:
Kesalahan mekanis
Kekurangan dana
Prioritas ekonomi
Konsep / teknologi lama
Kesalahan interpretasi
Beberapa Angka
Jumlah sumur dry holes Pertamina ada 364 (data tahun 2004). Sementara itu jumlah lapangan yang dimiliki Pertamina 162. Dengan asumsi setiap lapangan ditemukan dengan satu sumur eksplorasi dan satu sumur delineasi, dan semua sumur dry holes adalah sumur eksplorasi, maka jumlah sumur eksplorasi Pertamina = (162x2) + 364 = 688 sumur. Dengan demikian COS (chance of success) pemboran eksplorasinya = 324/688 = 47%. Lumayan, masih klop dengan trend COS lima tahun terakhir di Indonesia yang berkisar dari 41 - 50%. COS tersebut masih bisa ditingkatkan apabila kita mempertimbangkan bahwa tidak semua dry holes adalah dry holes. Lho?
Contoh soal:
Cekungan Jambi – Pertamina
Dari 22 sumur eksplorasi, 11 menjadi lapangan, sisanya yang 11 lagi dianggap dry holes. Ternyata dari 11 dry holes (setelah di re-evaluasi) ada lima sumur (hampir 50%) yang gagal evaluasi dan kemungkinan akan menjadi “discovery” jika dilakukan re-entryCekungan Kutai – Offshore Utara
Dari tujuh sumur eksplorasi dry holes, tiga gagal evaluasi (hampir 50%).Cekungan Sumatra Tengah – Ex Hudbay/Lasmo
Dari delapan sumur eksplorasi dry holes, dua gagal evaluasi (25%).
Implikasi:
Selalu perhatikan apabila perusahaan-perusahaan migas me-relinquish daerahnya, kalau-kalau ada sumur-sumur indikasi migasnya yang dapat dievaluasi ulang sehingga kemungkinan bisa dikelola untuk menambah temuan cadangan dan produksi Indonesia
Masih banyak opportunity untuk melakukan dry hole revivaldi ex-sumur-sumur eksplorasi gagal kita di Indonesia dalam rangka percepatan penambahan cadangan dan produksi migas Indonesia
Usulan:
Mewajibkan semua KKKS (+ Pertamina) untuk melakukan study dry hole di semua sumur-sumur “gagal” eksplorasi dalam blok KKS.
Di Jenggala 1650 tahun pengalaman migas: VRF
Kita adalah orang-orang yang pernah ikutan bersama-sama membangun sebuah prestasi besar perusahaan nomor satu yang bisa memproduksikan lebih dari 1,2 juta kaki kubik gas per hari, ditambah dengan lebih dari 40 ribu barel minyak per hari
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Saat menyadari diriku di antara kerumuman lebih dari 150 orang yang berkumpul di Griya Jenggala-nya Hilmi Panigoro hari Minggu 25 Oktober kemarin, aku mendapatkan sensasi aneh tentang siapa sesungguhnya kita-kita yang berkumpul itu. Kita adalah orang-orang yang pernah ikutan bersama-sama membangun sebuah prestasi besar perusahaan nomor satu yang bisa memproduksikan lebih dari 1,2 juta kaki kubik gas per hari, ditambah dengan lebih dari 40 ribu barel minyak per hari. Perasaan serupa juga mungkin pernah hinggap selewat di benak orang-orang yang pernah bekerja untuk Mobil, Caltex, IIAPCO, ARCO, MEDCO dan lain-lain, apalagi Pertamina, yang semuanya merupakan pentolan-pentolan operator produser migas di Indonesia. Menjadi bagian dari sesuatu yang besar dimulai ketika dia masih belum jadi sebesar itu, merupakan anugerah yang musti kita syukuri yang memberikan perasaan ikut berbangga melakukan sesuatu demi kebaikan bersama, walaupun pada dasarnya selalu terpulang di awalnya untuk kebaikan diri dan keluarga terdekat kita.
Kemudian kuhitung-hitung, di antara mereka yang hadir itu mungkin lebih dari separuhnya berada pada kisaran usia 55 - 65 yang masih memungkinkan untuk menyumbangkan pemikiran dan pengalamannya walaupun secara pasif dengan memberikan konsultansi pada saat-saat tertentu tanpa harus continuous, apalagi jika digabung dengan kegiatan travelling ringan, leisure, melihat-lihat daerah-daerah penghasil migas seluruh Indonesia.. Kenapa tidak? Kenapa tidak kutawarkan saja, kalau-kalau ada yang berminat untuk melakukan hal-hal seperti itu: bercerita, menjawab pertanyaan, melemparkan komentar terhadap permasalahan aktual di bidang oil and gas yang dihadapi oleh stakeholder di daerah. Mereka mempunyai potensi jadi narasumber teknis tidak tetap dari Dewan Pakar FKDPM (Forum Konsultansi Daerah Penghasil Migas), terutama apabila memang mereka sedang tidak terikat secara permanen pada suatu perusahaan tertentu dan dengan demikian menyandang kepentingan perusahaan (baca: KKKS) tersebut dalam berkeliling Indonesia membimbing FKDPM di daerah-daerah.
Hanya ide liar saja, ketika berada di suatu gabungan orang-orang yang punya jam terbang gabungan total mungkin lebih dari 15x150 alias 1650 tahun pengalaman di bidang migas dari geologi, geofisik, reservoir, drilling, production, legal, finance, accounting, logistics, processes, transport, pipeline, HRD, training, administration, security, safety, lingkungan, medis, humas, IT, dan lain sebagainya. Ide yang keluar dari ketakjuban berada di dalam kumpulan energi yang punya total ekivalensi pengalaman 1650 tahun (minimum) tersebut, benar-benar once in a life time. Apalagi semua yang ada di ruangan itu nampaknya punya hubungan yang jauh lebih erat ikatan energinya daripada sekadar reunion SD, SMP, SMA, atau bahkan perguruan tinggi. Karena masa bersama-sama mereka yang ada di ruangan tersebut kemungkinan bisa lebih dari 10 - 15 tahunan, sementara dalam reunion kawan-kawan sekolah sesaat mungkin hanya tiga atau paling lama lima tahun saja pernah bersama-sama. Luar biasa!!! Kesetia-kawanan yang bisa saja muncul (dan sudah terjadi selama ini), adalah kesetia-kawanan yang jauh lebih nyata terbukti dan bermanfaat mengantar mereka semua yang ada dalam satu ruangan tersebut mengarungi 10, 15, 20 tahun atau lebih mengabdi di industri migas Indonesia. Bukan hanya sekadar tiga atau lima tahunan masa-masa sekolah. Bukan sekadar nostalgia. Tapi kenyataan itu akan terus ada.
Vivat VRF!!!
(Vico Retiree Forum)
Mengupas Sihapas, Menyapa Telisa, di Gunung Tua
Landasan itu bernama Aek Godang. Susi Air sampai di sana setelah sejam terbang dari Polonia. Ada wajah menunggu Fuad, Rojali, Adinda, dan Pak Daulay di latar belakang perbukitan memanjang hijau yang entah apa namanya, dan langit biru tentunya. Aku, Retno, Dadan, dan Indra bergabung di situ untuk "perjalanan lapangan" yang diatur orang-orang Tonga Mosesa Petroleum di Gunung Tua.
Dirilis pretama di Facebook pribadi.
29 September 2009
Landasan itu bernama Aek Godang. Susi Air sampai di sana setelah sejam terbang dari Polonia. Ada wajah menunggu Fuad, Rojali, Adinda, dan Pak Daulay di latar belakang perbukitan memanjang hijau yang entah apa namanya, dan langit biru tentunya. Aku, Retno, Dadan, dan Indra bergabung di situ untuk "perjalanan lapangan" yang diatur orang-orang Tonga Mosesa Petroleum di Gunung Tua. Dalam hati kuberujar: alhamdulillah, masih juga ada yang ingin menyiasati hidup dengan melihat batu. Meskipun mungkin tidak secara khusus mencari wajahMu di sana, tapi aku yakin perjumpaan mereka dengan yang mereka anggap dapat jadi contoh pundi-pundi uang di dalam bumi akan memberikan proses penyadaran lebih luas dari sekadar memainkan tangan di klik tikus di depan komputernya.
Sungai jernih itu bernama Sihapas. Memotong jalan dari PalSabolas ke Gunung Tua, dan memberikan sedikit tempat untuk warung singgah dengan sop lembunya yang mewah. Tapi bukan ke sungai itu kita menderas. Siang sehabis makanpun beriring kita ke Aek Nabundong, daerah penuh tikungan tajam dan batu-batu tegak, di mana Sihapas sang formasi rapih berjajar mengokohkan diri membentuk bentang tinggi, mengawasi dataran rendah di timurnya yang dihuni Telisa. Maka dengarkanlah gaung suaranya: bahwa tak sedikit pun butirnya berasal dari Semenanjung Malaysia, bahwa ada pasang surut yang mengatur urutan peletakannya, bahwa di bawah sana di timur cakrawala di sumur Tonga: saudara sejenisnya mengulum minyak bumi dalam porinya.
Lalu kita berbincang panjang menuju Pamuntaran, tempat lebih ke timur yang memunculkan Sihapas lebih muda yang kebanyakan jadi konglomerat dan mulai ber-glaukonit. Makin muda makin ke laut, makin muda makin memincut: apalagi ada kemungkinan pelamparannya meluas sejajar pantai purba. Wah, bisa jadi reservoir di mana-mana .... Masih di Pamuntaran, kulihat kontak. Sejak aku mengenal sikuen, setiap melihat kontak sukmaku bergetar: membayangkan implikasi proses yang terjadi di waktu-waktu kritis perubahan dunia melalui katastrofe tersebut. Kali ini TSE (Transgressive Surface of Erosion): batas sikuen tipe dua, bidang erosi yang memisahkan endapan dangkal di bawahnya dengan endapan lebih dalam di atasnya. Subhanallah.... TSE mengindikasikan proses gelombang yang kuat. Lautnya laut terbuka, bukan laut-lautan atau seaway atau teluk atau selat. Tanpa proses gelombang yang kuat, kecil kemungkinan terjadi TSE. Di atas TSE itu mulailah diendapkan Telisa bagian bawah dengan ikut membawa segala macam fosil foram yang suka jalan-jalan di middle-shelf dan outer-shelf. Dari foreshore - shoreface facies Sihapas atas yang bersilang siur dan kasar, kita langsung berhadapan dengan offshore facies Telisa yang kadang dipenuhi bioklastik hasil rombakan oleh badai (storm).
Sedikit merayap ke section yang lebih muda di Pamuntaran (masih di Telisa bagian bawah juga sih), kita disuguhi pemandangan monoton selang-seling batu pasir gampingan dengan lanau yang sering kusebut dengan striping sandstone alias batu pasir setrip-setrip. Ada empat asal-usul batu pasir setrip-setrip ini, dia bisa 1) flysch - turbidite halus, selang-seling graded bedding dan pelagic clay, dia bisa 2) endapan danau - selang seling algae dan klastik halus, dia bisa 3) endapan flood-plain - climbing ripple, roots, graded bedding, atau bisa juga 4) endapan pasang surut - ripple, drapes, flaser, wavy, lenticular, burrows. Dengan segala hormat kepada interpretasi lainnya, aku coba merapatkan diri dengan kemungkinan pasang surut dari singkapan Pamuntaran ini. Hei, ada bentukan channel kecil-kecil yang kelihatan seperti orang tersenyum di dinding tebing itu lho.. Tidal creeks?
Ketika tiba saatnya menginjak Telisa bagian atas, nun jauh di timur mendekati Gunung Tua, aku terpikir untuk mengajak mereka semua naik bukit kecil di pinggir jalan untuk orientasi medan. Hmmmmm,.. bukit dengan pemandangan indah yang masih sepi sampai setahun yang lalu itu, sekarang sudah dipenuhi dengan gubuk-gubuk tempat ber-khalwat yang dibangun oleh warung di bawah, disewakan untuk pasangan minum-minum makan-makan di situ. Wadooooh........
Maka ku arahkan pandang mereka semua ke kejauhan. Lengkungan Asahan batas Cekungan Sumutera Utara dan Sumatera Tengah, Bukit Barisan: sumber asal batu-batuan, sumber asal pengangkatan dan tenaga-tenaga yang mendorong tekuk patah-kan Sihapas Telisa dan kawan-kawan. Sambil menginjak-injak bagian atas Telisa sambil curi-curi dengar kalau-kalau orang-orang di gubuk-gubuk itu membicarakan kita, angan-angan terbang melayang di kejauhan, akhirnya menukik di Dalaman Mandian (kitchen-nya Tonga dan Pendalian), bicara soal sistem minyak bumi yang sedikit berbeda dengan Bengkalis dan Aman.
Esok hari masih berlanjut: perjumpaan dengan batuan dasar.
Mencumbu Sesar Adang (Catatan buat Pur dkk di Hutan Kalimantan Tengah)
Hampir setiap orang yang gemar menelisik dua cekungan tersebut akan mengangguk setuju bila ditanyakan apakah memang fisiografi maupun tektonik dua cekungan tersebut dipisahkan oleh Sesar Adang. Tapi apakah mereka pernah menginjakkan kakinya di trace sesar tersebut, mengecek keberadaannya dari bukti-bukti permukaan, dan membandingkan geologinya sebelah menyebelah sesar?
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Di antara Barito dan Kutai, ada Sesar Adang. Hampir setiap orang yang gemar menelisik dua cekungan tersebut akan mengangguk setuju bila ditanyakan apakah memang fisiografi maupun tektonik dua cekungan tersebut dipisahkan oleh Sesar Adang. Tapi apakah mereka pernah menginjakkan kakinya di trace sesar tersebut, mengecek keberadaannya dari bukti-bukti permukaan, dan membandingkan geologinya sebelah menyebelah sesar? Mungkin sebagian besar kita lebih senang melihat dan menggerumutinya dari kejauhan: satellite image, foto udara, maupun data gravity regional – karena memang cara itulah yang paling praktis ekonomis dan taktis; artinya, tidak perlu dengan bersusah payah menjejakkan kaki mengecek keberadaan fisiknya mengelusnya dan menyentuhnya untuk membuktikannya. Cukup dengan remote sensing saja. Bagaimana dengan “real geology” permukaannya?
Saat ini para pejuang mudaku dipimpin oleh si Pur sedang di puncak-puncak proses pergumulan mereka dengan geologi permukaan di sebelah menyebelah Sesar Adang ini. Sudah hampir sebulan lamanya mereka di sana. Di antara Barito dan Kutai, di seputaran Benangin, Sampirang, Lampeong dan Sambung. Ada tiga provinsi mereka jelajah: Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Saat kutinggalkan dua minggu yang lalu, setelah seminggu bersama mereka menjamah bukit-batu dan sungai Teweh, aku pesankan, “perhatikan perubahan Lempung Tuyu ataupun Pamaluan dari daerah Lampeong ke arah timur lautnya melewati daerah batas Sesar Adang. Perhatikan juga kalau-kalau ada indikasi struktur yang signifikan berbeda. Kalau beruntung, kalian semua bisa mendapatkan feeling di mana gerangan Sesar Adang itu bertapa”.
Batas itu nampaknya tidak bekerja sejak Mio-Pliosen. Pada waktu Dahor diendapkan, yang ada hanya tinggian-tinggian yang membentuk Pegunungan Meratus memuntahkan endapan semacam ”mollase” ke daerah-daerah rendahannya. Dahor konglomerat di mana-mana, yang bahkan menumpang tidak selaras di atas Eocene Tanjung pun bisa terjadi di daerah sana. Dan itu semua tidak dinampakkan dalam peta-peta resmi pemerintah. Mungkin nantinya akan ada sedikit revisi pengertian kita tentang kegiatan tektonik, pengangkatan, pergeseran, pergerakan di daerah sekitaran sebelah menyebelah Sesar Adang itu, terutama dengan memperhitungkan sebaran Dahor Konglomerat di mana saja.
Awal November nanti aku akan ke sana lagi. Entah, akan diperkenalkan ke sedimen apa aku oleh si Pur dan kawan-kawannya. Belum pula jika mereka juga sudah saling mengikat janji atas namaku dengan jejak-jejak Sesar Adang di sana. Wah, akan ramai jadinya.
Omong-omong, sudah berapa rembesan minyak kau data di sekitaran Sesar Adang itu? Simpan untukku.