(Semburan Muara Enim)
Mudah-mudahan saja analisis berdasarkan info regional geologi dan petroleum sistem untuk Muara Enim yang saya tuliskan tadi benar dan dapat membantu menenangkan masyarakat setempat.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Dari informasi peta geologi dan pengetahuan tentang sistem migas-batu bara bawah permukaan di daerah Muara Enim dan sekitarnya dapat diperkirakan bahwa semburan yang terjadi di lubang pemboran tambang batu bara PT TME tersebut merupakan semburan gas metana biogenik dangkal dari lensa-lensa batu pasir di dalam Formasi Muara Enim yang keberadaannya berselingan dengan lapisan lempung dan batu bara (yang sedang dieksplorasi tersebut). Sifat dari semburan akan sementara karena volumenya diperkirakan tidak begitu besar (karena hanya dari lensa-lensa batu pasir, bukan dari lapisan memanjang meluas batu pasir), sehingga diperkirakan durasi semburan hanya akan satu - dua hari saja. Kedalaman asal semburan juga diperkirakan tidak akan lebih dalam dari 200 meter atau malahan mungkin hanya beberapa puluh meter saja (sesuai dengan karakter dan kebiasaan pemboran batu bara yang biasanya hanya sekitar 50 meter saja).
Sumber dari gas di dalam lensa-lensa batu pasir tersebut bisa jadi berasal dari gas yang “expelled” atau keluar dari lapisan-lapisan batu bara yang lalu masuk ke dalam batu pasir selama proses penguburan, atau mungkin juga dari lempung karbon yang kaya organik yang mengalami fermentasi (peragian) oleh bakteri – seperti kasus biogenik gas di tempat penimbunan sampah. Dengan demikian kemungkinan besar komposisi gasnya adalah 99% metana (CH4) dan komponen-komponen lain hanya minor/trace saja.
Meskipun demikian patut juga diwasapadai kalau-kalau ada CO dan Sulfur (H2S) keluar dari lubang bor tersebut meskipun kemungkinannya kecil.
Yang perlu dilakukan adalah membuat perimeter daerah bahaya sampai di area seputaran lubang yang dihujani oleh material lumpur/pasir yang terlontarkan (mungkin 50 - 100 meter radius saja), dan terus memonitor semburan sampai reda, menghindarkan kegiatan yang menimbulkan percikan api di sekitar area tersebut, dan juga memonitor arah angin sehingga setiap saat bisa diperingatkan supaya orang menghindari area-area down-wind dari lubang bor. Dengan demikian kemungkinan besar semburan Muara Enim ini tidak sama dengan semburan Lumpur Lapindo (2006 - sekarang), karena lumpur Lapindo disemburkan dari kedalaman dua - tiga kilometer di bawah permukaan tanah dan berasal dari zona overpressure-regional dan akuifer yang cukup luas sehingga tidak habis-habis sampai sekarang (diperkirakan 31 tahun baru benar-benar selesai).
Mudah-mudahan saja analisis berdasarkan info regional geologi dan petroleum sistem untuk Muara Enim yang saya tuliskan tadi benar dan dapat membantu menenangkan masyarakat setempat.
Berita terkait:
"Kuasai 47% Ladang Minyak RI, Tapi Produksi Pertamina Cuma Nomor 3"
(Suka dan bangga karena Total telah lebih dari 40 tahun ikut membangun Indonesia, tapi lebih suka lagi kalau aset yang sudah mereka kuasai sekian lamanya dikuasai dan dioperasikan oleh entitas bangsa sendiri!!!!)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Hampir-hampir saya tidak percaya kalau kalimat-kalimat yang diberitakan Detik ini berasal dari RRR yang pernah saya kenal baik sebagai dosen dan konsultan pemboran/migas yang nasionalis, merah putih dan sangat percaya dengan kekuatan intelektual dan profesional bangsa sendiri sebelum dia masuk BPMigas kemudian akhirnya jadi WaMen ESDM.
Sangat terlihat bagaimana tendensiusnya pejabat kita dengan berbagai pernyataan untuk mendelegitimasi usaha-usaha Pertamina mendapatkan blok-blok migas produksi yang dikuasai MNC yang memang sudah akan habis masa kontraknya yang memang Pertamina sendiri dibenarkan secara UU dan PP untuk mendapatkan dan mengelolanya dari pemerintah, seperti halnya Blok Mahakam ini.
Pernyataan-pernyataan yang meragukan apakah Pertamina mampu mengoperasikan lapangan migas sebesar lapangan-lapangan di blok Mahakam sambil melemparkan kenyataan bahwa Pertamina belum memaksimalkan operasi di 47% penguasaannya atas lapangan migas Indonesia benar-benar terasa sebagai pernyataan politis meskipun kelihatan agak teknis karena dibungkus angka-angka. Karena pada dasarnya hanya statistik pilihan yang cocok dengan keinginan saja yang dimunculkan. Sementara itu statistik tentang bagaimana Pertamina berhasil meningkatkan efisiensi operasi dan produksi di ONWJ dan di WMO setelah mereka ambil alih dari MNC beberapa tahun lalu, dan juga di blok-blok yang bersebelahan dengan blok Cepu yang dioperasikan MNC, kesemuanya ditutupi dan tidak di-highlight. Benar-benar tidak fair dan sangat politis.
Juga pentungan-pentungan klasik untuk menakut-nakuti seperti teknologi dan biaya tinggi lagi-lagi diungkapkan di media untuk menjustifikasi bahwa pemerintah lebih suka Total yang mengoperasikan Blok Mahakam. Benar-benar menggelikan dan sangat mencolok keberpihakan yang sudah diatur dari atasnya sana ini. Kita semua di industri migas tahu: teknologi bisa dibeli, biaya tinggi bisa dipinjam dan dinegosiasi, selama kita punya aset yang bisa dijaminkan dan manajemen profesional yang bisa diandalkan, itu semua tidak akan pernah jadi masalah dalam operasi migas segede apapun dia punya dimensi. Sedih. Bener-bener sedih.
Yang lebih parah adalah pernyataan tentang: "... apakah Total mau beri data-data teknis di blok tersebut yang puluhan tahun dikerjakannya? Tentu tidak. Artinya akan mulai dari awal lagi". Seolah-olah yang bicara tidak mengerti sistem PSC di Indonesia dan tidak memahami UU Migas (baik yang lama maupun yang baru) yang menyatakan bahwa semua data migas milik negara!!!! Bukan milik Total! Parah. Bener-bener parah.
Mau dikemanakan migas, mineral, dan energi Indonesia kita ini kalau pejabat-pejabat kita sudah bicara aneh-aneh kayak begini.
Atau malah kita perlu bersikap sebaliknya: kasihan ya, Rudi!!!?
(Suka dan bangga karena Total telah lebih dari 40 tahun ikut membangun Indonesia, tapi lebih suka lagi kalau aset yang sudah mereka kuasai sekian lamanya dikuasai dan dioperasikan oleh entitas bangsa sendiri!!!!)
Saturasi Air (Sw) di Lead & Prospekmu: Optimisme adalah Esensi Eksplorasi!
Makanya, jangan pernah menyerah dan menyeratuspersenkan saturasi Lead dan Prospek sebelum benar-benar kita bor dan uji sumber daya migas Indonesia kita!!!!
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Dalam perhitungan cadangan untuk Lead atau Prospek, kalau ada rujukan satu sumur/field discovery di sekitarnya atau dalam blok tersebut, maka sangat wajar Sw yang dipakai adalah Sw yang berasal dari discovery field/sumur tersebut. Tetapi kalau sumur-sumur sekitarnya dryhole maka Sw yang dipakai adalah Sw asumsi bahwa Lead/Prospek tersebut berisi minyak/gas, dan itu berarti maksimal 65% untuk minyak dan 70% untuk gas!!! Nah, porositasnya bisa lah dipakai dari dryhole atau wet zone sumur-sumur sekitarnya....
Kalau kita sudah menyatakan suatu closure menjadi Lead atau Prospek, ya aneh dong kalau kita kasih harga Sw-nya 80% dan bahkan sampai 100%!!! Artinya kita gak menganggap itu sebagai Lead, tapi sebagai closure yang berisi air. Kalau membayangkan, mengharapkan, atau mengusulkan suatu closure menjadi Lead ya harus pasang Sw yang hidrokarbon (65%). Kalau kita gak nganggep ada hidrokarbonnya ya jangan dinamakan closure tersebut Lead atau Prospek, tapi blendukan isi banyu saja kalau begitu,.... hehehe :-) !!!
Nah, demikian juga dalam menimbang-nimbang potensi sumber daya migas kita di luar daerah/cekungan yang sudah berproduksi. Kalau attitude kita sebagai explorationist/geologist sudah diwarnai dengan pesimisme dan belum-belum sudah bilang: "potensi migas kita tidak sebesar negara-negara tetangga", "apa iya kita akan dapatkan migas di cekungan-cekungan frontier yang belum dieksplorasi", "risiko eksplorasi tinggi, jadi kita serahkan saja pada orang-orang asing yang berani ambil risiko untuk eksplorasi daerah unknown kita", dan sebagainya yang kesemuanya menunjukkan pesimisme, sikap negatif, kemalasan dan ketidakpercayaan diri, mana mungkin kita akan dapatkan cadangan-cadangan baru? Nope!!
Makanya, jangan pernah menyerah dan menyeratuspersenkan saturasi Lead dan Prospek sebelum benar-benar kita bor dan uji sumber daya migas Indonesia kita!!!!
(Dikotomi Geologi: Sains Murni dan Sains Terapan)
Aku terheran-heran dengan dikotomi geologi sebagai sains murni dan sains terapan seperti yang dipahami oleh kaum akademisi dan para peneliti Indonesia, sementara bagiku yang lebih banyak bergerak di industri semua aspek dari geologi adalah sains terapan yang bisa langsung terkait dengan benefit maupun profit.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Aku terheran-heran dengan dikotomi geologi sebagai sains murni dan sains terapan seperti yang dipahami oleh kaum akademisi dan para peneliti Indonesia, sementara bagiku yang lebih banyak bergerak di industri semua aspek dari geologi adalah sains terapan yang bisa langsung terkait dengan benefit maupun profit.
Kalaupun toh sebagian besar geologis yang bekerja di industri ekstraksi kebumian, konstruksi, dan lingkungan mengatakan bahwa mereka tidak perlu memakai geologi dalam pekerjaan mereka sehari-hari itu dikarenakan mereka tidak benar-benar menghayati dan menguasai ilmu geologi. Mereka mengira diri mereka adalah engineer, manager, birokrat, regulator, ahli lingkungan atau bahkan politisi kebumian. Tapi ketika mereka tidak menerapkan prinsip-prinsip geologi dalam pekerjaan mereka sehari-hari sebenarnyalah mereka sekedar membonceng masuk dalam kancah tersebut sebagai geologis, kemudian selebihnya mereka adalah manusia biasa seperti yang lainnya.
Karena sebenarnya hanya ada dua golongan manusia di dunia ini: geologis dan non-geologis. Begitulah gusti Allah membuat keseimbangan di bumi. Dan para saintis di akademi maupun lembaga-lembaga penelitian itu, karena mereka tidak pernah benar-benar masuk dalam industri maka yang mereka tahu adalah kesan dan perlakuan diskriminatif para manusia biasa yang mengaku sebagai geologis itu terhadap ilmu geologi yang salah kaprah dan tersesat ke mana-mana.
Pantesan saja tidak ada terobosan konsep-konsep geologi baru Indonesia oleh orang Indonesia selama hampir empat dekade ini, karena pada kenyataannya semua peneliti dan akademisi sedang terhanyut di arus industri dan dijadikan manusia biasa oleh para proponen industrialisasi.
(Tim Kami tidak Mencari Gudang Emas di Situs Purbakala atau Piramida)
Tim kami tidak mencari gudang emas di situs purbakala atau piramida. Seperti yang selalu saya tuliskan: kami sedang mencoba melengkapi data periodisitas kebencanaan Indonesia. Spin off-nya adalah mendapatkan data kebudayaan, teknologi dan sejarah dari peninggalan yang terkubur bencana.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Tim kami tidak mencari gudang emas di situs purbakala atau piramida. Seperti yang selalu saya tuliskan: kami sedang mencoba melengkapi data periodisitas kebencanaan Indonesia. Spin off-nya adalah mendapatkan data kebudayaan, teknologi dan sejarah dari peninggalan yang terkubur bencana.
Makanya jadi penting untuk selalu objektif (merujuk pada objek) yaitu tulisan yang saya terbitkan tentang latar belakang pemikiran Tim Katastrofi Purba (salah satunya Pidato Kebudayaan 14 Agustus 2012 Bagian Kedua Tentang Bencana) dan bukan sekadar dari berita-berita di media. Karena premis dasar dan "multiple working hypothesis" seperti yang saya siratkan dalam tulisan itulah yang sebenar-benarnya ada di jalur prosedural kerja Tim Katastrofi Purba. Bukan seperti yang dipersepsikan oleh euforia media atau sebagian kalangan yang sengaja memanfaatkan berita penelitian mandiri tersebut dengan membelokkannya menjadi seolah Tim kami sedang mencari piramida dan gudang emas peninggalan kerajaan pra sejarah.
Kalau ingin mengomentari tentang persepsi atau berita media lebih baik kita "jembreng" beritanya terus kita bedah kebenarannya kata-per-kata sampai ke konteks ceritanya, atau kita coba hubungkan lebih elegan dengan "thread" yang ada dalam tulisan saya tentang Bencana tersebut sehingga tidak kelihatan "menjebal" dan tersesat.
Perlu disadari juga seringkali media membuat cerita berdasarkan persepsi populer di sebagian masyarakat yang menyeleweng dari fakta dan keterangan sebenarnya dari para penelitinya.
Sampai sekarang tidak ada kesimpulan sementara Tim yang menyebutkan secara meyakinkan/definitif/konsklusif tentang adanya "piramida" dan apalagi gudang emas di situs-situs purbakala yang kita teliti. Punden berundak raksasa memang kita indikasikan ada di Gunung Padang, Cianjur,.. Tapi apakah itu bentuknya piramida atau limasan atau yang lainnya masih memerlukan kerja lanjutan yang dikoordinasikan Tim Arkeologi dan banyak menyangkut metodologi kerja yang spesifik arkeologis seperti ekskavasi dan sebagainya ..(bukan lagi domain utama metodologi geologi yang jadi spesialisasi saya),.. Tim Katastrofi Purba yang sifatnya mandiri dan swadaya mungkin tidak akan lagi memimpin di depan, karena meskipun ada anggota Tim kami yang arkeolog dan ahli sejarah-budaya, tapi masalah tentang Gunung Padang (khususnya) sudah menjadi domain-nya Arkenas Kemendikbud setelah Tim Katastrofi Purba mempresentasikan temuan-temuan awal ke Pemerintah dalam kurun semester pertama 2012 kemarin.
Kalaupun ada gudang harta di situs-situs purbakala, harta itu bagi kita adalah pengetahuan yang terkubur di sana untuk kita pelajari sehingga kita tidak harus selalu mulai dari nol memahat mengukir dan memanfaatkan kebudayaan dan teknologi kita. Gudang emasnya? Biarlah itu jadi makanan media dan buruan para petualang seperti Indiana Jones dan sejenisnya....