Pinggiran Banyumas: Dirembesi Minyak, Diterobosi Emas
“Bukalah! Bukalah! Aku Datang, Aku Lewat, Aku Mengendap!” Dan larutan hydrothermal menyeruak, merasuk, merajalela, lewat rekahan-rekahan di dalam Halang, tanpa terhalang, merumpang ruang, jelang jelatang.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Di Gumelar, pingiran Banyumas, pasir dan lempung Halang yang laut dalam longsoran, diguncang-guncang tektonik Plio-Pleistosen, rekah, lemah, menyerah. “Bukalah! Bukalah! Aku Datang, Aku Lewat, Aku Mengendap!” Dan larutan hydrothermal menyeruak, merasuk, merajalela, lewat rekahan-rekahan di dalam Halang, tanpa terhalang, merumpang ruang, jelang jelatang. Maka 1,8 juta tahun kemudian berbondong-bondong ratusan orang menggali turun, mengeduk samping di bukit-bukit Paningkaban dan sekitarnya, mencari-cari yang tak pernah hilang, mengerati bumi seperti menusuki dirinya sendiri: dalam ritual trance para pemburu: EMAS!!
Minggu 15 November 2009, sekalian jalan pulang dari Purwokerto ke Jakarta lewat Banjar, aku diantarkan oleh Azis dan serombongan cantrik padepokan geologi Unsoed melintas dan mampir sejenak di salah satu bukit itu di Gumelar. “Sekarang ada 30an lubang dikelola 30an kelompok, masing-masing bisa empat sampai dengan lima orang per kelompok, biasanya masih satu keluarga,” kalau tidak salah dengar, begitulah Azis bercerita. Dikonfirmasikannya juga info itu ke beberapa orang di beberapa lubang. Mereka mengiyakan. Dan lihatlah melongok ke dalam salah satu lubang itu, wewwwww, keren abis!!! Lubang satu kali satu meter itu diperkuat dan dirapihkan dengan deretan potongan bambu di keempat dindingnya, sampai ke bawah. Dan jauh 18 meter di bawah sana cahaya terang lampu neon Phillips memantulkan bayangan seseorang sedang bekerja memahat, menggali, dan memasukkan batu-batuan ke dalam ember yang kemudian ditarik ke atas oleh kawan-kawannya untuk diolah. Satu kelompok bisa mendapatkan 3 gram sampai dengan 15 gram sehari. Bukan hanya lumayan, tapi OK temenan iku.
Dan kelihatannya semuanya tanpa izin, tanpa pengawasan resmi dari Dinas ESDM Kabupaten setempat (lihat lampiran berita). Kemudian ganjelan pikiran lamaku mulai gatal lagi. Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.. Mereka semua adalah rakyat setempat yang rumahnya juga di sekitar bukit itu.. Jadi tinggal bagaimana kita balik prosesnya supaya negara menjaga mereka supaya selamat dan lingkungannya tidak tercemar.. Heran juga, ya, kalau sampai saat itu perizinan juga masih belum beres dan pengawasan juga masih belum berjalan. Lha wong kami-kami saja masuk dan disambut baik oleh mereka. Bahkan banyak diantara mereka yang sangat antusias mendengarkan dan belajar ketika Azis cerita soal prediksinya tentang ke mana saja urat-urat emas itu berseliweran di bawah sana. Mestinya kawan-kawan dari ESDM juga tidak kesulitan untuk persuasi mereka supaya segala urusan administrasi, HSE, dan praktik penambangan yang benar dipatuhi.
Maka cerita tentang turbid dan traksi dari bongkah-bongkah pasir dan lempung Halang jadi sedikit kalah pamor dengan excitement kita mengamati mineralisasi. Tak urung sempat juga kita adakan sedikit wawancara dengan sebongkah slumped, graded-bedded sandstone yang kebetulan mencuat diantara bongkah-bongkah Halang yang termineralisasi, muntahan dari lubang lubang penambangan itu.
Dan kembali teringat ceramahnya Awang sehari sebelumnya di acara Unsoed di Batu Raden: Cekungan Banyumas sudah terbukti punya hidrokarbon, dengan banyaknya rembesan minyak/gas dan juga oil show di sekujur lubang pemboran sumur Jati-1. Hanya saja sampai sekarang kita belum beruntung menemukan kondisi pemerangkapan yang tepat dengan reservoir yang cocok. Tinggal tunggu waktu!!
Wahai, cantiknya pinggiran Banyumas: dirembesi minyak, diterobosi emas…
Exploration Geologist: Lateral Thinker: Anomaly Picker
Exploration geologist harus banyak membaca, banyak berinteraksi dan diskusi, baik dengan buku tertulis, buku alam, maupun dengan sesama murid alam.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
(Tetap saja butuh referensi vertikal dan pengetahuan sistematis tentang keteraturan normal.)
Exploration geologist harus banyak membaca, banyak berinteraksi dan diskusi, baik dengan buku tertulis, buku alam, maupun dengan sesama murid alam. Kita butuh sistematika untuk menjadi tidak sistematis, kita butuh vertikal untuk jadi lateral, kita butuh keteraturan untuk mendapatkan anomali. Dan semuanya itu hanya bisa didapatkan dari interaksi/pergaulan dengan objek langsung maupun tak langsung. Mereka yang mengasingkan dirinya dari pergaulan itu dan mendasarkan kerja pikir hanya dari interaksi batin retrospeksi bicara sendiri, akan terkena sindrom kebenaran semu, partial, tak berlaku umum, tak teruji, dan bahkan kemungkinan juga bisa jadi gila.
Lateral thinker mustinya juga punya referensi sistematika "vertical thinking"nya. Tanpa referensi vertikal, tidak ada yang namanya lateral (horizontal). Tanpa pengetahuan yang sistematis tentang suatu hal, akan sulit bagi seseorang untuk merumuskan sesuatu yang keluar jalur/keluar dari sistematika yang ada. Lha wong sistematikanya saja dia tidak tahu, bagaimana mungkin dia meretas jalan keluar secara lateral, kecuali:
Orang yang gifted (diberkati/punya kelebihan dari sononya yang tidak bisa dinalar),
Paranormal (yang tidak perlu menjelaskan sistematika ilmiah apapun juga),
Atau ya itu tadi yang kusebutkan di awal-awal: Gila!
Mencari hidrokarbon (dan emas, dan tembaga, dan perak, dan nikel, dan lain lain) adalah mencari anomali, mencari yang tidak umum, mencari yang belum ketemu. Mengidentifikasi sayatan seismik yang berpola seperti jalur kereta api (railroad track) perlu dilakukan supaya kita bisa melihat kontras apabila ada bentukan anomali lengkungan antiklin atau patahan yang mengganggu pola teratur normal railroad track tersebut. Di anomali lengkungan atau patahan itulah kemungkinan hidrokarbon terjebak.
Ketika tiba saatnya seorang murid meneriakkan, "aku telah menemukannya!" Maha gurunya pun tersenyum dari tahta yang tinggi, “aku yang menemukanmu!”
Dan kita tak henti-hentinya: menyusun balok-balok teratur itu untuk landasan jinjit menggapai-Nya dengan juluran pikir lateral-mencari anomali-mengeksplorasi.
Delta-delta Jiwa Merdeka: dari "Confined" ke "Unconfined", dari Sesuatu yang Terbatas Kemudian Dilepaskan Dibebaskan
Saat terlepas bebas itulah maka delta mengendap. Asalnya dari daratan (terrestrial), disalurkan lewat aliran sungai, masuk ke tubuh air yang lebih besar (danau atau laut) dan bentuknya positif (menjorok ke danau/laut). Berturut-turut tiap lapisan lepasan baru sedikit menggerus bagian atas delta yang lama kemudian mengendap di bagian depannya.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Saat terlepas bebas itulah maka delta mengendap. Asalnya dari daratan (terrestrial), disalurkan lewat aliran sungai, masuk ke tubuh air yang lebih besar (danau atau laut) dan bentuknya positif (menjorok ke danau/laut). Berturut-turut tiap lapisan lepasan baru sedikit menggerus bagian atas delta yang lama kemudian mengendap di bagian depannya. Begitulah terus menerus berlangsung berulang-ulang, delta melakukan progradasi. Kalau tidak maju ke depan, kalau tidak progradasi, maka namanya bukan delta. Delta adalah bentuk terkecil fractal proses pengendapan. Seperti juga kita semua: akan mengendap karena dibebaskan, akan kehilangan besaran vektor velocity ketika mencebur ke perairan terbuka dari saluran sempit jiwa yang terbatas; akan kehilangan energi ketika terserap di keluasan cinta, lautan lepas, tempat sukma diendapkan.
Ada sungai, ada luasan air tempat berlabuh, tapi tak ada bentuk positif, maka namanya adalah estuarin, tempat air pasang mengelusnya halus dan air surut mencabiknya kasar menghasilkan punggungan penahan pasut (tidal bar ridge) di mulut-mulut sungai terbuka (flaring) bak ujung lebar terompet sangkakala.
Ada sungai berujung bentuk positif masuk ke lembah tanpa luasan air di dalamnya, maka sebutlah dia kipas aluvial (aluvial fan), yang harus selalu berasosiasi dengan sesar normal aktif. Kalau tidak ada sesar normal aktif yang terus menerus membuat relief antara sungai pemasok sedimen dengan lembah di bawahnya, maka bersamaan dengan berlalunya waktu, relief tersebut akan tergerus (levelling off) menuju kesetimbangan gradasi baru yang lebih continue: hilanglah kipas aluvial itu, jadi sungai biasa saja. Benar-benar sungai biasa saja. Demikianlah selalu: setiap ada aluvial fan, maka sesar normal harus selalu aktif dengan kecepatan pergerakan vertikal melebihi kecepatan penggerusan sungai itu sendiri. Ssssst.... Kalau lembahnya berisi air, bisa jadi danau, atau teluk di laut ataupun seaway, atau bahkan laut terbuka, maka aluvial fan itu jadi fan delta, yaitu delta yang berasosiasi dengan sesar normal aktif.
Ada luasan air tempat berlabuh, ada bentukan positif ditepiannya — yang menjorok ke tengah badan air, tapi tidak ada sungai yang menyuplai sedimen ke penjorokan positif tersebut, maka dia adalah spit bar, barrier bar, barrier island, atau sekedar tombolo: yang bukan sedimen aktif tapi relic atau sisa dari morfologi pinggir pantai yang tergerus selektif karena struktur atau sebab lainnya.
Untuk menjadi delta yang sempurna, pengendapan jiwa jiwa, maka tiga syarat sungai aliran hidup, laut/danau yang luas menerima, dan bentuk positif progresif progradasi, itu semua harus ada, lengkap bertahta.
Simple Complicated Geology (Keruwetan Geologi yang Sederhana) - Sequence Stratigraphy
Sequence stratigraphy seringkali menjadi jargon yang punya konotasi kerumitan tingkat tinggi dari pencapaian pengetahuan seseorang tentang lapisan batuan dalam ruang dan waktu. Hal ini berlaku terutama pada mereka yang tersesatkan dengan mengidentikkan sequence stratigraphy dengan hafalan istilah-istilah dan template (pola), bukan pada esensi pengertian konsepnya.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Atau kesederhanaan geologi yang diruwetkan?
Sequence stratigraphy seringkali menjadi jargon yang punya konotasi kerumitan tingkat tinggi dari pencapaian pengetahuan seseorang tentang lapisan batuan dalam ruang dan waktu. Hal ini berlaku terutama pada mereka yang tersesatkan dengan mengidentikkan sequence stratigraphy dengan hafalan istilah-istilah dan template (pola), bukan pada esensi pengertian konsepnya.
Dasar utama dari metoda stratigrafi adalah korelasi, yaitu menghubung-hubungkan satuan batuan dalam ruang dan waktu, sehingga kita dapat memperoleh gambaran tentang keadaan bumi di suatu luasan area tertentu pada waktu tertentu. Demikian juga pada sequence stratigraphy. metoda yang kita pakai tetap saja menghubung-hubungkan satuan batuan, hanya saja dalam hal ini satuan tersebut kita batasi bagian atas dan bawahnya dengan batas sekuen (sequence boundary alias SB). Lha terus apa bedanya sequence boundary dengan horizon waktu yang biasanya dipakai dalam konsep/metode stratigrafi konvensional? Ah, sequence boundary itu khan hanya jargon (istilah keren) saja. Sebenarnya SB itu ya horizon waktu juga, tetapi pengertiannya lebih luas dari sekadar kesamaan waktu, karena inherent dalam SB ada juga terkandung aspek ketidak-selarasan (unconformity) dan keselarasan (conformity); di mana unit di atas dan di bawah SB boleh tidak selaras (ada rumpang waktu), boleh juga selaras (tidak ada rumpang waktu).
Seperti contohnya pada situasi muka bumi di pinggir laut sekarang ini. Coba saja perhatikan: dari gunung sampai ke pantai pada umumnya proses yang terjadi adalah gross erosional, hanya di tempat-tempat tertentu yang minority saja ada pengendapan (sedimentasi), yaitu di sungai, di danau, dan di gurun (di gurun ini pun seringkali prosesnya bisa kita kategorikan sebagai recycle-sedimentation yang provenance-nya lokal, berbeda dengan danau dan sungai yang provenance-nya bisa dari jauh-upstream). Sementara itu dari garis pantai ke arah laut lepas (yaitu di bawah erosional base-level) proses yang terjadi adalah gross depositional hanya di tempat-tempat tertentu saja terjadi erosi/pengikiran (seperti di alur-alur runnel, submarine canyon, dan tidal channel). Nah, gross-erosional processes di terrestrial (daratan) tadi akan terus menerus membentuk rumpang waktu (ketidak selarasan), sementara gross depositional processes di laut akan terus menerus membentuk keselarasan, padahal pada saat ini garis waktu korelasinya sama, yaitu saat kita bicara ini. Pada gilirannya nanti ketika hasil-hasil proses erosi dan sedimentasi itu terekam dalam bentuk lapisan batuan, maka yang terlihat adalah endapan yang "tipis" di darat dibatasi garis batas imajiner yang diakronus (mencakup beberapa satuan waktu yang hilang) yang berhubungan sebagai sequence yang sama dengan endapan yang "lebih tebal" di laut yang dibatasi garis imajiner yang sinkronous (mencakup satuan waktu yang berurutan). Note: istilah "tipis" dan "lebih tebal" saya beri quote karena belum tentu seperti itu keadaannya, terutama apabila tektonik lokal terjadi aktif di daratan sehingga membuat sedimen-sedimen di danau/sungai menjadi lebih tebal daripada di transisi atau di laut.
Pada stratigrafi konvensional pada umumnya horizon korelasi diposisikan sebagai kesamaan waktu yang direpresentasikan oleh kesamaan fosil indeks, zona kisaran, zona kemunculan, zona kepunahan dan sebagainya. Saat horizon itu "menghilang" alias tidak muncul di suatu kolom stratigrafi tertentu, maka seringkali kita membayangkan bahwa horizon itu dulu ada tapi terus tergerus oleh proses pengangkatan/erosi sesudahnya, atau tidak ada yang diendapkan di situ pada waktu horizon tersebut diendapkan di tempat lain. Yang terakhir itu istilahnya adalah hiatus. Pada prakteknya garis korelasi sering kita hentikan untuk digambarkan digerus di lokasi tersebut (untuk merepresentasikan erosional/ketidak-selarasan) atau disatukan (wedging) dengan garis korelasi kesamaan waktu yang lebih tua di bawahnya (untuk merepresentasikan hiatus). Pada sequence stratigraphy kita bebas menghubungkan horizon kesamaan waktu yang urutan atas dan bawahnya selaras tersebut dengan horizon yang merepresentasikan rumpang waktu ketidak-selarasan maupun hiatus tersebut,kita beri nama semuanya sebagai batas sequence atau sequence boundary.
Kalau boleh sedikit menukik, sebenarnya dalam suatu cekungan sedimen lebih banyak yang tidak terawetkan (not preserved) dalam ketebalan batuan sedimen daripada yang terawetkan. Lebih banyak kehilangan-kehilangan, erosi, hiatus, yang tidak terwakili dalam satu kolom ketebalan batuan sedimen, dibandingkan dengan cerita sedimentasinya sendiri.
Perlapisan sedimen, laminasi, bedding, penumpukan sedimen, stratigrafi,... kalau dipikir-pikir sebenarnya adalah cerita-cerita katastrofe, cerita-cerita soal rumpang waktu, ketidak-selarasan, diskontinuitas, dan anomali. Karena ada perubahan-perubahan itulah maka terjadi laminasi, bedding, dan seterusnya. Jika semuanya berjalan selaras saja, maka tidak akan pernah terjadi marker (penanda) yang membedakan laminasi di bawah dengan di atasnya.
Jadi sebenarnya yang disebut sebagai keselarasan yang kita bahas terjadi di laut (yang gross depostional tadi) adalah sejatinya bukan keselarasan, selama kita masih bisa melihat adanya jejak perubahan laminasi di dalamnya.
Nah, itulah sederhananya sequence stratigraphy — tidak lebih dan tidak kurang dari kesederhanaan laminasi. Percis seperti hidup kita ini. Kontinuitas sebenarnya terdiri dari diskritisasi. Kita jadi besar dan berarti, berguna bagi orang lain dan mengabdi, bisa menjadi penanda minimal bagi diri kita sendiri dan lingkungan terdekat kita kalau kita menumpuk sedimen kejiwaan kita melalui proses-proses katastrofe alias ketidak-selarasan. Seperti vaksin, semua kesulitan dan cobaan, akan mendewasakan kita: minimal di mata Tuhan, dalam mengabdi.
Tentang Pencemaran Laut Timor Besok, Deplu Dengar Verifikasi Dephub (Timor Express)
Kalau ku amati, ini semua adalah kelanjutan dari proses "negligence" (keteledoran/pembiaran) dari penyelenggara negara kita dalam rangka menjaga halaman depan rumah negara (kasus - kasus perbatasan, pulau-pulau terluar, dan sebagainya).
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Kalau ku amati, ini semua adalah kelanjutan dari proses "negligence" (keteledoran/pembiaran) dari penyelenggara negara kita dalam rangka menjaga halaman depan rumah negara (kasus - kasus perbatasan, pulau-pulau terluar, dan sebagainya). Mungkin karena ketidak-tahuan (baca: tidak profesional) diperparah dengan arogansi kacamata kuda yang menganggap diri paling benar, paling tahu, sementara orang lain (baca: rakyat) adalah pihak yang tidak tahu dan ngikut saja. Mudah-mudahan bukan seperti itu. Mudah-mudahan hanya karena sedang euphoria kabinet baru dan timbul tenggelam di masalah cicak versus buaya saja.
Perhatikan kronologi di bawah ini:
21 Agustus 2009. Sumur H1 di Platform Montara di Laut Timor perairan Australia blowout dan mulai menumpahkan bocoran minyak dan gas dari lubang sumurnya ke laut.
3 September 2009. Indikasi pertama dari data satelit yang menunjukkan pencemaran tumpahan minyak telah mulai menyeberang ke perairan Indonesia dalam jumlah yang massive.
10 September 2009. Relief well untuk mengatasi blowout mulai ditajak (dibor) 21 hari (tiga minggu) setelah kejadian. Sebagai perbandingan, Lumpur Sidoarjo - relief well baru beroperasi setelah tiga bulan.
30 September - 3 Oktober 2009. Tim dari Indonesia (dipimpin Departemen Perhubungan) melakukan peninjauan ke Darwin berlanjut sampai terbang di atas tumpahan minyak di atas Laut Timor.
3 November 2009. Blowout sumur H1 berhasil dimatikan. Tidak ada lagi penambahan tumpahan minyak ke laut.
10 November 2009. 37 hari setelah pulang dari Darwin, Tim Departemen Perhubungan baru akan melaporkan hasil kunjungannya di Forum yang dikoordinir oleh Departemen Luar Negeri dalam rangka verifikasi apakah Laut Timor kita tercemar atau tidak dan kemudian menghitung ganti rugi dan sebagainya.
Kronologi tersebut menunjukkan betapa lambatnya birokrasi kita, dan juga betapa konvensionalnya cara berpikir dan bertindak aparat birokrasi kita. Teknologi satelit yang merupakan state-of-the-art real-time technology jadi gak berarti apapun juga di tangan para pelaksana tanggung-jawab penyelenggara negara kita. Yang tujuan utamanya untuk memudahkan dan mempercepat malah gak dianggep apa-apa. Yang penting nunggu laporan kunjungan verifikasi Tim (yang sudah telat sebulan lebih gak lapor-lapor…). Ampun dah.
Jauh hari sebelumnya (ketika rame-ramenya Timor Leste merundingkan kembali Timor GAP mereka dengan Aussie), saya dan Ariadi sempat juga mengingatkan pemerintah lewat IAGI untuk meng-endorse dan menindaklanjuti usulan kawan-kawan YPTB untuk bargaining dengan Timor Leste dan Australia supaya perundingan/perjanjian mencakup tiga negara, termasuk Indonesia, dan area GAP diperluas sampai ke Timor Barat, dengan pertimbangan-pertimbangan salah satunya adalah kemungkinan nantinya ada kecelakaan yang menimbulkan oil spill seperti yang terjadi sekarang ini di mana ke tiga negara kemungkinan akan terkena dampaknya. Tapi, ya, begitulah, gaungnya pun tak mereka suarakan.
Tapi, dengan niat dan maksud baik, mestinya kita semua terus menerus gak bosen-bosennya meneriakkan ini ke penyelenggara negara supaya mereka mengerti atau paling tidak lebih hari-hari dalam melangkah, karena ada yang mengawasi. Kita.