Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Corporate Culture Ngutang (Ngemplang?)

Hal lain yang perlu dicatat dari fenomena “corporate culture”.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Kebiasaan perdagangan internal, ambil untung dari biaya operasi sendiri yang di cost-recovery, dan menunda bahkan mengemplang pembayaran ke pihak ketiga, nampaknya sudah/sedang akan menjadi “corporate culture” dari beberapa perusahaan migas nasional kita. Hal ini terjadi dan makin menjadi-jadi karena perusahaan-perusahaan perintis, yang dijadikan role model, terus menerus melakukan hal itu dikombinasikan dengan permainan politik lewat partai maupun bargaining di legislatif dan eksekutif pemerintahan negara ini.

Perubahan baru akan terjadi kalau dalam Pemilu 2014 mendatang partai yang menang dan Presiden yang terpilih tidak menolerir adanya permainan-permainan seperti itu – dengan syarat mereka juga tidak berhutang budi atau tersandera oleh para pemain dengan “corporate culture” seperti itu.

Hal lain yang perlu dicatat dari fenomena “corporate culture” itu adalah:

  • Teman-teman professional yang bekerja di sana yang semula dikenal punya idealisme dan integritas yang tinggi akhirnya menjadi hanyut dalam “culture” atau minimal bersikap “permissive” (maklum) dengan alasan keterpaksaan.

  • Idealisme “pribumi berjaya”, “anti-asing”, “berdikari”, dan sejenisnya menjadi langganan wajib alasan pemaafan (excuse) bagi perilaku-perilaku bisnis yang tidak etis itu.

  • Asal mulanya kemungkinan adalah penerapan strategi financial engineering yang memaksimalkan keuntungan dari modal yang ada, yang selanjutnya mengorbankan etika bisnis, yang bukan tidak mungkin akhirnya akan mendegradasi moral secara keseluruhan.

Maka, waspadalah, waspadalah! (Kata Bang Napi)

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Eksplorasi itu Tidak (Harus) Mahal, Eksplorasi itu Harus Cerdik

Menentukan dan meyakinkan kepada penyandang dana “daerah mana yang akan diakuisisi dan diproses data seismiknya” berkorelasi dengan 95% tingkat inteligensi dan kesulitan dari usaha eksplorasi pencarian cadangan dan atau sumber daya baru. Sisanya, yang tingkat kesulitannya dan inteligensi yang dibutuhkannya hanya 5% lagi, adalah:

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Menentukan dan meyakinkan kepada penyandang dana “daerah mana yang akan diakuisisi dan diproses data seismiknya” berkorelasi dengan 95% tingkat inteligensi dan kesulitan dari usaha eksplorasi pencarian cadangan dan atau sumber daya baru. Sisanya, yang tingkat kesulitannya dan inteligensi yang dibutuhkannya hanya 5% lagi, adalah:

  1. Menganalisis petroleum sistem, risiko dan biaya yang kemudian diikuti dengan mengebor dan menguji (testing) keberadaan hidrokarbon di dalamnya kalau dari data seismik yang 95% effort tadi terlihat adanya jebakan (trap) migas, atau

  2. Memaketkan analisis data seismik dengan data regional petroleum sistem yang kemudian diikuti dengan pembuatan rekomendasi ke arah mana lagi harus melakukan eksplorasi kalau dari data seismik yang 95% effort tadi tidak terlihat adanya jebakan (trap) migas.

Tapi dari segi biaya: 95% tingkat inteligensi dan kesulitan awal tadi hanya berkorelasi dengan 5% biaya eksplorasi, bahkan seringkali kurang. Murah sekali!! Sementara itu, usaha sisanya yang hanya membutuhkan 5% tingkat inteligensi itu berkorelasi dengan lebih dari 95% biaya eksplorasi.

Kalau kita semua sadar tentang hal itu, tentunya secara cerdik kita akan fokus menggunakan 95% inteligensi kita pada tahapan awal eksplorasi yang murah, dan tidak secara membabi buta terus menerus menceritakan ke orang awam bahwa eksplorasi itu mahal.

Eksplorasi itu harus cerdik!

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

(Tidak Semua Mesozoik di Indonesia Hanya Menghasilkan Gas)

Kalau gas Mesozoik di Vorwata, Roabiba dan di sekitar Bintuni sana punya saudara di selatan di Abadi Masela, bukan tidak mungkin minyak di Bula juga punya kerabat di sepanjang rangkaian petroleum system serupa di seputaran Banda.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Tidak semua Mesozoik di Indonesia hanya menghasilkan gas; ada juga minyak yang digenerasikan dan atau bersarang di dalamnya; di Bula, Seram, misalnya. Kalau gas Mesozoik di Vorwata, Roabiba dan di sekitar Bintuni sana punya saudara di selatan di Abadi Masela, bukan tidak mungkin minyak di Bula juga punya kerabat di sepanjang rangkaian petroleum system serupa di seputaran Banda. Kita saja yang kurang jeli menelisiknya.

Tidak semua cekungan busur muka dingin heat-flownya; daerah-daerah yang dialasi terrain mikro-kontinen — meski ada di busur muka — akan tetap menghasilkan aliran bahang yang menyala-nyala; di Manna Bengkulu dan Meulaboh, misalnya. Kalau seismik di sepanjang Samudra Hindia selatan Jawa dari Yogja sampai Jember sana ternyata masih juga menampakkan struktur-struktur sesar bongkah; bukan tidak mungkin daerah daratan di Sentolo, Pacitan, Kediri, dan Lumajang juga dialasi sesar-sesar bongkah yang sama yang cukupi aliran panasnya untuk membentuk minyak dan gas bumi mengisi tinggian muda atau (apalagi jika ada juga) Mesozoik di bawah sana. Kita saja yang takut dan malas berisiko mengakusisi datanya.

Tidak semua geologist yang mengaku diri sebagai eksplorasionis hanya pesimis-pesimis saja, mendaur ulang konsep-konsep lama dan tidak berani merombak cara pikir barunya untuk eksplorasi migas Indonesia.

Dan saya yakin: itu adalah anda!!

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

(Heboh Info Katastrofe Geologi Pagi-Pagi — untuk Direnungi)

Nah, kalau ada yang berminat membuktikan atau memfalsifikasi hipotesis di atas, monggo dibikin perhitungan-perhitungan kinematika dan dinamika litosfer dan hidrosfernya.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Kalau peningkatan kegiatan vulkanisme (letusan gunung berapi) dalam skala masif menyebabkan pemanasan global, nampaknya lebih mudah dicerna logika falsifikasinya, karena sebenarnya letusan-letusan gunung api super katastrofe level dunia malah menyebabkan pendinginan global bukan pemanasan global. Debunya akan mengambang di stratosfer berwaktu-waktu masa sehingga menyebabkan global winter bertahun-tahun seperti diindikasikan di kasus super-volcano Toba atau letusan kaldera Tambora.

Tapi kalau sebaliknya: "apakah pemanasan global bisa menyebabkan peningkatan aktivitas vulkanisme global", nampaknya perlu lebih hati-hati menyikapinya.

Mungkin logika hipotesis pernyataan nomor dua di atas adalah sebagai berikut:

  1. Pemanasan global menyebabkan pencairan es di kutub,

  2. Pencairan es di kutub menyebabkan kenaikan muka air laut,

  3. Kenaikan muka air laut menyebabkan pertambahan volume air laut di samudra,

  4. Penambahan volume air laut di samudra-samudra menyebabkan penambahan beban tekanan - stres pada lempeng samudra,

  5. Penambahan beban tekanan - stres pada lempeng samudra menyebabkan peningkatan kecepatan subduksi/penunjaman lempeng, dan

  6. Peningkatan kecepatan subduksi/penunjaman lempeng menyebabkan peningkatan aktivitas tektonik (kegempaan) dan vulkanik ( letusan gunung api)

Nah, kalau ada yang berminat membuktikan atau memfalsifikasi hipotesis di atas, monggo dibikin perhitungan-perhitungan kinematika dan dinamika litosfer dan hidrosfernya.

Siapa tahu hitung-hitungannya pas dan hipotesis tadi terbukti dengannya?

Read More
Rilisan Online Admin Rilisan Online Admin

Tidak Ada Intrusi Air Laut di Bawah Monas (+ Teluk Jakarta adalah Tinggian Tektonik yang Bikin Jakarta “Turun” Terus)

Tidak pernah terjadi intrusi air laut ke dalam lapisan air tanah tertekan di Jakarta, apalagi sampai di bawah Monas. Yang terjadi malah sebaliknya: banyak air tawar keluar (discharged) sebagai mata-air di pantai dan Teluk Jakarta.

Dirilis pertama di Facebook pribadi.

Tidak pernah terjadi intrusi air laut ke dalam lapisan air tanah tertekan di Jakarta, apalagi sampai di bawah Monas. Yang terjadi malah sebaliknya: banyak air tawar keluar (discharged) sebagai mata-air di pantai dan Teluk Jakarta. Kandungan air agak payau di air tanah dalam adalah karena percampuran dengan air perasan dari lempung-lempung pengapit di atas dan di bawah akuifer karena proses kompaksi biasa, bukan karena intrusi air laut. Data isotop juga menunjang kesimpulan tersebut. Di pinggiran laut seperti di Muara Baru sampai ke Ancol, tentu saja, air tanah bebas dangkal dan air permukaan dipengaruhi oleh pasang surut air laut di sana.

Sebenarnya sejak 2002 (sepuluh tahun yang lalu) hasil penelitian ITB dan LIPI tersebut telah disosialisasikan, dan selama sepuluh tahun terakhir ini hasil-hasil isotop dan pemetaan sifat kimia air tanah seluruh daerah DKI makin menguatkan kesimpulan tersebut. Sayang cara mengkomunikasikan hal ini ke masyarakat agak kurang pas sehingga infonya tidak sampai.

Pada lapisan yang di"dating"sebagai "Mid-Holocene" atau sekitar empat - lima ribu tahun yang lalu, garis pantai mundur sampai di selatan Monas yang menyebabkan diendapkannya lapisan sedimen laut dengan air asin di dalamnya. Kalau kasusnya seperti itu maka memang air di dalam akuifer tersebut sudah asin dari asalnya, dan sering disebut juga sebagai "connate water". Kedalaman lapisan-lapisan tersebut lebih dari 300 - 400 meter di daerah Jakarta Pusat dan makin mendangkal ke selatan.·

Demikianlah sebagian catatan dari Focused Group Discussion Peluang dan Tantangan Ruang Bawah Tanah DKI Jakarta yang diikuti oleh sekitar 20 pakar geologi, geofisika, geoteknik, geodesi, geodinamik, konstruksi, air tanah, dan kegempaan pada 20 Desember 2012 yang lalu, di Jakarta.

Hadir di acara tersebut: Prof Jan Sopaheluwakan (LIPI), Prof Hasanuddin Z. Abidin (ITB), Prof. Herman Moechtar (Badan Geologi), Dr. Asrurifak mewakili Prof Masyhur Irsyam (ITB), Dr. Agus Handoyo (ITB), Dr. Andang Bachtiar (Exploration Tahunink Tank Indonesia), Dr. Agus Guntoro (Trisakti), Dr. Danny Hilman (LIPI), Irm Ali Djambak MT (Trisakti), Ir. Wahyu Budi (Badan Geologi), Dr. Imam Sadisun (ITB), Dr. Widjojo Prakoso (UI), Dr. Firdaus Ali (UI), Prof Robert Delinom (LIPI), Ir. Rovicky D.P MSi (IAGI), wakil2 dari Kimpraswil, BMKG dan BIG-Bakosurtanal.

Catatan penting lainnya adalah:

Teluk Jakarta adalah tinggian lokal, sementara dari pantai teluk ke arah darat ke selatannya adalah rendahannya yaitu "West Ciputat Low". Oleh karena itu meskipun ada 13 sungai mengalir membawa sedimen ke arah Teluk Jakarta tapi di teluk Jakarta tidak terbentuk delta, karena sedimen-sedimen yang dibawa sungai-sungai itu sebagian besarnya diendapkan di rendahan Ciputat Barat yaitu di daratan Jakarta yang secara geomorfologi disebut sebagai Dataran Banjir Jakarta. Maka ketika masuk ke Teluk Jakarta sungai-sungai itu hanya menyisakan suspensi halus dan arus sungai yang lemah.

Rencana pembangunan sea wall di Teluk Jakarta seharusnya memperhitungkan konstelasi tektonik sedimentasi tersebut. Sea wall harus dibangun di blok yang selalu naik yang mungkin terletak menjorok ke dalam teluk, bukan di lokasi pantai yang sekarang. Kalau posisinya tidak tepat maka dalam jangka panjang (lebih dari 50 tahun) sea wall itu juga akan terus tenggelam.

Demikian juga reklamasi (peng-urug-an) Teluk Jakarta seyogyanya memperhitungkan garis batas tinggian_rendahan tersebut. Kalau posisi area yang di-urug ada di selatan garis batas maka reklamasi akan ambles-turun terus. Hasil survei GPS Prof. Hasanuddin ITB juga menunjukkan penurunan maksimum di bagian selatan daerah Muara Baru sampai ke Ancol. Kebijakan reklamasi harus dimodifikasi, dikawal dengan mendelineasi daerah-daerah yang akan sia-sia saja kalau direklamasi.

DKI Jakarta - Aktif secara Tektonik?

P. Seribusebagai kelurusan utara dari tinggian Ciputat-Tangerang selalu bergerak naik secara tektonik; teras-teras terumbu yang berkembang di kepulauan Seribu itu adalah buktinya. Demikian juga daerah sepanjang garis imajiner Ciputat-Ujung Teluk Naga: itu adalah daerah yang selalu naik. Teras sungai di sepanjang aliran S. Cisadane membuktikan gerak tektonik naik tersebut. Adanya slicken side, offset, pergeseran di sedimen Pleistosen Jakarta membuktikan patahan Jakarta bisa aktif sewaktu-waktu dalam masa kuarter ini.

Sebagai tindakan preventif mitigasi bencana gempa bumi dengan adanya indikasi patahan aktif tersebut, saat ini sedang diusahakan untuk membuat mikro-zonasi gempa di Jakarta sampai ke level 4 yaitu skala 1:25.000. Dengan demikian, bangunan yang didirikan di DKI Jakarta nantinya bisa mengacu pada peta mikro-zonasi tersebut untuk desain dan konstruksinya sehingga ramah gempa.

Merujuk pada konstelasi tektonik Tersier dan kuarter yang ada, secara geologi teknik masa depan DKI adalah Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu yang merupakan daerah tinggian yang lebih aman daripada dataran banjir Jakarta yang selalu turun.

Read More