Tanya Jawab tentang Merapi
Pengetahuan kita tentang tipe letusan Merapi yang "non wedus-gembel" yaitu letusan eksplosif membentuk kolom vertikal yang seperti kita lihat sekarang agak terbatas, karena selama ini yang berulang hampir 5 tahun-an adalah letusan tipe "nue ardentee atau wedus gembel" itu.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Sampai kapan Merapi akan terus bergejolak? Bisa kah diperkirakan dan dipastikan?
Seperti jawaban atas pertanyaan tentang proses berdimensi besar geologi lainnya yang menyebabkan bencana (rangkaian gempa-tsunami) perkiraan tentang kapan mulai dan kapan berakhirnya suatu periode proses tertentu mempunyai derajat ketidakpastian berbanding terbalik dengan pengetahuan kita akan proses tersebut dan seberapa lengkap/banyak jumlah data statistik empiris yang menunjang prediksi. Pengetahuan kita tentang tipe letusan Merapi yang "non wedus-gembel" yaitu letusan eksplosif membentuk kolom vertikal yang seperti kita lihat sekarang agak terbatas, karena selama ini yang berulang hampir 5 tahun-an adalah letusan tipe "nue ardentee atau wedus gembel" itu. Secara teori kegiatan letusan akan berkurang dan berhenti saat kandungan gas dalam magma berkurang dan atau energinya melemah, yang akan didahului dengan keluarnya lava leleran atau sumbat lava (lagi). Selain itu juga kegiatan gempa vulkaniknya akan mulai berkurang frekuensi dan besarannya, yang mana sampai tadi siang (7 November 2010) berita yang di-release mengindikasikan bahwa trend bacaan seismogram belum menunjukkan kecenderungan turun. Jadi masih belum dapat dipastikan berapa hari, minggu atau bulan lagi aktivitas Merapu periode ini akan berakhir. Pengamatan visual atas leleran lava di puncak dan juga monitoring trend gempa akan sangat membantu. Cek terus dengan kawan-kawan PVMBG di BPPTK Yogyakarta.Bagaimana penjelasan ilmiahnya?
Lihat jawaban nomor 1.Faktor-faktor apa yang menyebabkan Merapai bergolak dan berhenti? Hitung-hitungannya bagaimana?
Lihat jawaban nomor 1, plus tambahan bahwa adanya penunjaman lempeng samudra di selatan Jawa yang menyusup di bawah lempeng benua Asia yang bagian pinggiran atasnya menjadi tempat kita hidup di Sumatra-Jawa-Kalimantan ini yang penyusupannya di arah tersebut dimulai dan berlangsung terus sejak 32 juta tahun lalu (Oligocene) telah menyebabkan dinamika pembentukan jalur gunung api pada jarak 150km dari titik penujaman tersebut, yaitu dalam hal ini Merapi termasuk di dalam jalur tersebut. Merapi jadi paling aktif (empat - lima tahun sekali bergolak) kemungkinan karena posisinya pada blok Jawa Tengah yang selain disusupi dari selatan juga ditekan dari utara (lihat bentuk kelurusan pantai-pantai Jawa Tengah yang menjorok masuk ke dalam baik di utara maupun di selatan, lebih sempit dari luasan Jawa Barat dan atau Jawa Timur, itu sebagai ekspresi penekanan tersebut.)Benarkah letusan kali ini lebih besar dari tahun-tahun tahun sebelumnya? Mengapa?
Ya, menurut data dalam 70 tahun terakhir memang ini yang terbesar, tapi pernah juga dicatat letusan tahun 30an yang hujan kerikilnya sampai di Madura, kemungkinan itu juga besar, dan kemungkinan juga tahun 1006 seperti dituliskan oleh van Bemmelen dalam bukanya Geology of Indonesia (1949), di mana disebutkan letusan besar tahun itu telah menghancurkan kerajaan Mataram Purba, mengubur candi Borobudur dan sebagainya.Benarkah letusan kali ini menciptakan alur baru lahar? Mengapa? Alur baru itu wilayah mana saja?
Mungkin lebih tepatnya adalah aktifasi (pengaktifan kembali) alur-alur lahar lama, karena sebenarnyalah semua alur sungai di daerah radius seputaran Merapi yang tersusun dari aliran lahar memang merupakan alur-alur lahar sejak dulu kala, hanya saja dalam periode tertentu arahnya lebih ke barat, selatan atau timur dan sebagainya. Nah saat ini alur-alur lama kembali terisi efek endapan-endapan lahar maupun wedhus gembel Merapi.Jika demikian, berarti radius daerah rawan lebih meluas? Berapa ukurannya? Banyak desa yang harus dikosongkan?
Radius daerah rawan bencana yang diperluas dari 15 kilometer menjadi 20 kilometer Jumat kemarin menurut saya tidak berhubungan langsung dengan alur-alur baru atau lama tapi dengan kekuatan energi luncuran dan jumlah material yang diluncurkan oleh proses awan panas wedhus gembel yang lebih besar dari sebelum-sebelumnya. Karena lebih besar maka radius jangkuannya menjadi lebih luas. Bukan karena alur-alurnya baru.Bagaimana dengan perhitungan mistik? Sering cocok kah? Atau tidak tepat? termasuk soal mitos asap Mbah Petruk?
Saya tidak begitu mendalami soal hitung-hitungan mistik, tapi kalau soal mitos mBah Petruk saya cukup kenal ceritanya dari almarhum mertua saya yang asli Tompak, Ampel, Boyolali (lereng Merbabu-Merapi sebelah timur). Mbah Petruk itu kerabat moyangnya penduduk daerah lereng Merapi-Merbabu, dia sangat sakti dan gak pernah mandi, terus suatu saat menghilang saat terjerumus (dijerumuskan?) di suatu pusaran air (kedung) di sungai di daerah sana. Setelah itu kadang beliau muncul dalam penampakan jika terjadi atau akan terjadi hal-hal besar di sekitar daerah tersebut mengingatkan para kerabat dan turunannya. Itu saja yang saya tahu (dan memang kita sedang mengalami bencana besar saat ini).Apakah masyarakat akan dibiarkan mempercayai kalkulasi mistik tersebut?
Lihat jawaban nomor 7. Tambahan: saya tidak tahu kalkulasinya yang mana, tapi kalau hal besar sedang terjadi, maka percaya tidak percaya memang bencana Merapi sedang terjadi.Kira-kira kapan lagi meletus? Jika rutin bagaimana melindungi penduduk?
Kita tahu dari data empiris statistik bahwa periode aktivitas letusan Merapi itu pendek (lima tahunan), makanya dia disebut sebagai Gunung Api ter-aktif di dunia. Ini menjadi satu kerutinan juga telah disadari oleh Pemerintah khususnya jajaran Badan Geologi ESDM. Level kesadaran ini harusnya juga diterapkan di BNPB dalam rangka memitigasinya mengurangi risikonya bagi penduduk. Nampaknya setelah periode letusan Merapi ini BNPB harus konsentrasi full memitigasinya, mungkin dengan menata ulang memetakan daerah bahaya dan tata ruang secara keseluruhan (tentunya lintas sektoral juga).Benarkan akan menyuburkan lahan di sekitar letusan gunung termasuk pertanian penduduk? Alasan ilmiahnya?
Benar, debu vulkanik mengandung zat yang menyuburkan tanah, terutama di daerah tropis seperti Indonesia. Alasan ilmiahnya bukan kompetensi kami, mudah-mudahan kawan-kawan dari Pertanian bisa lebih memberi pencerahan.Nah, soal pasir yang dihasilkan dari letusan kan biasanya menjadi ladang rezeki dan dijual? kira2 dari letusan sekarang volume-nya berapa?
Pasir-pasir terkonsentrasi di alur-alur lahar yaitu di sungai-sungai yang berhulu di Merapi, di mana lahar sendiri merupakan bagian dari produk letusan gunung api tersebut. Kalau dari info BPPTK-PVMBG bahwa material yang sudah dimuntahkan Merapi mencapai 100 juta meter kubik, maka pasir-pasir yang akan jadi rezeki di alur2 sungai tersebut pastinya tidak akan melebihi jumlah tersebut volume-nya karena mereka hanya sebagian kecil saja proporsi-nya dari keseluruhan material vulkanik yang diluncurkan Merapi.Paska letusan nanti, upaya recovery-nya bagaimana? Butuh biaya berapa? Perlu relokasi penduduk tidak?
Recovery-nya bagaimana dan butuh biaya berapa, nampaknya bukan kompetensi saya untuk menjawabnya. Tetapi jika menyangkut perlu relokasi penduduk atau tidak tergantung dari revisi peta daerah bahaya Merapi yang baru nanti. Di daerah bahaya satu yang baru nantinya tentunya perlu juga dipertimbangkan untuk merelokasi penduduknya kalau memang sebelumnya ada pemukiman di sana.
Yang Tiba-Tiba Menyerang Benak Setelah Ketemuan Proyektor-Proyektor Konsultan Seberang
Maaf, kalau sekadar mencari proyek dan pendapatan, sepuluh tahun jadi kesia-siaan.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Sepuluh tahun lebih bukan bertahan, sepuluh tahun lebih ini perjalanan merangsek ke depan, september 2000 sampai sekarang, bukan sekadar ikuti arus mengerjakan block study, field mapping, POD, fuld field review, lead and prospect generation sembarangan, tapi lebih ke keasyikan menemukan konsep-konsep baru cekungan, tektonik, dan sedimentasi. Menguak misteri-misteri geologi minyak bumi yang selama ini tabu untuk digonta-ganti atau mengurai-urai benang-benang kusut strategi produksi yang disesatkan oleh model-model geologi asal-asalan di awal, kemudian menerangkan semuanya jadi jelas gamblang dan nyata, dan mendapatkan manfaat ari upside potential-nya.
Sepuluh tahun lebih mencoba terus mengembangkan, pandangan-pandangan baru tentang sedimentologi yang langsung diaplikasikan dalam kerja nyata tarikan-tarian korelasi pemerian deskripsi penggolong-golongan, yang sering juga berakhir di model geologi yang jauh berbeda dari sebelum-sebelumnyanya. Mematutkan proses geologi di sekitar di negeri seputar, akhirnya juga kembali ke lingkungan-lingkungan natural di halaman rumah sendiri; Delta Mahakam, Pantai Marangkayu, Pantai Bayah, Danau Toba, Pantai Cermin, Estuary Belawan, Sungai Rokan, Sungai Siak, Sungai Naborsahor, Cimandiri, Sungai Tamiang, Gunung walat, batu-batu Karangtaraje, Gunung Pegat, Danau Ranau, Danau Singkarak, Sungai Karama, Pantai Manohara, tebing-tebing Watan Mallawa, dataran Padang Lampe, Pulau Ungar, Laibobar dan daerah sekitar, Pantai Tamban, Pulau Sempu, Ujung Tarakan, batas negara, pedalaman Papua, Teluk Bintuni, tengah laut di Natuna, tak bisa juga sempurna tertulis semua di buku-buku catatan perjalanan.
Sepuluh tahun lebih berputar-putar dari lingkungan hidup ke lingkungan pengendapan sedimen ke lingkungan bupati, walikota, gubernur yang beraroma migas. Dari lingkungan pendaki gunung ke LSM-LSM keras, ke lingkungan asosiasi profesi, berputar-putar di sekeliling istana, di sekeliling kantor-kantor politisi, di gedung-gedung rakyat, di panggung-panggung hingar bingar podium-podium sepi, meja-meja kelas kosong bahkan sampai di hamparan rumput dan batu-batu tempat mengajar murid-murid alam ilmu bumi. Di kampus, di pasar, di lembah, kesasar-sasar…
Maaf, kalau sekadar mencari proyek dan pendapatan,
Sepuluh tahun jadi kesia-siaan.
Mahasiswa Kebumian: Ujung Tombak Sosialisasi Mitigasi Bencana Gempa, Tsunami, dan Gunung Api Indonesia
Dalam kaitan dengan permasalahan tersebut, saya mengusulkan kepada kawan-kawan PP-IAGI, Pengurus Daerah IAGI, maupun Pengurus HAGI, untuk secara serius mengorganisasikan mobilisasi rekan-rekan mahasiswa kebumian (fisika, geofisika, geologi, geodesi, geografi) sebagai ujung-tombak sosialisasi-sosialisasi tersebut dalam arti yang sebenar-benarnya (bukan hanya wacana, diskusi, dan perencanaan di atas kertas dan rapat-rapat tanpa follow up).
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Pada saat-saat seperti ini, saat semua orang berkonsentrasi pada usaha ke-gawat darurat-an penanganan langsung korban-korban bencana (Wasior, Mentawai, Merapi), mungkin tidak terlalu banyak yang bisa dilakukan oleh kalangan saintis maupun praktisi ilmu kebumian yang sesuai dengan jalur profesinya. Diantara kita ada yang ikut serta dalam arus besar kerja sukarela SAR (kalau mampu), penanganan pengungsi (kalau ada waktu), penyediaan air bersih sarana dan prasarana darurat (kalau memang ada di sektor yang bersesuaian), atau mungkin ikutan meneliti aspek-aspek terbaru dari fenomena geologinya sehingga bisa dipakai langsung dalam usaha relokasi recovery (nantinya) atau mitigasi-prediksi untuk membuat gambaran proses bencana geologi ini lebih lengkap jadinya. Tentu saja dalam hal sumbang menyumbang bahan makananan, medis, pakaian dan sebagainya seperti umumnya seluruh lapisan masyarakat lainnya, kita di komunitas profesional kebumian bisa juga bergerak bersama.
Tanpa mengurangi urgensi penanganan kedaruratan yang sedang beralangsung dan mumpung masih hangat, saya mencoba untuk mengingatkan kembali betapa jauh lebih pentingnya mengurangi risiko bencana daripada menghadapai bencana begitu saja tantang menantang tanpa persiapan apapun juga selain jor-jor-an dana penanggulangan di anggaran-anggaran pemerintah. Dan yang paling dasar dari proses pengurangan risiko tersebut adalah membangun kapasitas internal masyarakat sendiri untuk bersiap menghadapi bencana lewat pendekatan tradisi, budaya, pembenahan infrastruktur penyelamatan dan tata ruang yang antisipatif terhadap bencana serta latihan-latihan tanggap darurat (atau sering di-istilah keren-kan sebagai simulasi simulasi). Sosialisasi tentang masalah-masalah tersebut di atas harus terus menerus dilakukan terutama di daerah-daerah yang sudah jelas-jelas diidentifikasi oleh para ahli sebagai daerah yang potensial menuai bencana dengan siklus proses gempa-tsunami- letusan gunung api yang tertentu.
Soal sosialisasi mitigasi bencana paska gempa Mentawai (untuk menghindari korban - ekses dalam kejadian-kejadian paska-gempa), saya sangat yakin Pak Ade (IAGI Sumatera Barat, Distam) dan Pak Badrul (HAGI Padang, Unand) sudah berusaha sekuat tenaga, mengorbankan waktu-pikiran (dan bahkan dana pribadi) untuk melakukannya. Juga untuk mitigasi bencana paska Merapi atau gempa Yogyakarta, kawan-kawan dari Bandung maupun Yogyakarta sendiri baik secara kedinasan maupun inisiatif kelompok akademik, keprofesian maupun NGO, semuanya sudah berbondong-bondong turun lapangan. Tetapi kita semua juga tahu bahwa jumlah, tenaga, pikiran dan terutama "waktu" para ahli geologi-geofisik (baca: anggota IAGI maupun HAGI), sangat-sangatlah terbatas. Banyak diantara kita yang tidak bekerja di domain kebencanaan tersebut. Apa kata bos di kumpeni/instansi kalau kita sering-sering voluneering jalan-jalan untuk nyambangi masyarakat yang perlu penjelasan, ketenangan psikis, dan keyakinan bahwa mereka harus pindah (walau untuk sementara) dari zona-zona rawan paska gempa atau bahkan zona-zona rawan pre-syn-paska gempa (rawan forever). Termasuk (mungkin) kawan-kawan IAGI-HAGI di Sumatra Barat, Yogyakarta, Papua. Mereka pasti sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi apa daya, manajemen kerja/concern sosial kita masih belum terbentuk bagus. Tidak mungkinlah kita para ahli geologi-geofisik ini bisa bekerja full time melakukan sosialisasi-sosialisasi tersebut. Apalagi kalau kita bicara soal volunteering dengan network kawan-kawan IAGI-HAGI dari daerah lain dan (terutama) dari pusat (Jakarta-Bandung-Yogyakarta). Selain komunikasi antar kita lewat dunia email seringkali hanya sebatas wacana, analisis, dan saling-tukar-pengalaman (belaka) — jarang yang pasti-pasti untuk mengorganisasikan suatu kerja nyata, juga sistem tanggap-sosial organisasi keprofesian kita (IAGI-HAGI) nampaknya sedang tidak sigap.
Dalam kaitan dengan permasalahan tersebut, saya mengusulkan kepada kawan-kawan PP-IAGI, Pengurus Daerah IAGI, maupun Pengurus HAGI, untuk secara serius mengorganisasikan mobilisasi rekan-rekan mahasiswa kebumian (fisika, geofisika, geologi, geodesi, geografi) sebagai ujung-tombak sosialisasi-sosialisasi tersebut dalam arti yang sebenar-benarnya (bukan hanya wacana, diskusi, dan perencanaan di atas kertas dan rapat-rapat tanpa follow up).
Kenapa mahasiswa? Dari dulu (waktu kita masih mahasiswa) sampai sekarang "mahasiswa" adalah posisi yang relatif "sedikit beban" dibandingkan dengan kita-kita yang sudah "banyak beban". Waktu ekstra untuk berkegiatan kemahasiswaan maupun (seringkali) untuk diskusi-diskusi, bersosialisasi, pacaran, bahkan demonstrasi-demonstrasi relatif lebih banyak daripada para ahli yang sudah bekerja. Walaupun seringkali kita mendengar dari waktu ke waktu bahwa mahasiswa kita dituntut untuk sekolah cepat, tepat-waktu, gak neko-neko, dan sebagainya, terutama dengan beban kredit yang banyak dan regulasi yang makin ketat (DO, skors dan sebagainya) dan tuntutan untuk keep up dengan kebutuhan industri lewat interaksi dengan orang-orang industri dan teknologinya (di luar kuliah resmi), tetap saja masih ada waktu ekstra buat mereka untuk berkegiatan kemahasiswaan dan sebagainya. Masih banyak calon-calon pengganti kita yang concern, militan, dan mau bekerja untuk kepentingan organisasinya, berlatih, berinteraksi, di luar program-program resmi perkuliahan. Yang mereka butuhkan adalah fasilitasi, sedikit training-kursus tentang hal-hal advanced di khazanah mitigasi (yang dasar-dasar sudah mereka kuasai), dan dukungan network, pembiayaan (yang sangat-sangat minimal dibandingkan dengan kalau kita turun sendiri), dan kadang-kadang sekali-dua-kali kita-kita yang sudah "ahli' dan ingin ikutan jalan-jalan (dan waktu memungkinkan) bisa turun bersama mereka di kampung-kampung, desa-desa, daerah-daerah yang memerlukan sosialisasi tersebut. Menurut catatan saya ada 11 Perguruan Tinggi punya Jurusan Geologi, empat angkatan yang masih aktif jumlahnya bervariasi antara 4x30=120 sampai dengan 4x150=160 per perguruan tinggi. Jadi antara 1320 sampai dengan 1760 mahasiswa geologi aktif calon-calon penerus kita sedang belajar geologi di PT-PT kita. Taruhlah 20% saja yang punya minat dalam program kemahasiswaan-keprofesian-pengabdian masyarakat seperti ini; kita sudah punya 264 sampai dengan 352 mahasiswa yang bila dibagi di 12 Pengurus Daerah IAGI maka rata-rata tiap Pengurus Daerah bisa mendapatkan bantuan dari minimal 22 mahasiswa. Jumlah yang cukup banyak untuk secara bergantian, bergilir (menyesuaikan dengan jadwal kuliah, ujian dan sebagainya) memelopori jalan-jalan sosialisasi ke daerah-daerah yang sudah dan akan terkena bencana. Belum lagi kalau kita hitung potensi dari mahasiswa-mahasiswa Fisika, Geofisika, Geodesi, Geografi. Kemungkinan angka tersebut akan dapat berlipat tiga kali.
Kenapa sebenar-benarnya? Karena saya melihat dan merasakan selama ini organisasi profesi kebumian kita (IAGI, HAGI, IATMI, dan sebagainya) masih sibuk dengan urusan yang belum benar-benar menyentuh langsung ke bawah (ke masyarakat langsung). Yang tidak langsung sich banyak: berkiprah di profesi masing-masing demi menyumbang devisa negara, meningkatkan wacana pengetahuan anggota, dan sebagainya dan sebagainya. Usaha-usaha untuk bersinergi dengan potensi kekuatan yang namanya "mahasiswa" belum pernah benar-benar dilakukan oleh organisasi-organisasi kita dalam rangka mitigasi sosialisasi ini. Yang ada seringkali menggunakan mahasiswa sebagai volunteer untuk pertemuan-pertemuan ilmiah, ikut jadi panitia, tanpa ada peluang untuk mengedepankan mereka dengan segala potensi kekuatannya. Perhimagi sebagai kumpulan resmi organisasi-organisasi himpunan mahasiswa geologi kita juga kurang diberdayakan, jarang diajak ngomong, dan bahkan susah untuk berhubungan dengan kita-kita resmi atau tidak resmi (kecuali di beberapa Pengurus Daerah/Universitas, di mana dosen-dosennya juga punya concern kuat terhadap organisasi kemahasiswaan, seperti Mas Agus Hendratno di UGM: Salut!!!).
Kita bisa melakukannya. Sangat bisa!!! Pada waktu gempa Yogyakarta, siapa yang turun ke daerah-daerah? Mahasiswa!!! Termasuk mahasiswa-mahasiswa geologi kita. Mereka menyebarkan ribuan selebaran informasi tentang gempa-tsunami dalam rangka menenangkan masyarakat sekaligus juga mengedarkan bantuan-bantuan materi-makanan ke daerah-daerah. Mereka juga ikutan bercerita di tenda-tenda pengungsian menenangkan masyarakat, tentunya beberapa kali juga harus bersama mas Agus, mbak Rita, mas Eko Teguh, dan kawan-kawan. Kita semua ditempat kerja kita masing-masing karena keterbatasan status hanya bisa ikut menyumbang materi maupun ide. Merekalah yang jalan-jalan. Pada waktu paska gempa-tsunami Aceh serombongan Tim IAGI yang dipimpin oleh pimpinan produksi IAGI juga beranggotakan full mahasiswa Trisakti, ITB, UGM, Akprind, Unpad, UPN, dan sebagainya, untuk mencarikan dan mengebor air bersih buat pengungsi. Di Malang, mahasiswa-mahasiswa Fisika Unibraw (anak buahnya mas Adi Susilo) juga aktif bersama AMC (pecinta alam) memetakan bencana longsor di Malang Raya, memetakan pantai selatan JaTim dan indikasi-indikasi bencananya, dan sekaligus juga aktif membuat acara-acara sosialisasi di Malang (Cangar), Madiun, Kediri, Trenggalek. Mereka juga terus adakan itu di Blitar, Tulungagung, Lumajang, Jember, sampai Banyuwangi. Dalam kesempatan sosialisasi bersama AMC tersebut di Trenggalek mereka sempat berkolaborasi dengan Perhimagi Yogyakarta yang memberikan penjelasan tentang Geologi Bencana kepada pecinta-pecinta alam dihadapan Wakil Bupati dan DPRD Trenggalek. Bisakah kita seperti mereka? Sebebas mereka? Tentu saja tidak bisa. Tapi kita bisa berkolaborasi, mendukung, memfasilitasi, dan membiayai mereka untuk terus berjalan-jalan menceritakan tentang geologi dan bencana, mengingatkan masyarakat supaya siap-siap, kalau perlu pindah dan mengubah tata-ruang dan sebagainya atas nama ilmu kebumian dan kesadaran untuk mengabdikannya ke masyarakat.
Nah, tunggu apalagi?
Note-1: Dari mana pun datangnya, besaran biaya yang mungkin akan dipakai oleh para ahli jalan-jalan ke Padang, pulau-pulau barat terluar, dan daerah-daerah rawan bencana letusan vulkanik cerita soal gempa letusan gunung api dan sebagainya ke masyarakat, jumlah yang sama besarnya bisa dipakai oleh kawan-kawan mahasiswa Fisika Unand Padang atau ITM Medan atau Geologi UGM, UPN, STTNAS, STIAkprind dan lain-lain untuk jalan-jalan lebih lama, lebih mencakup daerah yang luas, dan lebih menjangkau masyarakat, tentunya di bawah koordinasi IAGI/HAGI Pengda setempat, syukur-syukur PP-IAGI/HAGI juga bisa berperan dalam memfasilitasi programnya.
Note-2: Bukan berarti saya men-discourage kita-kita para ahli geologi untuk sosialisasi ke daerah-daerah, tapi saya lebih menekankan pada program jangka panjang, lebih luas, dan lebih efektif-efisien bersama-sama mahasiswa setempat, tentunya sekali dua kali bersama kita juga.
Bencana Kita: Gemes
Yang bisa menyelamatkan saudara-saudara kita di garis depan gempa tsunami itu bukan alat-alat canggih miliaran rupiah hasil sumbangan ataupun utang itu, tapi lebih ke kesiapan tradisi-budaya internal, pengorganisasian masyarakat, latihan-latihan, dan revisi tata ruang!
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Ayolah.. Bangun, bangun, bangun! Pelajaran sudah diberikan berkali-kali oleh gusti Allah, utamanya sejak 2004 sampai sekarang. Yang bisa menyelamatkan saudara-saudara kita di garis depan gempa tsunami itu bukan alat-alat canggih miliaran rupiah hasil sumbangan ataupun utang itu, tapi lebih ke kesiapan tradisi-budaya internal, pengorganisasian masyarakat, latihan-latihan, dan revisi tata ruang!
Segala macam pelampung besi, pengukur tinggi gelombang, sensor satelit, dan jalur-jalur hotline komunikasi itu semua hanya dalam rangka mengingatkan bahwa ada tsunami setinggi X meter di daerah Y pada 5 - 20 menit mendatang. Bayangkan saja apa yang bisa dilakukan orang dalam waktu kurang dari setengah jam untuk menyelamatkan diri dan harta benda mereka? Itu semua sangat tergantung dari kesiapan tradisi-budaya, pengorganisasian, latihan-latihan, dan revisi tata ruang! Tak perlu pemberitahuan tentang bahaya tsunami setelah gempa! Setiap terjadi gempa, langsung saja lakukan seperti simulasi dan tradisi-budaya yang kita bangun bersama.
Tidak usah menunggu pemberitahuan BMKG akan ada tsunami atau tidak! Kalau saudara-saudara kita menunggu pemberitahuan tersebut akan percuma, mereka sudah akan digulung gelombang tsunami! Sudah semakin nyata dalam 4 - 5 tahun terakhir ini bahwa alat-alat canggih ETWS yang kita pasang dengan bangga di mana-mana itu tidak terlalu banyak manfaatnya. Bahkan sejak dari awal pun harusnya kita sadar bahwa alat-alat itu lebih berguna buat orang-orang yang ada di Hawaii, di India, di Madagaskar, dan di daerah-daerah di luar Indonesia, karena waktu tempuh tsunami ke tempat mereka masih lumayan cukup lama dari pusatnya di daerah kita, bisa 1 - 2 jam atau bahkan bisa 1 - 2 hari. Lha, kita yang ada di dekat pusat sumber tsunaminya (gempa), apa gunanya alat-alat itu buat kita selain beban pinjaman bantuan dan juga maintainance berkepanjangan. Untuk mengingatkan kita pun, waktu yang ada hanya 5 - 20 menit saja dari pusat-pusat gerakan gempa. Apa yang bisa kita perbuat? Lebih fokus lah pada usaha-usaha penguatan kesiapsiagaan masyarakat!
Jangan Termakan Isu Tentang Prediksi Gempa Jakarta
(Tentang SMS/BBM/email yang mengatakan jakarta akan dilanda gempa dalam dua - tiga hari ini.)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
(Tentang SMS/BBM/email yang mengatakan jakarta akan dilanda gempa dalam dua - tiga hari ini.)
Pertama, sampai saat ini tidak ada satu pun ilmu prediksi kuantitatif gempa yang punya standar deviasi bisa sampai harian seperti itu. Jangan lagi bicara harian, wong bulanan aja gak bisa koq; paling banter tergantung dari data statistik dan karakter gempanya orang bisa memperkirakan plus minus 10 - 25 tahunan. Itu semua karena data dasar temporal statistik gempa kita juga masih terbatas pada dua - tiga abad terakhir ini saja yang lengkap, selebihnya sampai zaman prasejarah orang hanya menginferensi dari cerita-cerita/catatan-catatan sejarah-prasejarah saja. Dan rekurensi/kehadiran kembali gempa-gempa yang dihasilkan oleh release dari terkuncinya gerakan lempeng/kerak bumi/blok batuan sampai sekarang hanya bisa dicatat setiap ratusan (100 sampai dengan 300 tahun sekali), makanya standar deviasi-nya juga tinggi (separuh dari 100an yaitu 50 tahunan). Jadi kalau ada orang yang bisa menyatakan akan ada gempa dalam hitungan hari, itu bukan pakai ilmu geologi/seismologi kuantitatif. Mungkin pakai ilmu lain seperti paranormal, metafisika, atau malahan ngaco dan memang sengaja nakut-nakuti.
Kedua, soal jakarta bakal dilanda gempa besar seperti Mexico atau kalau ada gempa di laut selatan maka jakarta akan terguncang hebat; belum ada satu pun indikasi/data yang menunjukkan jakarta dilewati atau berbatasan dengan patahan aktif. Jadi chance-nya untuk terkena imbas dari rambatan gempa yang berasal dari epicenter di selatan Jawa dan barat Lampung kecil saja karena gak ada patah penghubungnya ke daerah-daerah tersebut. Yang kita kenal di bawah Monas memang ada patahan arah utara selatan yang nyambung ke Teluk Jakarta, tapi berhenti hanya sampai Ciputat. Setelah itu ke selatannya lagi di tutupi endapan vulkanik Gunung Salak Gede Pangrango. Inilah kemungkinannya patahan yang bisa diaktifkan oleh gempa-gempa dari Selatan tapi tetap dengan ketidakpastian apakah dia menerus ke daerah Bogor - Sukabumi atau tidak... Dari analisis tektonik regional arah-arah kelurusan patahan utara selatan Ciputat ini tidak berhubungan dengan patahan-patahan yang berasal dari pantai selatan seperti Patahan Cimandiri - sepanjang Sungai Cimandiri. Jadi kalau daerah selatan terkena atau jadi pusat gempa, gempanya tidak akan dirambatkan ke utara (Jakarta) tapi besar kemungkinan malah ke timur sepanjang patahan Sungai Cimandiri tersebut, yaitu ke daerah yang selama ini memang sering dilanda gempa seperti Sukabumi dan Cianjur selatan.
Soal patahan Cimandiri menurut klasifikasi nomenklatur neotektonik dia termasuk patahan aktif, sebab kita bisa lihat bahwa di sepanjang tepinya banyak sekali dijumpai air terjun. Statusnya sebenarnya sama dengan Patahan Opak yang akhirnya bergerak kenceng di gempa Yogya 2006, Patahan Grindulu di Pacitan, dan Patahan Lumajang di Jawa Timur. Tapi arahnya bukan ke jakarta, malahan ke Bandung yang di daerah Citatah patahan ini juga membentuk offset parallel dengan Patahan Lembang. Jadi kalau ada trigger dari Laut di Selatan Sukabumi pas di sekitar ujung Sungai Cimandiri di Pelabuhan Ratu, maka gelombang gempanya akan disalurkan malahan ke Bandung, bukan ke jakarta.
Tapi ya itu tadi seperti saya sebutkan di awal, tidak ada yang bisa memprediksi sampai hitungan hari (bahkan beberapa tahun juga gak bisa) bahwa akan ada gempa besar di selatan dalam waktu dekat. Jadi, waspada memang perlu, tapi jangan sampai panik dan dipanikkan oleh berita yang gak jelas dasar ilmiahnya seperti itu.
Hidup bersama bahaya gempa, bukan berarti panik dan ngaco informasi, tapi tetap waspada, mengusahakan semua bangunan kita aman dan ramah gempa, dan juga tau tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengurangi bahaya gempa ketika terjadi. Bukan dengan panik dan ikut pula kena provokasi menyebarkan berita-berita gak berdasar ilmiah tersebut.