Eksplorasi Migas dan Kepercayaan Investor
Eksplorasi merupakan kunci utama dalam produksi minyak dan gas di masa yang akan datang. Keberhasilan eksplorasi dimulai dari akuisisi data dan evaluasi geologi yang tepat dari keseluruhan blok, kemudian diikuti dengan pengeboran beberapa sumur, melalui pengeboran inilah diharapkan setidaknya dihasilkan satu temuan. Peluang keberhasilan sebuah sumur eksplorasi adalah 7:1.
Dirilis pertama di Bisnis Indonesia
Jumat, 31 Juli 2015: Halaman 2.
Eksplorasi merupakan kunci utama dalam produksi minyak dan gas di masa yang akan datang. Keberhasilan eksplorasi dimulai dari akuisisi data dan evaluasi geologi yang tepat dari keseluruhan blok, kemudian diikuti dengan pengeboran beberapa sumur, melalui pengeboran inilah diharapkan setidaknya dihasilkan satu temuan. Peluang keberhasilan sebuah sumur eksplorasi adalah 7:1.
Sejak memulai eksplorasi sampai produksi yang pertama kali dari sebuah lok, setidaknya dibutuhkan waktu 10-15 tahun dengan biaya paling sedikit US$5 juta di blok darat dan US$30 juta di laut dangkal selama enam tahun eksplorasi. Seluruh risiko eksplorasi dan biaya eksplorasi ditanggung oleh kontraktor, dengan pengembalian atas biaya itu melalui cost recovery ketika telah berproduksi.
Dalam beberapa tahun terakhir jumlah data eksplorasi dan sumur eksplorasi menurun drastits. Sebagai bagian dari program utama Nawacita, hal ini mendapat perhatian khusus karena telah diidentifikasi sebagai salah satu kunci utama dari sebuah kesuksesan dalam industri migas. Karena itu, Menteri ESDM kemudian membentuk Komite Eksplorasi Nasional (KEN).
Salah satu masalah non-teknis yang langsung dihadapi Komite ini adalah masalah terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Selama beberapa tahun, di bawah term Production Sharing Contract (PSC), kontraktor dikenai pajak penghasilan baik atas pribadi maupun perusahaan termasuk pajak atas dividen. Pemerintah juga menerapkan assume and discharge untuk semua pajak dan retribusi yang terkait barang-barang operasi hulu migas. Hal ini memberikan keleluasaan terhadap kontraktor untuk mendapat pengembalian atas pajak dan retribusi ketika kontraktor berproduksi.
Pada Desember 2010, pemerintah mengeluarkan PP No. 79/2010 yang mengatur mengani biaya-biaya operasi yang dapat di-recover dan perlakuan atas pajak penghasilan di hulu migas. Pemerintah tidak lagi menerapkan assume and discharge untuk semua pajak di luar pajak penghasilan pribadi dan perusahaan. PP ini juga mengatur pemberian fasilitas pembebasan pajak dalam rangka impor baik untuk PSC eksplorasi maupun eksploitasi serta berdampak pada mekanisme penghitungan PBB.
Dengan penghitungan yang dilakukan berdasarkan PP ini, industri hulu migas kaget ketika terjadi penilaian PBB di pertengahan 2013 untuk blok-blok eksplorasi. Pasalnya pajak PBB dibebankan untuk seluruh wilayah kerja dan bukan hanya bagian wilayah kerja yang aktif, meski sebenarnya berdasarkan konsep PSC, kontraktor tidak pernah memiliki lahan itu. Besaran pajak yang luar biasa ini sangat tidak rasional karena nilainya melebihi nilai total biaya untuk kegiatan eksplorasi selama 6 tahun tahap eksplorasi. Karena nilai yang sangat besar ini, kontraktor akan kesulitan dalam mempertahankan keekonomiannya dan tentunya meningkatkan risiko kegiatan eksplorasi.
PENGADILAN PAJAK
Atas pembebanan pajak yang luar biasa itulah dan setelah beberapa kali melakukan diskusi dengan SKK Migas dan kontraktor, Dirjen Pajak memberikan indikasi bahwa mereka melakukan pengisian Surat Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) dengan cara yang kurang tepat yang berakibat pada kesalahan hitung atas PBB dan menghasilkan nilai PBB yang sangat besar. Karena hal ini terbentuklah sebuah konsensus untuk merevisi dan melaporkan kembali SPOP. Dirjen Pajak kemudian menerbitkan Surat Edaran DJP No. 46 tahun 2013 yang berisi tentang tata cara pengisian SPOP. Berdasarkan SE 46, para kontraktor migas merevisi dan melaporkan kembali SPOP melalui SKK Migas sesuai kesepakatan. Dirjen Pajak menanggapi dengan mengeluarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, yang menyatakan pembayaran PBB jika ada, bisa dilakukan sebelum Desember 2013.
Sayangnya Dirjen Pajak tidak melaksanakan kesepakatan yang ada. Setelah kontraktor mengirim ulang SPOP sesuai SE. Dirjen Pajak tidak pernah mengeluarkan SPPT revisi sehingga tidak ada perubahan sama sekali mengenai jumlah PBB yang sangat besar yang telah dikenakan. Karenanya semua kontraktor yang terkena dampaknya telah mengajukan keberatan pajak yang direspons oleh Dirjen Pajak dengan mengeluarkan Surat Penolakan pada triwulan ke-IV 2014. Tidak ada jalan lain, kontraktor kemudian mengajukan banding.
Pada 31 Desember 2014, dengan tujuan untuk mendukung tahap eksplorasi minyak dan gas, Menkeu mengeluarkan peraturan No. 256/PMK.011/2014 (PMK 267) yang mengatur tentang pengurangan insentif PBB di sektor migas. Hal ini berlaku pada komponen sub-permukaan dengan besaran hingga 100% dari jumlah LBT pada komponen. Insentif ini sayangnya hanya berlaku untuk 2015 dan seterusnya dan tidak berlaku surut. Penerbitan SE 46 dan juga PMK 267 menunjukkan ketidakakuratan dari penerapan PBB pada eksplorasi migas.
KEN menilai kontraktor memang tidak memenuhi kualifikasi untuk dikenakan pajak. Sebagai kontraktor, mereka tidak memiliki objek pajak, pemerintahlah yang memiliki. Pada tahap eksplorasi, kontraktor memang mengambil manfaat atas tanah/air di wilayah kerja untuk mengambil data, yang sangat terbatas pada area tertentu saja.
Pada 2013, jumlah sumur eksplorasi yang dibor adalah 101 dari 253 yang telah direncanakan untuk tahun itu. Pada 2014 terjadi penurunan, dari 250 sumur eksplorasi yang direncanakan, hanya 83 sumur eksplorasi yang aktual. Di 2015, beberapa kontraktor memutuskan untuk menyerah dan tidak lagi mau melakukan usaha eksplorasi di Indonesia.
Lagi-lagi, kegagalan eksplorasi artinya kerugian investasi dan punitive taxes tidak akan pernah bisa ditarik kembali. Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan Kepres No. 2/2012 soal peningkatan produksi nasional migas.
Saat ini, kontraktor yang terkena kasus ini sibuk terlibat dalam beberapa banding, padahal seharusnya mereka turun ke lapangan mencari minyak dan gas.
Aktivitas migas adalah investasi jangka panjang, maka dari itu sangat diperlukan kepastian dalam industri migas. Dengan tidak adanya kepastian hukum, investasi hulu migas di Indonesia akan dijauhi investor. Akibatnya, tidak ada cadangan baru yang akan ditemukan, produksi migas akan terus merosot, dan negara akan kehilangan banyak lahan pekerjaan dan potensi pendapatan dari sektor ini.
Sangatlah penting Pengadilan Pajak mempertimbangkan latar belakang sejarah penilaian PBB pada 2012 dan 2013, juga keakuratan penerapan PBB pada tahap eksplorasi. Hal ini dapat membantu pemerintah kembali mendapatkan kepercayaan.
Tax bills killing drive to find new reserves in Indonesia
Exploration is the key to future oil and gas production. Successful exploration starts with proper data acquisition and geological evaluation of the whole block, followed by the drilling of a few wells, hopefully with at least one discovery.
Dirilis pertama di The Jakarata Post.
Exploration is the key to future oil and gas production. Successful exploration starts with proper data acquisition and geological evaluation of the whole block, followed by the drilling of a few wells, hopefully with at least one discovery.
In Indonesia, it takes about 10 to 15 years from the initial exploration to the first production. Historically, the chance for exploration success is about seven to one.
Typically in Indonesia, oil and gas contractors spend a minimum of US$5 million (for an onshore block) to $30 million (for a shallow water block) during the whole six years of the exploration phase. All exploration risks and costs incurred are solely borne by the contractors, to be reimbursed only when production starts.
The Energy and Mineral Resources Ministry has established the National Exploration Committee. One of the non-technical problems that readily challenged this committee is the case of the land and building tax (LBT) on the concession areas of companies still in the exploration stage.
For years, under the production sharing contract (PSC) terms, the contractors liable for income taxes, either personal or corporate income tax, included therein the dividend tax. Other taxes such as value added tax on purchased or imported goods used to conduct petroleum operations is paid on behalf of government. Since the government assumes and discharges all the taxes mentioned above and the retributions imposed, contractors will get reimbursement against production.
In December 2010, Government Regulation No. 79/2010 was enacted. It regulates recoverable operating costs and income tax treatments in upstream oil and gas. The new regulation becomes the framework of the next generation of PSC terms and conditions. After Government Regulation No. 79/2010 the government will no longer assume and discharge any taxes outside individual and corporate income taxes.
This change has an impact on the overbooking mechanism of the LBT in the blocks awarded from the year 2011 onwards. Nonetheless, no explanation regarding the LBT and its magnitude was prepared by the tax office.
As a consequence, the oil and gas industry was shocked when LBT assessments were given for exploration blocks in the middle of 2013. For example, a company with an offshore working area of about 8,000 square kilometers was taxed $26 million, or equivalent to Rp 316 billion, for the 2012 to 2013 financial year, which breaks down to $25.82 million for the surface tax component and $0.180 million for the subsurface tax component. The LBT was imposed on the whole working area instead of just the utilized parts, even though the company, as contractors, never owns the offshore area (the owner remains the government and the companies act only as the contractors).
This extraordinary amount is quite irrational as it far exceeded the total cost for petroleum exploration operations for the whole six years of the exploration phase, which for that block amounted to about $18 million. With such a huge amount, it is unlikely that the company, or in this case any oil company, will be able to maintain its economic threshold, thereby increasing the exploration risk of their specific block.
After several discussions, the Upstream Oil and Gas Regulatory Special Task Force (SKKMigas), the Directorate General of Oil and Gas (Migas) and contractors and the Directorate General of Taxation (DGT) indicated potential errors in the calculation of the Tax Object Notification Letter (Surat Pemberitahuan Obyek Pajak ' SPOP), which arguably led to a miscalculation of the LBT surface component and hence resulted in such an extraordinary figure. A consensus was then reached to revise and resubmit the SPOP.
As follow up, the DGT issued Circular Letter (SE DJP 46 Tahun 2013), which provides guidance in filling out the SPOP. With this specific guidance, contractors revised and resubmitted the SPOP through SKKMigas. In response, the DGT Office originally planned to issue the revised Notification of Tax Due (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang ' SPPT), paying special attention to the surface component.
Nonetheless, the resolution as promised by the DGT was not implemented. After contractors resubmitted the SPOP following the Circular Letter, the DGT never issued the revised SPPT and against instructions from SE46 no change was made to the very large amounts of the imposed LBT.
As there was no certainty on the resolution, all affected contractors filed tax objections and the DGT office responded by issuing rejection letters in the fourth quarter of 2014. Having no other alternative left, contractors proceeded to appeal the case to the tax court later in 2014 ' each of them on an individual basis, block by block.
On Dec. 31, 2014, aiming to support the mining of oil and gas at the exploration stage, the minister of finance issued Regulation No. 267/PMK.011/2014 (PMK 267) that provides LBT reduction incentive for the oil and gas sector. It is granted on the sub-surface component and can amount to up to 100 percent of the LBT due on that component. The incentive is unfortunately only applicable for the year 2015 onwards and is not retroactive.
The issuance of SE 46 circular as well as PMK 267 ministerial decree by themselves expressed the inaccuracy in the LBT application on the oil and gas exploration. This view was also actually shared by Finance Minister Bambang Brodjonegoro when he gave his opinion to the BeritaSatu news service in January in his office, stating that 'We are actually wrong in imposing LBT tax on the exploration phase. How can we impose tax on something that does not exist yet?'
Furthermore, we believe contractors actually do not qualify to be taxed since, as contractors, they do not own the tax object (in this case the land/water and building), the government does. During the exploration phase, contractors do utilize the land/water to acquire data, but only an extremely limited area of it.
This issue has impacted the industry as can be detected from the decrease in the number of exploration efforts. In 2013, the number of exploration wells that were actually drilled was 101, much less than the 258 wells planned. While in 2014 the number of exploration wells that were actually drilled dropped to 83 from the 250 planned. In 2015, some contractors decided to give up their exploration efforts in Indonesia.
Again, a lack of success in exploration means all investment is lost and such punitive taxes can never be earned back. This, of course, is not in line with the Presidential Decree No. 2 of 2012 concerning an increase in national oil and gas production.
At present time, the affected contractors are involved in multiple appeals in the Tax Court rather than out searching for oil and gas like they should be. Their management and shareholders are confused about how such a mistake could take place for such a long period and wonder what the future might bring.
Oil and gas activities are long-term investments and thus legal certainty in the oil and gas industry is a necessity. With the absence of legal certainty, the investors would shun upstream oil and gas investment in Indonesia. Consequently, no new reserves will be discovered, production of oil and natural gas will continue to decline and the country will lose many jobs and potential revenues from the oil and gas sector.
It is vitally important that the ongoing Tax Court consider the background history of 2012 and 2013 LBT assessment as well as the accuracy of the LBT application in oil and gas exploration to help the government regain contractor trust so they continue their tireless effort to explore and discover the mineral treasures of the country.
The prosperity of the nation depends on this treasure.
Menuju Kebijakan Energi Bebas Kepentingan
Saat ini pemerintah sedang membahas konsep cadangan energi nasional. Namun, dalam proses pembuatannya, ada kekhawatiran bahwa konsep tidak sepenuhnya dikendalikan oleh kepentingan nasional, melainkan kepentingan segelintir orang, termasuk kepentingan asing.
Dirilis pertama di Harian Kompas.
Selasa, 7 Juli 2015: Halaman 6.
Saat ini pemerintah sedang membahas konsep cadangan energi nasional. Namun, dalam proses pembuatannya, ada kekhawatiran bahwa konsep tidak sepenuhnya dikendalikan oleh kepentingan nasional, melainkan kepentingan segelintir orang, termasuk kepentingan asing. Kita berharap mudah-mudahan kekhawatiran itu tidak benar dan tidak menjadi bagian dari bukti tambahan dari berbagai kebijakan lain yang tidak menggambarkan kepentingan nasional.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, pemerintah diharapkan memiliki kebijakan untuk memastikan ketersediaan cadangan energi nasional, yang terdiri dari cadangan strategis, cadangan penyangga energi, dan cadangan operasional.
Cadangan energi
Cadangan operasional adalah cadangan energi yang harus disediakan oleh industri demi melancarkan kelangsungan operasi industrinya sehari-hari. Saat ini cadangan BBM Pertamina yang tersedia untuk 19 hari itu dianggap sebagai cadangan operasional.
Di sisi lain, cadangan penyangga energi adalah cadangan yang seharusnya dikuasai oleh negara dan hanya digunakan sewaktu- waktu apabila terjadi krisis dan darurat energi.
Kenyataannya, saat ini Indonesia tidak memiliki cadangan penyangga energi. PT Pertamina (Persero) pun tertatih-tatih mengemban misi pemerintah dalam pengadaan minyak di dalam negeri. Apabila muncul sedikit gangguan saja dalam mata rantai penyediaan BBM di dalam negeri, pihak asing mulai memainkan perannya karena kita tidak memiliki dan menciptakan kesempatan untuk memperoleh harga beli minyak yang wajar di pasar dunia.
Terakhir adalah cadangan strategis energi, yaitu cadangan energi yang masih belum dikeluarkan dari dalam Bumi atau belum diproduksi bahan mentahnya yang nantinya dapat dipergunakan oleh negara pada kurun waktu tertentu dengan tenggang waktu ekstraksi, pengolahan dan produksinya.
Amerika memiliki cadangan strategis salah satunya di Alaska. Negara-negara di Asia Tenggara, seperti Thailand dan Malaysia, juga sudah ada. Bagaimana dengan kita, Indonesia? Jangankan cadangan strategis energi, cadangan penyangga saja-yang seharusnya siap digunakan-tidak kita miliki.
Urusan perencanaan cadangan penyangga energi (CPE) sebenarnya sudah diamanatkan kepada Dewan Energi Nasional (DEN) sebagai bagian dari arah Kebijakan Energi Nasional (KEN). Sayangnya, hingga saat ini DEN belum secara resmi mengadopsi CPE.
Salah satu masalah utamanya adalah karena banyak pihak meragukan integritas konsep CPE, yang menyatakan cadangan energi kita nantinya akan dimodali dan dikelola oleh swasta. Keraguan makin kuat akibat informasi yang beredar bahwa konsep dimaksud dibuatkan oleh konsultan asing (Inggris) yang pembiayaannya juga datang dari Pemerintah Inggris.
Konsep baru Akibat keraguan atas integritas rancangan yang ada, anggota DEN periode 2014-2019 mencoba memulai kembali proses pembangunan CPE dengan konsep baru yang sudah dirancang sejak 14 Januari 2015. Jauh berbeda dengan konsep sebelumnya, dalam konsep baru ini disebutkan bahwa pengelolaan CPE dilakukan oleh badan pemerintahan yang dibentuk khusus dengan memanfaatkan tangki-tangki idle yang tersedia di Indonesia, baik yang dimiliki Pertamina maupun SKK Migas yang ada di KKKS.
Konsep yang terbaru ini telah dipresentasikan di hadapan Ketua Dewan Energi yang tak lain adalah Presiden RI Joko Widodo pada 25 Februari 2015, dan diperintahkan agar segera dilaksanakan pematangan konsep dan inisiasi implementasi awalnya.
Namun, sampai sekarang keputusan formal Konsep CPE belum disepakati baik dalam sidang anggota DEN maupun sidang paripurna DEN. Di sisi lain, masih banyak lembaga pemerintah, politisi, ataupun birokrasi yang terus-menerus mengampanyekan adanya CPE yang dikelola swasta, hal itu hanyalah wacana yang masih harus dibahas dalam sidang-sidang Dewan Energi kita.
Sebagian besar anggota DEN sebetulnya berpandangan negatif atas konsep yang menyebutkan bahwa penguasaan cadangan penyangga energi kita dikelola oleh pihak swasta, apalagi pihak asing. Bisa jadi konsep pengelolaan oleh swasta adalah konsep yang lebih efisien, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Bisa jadi pula konsultan asing yang terlibat adalah konsultan asing yang benar-benar tidak memiliki konflik kepentingan (conflict of interest) dan ahli di bidangnya. Namun, terlepas dari keahlian konsultan asing yang terlibat dan kesahihan konsep yang ditawarkan, mengingat kondisi pengelolaan sumber daya alam Indonesia khususnya bidang energi yang sangat tergantung pada asing dan merugikan kepentingan nasional, adalah wajar apabila keterlibatan pihak asing menimbulkan keraguan publik. Apalagi jika dalam proses pembuatannya tertutup terhadap partisipasi publik dan tidak disertai dengan keterbukaan atas pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan dasar acuan.
Biaya dan keuntungan
Sudah menjadi praktik yang baik di sejumlah negara bahwa dalam proses pembuatan kebijakan perlu ada pertimbangan atas "biaya dan keuntungan" yang ada dari berbagai pilihan kebijakan (cost and benefit -CBA- analysis). Dengan kata lain, seyogianya pemerintah tidak hanya memiliki satu pilihan kebijakan (dalam hal ini menyerahkan kepada swasta), tetapi menggali berbagai pilihan dan kemudian menimbang dampaknya.
Pilihan dan pertimbangan dampak ini wajib dibuka kepada publik dalam rangka akuntabilitas pengambilan kebijakan. Dengan demikian, publik dapat menilai secara independen sejauh mana suatu kebijakan yang diambil bebas dari konflik kepentingan. Perlu diingat bahwa kewajiban membuka alasan pengambilan kebijakan sudah dimandatkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang perlu diimplementasikan pemerintah.
Di sisi lain, publik harus terus mengawal proses ini agar pembuatan kebijakan tidak lagi dikuasai kepentingan pihak-pihak tertentu. Mengingat pengalaman kita dengan asing, apalagi terkait pengelolaan sumber daya, masyarakat akan bertanya, adakah makan siang yang gratis?
Adakah negara maju akan menolong pembangunan kebijakan Indonesia tanpa pamrih demi pertumbuhan ekonomi mereka? Dalam hal ini peran pemerintah sangat penting, pemerintah perlu secara tegas menjawab keragu-raguan ini dengan menerapkan proses pengambilan kebijakan yang obyektif dan terbuka.
Akuntabilitas dan transparansi menjadi kata penting untuk memastikan marwah kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan nasional kita. Bidang energi bukan dibangun atas dasar kepentingan bangsa lain dan tidak sekadar jadi pasar dan mainan politik energi negara lain.
Soal Energi (Drink) Indonesia: Glagepan Meneguk Botol Minuman Asing
Ada tiga contoh terbaru yang saya amati tentang bagaimana rawannya kehausan Indonesia akan Kebijakan dan Implementasi Energi yang memadai untuk bisa langsung dipakai membangun negara ini, sementara kita sendiri tidak sempat mencari “sumber air inspirasi” di sekitar kita, tapi terus menerus digelontor air dari botol minuman asing yang tersedia (disediakan dengan sengaja) di (bawa ke) sini.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Ada tiga contoh terbaru yang saya amati tentang bagaimana rawannya kehausan Indonesia akan Kebijakan dan Implementasi Energi yang memadai untuk bisa langsung dipakai membangun negara ini, sementara kita sendiri tidak sempat mencari “sumber air inspirasi” di sekitar kita, tapi terus menerus digelontor air dari botol minuman asing yang tersedia (disediakan dengan sengaja) di (bawa ke) sini.
Yang pertama nyata-nyata adalah tentang Cadangan Penyangga Energi. Ada tiga jenis cadangan energi menurut UU 30/2007 tentang Energi dan juga PP 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Yang pertama adalah Cadangan Operasional, yaitu cadangan energi yang harus disediakan oleh Industri dalam rangka kelangsungan operasi industrinya sehari-hari. Saat ini cadangan BBM Pertamina yang 19 hari itu dianggap sebagai cadangan operasional.
Yang kedua adalah Cadangan Penyangga Energi yang harusnya dikuasai oleh negara dan hanya digunakan sewaktu-waktu apabila terjadi krisis dan darurat energi. Saat ini Indonesia tidak punya Cadangan Penyangga Energi.
Yang ketiga adalah Cadangan Strategis Energi, yaitu cadangan energi yang masih belum dikeluarkan dari dalam bumi atau belum diproduksi bahan mentahnya yang nantinya dapat dipergunakan oleh negara pada kurun waktu tertentu dengan tenggang waktu untuk ekstraksi, pengolahan dan produksinya. Di Amerika mereka punya Cadangan Strategis itu salah satunya di Alaska. Di Indonesia: lha, wong Cadangan Penyangga saja tidak punya koq Cadangan Strategis ditanyakan. Ya jelas belum ada. Nah, Urusan perencanaan Cadangan Penyangga Energi (CPE) itu dalam UU dan PP diamanatkan kepada Dewan Energi Nasional. Sampai saat ini belum ada konsep CPE resmi yang diadopsi oleh DEN. Anggota DEN terdahulu (2009 – 2014) terlalu sibuk dengan membuat KEN sehingga komponen-komponen uraian dari KEN itu (termasuk CPE) tidak bisa secara paralel disiapkan konsepnya.
Konsep Cadangan Penyangga Energi yang sering kali dipamerkan ke khalayak akhir-akhir ini ternyata dibikinkan konsultan Inggris yang dibayari Pemerintah Inggris. Hal paling krusial pada rancangan itu: Cadangan Energi kita dimodali dan dikelola oleh swasta. Anggota DEN yang baru (2014 – 2019) mencoba untuk memulai implementasi ide awal pembangunan CPE dengan konsep sendiri yang masih awal dan perlu disempurnakan mulai 14 Januari 2015 yang lalu. Konsep itu dipresentasikan pada Ketua Dewan Energi (Presiden) 25 Februari 2015 dan mendapatkan perhatian penuh dan perintah untuk segera dilaksanakan pematangan konsep dan inisiasi implementasi awalnya. Dalam konsep tersebut pengelolaan CPE dilakukan oleh Badan Pemerintahan yang dibentuk khusus untuk itu dengan memanfaatkan tanki-tanki idle yang tersedia di Indonesia baik kepunyaan Pertamina ataupun SKKMigas yang ada di KKKS. Hal ini sangat berbeda dengan konsep “air minum dari botol asing” yang menyarankan CPE dibiayai dan dikelola swasta. Sampai sekarang keputusan formal Konsep CPE belum disepakati dalam Sidang Anggota maupun apalagi Sidang Paripurna DEN. Kalaupun toh ada lembaga pemerintah atau politisi ataupun birokrasi yang terus menerus mengampanyekan adanya CPE yang dikelola swasta, harap masyarakat tidak terpengaruh, karena itu hanya bagian dari wacana yang masih harus dibahas di Sidang-sidang Dewan Energi kita. Saya sendiri tentunya (dan sebagian besar Anggota DEN), sangat tidak setuju dengan penguasaan Cadangan Penyanga Energi kita itu oleh pihak swasta (apalagi asing).
Lalu tadi malam, 20 April 2015 di Kempinski, kitapun lagi-lagi menegak minuman gelagepan dari botol minuman asing. Kedutaan Inggris bekerja sama dengan ESDM pun dengan cantik menyelenggarakan peluncuran Indonesia 2050 Calculator, yaitu suatu aplikasi yang dirancang oleh Pemerintah Inggris untuk menunjukkan berbagai skenario bauran energi sampai 2050 yang data dasarnya diisi oleh birokrat-birokrat/peneliti negara kita, yang semua rakyat bisa mengaksesnya di Indonesia 2050 Pathways Calculator. Sebagai bagian dari pendidikan masyarakat tentang hal ihwal per-energi-an yang sering kali memakai istilah dewa dan susah dimengerti implikasinya ke depan oleh kalangan biasa, kalkulator tersebut bisa jadi gadget mainan yang mudah-mudahan ada manfaatnya. Tapi jangan sampai keliru: karena sebenarnyalah negara kita sudah punya kebijakan energi yang resmi dengan skenario bauran energi rinci sampai 2050. Dan itu sama sekali tidak dimasukkan dalam skenario kalkulator tersebut!! Jadi, sebenarnya ESDM dan Pemerintah Inggris mendidik masyarakat kita tentang skenario energinya siapa?????
Dan besok dua hari dari April 22 sampai April 23, Dewan Energi Nasional dan ESDM memfasilitasi Agensi Energi Internasional (IEA) untuk memaparkan skenario mereka tentang bagaimana caranya menyelesaikan urusan Subsidi BBM kita. Meskipun ada satu orang anggota DEN yang akan bicara, tetapi kemungkinan besar bukan skenario (anggota) DEN yang besok akan jadi wacana, karena pembicara-pembicara selanjutnya akan berlomba untuk memberikan arah bagaimana sebaiknya kebijakan subsidi kita. Kalau dipikir-pikir secara anak SD, aneh juga ya? Kenapa Agensi Asing itu sampai repot-repotnya keluar duit untuk mempelajari dan akhirnya merekomendasikan seharusnya Pemerintah Republik ini berbuat apa untuk mengatasi masalah Subsidi Energinya. Tapi kalau anak SD itu tahu bahwa tidak ada makan siang yang gratis, mungkin dia nggak akan bertanya-tanya lagi. Mahfum sudah.
Mudah-mudahan marwah kemandirian dan ketahanan dan kedaulatan nasional kita di bidang Energi bukan dibangun atas dasar skenario bangsa asing. Kita harus yakinkan sama-sama. Pekerjaan rumah buanyaaaak yang musti dikerjakan, supaya tidak sekedar jadi pasar dan mainan politik energi negara lain.
(Hidupkan Riset Biostratigrafi)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Kemarin sore di Lab Geodinamika ITB kita bahas juga urgensi untuk menghidupkan riset biostratigrafi Mesozoik dan bahkan sampai ke Paleozoik: Radiolaria, Conodont, Amonit, Pollen, ...
Batas Trias dan Jura, misalnya, sering kali tidak dapat didefinisikan dari fosil secara jelas, umumnya berdasarkan ciri litologi, padahal untuk yang menyangkut daerah seluas paparan Sahul pada umur yang sama berbagai macam dominasi litologi akan menyesatkan korelasi berdasarkan pendekatan lito ini. Kalau korelasi salah maka paleogeografi juga akan ngawur, maka prediksi lito-komponen dari petroleum sistem juga meleset.
Siapa biostratigrafer MesoZoic kita? Munasri kayaknya kesepian dengan riset-riset radiolarianya, pak Fauzie Hasibuan di BG sana kayaknya nggak ada penerusnya. Makanya sebagai orang yang concern kita harus ambil tanggung jawab ikut dalam merevisi cara mendidik mahasiswa-mahasiswa geologi kita supaya jangan hanya jadi klikboy saja di dunia migas tapi juga jadi periset-periset sub-sub ilmu dasar geologi supaya memudahkan usaha eksplorasi kita ke depan. Jangan lagi-lagi tergantung sama geologis/periset dari luar.
Keluhan tentang sulitnya mendapatkan dana-dana riset "dasar" seperti biostratigrafi Mesozoik itu dijawab secara retoris dengan: "Kalau Robert Hall bisa mendapatkannya, kalau CSIRO bisa mendapatkannya, kalau Chulalongkorn bisa mendapatkannya, kenapa kawan-kawan di BG/LIPI/ITB/UGM dan lainnya gak bisa mendapatkannya? Yang kita perlukan network, saling terhubung dengan semangat positif. Saling berkomunikasi lintas posisi. Universitas-industri-asosiasi-regulatory seperti ini juga akan membuka kesempatan mendapatkan jalan keluar pendanaan riset tersebut.
Komitmen dari kita semua untuk mengaktifkan kembali networking para periset di perguruan tinggi dan lembaga-lembaga riset dengan industri maupun regulatory lewat asosiasi profesi maupun kelompok-kelompok diskusi harus kita teguhkan kembali. Kita lakukan saja!
Tapi jangan lupa: kalau sudah terhubung dan mendapatkan fasilitasi: jangan lah sampai kita semua kesasar alias tersesat di riset-riset yang propietary dan confidential belaka, yang umumnya berhubungan langsung dengan kepentingan bisnis si pemberi dana riset. Sehingga tidak ada satu pun yang bisa di-share dengan komunitas. Dan yang lebih parah lagi, tersesat di riset-riset "tentang apa yang sudah ketemu" dan melupakan riset-riset "untuk menemukan sesuatu yang baru”.