Dialog Akhir Tahun 2009: 3 Ungkapan IAGI ke Menteri ESDM yang Baru
Dalam kesempatan menghadiri undangan ngopi pagi-pagi (coffee morning) bersama menteri ESDM dan stakeholder-nya 31/12/09 08:00-10:00, sekaligus membahas kinerja dan target ESDM (2009 and the next five years), dan atas seizin pak Presiden juga Sekjen IAGI, aku coba sampaikan tiga hal.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Dalam kesempatan menghadiri undangan ngopi pagi-pagi (coffee morning) bersama menteri ESDM dan stakeholder-nya 31/12/09 08:00-10:00, sekaligus membahas kinerja dan target ESDM (2009 and the next five years), dan atas seizin pak Presiden juga Sekjen IAGI, aku coba sampaikan tiga hal:
Mitigasi bencana geologi mohon dimasukkan dalam laporan kinerja dan target ESDM. Karena dari berbagai uraian yang dipaparkan sama sekali tidak disinggung tentang besaran dana, pencapaian program, dan target mitigasi tahun-tahun mendatang. Padahal di bawah ESDM ada badan geologi yang tupoksinya mitigasi bencana. Dan selama ini kita tau bahwa mitigasi selalu sepi dari riuh rendah program dan bujet, sementara kalau dilakukan mitigasi yang benar (baik program maupun bujetnya) maka pencapaian-pencapaian portofolio ESDM lainnya (bahkan pencapaian departemen lain pun) akan terlindungi dan terkurangi risikonya dari kerugian akibat bencana. Menanggapi ungkapan tersebut, seolah-olah Menteri dan segenap jajaran dirjen dan sekjennya di depan agak tersadar (saling berbisik satu dengan lainnya) dan menyatakan bahwa "kritikan" dari IAGI itu sangat diapresiasi dan mereka sangat berterimakasih. Akan dipertimbangkan untuk me-reformat pelaporan kinerja dan target ESDM dengan memasukkan juga hal-hal terkait dengan mitigasi-Badan Geologi di dalamnya.(Beberapa orang setelah acara berkomentar: untung ada IAGI yang mengingatkan menteri ESDM baru bahwa ada Badan Geologi di bawahnya, jadi dia akan ingat terus bahwa dia punya stakeholder ahli geologi juga, termasuk yang bergerak di bidang mitigasi.)
Mengingatkan ESDM untuk segera membuat aturan-aturan pembuangan air dewatering CBM yang sudah akan mulai tahun depan ini, jangan sampai terlambat, karena toxic nature dari air CBM dan massive volume-nya bisa jadi masalah lingkungan. Menanggapi hal ini, Dirjen Migas menyatakan bahwa aturan-aturan tersebut sedang disiapkan di Direktorat Keteknikan, dan mudah-mudahan pas mulai pilot-pilot project dewatering dilakukan tahun depan 2010, aturan2-aturan tersebut sudah siap diimplementasikan (KLH regulasi umumnya, ESDM regulasi teknisnya). Dukungan/kontribusi IAGI dalam pembuatan aturan-aturan tersebut sangat diperlukan.
Perjuangkan plow back signature bonus kembali ke sektor ESDM untuk meningkatkan perolehan data eksplorasi migas indonesia, spec survey, dan sebagainya. Dengan demikian bargaining kita kepada investor dan calon investor migas akan jadi lebih kuat. Bukan hanya sekadar mengutak-atik term PSC saja yang perlu kita lakukan untuk menarik investor, tapi menambah data dan informasi potensi migas Indonesia lewat survei umum dan eksplorasi pendahuluan (remote sensing, gravity, magnetic, seismik regional, studi-studi cekungan, dan sebagainya, juga perlu dilakukan oleh pemerintah. Bukan semata-mata mengandalkan investor (asing) untuk mendapatkan data negeri kita sendiri, tapi juga menggunakan dana plow-back signature bonus tadi untuk melakukannya. Dalam tanggapannya, Menteri maupun Dirjen ESDM (terutama) mengharapkan dukungan semua pihak untuk bisa memperjuangkan anggaran tersebut ke Departemen Keuangan? (Ke Presiden barangkali.)
Sebenarnya ada lagi beberapa point yang ingin kusampaikan, diantaranya:
Kenapa koq proyeksi produksi migas kita lima tahun ke depan pesimistis sekali, padahal nilai investasi migas kita lumayan meningkat beberapa tahun terakhir ini (sebenarnya yang lebih kusoroti adalah bagaimana kinerja pemerintah dalam meng-enforce investasi migas yang ada supaya bisa menghasilkan temuan-temuan baru.)
Bagaimana nasib stranded gas kita di berbagai tempat di offshore maupun onshore, mestinya kita bisa manfaatkan itu menyikapi permintaan revolusioner PLN (Dahlan Iskan) untuk mengganti diesel-diesel dengan gas sebagai sumber listrik sehingga kita bisa menghemat puluhan triliun tiap tahun.
Tapi karena waktu hanya cukup untuk sembilan orang penanya, dan aku adalah penanya terakhir maka aku cukupkan saja dulu tiga ungkapan diatas.
Mudah-mudahan ada gaungnya.
Lapisan Tegak di Putak: Kesadaran Atas dan Bawah, Menghujamkan Bidang Patahan Berbeda Arah
Saat-saat perlapisan jadi tegak adalah ketika pertanyaan "mana yang atas (top) dan mana yang bawah (bottom)" jadi sangat perlu untuk tentukan arah melangkah.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Saat-saat perlapisan jadi tegak adalah ketika pertanyaan "mana yang atas (top) dan mana yang bawah (bottom)" jadi sangat perlu untuk tentukan arah melangkah. Tak perlu berbantah tentang betapa kuat hentakan tenaga menyamping TAU-1, dan betapa paling lemahnya desakan vertikal TAU-3, hingga patahan menghujam naik harus selalu ada di suasana yang seolah penuh kesombongan menantang langit ini. Padahal sebenarnya lapisan-lapisan itu pasrah, semuanya bertasbih mengikuti kehendakNya, kitalah yang memersonifikasi seolah diri kita yang luar biasa: astaghfirullahaladzim.
Di Putak, hampir mendekati Loajanan Samarinda, Rama dan Tomo dan para pejalan kaki lainnya mencabik-cabik hari berbincang dengan lapisan-lapisan tegak. Tak jenak waktu tersisa, mereka tangkaplah semua gelisah bisik-bisik makhluk-makhluk bumi yang seolah mati itu dalam jepretan foto-foto indah. Dan kemarin di lantai dua GDA, kita urai gelisah gelisah.
Kalau top perlapisan di arah kanan foto (northwest), maka bidang sesar naik Putak ini menunjam ke arah kiri (southeast), tapi bila top perlapisan di arah kiri foto (southeast), maka bidang sesar naik Putak menunjam ke arah kanan (northwest). Posisi-posisi lipatan utama yang diakibatkan oleh dua jenis sesar yang itu juga akan terpisah, karena pusat/puncak crest blok yang naik juga berbeda. Di situlah kita bicara soal perangkap-perangkap yang menggoda.
Saat semua kesadaran tegak membumbung tinggi seperti tegaknya lapisan di Putak, seringkali kita harus bertanya kembali ke dasar hati, bicara dengan bekas-bekas jejak arus traksi: ripple-bedding surface, atau arah mangkuk cross-bedding. Atau juga acakan pemboran vertikal binatang-binatang (burrows) yang tidak mungkin selama proses sedimentasi mengebor ke arah langit purba.
Dan lebih serunya lagi, gambaran Putak ini baru satu dari yang seharusnya sepasang: diciptakanNya di sana untuk membuat kita belajar tentang pop-up, positive flower, dan transpression structures.
Ketika kita tegak menjulang: selalu lah ingat: mana kaki mana kepala, agar tak terjungkir balik, saat harus terus melangkah.
Cepu, Oh, Cepu.. PI, Oh, PI..
Ada kesan bahwa usaha untuk membagi rezeki minyak bumi lebih merata ke daerah terlalu njlimet bagi logika sederhana: ”...begitu minyak nglocor, duit investasi-ku harus langsung balik..”. Seolah-olah tidak ada konsep pay-out time, kalau memang yang diminta adalah keuntungan.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
(Renungan menjelang akhir tahun untuk daerah-daerah penghasil migas.)
Coba simak gonjang-ganjing Participating Interest bagi BUMD/Perusda yang jadi semangat PP34/2005 ini. Coba lihat pelaksanaannya di lapangan sampai ke fase-fase produksi awal seperti terbaca dari berita di lampiran-lampiran berikut. Ada kesan bahwa usaha untuk membagi rezeki minyak bumi lebih merata ke daerah terlalu njlimet bagi logika sederhana: ”...begitu minyak nglocor, duit investasi-ku harus langsung balik..”. Seolah-olah tidak ada konsep pay-out time, kalau memang yang diminta adalah keuntungan. Kalangan profesional di asosiasi-asosiasi profesi harus terus bergerak untuk menyeimbangkan cara-cara berfikir birokrat seperti itu dengan pebisnis yang mengikuti kaidah-kaidah perjanjian kontrak bisnis tertentu. Pelaksanaan PI sudah mulai menuai buahnya, dan sekaligus konflik-konflik-nya.
Belum lagi komplikasi soal bagi-hasil pusat-daerah yang berasal dari FTP (10% dari produksi diambil oleh GOI tanpa di-split dengan kontraktor), yang nantinya dihitung realisasinya pada akhir-akhir tahun ini (atau malahan semester pertama 2010). Kontrol pada jumlah entitlement itu, baik yang untuk ”daerah” sebagai bagian dari skema pusat-daerah-nya GOI, maupun sebagai bagian dari BUMD yang ikut ambil bagian dari PI 10%, mestinya bisa dilakukan oleh ”daerah” dengan dipegangnya PI 10% oleh mereka dan melekat dalam kewajiban cash-call-nya yang selama ini juga jadi beban mereka. Ke mana kontrol itu? Koq, sampai-sampai para Gubernur harus memanggil operator-operator untuk menjelaskannya langsung ke mereka tentang A-Z-nya bagi hasil tersebut.
Kesemuanya ini sebenarnya juga tak lepas dari berlarut-larutnya masalah realisasi pemenuhan PI-10% oleh pihak-pihak BUMD yang notabene di-back up oleh pengusaha-pengusaha swasta di Indonesia, yang kabarnya baru beres Januari 2009 awal tahun ini. Padahal sebenarnya awal 2006 (tiga tahun sebelumnya) urusan pembagian jatah PI-10% itu seolah-olah sudah beres dengan ditandatanganinya kesepakatan empat BUMD dan empat Kepala Daerah (Jawa Tengah, Jawa Timur, Blora, Bojonegoro). Rupanya perjalanan-nya harus menempuh tiga tahun sampai semuanya bisa memenuhi kewajibannya; baik karena back up-nya collapsed karena krisis, atau karena ribut soal pembagian-pembagian antara back up dengan BUMD sendiri yang berlarut-larut. Mari kita semua belajar dari kasus PI-10% Cepu Block ini. Usahakan ke depannya, dalam pemenuhan PI-10%, daerah/BUMD juga harus serius dan taat tata waktu sehingga tidak membuat semuanya molor-molor. Harus siap jauh-jauh hari sebelumnya: dan itu sangat mungkin dilakukan, yaitu ketika PSC yang bersangkutan sedang melakukan eksplorasinya: ancang-ancang perlu dilakukan oleh daerah-daerah.
Selain itu, tidak bisa dipungkiri juga bahwa secara teknis dan non-teknis operator Block Cepu ini banyak mengalami kendala. Mestinya untuk perusahaan se-global Exxon Mobil masalah-masalah seperti yang terjadi selama itu, yaitu dari discovery 2001, perpanjangan kontrak (perubahan kontrak) 2005/2006, sampai first oil August 2009 bisa mereka atasi dengan sigap dan segera. Ini juga yang sering dikeluhkan oleh BPMigas menyangkut soal keterlambatan first oil mereka (lucu juga ya: BPMigas yang notabene wakil penguasa / pemerintah kita untuk mengawasi dan meng-enforce kontrak-kontak migas, ternyata mengeluh kesulitan mengawasi, mengontrol, memaksa kontraktornya untuk segera berproduksi...) Butuh waktu yang luar biasa lamanya (delapan tahun dari discovery, tiga tahun dari POD approval) untuk mulai menglocorkan minyak komersial dari Block Cepu yang dalam (yang dangkal-dangkal sich dah nglocor dari dulu-dulu).
Kalau sekarang kita sudah kesulitan mengelola kontrak ”giant field” awakening dari old depleting fields seperti di Cepu ini, perlu segera introspeksi dan berbenah: karena masih akan banyak ”Cepu-Cepu baru” ditemukan di bawah ”Cepu-Cepu lama” di seluruh Indonesia. Jangan sampai mereka amburadul di awal-awalnya seperti Block Cepu ini.
Di Seputaran Delta Mahakam Tidak Semua Reservoir Batu Pasir Harus Fluvial atau Deltaic, Ada Juga yang “Marine”
Yang dimaksud dengan pengertian “marine” di sini adalah batu pasir yang dalam proses transportasi dan pengendapannya lebih dipengaruhi oleh proses gelombang laut dan atau pasang-surut daripada proses influx sungai memasuki laut.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Yang dimaksud dengan pengertian “marine” di sini adalah batu pasir yang dalam proses transportasi dan pengendapannya lebih dipengaruhi oleh proses gelombang laut dan atau pasang-surut daripada proses influx sungai memasuki laut. Tercakup juga dalam pengertian itu, provenance akhir dari batu pasir tersebut berasal dari endapan pantai yang sudah ada sebelumnya dan/atau endapan dataran delta bawah/muka delta (LDP-DF) dari proses delta sebelumnya. Karakter reservoir-nya lebih homogen, pelamparannya lebih “sheet-like”, dan kemungkinan por-perm-nya juga lebih bagus daripada reservoir fluvial-deltaic yang mengalami proses diagenesa/burial yang setara.
Contoh di lingkungan modern dapat diamati di lobe utara dari Delta Mahakam modern, juga di “spit-bar” Marangkayu, dan juga pantai panjang berpasir di daerah Manggar sampai Handil. Untuk daerah utara, satu paper penelitian aktif telah dipresentasikan dalam AAPG Hedberg Conference on “Variations in Fluvial-Deltaic and Coastal Reservoirs Deposited in Tropical Environments”, di Jakarta 29 April – 2 Mei 2009 yang lalu (lihat abstract terlampir). Paper yang sama, dengan tambahan data baru, juga diminta (invited) untuk dipresentasikan di AAPG Lousiana April 2010 mendatang di sesi khusus Hedberg Conference Papers. Komponen morfologi/sub-environment-nya diantaranya adalah: eroding shoreline/beach, spit bar - brackish lagoon, transgressive barrier bar, wave dominated delta, flaring tidal channel mouth, dan northernmost lobe of main Mahakam delta.
Contoh di singkapan dapat dilihat di tebing belakang warehouse Samarinda (tengah), singkapan Sepaku KM 18-21 (selatan), dan di sepanjang punggungan Semberah (utara).
Penerapan konsep analog ini dalam pemetaan bawah permukaan memungkinkan untuk jadi alternatif pemecahan masalah kemenerusan dan/atau kompartementalisasi reservoir di lapangan-lapangan migas seputaran Delta Mahakam.
Selamat menikmati.
AAPG Hedberg Conference:
“Variations in Fluvial-Deltaic and Coastal Reservoirs Deposited in Tropical Environments”
April 29th - May 2nd, 2009
Jakarta, Indonesia
Marine processes in the northern lobe of Mahakam Delta and Marangkayu Spit Bar:
Implication on paleogeography model in the subsurface.
Andang Bachtiar — Exploration Think Tank Indonesia
Armein Sulaiman — Geosains Delta Andalan
The morphological components of northern lobe of Mahakam Delta combined with adjacent shore-line of Muara Badak and Marangkayu Spit Bar to the north of the delta is being investigated to reveal the interplay between fluvial and marine processes in their making. These specific areas are hypothetically considered as analogues to the paleo-geography of the reservoir sections in the subsurface of Semberah Field, which is located 15-20 KM inland to the west and parallel to the shoreline. Bathymetric survey, bottom grab sampling, and shallow sediment coring are conducted in 4 locations representing upper delta plain, lower delta plain, upper shore-face and fore-shore. Surface sediment observations are also performed in the spit bar area.
The present-day current direction measurement and the grain-size distribution along the shorelines suggest at least two terrestrial sources of sediment provenance filling in the area. In the northern lobe of Mahakam Delta the tidal effect is more pronounced than the wave, while in the Marangkayu Spit Bar the wave action is the most dominant one. In both areas, fluvial processes can still be seen acted on certain sub-environments dominantly. Brackish water, clay drapes, flaser and wavy ripple lamination and suspension feeder burrows characterizing the delta plains of the northern lobe of Mahakam Delta. Saline sea water, trough cross bedding, low angle parallel bedding and sand burrows are typically observed in the Marangkayu Spit Bar area.
Analogizing the present-day shoreline of Northern Lobe of Mahakam Delta – Marangkayu Spit Bar to the Miocene subsurface environment in oil and gas field adjacent to the area, we found a very pronounced one-to-one matching, which needs further works on mapping and comparing the sand body geometry between the two realms.
Bukan Karena “Gila” ke Lapangan, …
Maka, ku SMS mereka: topikku tentang "Back to Basics: Look at the Rocks”, temui aku di singkapan-singkapan terdekat di sekitar kampus kalian. Kita bicara geologi di sana, langsung di lapangan!
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Tapi prihatin karena belajar geologi makin Ke sini makin tidak menyentuh batu.
(Catatan penyerta foto-foto gunung turun Kali Babon, Semarang)
Saat anak-anak geologi UNDIP mengontak aku awal November yang lalu lewat Syawal (ini figur trans-kampus yang gak pernah liren) terus ditindak-lanjuti oleh Naru (Perhimagi), Dwandari (AAPGSC), dan kemudian Dinan dan Alfeus, mereka menyarankan topikku tentang sedimentologi. Karena aku berdiam diri (bukan karena marah atau cuek, tapi karena saking gak sempetnya mbales email/SMS), pada akhirnya mereka menyerahkan ke aku topik ceramah/kuliah sehari ku itu. Kasarnya, suka-suka akulah.
Sebenarnya pada waktu itu aku memang mau gampangnya saja, bersiap-siap dengan ceramah sedimentologi di kelas. Tapi, tiba-tiba terlintas bayangan tentang suasana kelas mata-mata lapar informasi yang dari waktu ke waktu selalu dikuliahi teori dan gambar-gambar tentang batu, dengan hanya setiap semester sekali pergi ke lapangan waktu menutup perkuliahan, padahal di sekeliling mereka teronggok batu-batu, lapisan, bentang alam, dan proses sungai, laut, kuala, gunung api yang memanggil-manggil untuk diurai dipelajari. Tiba-tiba aku merasa malu kalau lagi-lagi memberikan kuliah dengan gambar-gambar sorot foto-foto dan sketsa-sketsa tentang geologi, padahal dengan gampang seharusnya mereka bisa menyentuhnya di sekitar kampus mereka sendiri.
Maka, ku SMS mereka: topikku tentang "Back to Basics: Look at the Rocks”, temui aku di singkapan-singkapan terdekat di sekitar kampus kalian. Kita bicara geologi di sana, langsung di lapangan! Aku dapat info dari Syawal tentang Gunung Turun, Kali Babon, dan Mangunharjo. Bagus! Kita main-main ke sana saja. Tidak satu pun dari tiga lokasi itu yang pernah ku datangi. Tapi aku yakin, dengan seizin Allah, aku bisa berdiskusi dan membuka mataku sendiri (minimal) dan mata mereka semua dengan menyentuh batu-batu dan melihat proses-proses geologi di sana. Mungkin mereka agak terkaget-kaget dengan tantanganku itu. Aku bilang ke mereka, gak perlu repot-repot. Jemput aku di airport Ahmad Yani jam 7:30 pagi 21 November, dan sorenya jam 15:00 antarkan aku kembali ke airport. Itu saja. Selebihnya, kalian atur sendiri, mau datang ke lapangan jalan kaki, naik motor, atau naik mobil, terserah! Bawa kertas A1 atau A3 dan spidol banyak-banyak. O.ya.. Tolong siapkan juga payung!
Begitulah, maka Sabtu 21 November 2009 aku bersama Retno dan Gesit naik Garuda pagi-pagi ke Semarang. Retno bawa video recorder-nya seperti biasanya, Gesit bawa seperangkat gadget pemotretannya. Mendarat di Ahmad Yani, Dian dan satu kawan mahasiswi dan Wildan the driver sudah siap menjemput kami, membawa kami langsung ke lokasi pertama di Gunung Turun. Ajakan/tawaran sarapan kami tolak, karena rasanya kami sudah kenyang sarapan di pesawat.
Gunung Turun ada di daerah tinggian sebelah selatan Semarang sejajar dengan Gombel. Di hamparan dataran tinggi ini tiba-tiba mencuat satu bentuk meruncing gunung batu. Hmmm, aksen yang menyenangkan. Seperti umumnya gusti Allah anugrahkan ke kita. Dalam monotony rutinitas hidup, tusukan-tusukan runcing bukit-bukit masalah, membuat keindahan kebesaran jiwa terasah. Maka, masuklah dari jalan raya sekitar 500 meter-an, dan di Gunung Turun ini orang-orang sedang aktif menambang batu andesit, katanya untuk kebutuhan konstruksi jalan tol Semarang - Solo. Setengah melingkar bukit, digigit matahari jam 8 pagi, serombongan anak-anak muda 30 - 40 orang menyebar setengah lingkaran. Kami mulai ritual membaca ayat-ayat, berdialog dengan singkapan. Permainan logika sederhana mengantarkan acara mengenali regolith - lapukan batuan di lereng singkapan dan membedakannya dengan breksi lapuk biasa. Semua memegang batu, semua menyentuh batu!! Jangan hanya dilihat dari jauh!! Terobosan andesit porfir di sini mineralnya gede-gede banget. Dengan mata telanjang dan loupe perbesaran kecil pun sudah nyaman menyapa. Ada xenolith (batuan samping) yang nasibnya terpuruk terbawa dalam aliran massa magma membeku bersama-sama batu-batu muda. Nampaknya banyak rongga scoriae di xenolith-nya: Kali Getas-kah dia? Ada bidang sesar, rabalah dia, rasakan lembutnya gerakannya, rasakan kasarnya hentakan lawan arahnya. Dan rekah-rekah pun tak terlewatkan: semua teraba, rekah terbuka, rekah tertutup. Kalau kau tahu arah rekah-rekah itu, kalau kau tahu arah gerak sesar itu, apakah terus hidupmu jadi mulia bertaburkan rossete diagram dan schmidt net? Arah-arah membuat kita terjaga, lebih waspada menghadapi bencana. Arah-arah juga (seringkali) jadi andalan pencarian mineral yang dipasrah-endapkan oleh intrusi-intrusi purba, memanjakan kita dengan gemerlap logam mulia dan sejenisnya. Jadi, jangan sepelekan statistik. Lebih-lebih lagi jangan abaikan intuisi....
Berkali kali Alfeus memperingatkan soal waktu. Nampaknya dia memang ada di rombongan itu khusus untuk menjagaku supaya taat jadwal, taat waktu. Makasih, Alfeus. Lewat setengah jam dari alokasi, jam 10, Gunung Turun kita sudahi. Berkumpul di tempat parkir "mobil-nya" Wildan, semua ngampar buka bekal sarapan.
Sesi kedua dari gerilya lapangan ini berlangsung di Kali Babon, beberapa kilometer di sekitar kampus Undip di Tembalang. Pergerakan dari Gunung Turun ke Kali Babon memakan waktu kurang lebih setengah jam-an, memakai dua mobil dan belasan sepeda motor. Cuaca panas ntang-ntang: ini fungsi pertama payung, melindungi kepala saat panas terik, mungkin sekitar jam 11-an. Menuruni dua - tiga meter tebing Kali Babon, sempat ku lirik kerumunan burrow yang menonjol di lapisan 20 sentimeter batu pasir kasar vulkanik gampingan, mungkin Formasi Kerek. Ledge singkapan dari pinggiran tebing sungai itu memanjang menyebrangi sungai seolah-oleh membentuk dinding yang dulunya hendak membendung Kali Babon (atau outcrop ini ada dulu, baru kemudian Kali Babon mengais-ngais jalan meretas menembus dinding kecil singkapan batu pasir ini.). Dialog ku segera terinterupsi karena anak-anak jaket merah maroon itu sudah menunggu di bantaran, tengah, dan seberang sungai mencari tanda-tanda, hendak berkumpul di manakah kita?
Baiklah, kita berkumpul di seberang sungai, meloncat-loncati batu-batu, sebagian air menciprati sepatu, tak apa. Dan mulailah cerita tentang sungai, proses-prosesnya, komponen-komponennya, dan sedimennya. Ada endapan bar yang memanjang di tepi sungai penuh dengan kerikil kerakal yang berjajar searah, ada juga endapan teras yang terangkat di belakang kita, dan yang di kejauhan membentuk (dibentuk jadi) sawah-sawah. Lalu gambaran tentang point bar dan thalweg, lateral accretion dan progradation, confined - unconfined, bertubi-tubi kutumpahkan di udara (dengan gerak-gerak tangan), di kertas A3 (dengan spidol), dan di sekitar kita (menunjuk dengan ujung jariku). Ambil kerakal itu, tanyakan dari mana asalnya? Tak terlalu jauh dia mengembara, dari dataran tinggi selatan Semarang, hendak melawat ke lautan, terdampar di endapan penahan (bar) melalui mekanisme saluran (channel). Ada teras berarti ada tektonik. Ingat itu baik-baik: tidak ada yang mengangkat tanpa maksud dan asal mula. Semua pasti ada penyebabnya. "..tidak sia-sia tuhan menciptakan ini semua...".
Maka berikutnya, berpindah lah kerumunan ke tonjolan memanjang singkapan batu pasir (yang tadi kusebut sebagai ledge itu. This is the ancient rock time! Semua mata dipersilakan menelanjangi channel (saluran) dan menyentuhnya pelan-pelan di sepanjang bidang gerusannya. Rasakan! Rasakan! Bagaimana kekuatan energi gerus itu menciptakan bentukan saluran, sebelum diendapkannya pasir-pasir vulkanik karbonatan di atasnya. Semua memperhatikan, bagaimana sampai bisa ada dua satuan di situ, mengkasar ke atas di bagian bawah, digerus, kemudian menghalus ke atas di bagian atasnya. Sebenarnya saat itu aku sedang berancang-ancang untuk cerita soal proses, sebelum sampai ke lingkungan pengendapan, koq, ndhilalah kersaning Allah,... udahan mak bresssshhhh tepat jam 12:30 (sebelumnya sih sudah ada tanda-tanda, mendung mulai menggantung, dan anak-anak yang berenang-renang di kali mulai beranjak pergi, suara guruh dari kejauhan mengancang-ancang, mungkin juga suara air bandang dari ketinggian).
Maka berhumbalanganlah kami semua basah kuyup kehujanan, meskipun ada payung-payung, meskipun ada jas hujan, teteuup saja tak kuat melawan. Terlalu deras itu hujan. Semua menepi, berkumpul di satu rumah kecil penduduk sekitar 200 meter dari pinggiran sungai. Hujan masih berlangsung terus sampai setengah jam dengan derasnya. Akhirnya diputuskan: baiklah, kita tutup saja acara. Aku, Retno, dan Gesit dibawa Wildan basah kuyub dalam kijang ke suatu guest house dejat kampus, untuk bersih-bersih, mandi dan berganti pakaian. Yang lainnya bubaran, mengejar menuju lokasi penutupan (ya guest house itulah kira-kira tempat penutupannya).
Sekitar 14.30 sore, disaksikan oleh tukang bakso di depan guest house, anak-anak Geologi Undip berjaket merah maroon yang gagah berani dan basah kuyup itu membentuk setengah lingkaran, mengerumuni pembawa acara, menutup rangkaian kuliah lapangan, memberikan plakat kaca tajam ke aku untuk kubawa pulang. Weeeeewww, benar-benar kuliah yang menyegarkan.
Semarang, aku akan datang lagi, menuntaskan perjumpaan!!!! Bukan hanya sekadar mengingatkan anak-anak muda itu untuk selalu menyentuh batuan dan proses alam, tapi ternyata gambaran ayat-ayat yang tak terselesaikan itu, terus menerus memanggil, untuk diuraikan... Subhanallah...