Longsor Cipularang: Jangan Keburu Salahkan Petani!
Lagipula haknya petani untuk buka lahan dan bertani kalau memang itu daerah/tanah mereka sendiri dan bukan tanahnya Jasamarga.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Terlalu dini dan menggampangkan dan terkesan cari kambing hitam sembarangan kalau pihak Jasamarga (Dit Ops: Hasanuddin dalam wawancara dengan El Shinta pagi ini 13 Februari pukul 07:00) menyimpulkan longsornya tebing jalan tol Cipularang kilometer 100 – 300 disebabkan pembukaan lahan oleh petani/penduduk di daerah hulu/atasnya sehingga membuat run-off lebih besar ke area tersebut membebani massa tanah/batuan di tebing mereka.
Mustinya kita para insinyur dan geotechnician introspeksi dulu melihat dan mengevaluasi konstruksi penanganan longsor serupa di tempat yang sama delapan tahun yang lalu: apakah ada kekurangan? Apakah ada area kritis pergerakan tanah yang terlewati yang luput tidak diperkuat — di-grouting? Apakah patahan dan bidang gelinciran lempung Subang di situ benar-benar hanya yang kita ketahui delapan tahun lalu atau sudah berkembang meluas atau memang dari asalnya memang lebih luas tapi tidak kita capture pada waktu itu? Barulah dari situ kalau memang semuanya nampak oke, cari penyebab dari luarnya. Ini belum apa-apa sudah menyalahkan petani/penduduk di daerah hulu. Waduh, kalau saya jadi petaninya, saya akan protes keras!!! Lagipula haknya petani untuk buka lahan dan bertani kalau memang itu daerah/tanah mereka sendiri dan bukan tanahnya Jasamarga. Koq dihimbau-himbau untuk tidak sembarangan buka tanah di sekitar daerah tol Cipularang? Gak fair.
IAGI, HATTI, ayo turunkan tim geoteknik dan insinyur sipil independent ke lapangan. Bantu Jasamarga untuk lebih rasional dan smart mengelola infrastruktur mereka, demi kepentingan rakyat banyak. Jangan asal tuduh ke petani saja. Coba rekam struktur tanah dangkal di sana pake GPR dan Superstring Geoelectrical Survey supaya ngga meraba-raba lagi tentang struktur geologi dinamis di sana sehingga penanganannya juga once for all — jangka panjang, bukan tiap tujuh – delapan tahun longsor lagi.
Corporate Culture Ngutang (Ngemplang?)
Hal lain yang perlu dicatat dari fenomena “corporate culture”.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Kebiasaan perdagangan internal, ambil untung dari biaya operasi sendiri yang di cost-recovery, dan menunda bahkan mengemplang pembayaran ke pihak ketiga, nampaknya sudah/sedang akan menjadi “corporate culture” dari beberapa perusahaan migas nasional kita. Hal ini terjadi dan makin menjadi-jadi karena perusahaan-perusahaan perintis, yang dijadikan role model, terus menerus melakukan hal itu dikombinasikan dengan permainan politik lewat partai maupun bargaining di legislatif dan eksekutif pemerintahan negara ini.
Perubahan baru akan terjadi kalau dalam Pemilu 2014 mendatang partai yang menang dan Presiden yang terpilih tidak menolerir adanya permainan-permainan seperti itu – dengan syarat mereka juga tidak berhutang budi atau tersandera oleh para pemain dengan “corporate culture” seperti itu.
Hal lain yang perlu dicatat dari fenomena “corporate culture” itu adalah:
Teman-teman professional yang bekerja di sana yang semula dikenal punya idealisme dan integritas yang tinggi akhirnya menjadi hanyut dalam “culture” atau minimal bersikap “permissive” (maklum) dengan alasan keterpaksaan.
Idealisme “pribumi berjaya”, “anti-asing”, “berdikari”, dan sejenisnya menjadi langganan wajib alasan pemaafan (excuse) bagi perilaku-perilaku bisnis yang tidak etis itu.
Asal mulanya kemungkinan adalah penerapan strategi financial engineering yang memaksimalkan keuntungan dari modal yang ada, yang selanjutnya mengorbankan etika bisnis, yang bukan tidak mungkin akhirnya akan mendegradasi moral secara keseluruhan.
Maka, waspadalah, waspadalah! (Kata Bang Napi)
Eksplorasi itu Tidak (Harus) Mahal, Eksplorasi itu Harus Cerdik
Menentukan dan meyakinkan kepada penyandang dana “daerah mana yang akan diakuisisi dan diproses data seismiknya” berkorelasi dengan 95% tingkat inteligensi dan kesulitan dari usaha eksplorasi pencarian cadangan dan atau sumber daya baru. Sisanya, yang tingkat kesulitannya dan inteligensi yang dibutuhkannya hanya 5% lagi, adalah:
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Menentukan dan meyakinkan kepada penyandang dana “daerah mana yang akan diakuisisi dan diproses data seismiknya” berkorelasi dengan 95% tingkat inteligensi dan kesulitan dari usaha eksplorasi pencarian cadangan dan atau sumber daya baru. Sisanya, yang tingkat kesulitannya dan inteligensi yang dibutuhkannya hanya 5% lagi, adalah:
Menganalisis petroleum sistem, risiko dan biaya yang kemudian diikuti dengan mengebor dan menguji (testing) keberadaan hidrokarbon di dalamnya kalau dari data seismik yang 95% effort tadi terlihat adanya jebakan (trap) migas, atau
Memaketkan analisis data seismik dengan data regional petroleum sistem yang kemudian diikuti dengan pembuatan rekomendasi ke arah mana lagi harus melakukan eksplorasi kalau dari data seismik yang 95% effort tadi tidak terlihat adanya jebakan (trap) migas.
Tapi dari segi biaya: 95% tingkat inteligensi dan kesulitan awal tadi hanya berkorelasi dengan 5% biaya eksplorasi, bahkan seringkali kurang. Murah sekali!! Sementara itu, usaha sisanya yang hanya membutuhkan 5% tingkat inteligensi itu berkorelasi dengan lebih dari 95% biaya eksplorasi.
Kalau kita semua sadar tentang hal itu, tentunya secara cerdik kita akan fokus menggunakan 95% inteligensi kita pada tahapan awal eksplorasi yang murah, dan tidak secara membabi buta terus menerus menceritakan ke orang awam bahwa eksplorasi itu mahal.
Eksplorasi itu harus cerdik!
(Tidak Semua Mesozoik di Indonesia Hanya Menghasilkan Gas)
Kalau gas Mesozoik di Vorwata, Roabiba dan di sekitar Bintuni sana punya saudara di selatan di Abadi Masela, bukan tidak mungkin minyak di Bula juga punya kerabat di sepanjang rangkaian petroleum system serupa di seputaran Banda.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Tidak semua Mesozoik di Indonesia hanya menghasilkan gas; ada juga minyak yang digenerasikan dan atau bersarang di dalamnya; di Bula, Seram, misalnya. Kalau gas Mesozoik di Vorwata, Roabiba dan di sekitar Bintuni sana punya saudara di selatan di Abadi Masela, bukan tidak mungkin minyak di Bula juga punya kerabat di sepanjang rangkaian petroleum system serupa di seputaran Banda. Kita saja yang kurang jeli menelisiknya.
Tidak semua cekungan busur muka dingin heat-flownya; daerah-daerah yang dialasi terrain mikro-kontinen — meski ada di busur muka — akan tetap menghasilkan aliran bahang yang menyala-nyala; di Manna Bengkulu dan Meulaboh, misalnya. Kalau seismik di sepanjang Samudra Hindia selatan Jawa dari Yogja sampai Jember sana ternyata masih juga menampakkan struktur-struktur sesar bongkah; bukan tidak mungkin daerah daratan di Sentolo, Pacitan, Kediri, dan Lumajang juga dialasi sesar-sesar bongkah yang sama yang cukupi aliran panasnya untuk membentuk minyak dan gas bumi mengisi tinggian muda atau (apalagi jika ada juga) Mesozoik di bawah sana. Kita saja yang takut dan malas berisiko mengakusisi datanya.
Tidak semua geologist yang mengaku diri sebagai eksplorasionis hanya pesimis-pesimis saja, mendaur ulang konsep-konsep lama dan tidak berani merombak cara pikir barunya untuk eksplorasi migas Indonesia.
Dan saya yakin: itu adalah anda!!
(Heboh Info Katastrofe Geologi Pagi-Pagi — untuk Direnungi)
Nah, kalau ada yang berminat membuktikan atau memfalsifikasi hipotesis di atas, monggo dibikin perhitungan-perhitungan kinematika dan dinamika litosfer dan hidrosfernya.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Kalau peningkatan kegiatan vulkanisme (letusan gunung berapi) dalam skala masif menyebabkan pemanasan global, nampaknya lebih mudah dicerna logika falsifikasinya, karena sebenarnya letusan-letusan gunung api super katastrofe level dunia malah menyebabkan pendinginan global bukan pemanasan global. Debunya akan mengambang di stratosfer berwaktu-waktu masa sehingga menyebabkan global winter bertahun-tahun seperti diindikasikan di kasus super-volcano Toba atau letusan kaldera Tambora.
Tapi kalau sebaliknya: "apakah pemanasan global bisa menyebabkan peningkatan aktivitas vulkanisme global", nampaknya perlu lebih hati-hati menyikapinya.
Mungkin logika hipotesis pernyataan nomor dua di atas adalah sebagai berikut:
Pemanasan global menyebabkan pencairan es di kutub,
Pencairan es di kutub menyebabkan kenaikan muka air laut,
Kenaikan muka air laut menyebabkan pertambahan volume air laut di samudra,
Penambahan volume air laut di samudra-samudra menyebabkan penambahan beban tekanan - stres pada lempeng samudra,
Penambahan beban tekanan - stres pada lempeng samudra menyebabkan peningkatan kecepatan subduksi/penunjaman lempeng, dan
Peningkatan kecepatan subduksi/penunjaman lempeng menyebabkan peningkatan aktivitas tektonik (kegempaan) dan vulkanik ( letusan gunung api)
Nah, kalau ada yang berminat membuktikan atau memfalsifikasi hipotesis di atas, monggo dibikin perhitungan-perhitungan kinematika dan dinamika litosfer dan hidrosfernya.
Siapa tahu hitung-hitungannya pas dan hipotesis tadi terbukti dengannya?