Mencari Minyak di Sumur Kering (Well Post Mortem - Dry Hole Analyses - Dry Hole Revival)
Ribuan sumur eksplorasi (bukan produksi) di Indonesia ada yang berstatus dry holes ada pula yang berstatus temuan yang kemudian dikembangkan sebagai lapangan dengan melakukan pemboran sumur-sumur pengembangan/produksi mengikuti sukses sumur eksplorasi tersebut. Sumur-sumur kering alias dry holes tersebut ternyata bisa juga gagal eksplorasi karena gagal evaluasi.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
(Cuplikan dari white paper Exploration Think Tank Indonesia untuk percepatan penambahan produksi migas Indonesia 2008.)
Ribuan sumur eksplorasi (bukan produksi) di Indonesia ada yang berstatus dry holes ada pula yang berstatus temuan yang kemudian dikembangkan sebagai lapangan dengan melakukan pemboran sumur-sumur pengembangan/produksi mengikuti sukses sumur eksplorasi tersebut. Sumur-sumur kering alias dry holes tersebut ternyata bisa juga gagal eksplorasi karena gagal evaluasi.
Sumur-sumur dry holes bisa jadi gagal evaluasi karena:
Kesalahan mekanis
Kekurangan dana
Prioritas ekonomi
Konsep / teknologi lama
Kesalahan interpretasi
Beberapa Angka
Jumlah sumur dry holes Pertamina ada 364 (data tahun 2004). Sementara itu jumlah lapangan yang dimiliki Pertamina 162. Dengan asumsi setiap lapangan ditemukan dengan satu sumur eksplorasi dan satu sumur delineasi, dan semua sumur dry holes adalah sumur eksplorasi, maka jumlah sumur eksplorasi Pertamina = (162x2) + 364 = 688 sumur. Dengan demikian COS (chance of success) pemboran eksplorasinya = 324/688 = 47%. Lumayan, masih klop dengan trend COS lima tahun terakhir di Indonesia yang berkisar dari 41 - 50%. COS tersebut masih bisa ditingkatkan apabila kita mempertimbangkan bahwa tidak semua dry holes adalah dry holes. Lho?
Contoh soal:
Cekungan Jambi – Pertamina
Dari 22 sumur eksplorasi, 11 menjadi lapangan, sisanya yang 11 lagi dianggap dry holes. Ternyata dari 11 dry holes (setelah di re-evaluasi) ada lima sumur (hampir 50%) yang gagal evaluasi dan kemungkinan akan menjadi “discovery” jika dilakukan re-entryCekungan Kutai – Offshore Utara
Dari tujuh sumur eksplorasi dry holes, tiga gagal evaluasi (hampir 50%).Cekungan Sumatra Tengah – Ex Hudbay/Lasmo
Dari delapan sumur eksplorasi dry holes, dua gagal evaluasi (25%).
Implikasi:
Selalu perhatikan apabila perusahaan-perusahaan migas me-relinquish daerahnya, kalau-kalau ada sumur-sumur indikasi migasnya yang dapat dievaluasi ulang sehingga kemungkinan bisa dikelola untuk menambah temuan cadangan dan produksi Indonesia
Masih banyak opportunity untuk melakukan dry hole revivaldi ex-sumur-sumur eksplorasi gagal kita di Indonesia dalam rangka percepatan penambahan cadangan dan produksi migas Indonesia
Usulan:
Mewajibkan semua KKKS (+ Pertamina) untuk melakukan study dry hole di semua sumur-sumur “gagal” eksplorasi dalam blok KKS.
Di Jenggala 1650 tahun pengalaman migas: VRF
Kita adalah orang-orang yang pernah ikutan bersama-sama membangun sebuah prestasi besar perusahaan nomor satu yang bisa memproduksikan lebih dari 1,2 juta kaki kubik gas per hari, ditambah dengan lebih dari 40 ribu barel minyak per hari
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Saat menyadari diriku di antara kerumuman lebih dari 150 orang yang berkumpul di Griya Jenggala-nya Hilmi Panigoro hari Minggu 25 Oktober kemarin, aku mendapatkan sensasi aneh tentang siapa sesungguhnya kita-kita yang berkumpul itu. Kita adalah orang-orang yang pernah ikutan bersama-sama membangun sebuah prestasi besar perusahaan nomor satu yang bisa memproduksikan lebih dari 1,2 juta kaki kubik gas per hari, ditambah dengan lebih dari 40 ribu barel minyak per hari. Perasaan serupa juga mungkin pernah hinggap selewat di benak orang-orang yang pernah bekerja untuk Mobil, Caltex, IIAPCO, ARCO, MEDCO dan lain-lain, apalagi Pertamina, yang semuanya merupakan pentolan-pentolan operator produser migas di Indonesia. Menjadi bagian dari sesuatu yang besar dimulai ketika dia masih belum jadi sebesar itu, merupakan anugerah yang musti kita syukuri yang memberikan perasaan ikut berbangga melakukan sesuatu demi kebaikan bersama, walaupun pada dasarnya selalu terpulang di awalnya untuk kebaikan diri dan keluarga terdekat kita.
Kemudian kuhitung-hitung, di antara mereka yang hadir itu mungkin lebih dari separuhnya berada pada kisaran usia 55 - 65 yang masih memungkinkan untuk menyumbangkan pemikiran dan pengalamannya walaupun secara pasif dengan memberikan konsultansi pada saat-saat tertentu tanpa harus continuous, apalagi jika digabung dengan kegiatan travelling ringan, leisure, melihat-lihat daerah-daerah penghasil migas seluruh Indonesia.. Kenapa tidak? Kenapa tidak kutawarkan saja, kalau-kalau ada yang berminat untuk melakukan hal-hal seperti itu: bercerita, menjawab pertanyaan, melemparkan komentar terhadap permasalahan aktual di bidang oil and gas yang dihadapi oleh stakeholder di daerah. Mereka mempunyai potensi jadi narasumber teknis tidak tetap dari Dewan Pakar FKDPM (Forum Konsultansi Daerah Penghasil Migas), terutama apabila memang mereka sedang tidak terikat secara permanen pada suatu perusahaan tertentu dan dengan demikian menyandang kepentingan perusahaan (baca: KKKS) tersebut dalam berkeliling Indonesia membimbing FKDPM di daerah-daerah.
Hanya ide liar saja, ketika berada di suatu gabungan orang-orang yang punya jam terbang gabungan total mungkin lebih dari 15x150 alias 1650 tahun pengalaman di bidang migas dari geologi, geofisik, reservoir, drilling, production, legal, finance, accounting, logistics, processes, transport, pipeline, HRD, training, administration, security, safety, lingkungan, medis, humas, IT, dan lain sebagainya. Ide yang keluar dari ketakjuban berada di dalam kumpulan energi yang punya total ekivalensi pengalaman 1650 tahun (minimum) tersebut, benar-benar once in a life time. Apalagi semua yang ada di ruangan itu nampaknya punya hubungan yang jauh lebih erat ikatan energinya daripada sekadar reunion SD, SMP, SMA, atau bahkan perguruan tinggi. Karena masa bersama-sama mereka yang ada di ruangan tersebut kemungkinan bisa lebih dari 10 - 15 tahunan, sementara dalam reunion kawan-kawan sekolah sesaat mungkin hanya tiga atau paling lama lima tahun saja pernah bersama-sama. Luar biasa!!! Kesetia-kawanan yang bisa saja muncul (dan sudah terjadi selama ini), adalah kesetia-kawanan yang jauh lebih nyata terbukti dan bermanfaat mengantar mereka semua yang ada dalam satu ruangan tersebut mengarungi 10, 15, 20 tahun atau lebih mengabdi di industri migas Indonesia. Bukan hanya sekadar tiga atau lima tahunan masa-masa sekolah. Bukan sekadar nostalgia. Tapi kenyataan itu akan terus ada.
Vivat VRF!!!
(Vico Retiree Forum)
Mengupas Sihapas, Menyapa Telisa, di Gunung Tua
Landasan itu bernama Aek Godang. Susi Air sampai di sana setelah sejam terbang dari Polonia. Ada wajah menunggu Fuad, Rojali, Adinda, dan Pak Daulay di latar belakang perbukitan memanjang hijau yang entah apa namanya, dan langit biru tentunya. Aku, Retno, Dadan, dan Indra bergabung di situ untuk "perjalanan lapangan" yang diatur orang-orang Tonga Mosesa Petroleum di Gunung Tua.
Dirilis pretama di Facebook pribadi.
29 September 2009
Landasan itu bernama Aek Godang. Susi Air sampai di sana setelah sejam terbang dari Polonia. Ada wajah menunggu Fuad, Rojali, Adinda, dan Pak Daulay di latar belakang perbukitan memanjang hijau yang entah apa namanya, dan langit biru tentunya. Aku, Retno, Dadan, dan Indra bergabung di situ untuk "perjalanan lapangan" yang diatur orang-orang Tonga Mosesa Petroleum di Gunung Tua. Dalam hati kuberujar: alhamdulillah, masih juga ada yang ingin menyiasati hidup dengan melihat batu. Meskipun mungkin tidak secara khusus mencari wajahMu di sana, tapi aku yakin perjumpaan mereka dengan yang mereka anggap dapat jadi contoh pundi-pundi uang di dalam bumi akan memberikan proses penyadaran lebih luas dari sekadar memainkan tangan di klik tikus di depan komputernya.
Sungai jernih itu bernama Sihapas. Memotong jalan dari PalSabolas ke Gunung Tua, dan memberikan sedikit tempat untuk warung singgah dengan sop lembunya yang mewah. Tapi bukan ke sungai itu kita menderas. Siang sehabis makanpun beriring kita ke Aek Nabundong, daerah penuh tikungan tajam dan batu-batu tegak, di mana Sihapas sang formasi rapih berjajar mengokohkan diri membentuk bentang tinggi, mengawasi dataran rendah di timurnya yang dihuni Telisa. Maka dengarkanlah gaung suaranya: bahwa tak sedikit pun butirnya berasal dari Semenanjung Malaysia, bahwa ada pasang surut yang mengatur urutan peletakannya, bahwa di bawah sana di timur cakrawala di sumur Tonga: saudara sejenisnya mengulum minyak bumi dalam porinya.
Lalu kita berbincang panjang menuju Pamuntaran, tempat lebih ke timur yang memunculkan Sihapas lebih muda yang kebanyakan jadi konglomerat dan mulai ber-glaukonit. Makin muda makin ke laut, makin muda makin memincut: apalagi ada kemungkinan pelamparannya meluas sejajar pantai purba. Wah, bisa jadi reservoir di mana-mana .... Masih di Pamuntaran, kulihat kontak. Sejak aku mengenal sikuen, setiap melihat kontak sukmaku bergetar: membayangkan implikasi proses yang terjadi di waktu-waktu kritis perubahan dunia melalui katastrofe tersebut. Kali ini TSE (Transgressive Surface of Erosion): batas sikuen tipe dua, bidang erosi yang memisahkan endapan dangkal di bawahnya dengan endapan lebih dalam di atasnya. Subhanallah.... TSE mengindikasikan proses gelombang yang kuat. Lautnya laut terbuka, bukan laut-lautan atau seaway atau teluk atau selat. Tanpa proses gelombang yang kuat, kecil kemungkinan terjadi TSE. Di atas TSE itu mulailah diendapkan Telisa bagian bawah dengan ikut membawa segala macam fosil foram yang suka jalan-jalan di middle-shelf dan outer-shelf. Dari foreshore - shoreface facies Sihapas atas yang bersilang siur dan kasar, kita langsung berhadapan dengan offshore facies Telisa yang kadang dipenuhi bioklastik hasil rombakan oleh badai (storm).
Sedikit merayap ke section yang lebih muda di Pamuntaran (masih di Telisa bagian bawah juga sih), kita disuguhi pemandangan monoton selang-seling batu pasir gampingan dengan lanau yang sering kusebut dengan striping sandstone alias batu pasir setrip-setrip. Ada empat asal-usul batu pasir setrip-setrip ini, dia bisa 1) flysch - turbidite halus, selang-seling graded bedding dan pelagic clay, dia bisa 2) endapan danau - selang seling algae dan klastik halus, dia bisa 3) endapan flood-plain - climbing ripple, roots, graded bedding, atau bisa juga 4) endapan pasang surut - ripple, drapes, flaser, wavy, lenticular, burrows. Dengan segala hormat kepada interpretasi lainnya, aku coba merapatkan diri dengan kemungkinan pasang surut dari singkapan Pamuntaran ini. Hei, ada bentukan channel kecil-kecil yang kelihatan seperti orang tersenyum di dinding tebing itu lho.. Tidal creeks?
Ketika tiba saatnya menginjak Telisa bagian atas, nun jauh di timur mendekati Gunung Tua, aku terpikir untuk mengajak mereka semua naik bukit kecil di pinggir jalan untuk orientasi medan. Hmmmmm,.. bukit dengan pemandangan indah yang masih sepi sampai setahun yang lalu itu, sekarang sudah dipenuhi dengan gubuk-gubuk tempat ber-khalwat yang dibangun oleh warung di bawah, disewakan untuk pasangan minum-minum makan-makan di situ. Wadooooh........
Maka ku arahkan pandang mereka semua ke kejauhan. Lengkungan Asahan batas Cekungan Sumutera Utara dan Sumatera Tengah, Bukit Barisan: sumber asal batu-batuan, sumber asal pengangkatan dan tenaga-tenaga yang mendorong tekuk patah-kan Sihapas Telisa dan kawan-kawan. Sambil menginjak-injak bagian atas Telisa sambil curi-curi dengar kalau-kalau orang-orang di gubuk-gubuk itu membicarakan kita, angan-angan terbang melayang di kejauhan, akhirnya menukik di Dalaman Mandian (kitchen-nya Tonga dan Pendalian), bicara soal sistem minyak bumi yang sedikit berbeda dengan Bengkalis dan Aman.
Esok hari masih berlanjut: perjumpaan dengan batuan dasar.
Mencumbu Sesar Adang (Catatan buat Pur dkk di Hutan Kalimantan Tengah)
Hampir setiap orang yang gemar menelisik dua cekungan tersebut akan mengangguk setuju bila ditanyakan apakah memang fisiografi maupun tektonik dua cekungan tersebut dipisahkan oleh Sesar Adang. Tapi apakah mereka pernah menginjakkan kakinya di trace sesar tersebut, mengecek keberadaannya dari bukti-bukti permukaan, dan membandingkan geologinya sebelah menyebelah sesar?
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Di antara Barito dan Kutai, ada Sesar Adang. Hampir setiap orang yang gemar menelisik dua cekungan tersebut akan mengangguk setuju bila ditanyakan apakah memang fisiografi maupun tektonik dua cekungan tersebut dipisahkan oleh Sesar Adang. Tapi apakah mereka pernah menginjakkan kakinya di trace sesar tersebut, mengecek keberadaannya dari bukti-bukti permukaan, dan membandingkan geologinya sebelah menyebelah sesar? Mungkin sebagian besar kita lebih senang melihat dan menggerumutinya dari kejauhan: satellite image, foto udara, maupun data gravity regional – karena memang cara itulah yang paling praktis ekonomis dan taktis; artinya, tidak perlu dengan bersusah payah menjejakkan kaki mengecek keberadaan fisiknya mengelusnya dan menyentuhnya untuk membuktikannya. Cukup dengan remote sensing saja. Bagaimana dengan “real geology” permukaannya?
Saat ini para pejuang mudaku dipimpin oleh si Pur sedang di puncak-puncak proses pergumulan mereka dengan geologi permukaan di sebelah menyebelah Sesar Adang ini. Sudah hampir sebulan lamanya mereka di sana. Di antara Barito dan Kutai, di seputaran Benangin, Sampirang, Lampeong dan Sambung. Ada tiga provinsi mereka jelajah: Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Saat kutinggalkan dua minggu yang lalu, setelah seminggu bersama mereka menjamah bukit-batu dan sungai Teweh, aku pesankan, “perhatikan perubahan Lempung Tuyu ataupun Pamaluan dari daerah Lampeong ke arah timur lautnya melewati daerah batas Sesar Adang. Perhatikan juga kalau-kalau ada indikasi struktur yang signifikan berbeda. Kalau beruntung, kalian semua bisa mendapatkan feeling di mana gerangan Sesar Adang itu bertapa”.
Batas itu nampaknya tidak bekerja sejak Mio-Pliosen. Pada waktu Dahor diendapkan, yang ada hanya tinggian-tinggian yang membentuk Pegunungan Meratus memuntahkan endapan semacam ”mollase” ke daerah-daerah rendahannya. Dahor konglomerat di mana-mana, yang bahkan menumpang tidak selaras di atas Eocene Tanjung pun bisa terjadi di daerah sana. Dan itu semua tidak dinampakkan dalam peta-peta resmi pemerintah. Mungkin nantinya akan ada sedikit revisi pengertian kita tentang kegiatan tektonik, pengangkatan, pergeseran, pergerakan di daerah sekitaran sebelah menyebelah Sesar Adang itu, terutama dengan memperhitungkan sebaran Dahor Konglomerat di mana saja.
Awal November nanti aku akan ke sana lagi. Entah, akan diperkenalkan ke sedimen apa aku oleh si Pur dan kawan-kawannya. Belum pula jika mereka juga sudah saling mengikat janji atas namaku dengan jejak-jejak Sesar Adang di sana. Wah, akan ramai jadinya.
Omong-omong, sudah berapa rembesan minyak kau data di sekitaran Sesar Adang itu? Simpan untukku.
Migas Miscellaneous (Cuplikan Paper Bambang Istadi, Andang Bachtiar, dan Ariadi Subandrio, 2006: Masih Valid Juga)
(Mencuplik dan mem"posting" dengan pertanyaan menggelayut, “itu menteri ESDM baru yang ahli keuangan kira-kira nyantol nggak ya dilempari masalah-masalah seperti ini?”)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
(Mencuplik dan mem"posting" dengan pertanyaan menggelayut, “itu menteri ESDM baru yang ahli keuangan kira-kira nyantol nggak ya dilempari masalah-masalah seperti ini?”)
Terobosan Kebijakan
Salah satu rekomendasi Munas IAGI 2005 untuk meningkatkan kegiatan eksplorasi adalah turun tangan dan peran serta nyata Pemerintah untuk mempercepat siklus eksplorasi dengan melakukan akuisisi data-data baru untuk menganalisa potensi serta risiko pada cekungan-cekungan yang belum dieksplorasi/ belum berproduksi agar dapat menguak potensi penambahan resources dan reserve replacement dapat tercapai. Pendapatan sektor migas harus disisihkan untuk usaha akuisisi data baru ini dalam bentuk speculative surveys dan pemboran wild cat exploration wells. Usaha ini dianggap penting untuk menjembatani kurangnya data dan rendahnya geological chance of success karena keberadaan hidrokarbon belum terbuktikan. Seberapapun cantiknya Open Area/blok-blok baru dikemas, meski dengan insentif frontier area, pada akhirnya data pula yang berbicara.
Prioritas utama lainnya adalah perlunya dibentuknya Exploration Think-Tank Indonesia, suatu task force yang melibatkan semua stake holders untuk menentukan basin-basin yang berpotensi, skala prioritas eksplorasi/studi dan kebijakan fiskal untuk basin-basin yang belum dieksplorasi/belum berproduksi. Langkah ini perlu diambil sebagai usaha serius penambahan cadangan migas dengan langkah besar yang nyata.
Salah satu tugas Exploration Think Tank Indonesia adalah "merawat, mengembangkan, melatih, mendidik, dan mendandani" bayi-bayi cantik kita, berupa open block/area baik yang terselip di lapangan "tua" di 16 cekungan yang sudah dianggap matang di Indonesia, maupun (terutama) di 50 cekungan lain di Indonesia.
Selama ini, pembicaraan tentang "insentif" didominasi oleh hal-hal yang bersifat economic, finance, bisnis, pajak, dan sebagainya. Hal itu tidak mengherankan, karena sebagian besar pengambil kebijakan dan pembuat opini di industri migas hulu kita adalah para birokrat profesional yang fasih, paham, dan terdidik dengan masalah economics karena memang berlatar belakang engineering, economy, management terutama dengan paradigma "reserves-economy" bukan "resources-economy". Oleh karena itu insentif cenderung lebih berat ke kebijakan untuk "komoditi" yang sudah jadi "reserves". Tidak bisa dipungkiri bahwa kebijakan-kebijakan untuk membuat resources menjadi reserves pun sudah pula digariskan dan diimplementasikan. Namun demikian, titik beratnya selalu pengaturan masalah split, pajak, investment credit, dan hal-hal keekonomian lainnya. Oleh karena itu task force ini perlu melibatkan para praktisi G&G eksplorasionis yang punya pemahaman dan penghayatan tentang faktor "seni" dan "risiko" dalam eksplorasi dan sudah terbiasa dengan kutak-kutik ”Play Concepts” yang perlu didandani, disegarkan, dicarikan konsep-konsep baru. Dan yang terutama, ditambah data-data baru agar riset, pemikiran-pemikiran baru tentang lapangan, blok, maupun cekungan-cekungan di Indonesia dan pemahamannya bisa ditingkatkan.
Sub Direktorat Penyiapan Lahan di bawah Direktorat Eksplorasi Ditjen Migas setiap tahun bertugas untuk mendandani open block/area untuk ditawarkan ke investor berupa kontrak kerja sama (PSC). Tahun 2005 ada 14 open area yang ditawarkan, studi penyiapan lahan setiap blok menelan biaya kurang lebih 100 ribu dolar. Ditambah administrasi, data, hardware, software, dan lain-lain, diasumsikan sekitar 2 juta dolar diperlukan untuk penyiapan lahan tersebut. Signature bonus untuk tiap blok minimal 500 ribu dolar (disyaratkan mutlak dalam bid 2005), dan firm-commitment tiga tahun tiap blok bisa bervariasi antara 5 - 25 juta dolar, ambil saja rata-rata 15 Juta dolar. Jadi, untuk mendapatkan pemasukan negara bukan pajak yang pasti minimum 7 juta dolar dan investasi 230 juta dolar; pemerintah hanya perlu mengeluarkan 28,5% dari pendapatan langsung signature bonus atau 0.87% dari potensi investasinya. Memang kalau ditinjau secara ekonomi (negara) hal ini sangat menguntungkan, tetapi bisa lebih menguntungkan lagi dalam jangka panjang jika Pemerintah lebih memperhatikan aspek "mendadani" bayi-bayi cantik berikutnya sehingga akan makin banyak investasi masuk, dengan cara memakai semua signature bonus tersebut (7 juta dolar) untuk kepentingan studi open area baru atau mengakuisisi data-data baru, sedemikian rupa sehingga investor jadi lebih tertarik dan lebih bergairah.
Terobosan-terobosan peraturan tentang spec survey yang disampaikan pada bentuk Joint Study pada KKS khusus tanpa komitmen pemboran nampaknya sudah mulai diinisiasi oleh Pemerintah (Ditjen Migas-BPMigas). Usaha-usaha deregulasi tersebut perlu didukung bersama, terutama di masalah-masalah krusial penentuan term spec survey-nya, sedemikian rupa sehingga Pemerintah mendapatkan masukan yang profesional dari para stake holder antara lain dari Exploration Think-Tank Indonesia yang terdiri dari para praktisi G&G explorationist Indonesia. Tentu saja dengan syarat Pemerintah juga tidak sungkan-sungkan untuk membuka diri terhadap dialog dengan kalangan Asosiasi Profesional seperti IAGI-HAGI, IATMI maupun Perhapi. Usaha komunikasi Pemerintah dengan asosiasi perlu ditingkatkan ke arah yang lebih menggigit, terutama tidak hanya memprioritaskan mendengar hanya dari Asosiasi Perusahaan (IPA, IMA, Assosiasi Pengeboran Minyak Indonesia, dan sebagainya).
PSC Terms
PSC Term kita selama ini (termasuk yang terakhir 2003 onward) tidak optimum mempertimbangkan nilai resources dan risk yang berkaitan dengan ”Plays” yang ada dalam blok tersebut. Ada blok dengan resources besar dan risk kecil dapat term yang lebih bagus dari blok dengan resources kecil dan risk besar, dan sebagainya. Kunci pemecahannya ada pada analisis awal dari blok-blok tersebut sebelum ditenderkan oleh pemerintah. Keterlibatan BPMigas yang memiliki data-data berbagai KKKS diperlukan dalam mengusulkan blok-blok baru yang akan ditawarkan. PSC Term kita paska keterlibatan aktif BPMigas akan jadi jauh lebih baik karena BPMigaslah yang banyak tahu detail teknis dari aset geologi yang ada dalam blok-blok tersebut, terutama yang sudah di-relinquish oleh KKKS-KKKS terdahulu. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan juga meningkatkan peran dari ESDM (baca: Direktorat Eksplorasi Ditjen Migas dan Lemigas dan BGESDM) dengan cara menantang mereka untuk lebih tajam lagi menganalisis daerah-daerah terbuka sebelum ditenderkan.
Perlu dipertimbangkan oleh Pemerintah untuk membuat klasifikasi term kontrak (KKKS/PSC) berdasarkan kedalaman dan target play meskipun bloknya tetap. Contoh untuk zona dangkal yang play-nya sudah proven termnya 85:15, untuk zona menengah yang play-nya masih probable termnya 75:25, dan untuk zona dalam yang play-nya masih possible termnya 60:40, dan sebagainya.
Esensi dasar sistem PSC adalah pada adanya "cost-recovery" di mana kontraktor mengeluarkan biaya E&P atas tanggungan risikonya sendiri tetapi mendapatkan pengembalian keseluruhan biaya sebelumnya yang dikeluarkan pada tahap eksplorasi setelah adanya produksi dan bagi hasil setelah dipotong penggantian pembiayaan produksi. Asumsi dasar dari keberhasilan implementasi cost recovery adalah adanya perangkat kontrol yang ketat, kuat, dan profesional dari pemerintah (BPMigas) sedemikian rupa sehingga "kecenderungan boros" dan juga "pengambilan keuntungan yang tidak wajar pada operatorship (biaya berputar di lingkungan sendiri)" dapat diminimalkan. Seandainya ada loopholes dalam implementasinya, yang perlu diperkuat dan benahi adalah sistem persetujuan, monitoring, pengawasan, eksekusi cost recovery dan paska eksekusi audit. Dan semuanya itu mengarah pada penguatan sistem kerja dan personalia yang ada di BPMigas.
Namun demikian “kecenderungan boros” mungkin bisa di atas bila sistem PSC dimodifikasi dari split net production setelah dipotong biaya cost recovery, menjadi split berdasarkan gross production. Hal ini mungkin saja diterapkan pada perpanjangan kontrak PSC di mana operator tidak banyak menanggung risiko gagal pada saat eksplorasi, karena lapangan sudah ditemukan dan sudah pada tahap development atau me-maintain produksi. Dengan demikian operator akan dengan sendirinya berhemat dan mengkaryakan lebih banyak tenaga lokal dan mengurangi tenaga asing yang mahal.
Hambatan Lainnya (Data)
Terobosan masalah data diperlukan dengan meninjau term-term dalam PSC dan juga UU22/2001 dan PP Hulu 35/2004 (dan PP34/2005) masalah aturan kepemilikan/kerahasiaan data. Disinyalir lebih gampang mencari data-data lapangan dan sumur migas Indoneisa di Singapura daripada di Indonesia sendiri. Padahal data sangat dibutuhkan dalam pemahaman suatu daerah dan dalam mengembangkan konsep-konsep eksplorasi. Masalah kepemilikan dan kerahasiaan data perlu ditinjau ulang dan dibatasi beberapa tahun saja agar lebih banyak pihak yang dapat mengakses dan mengolah data dengan mudah dan murah. Multiplier effect dari mudah dan murahnya mendapatkan data antara lain ketertarikan calon investor yang selama ini harus melalui proses panjang yang berbelit dan mahal.
Aturan-aturan rinci mengenai data di bawah PP perlu dibenahi untuk memudahkan implementasi persetujuan, monitoring, pengawasan, dan eksekusinya di BPMigas dan Ditjen Migas. Definisi dan contoh lebih rinci diperlukan seperti kriteria-kriteria data (mentah, terolah, ditafsirkan) seperti yang disebutkan dalam UU dan PP. Selain itu kelembagaan data-pun (Ditjen Migas, BPMigas, Pusat Data Nasional, Patra Nusa Data) perlu untuk dibuatkan juklak mekanisme rincinya, untuk menghindari tumpang tindih peran dan saling lempar tanggung-jawab.
Permasalahan lain seperti masalah lingkungan, masyarakat, dan peran daerah yang makin menonjol serta masalah pembagian pusat dan daerah perlu segera diselesaikan dan dicarikan jalan keluar terbaik bagi berbagai pihak terkait karena bisa menghambat usaha eksplorasi dalam mencari potensi resources dan cadangan-cadangan baru.
Sumber Daya Manusia
Prioritas penggunaan "local content", terutama dari segi ketenagakerjaan, perlu mendapatkan perhatian serius agar tenaga kerja Indonesia juga dapat mengembangkan potensi pada dirinya dan berkompetisi secara sehat dan fair dengan tenaga kerja asing. Situasi kondusif dan ”proteksi” masih diperlukan agar terbuka kesempatan kerja yang sebesar-besarnya bagi lulusan berbagai institusi dalam negeri dan kaderisasi pemimpin-pemimpin industri migas di masa mendatang.
Hijrahnya pada profesional migas Indonesia ke Malaysia dan negara-negara Timur Tengah bisa menjadi ancaman bagi kelangsungan kegiatan eksplorasi dan pengembangan migas Indonesia, dan bisa menjadi alasan untuk berbagai perusahaan multinasional untuk menambah tenaga asingnya atau me-TSA-kan (Technical Services Assistance/Abroad) studi atau pekerjaannya di kantor pusat karena tenaga lokal yang berpengalaman tidak banyak yang ”available”. Namun tren ini di lain sisi juga membuka peluang bagi para fresh graduate untuk diserap dalam industri migas. Selama ini terjadi ketimpangan yang cukup signifikan antara jumlah lulusan dan peluang kerja yang tersedia bagi para lulusan geologi, geofisika dan perminyakan.
Untuk "local content", IAGI sudah punya program sertifikasi petroleum geologist, IATMI juga punya program yang sama, sedangkan HAGI sedang mengupayakannya. Di samping itu ada sertifikasi PII, HSE, dan lain lain yang sebenarnya semuanya sudah IN-PLACE untuk dijadikan bargaining oleh Ditjen Migas, Ditjen Binawas Depnaker, BPMigas membuat peraturan dan sekaligus meng-enforce-nya, terutama menyangkut "screening" tenaga kerja asing di oil and gas. IAGI sudah pernah mencoba men-"challenge" masalah ini ke Direktorat Pembinaan Pengusahaan Migas Ditjen Migas (semester 1 2005) tapi ternyata sampai sekarang "tantangan" kami tersebut tidak dijawab dan ditindaklanjuti oleh pemerintah. Tugas kita bersama untuk terus meneriakkan "challenge" tersebut sehingga kita bersama dapat menjawab permasalahan "local content" profesional Indonesia bidang migas ini dengan nyata.