(Habisnya Kontrak-kontrak Blok-blok Produksi Migas)
Janganlah pernah lagi berniat main-main dengan membuat Permen, apalagi Perpres atau (keterlaluan kalau sampai) PP, seperti dulu PP35/2004 dan PP 34/2005 untuk melegalkan jatuhnya Blok Cepu ke operator asin, tentang PERPANJANGAN KONTRAK!!!
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Karena aturan perjanjian dalam PSC/KKKS itu sudah sangat-sangat jelas dalam masalah habisnya kontrak-kontrak blok-blok produksi migas; yaitu blok sepenuhnya kembali ke Pemerintah dan tidak ada kewajiban apapun dari Pemerintah dan tidak ada hak apapun dari kontraktor terkait dengan perpanjangan kontrak, dan terserah 100% kepada Pemerintah untuk memberikan blok produksi itu ke siapa saja yang dikehendaki, maka….
Janganlah pernah lagi berniat main-main dengan membuat Permen, apalagi Perpres atau (keterlaluan kalau sampai) PP, seperti dulu PP 35/2004 dan PP 34/2005 untuk melegalkan jatuhnya Blok Cepu ke operator asin, tentang PERPANJANGAN KONTRAK!!!
Kalau niat nurani bersih, insyaAllah tindakan mengatur negara - pemerintahan juga bersih dan di-ridho-i.
Kalau alasannya karena khawatir tangan sendiri tak mampu mengelola blok produksi yang sudah tinggal panen dengan risiko yang sangat bisa dimitigasi dengan ilmu dan pengalaman selama ini, lebih baik mundur dan kasih kesempatan yang lebih punya ilmu dan pengalaman dan tangan yang lebih kuat dan mampu untuk menangani!!!!
Oret-Oretan Rapat
Saya senang karena meskipun para pengusaha swasta BBN (Bahan Bakar Nabati) tujuannya memaksimalkan keuntungan demi perusahaannya tetapi mental attitude para pelakunya kemarin seringkali lebih "njawani" daripada kaum "sosialis" dalam mendukung percepatan program pemerintah: substitusi biofuel untuk bbm fosil.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Saya senang karena meskipun para pengusaha swasta BBN (Bahan Bakar Nabati) tujuannya memaksimalkan keuntungan demi perusahaannya tetapi mental attitude para pelakunya kemarin seringkali lebih "njawani" daripada kaum "sosialis" dalam mendukung percepatan program pemerintah: substitusi biofuel untuk bbm fosil.
Karena mereka terlalu ngotot dan bahkan sampai mau rugi untuk ikut melaksanakan program pemerintah dalam percepatan substitusi biofuel untuk bbm fosil, bahkan saya mulai curiga jangan-jangan mereka sudah dalam kondisi survival di ujung daya tahannya untuk melangkah.
Saya juga senang karena meskipun BUMN punya tugas PSO (Public Service Obligation) tapi mental attitude sebagian pegawainya seringkali lebih "yahudi" daripada kaum "kapitalis" dalam memaksimalkan keuntungan untuk perusahaannya.
Tetapi karena mereka terlalu ngotot dan sampai tidak rasional dalam mementingkan keuntungan daripada terlaksananya program pemerintah langsung untuk rakyatnya saya koq mulai curiga: jangan-jangan sebagian dari pegawai-pegawai itu tidak paham bahwa BUMN itu milik negara dan diadakan untuk kepentingan negara melayani rakyatnya.
Ada-ada saja.
Subsidi BBM - dan KEN
"Harga keekonomian yang disesuaikan dengan daya beli masyarakat" — frasa tentang harga energi dalam kebijakan energi nasional.. Merupakan ungkapan eufemistis dari prinsip-prinsip sosialisme kerakyatan yang dibungkus liberalisme kapitalistik (atau sebaliknya? Liberalisme kapitalistik yang dibungkus sosialisme kerakyatan?)
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
"Harga keekonomian yang disesuaikan dengan daya beli masyarakat" — frasa tentang harga energi dalam kebijakan energi nasional.. Merupakan ungkapan eufemistis dari prinsip-prinsip sosialisme kerakyatan yang dibungkus liberalisme kapitalistik (atau sebaliknya? Liberalisme kapitalistik yang dibungkus sosialisme kerakyatan?)
Yang diutamakan itu "daya beli masyarakat" atau "harga keekonomian"?
Kalau yang diutamakan adalah daya beli masyarakat, maka subsidi energi menjadi suatu konsekuensi - kewajaran.
Kalau yang diutamakan adalah harga keekonomian maka pencabutan subsidi mendapatkan pembenaran.
Lalu ada yang mempertanyakan:
Bagaimana mungkin menghitung harga keekonomian yang benar kalau ternyata komponen-komponen biayanya tidak dikontrol ketat dan penyelewengan menjadi kewajaran, seperti misalnya: mark up makelar impor minyak seperti kasus petral; cost recovery yang digerogoti makelar-makelar proyek seperti kasus sutan batugana dsb; penjualan minyak entitlement GOI yang tidak transparan dan penuh hangky pangky seperti kasus Rudi Rubiandini, dsb dsb.
Sementara di sisi lain ada juga yang mempertanyakan: bagaimana mengukur daya beli masyarakat yang sebenarnya? Bukannya masyarakat pengguna energi BBM kita umumnya masyarakat mampu yang mampu beli sepeda motor (walaupun dengan cicilan yang mencekik) yang mustinya juga mampu beli BBM dong. Atau ada juga yang meragukan bahwa pemerintah tidak tahu sebenarnya kebutuhan BBM kita itu berapa? Tidak pernah ada angka yang fix tentang kebutuhan BBM (energi?) kita. Lha wong ribuan ton minyak bersubsidi saja diselundupkan (di Batam, di Kalimantan, di Papua) pasokan masih relatif tenang-tenang saja koq. Jadi apa benar bahwa kita sekarang butuh 48 juta kiloliter BBM bersubsidi u/seluruh Indonesia? Lha wong "nelayan-nelayan besar" main jual beli BBM bersubsidi saja masih ok-ok saja koq,... Jadi berapa sebenarnya kebutuhan masyarakat kita untuk BBM? Jangan-jangan selama ini kita hanya menyubsidi para penyeleweng tata kelola migas kita saja. Terus ke mana saja "negara" ketika penyelewengan-penyelewengan itu terus terjadi di depan mata?
Nah, bagaimana kita mengurai silang-siur sengketa fakta itu semua?
Sekarang silakan dipertimbangkan. Apakah masalah-masalah tersebut di atas dimengerti, dipetakan, dan dibereskan sampai tuntas dulu baru kemudian kita berpikir ulang? Atau kah: ah, sudahlah. Hajar saja. Segera naikkan harga BBM bersubsidi, alihkan subsidi minyak tersebut ke bantuan langsung (produktif? Konsumtif?) untuk masyarakat, dst! Shortcut, supaya ruang fiskal kita segera tercipta atau membereskan masalah tata-kelola migas (energi) terlebih dulu sehingga dapat ruang fikcal (ini bisa long cut bisa shortcut juga tergantung siapa yang mimpin pemerintahan), baru kemudian menimbang-nimbang masih mau nambah ruang fiskal lagi dengan mengalihkan subsidi atau merelakan saja rakyat yang sudah terbiasa dapat BBM (energi) murah tetap ter-nina bobok-kan dengan kondisi absurd penerjemahan kebijakan energi kita.
Mumpung belum diumumkan.
Profesor Merdeka!
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Kawanku, seorang profesor di perguruan tinggi ternama, dulu dia adalah pegawai salah satu PSC Migas Indonesia, yang juga ternama.
Dia berkata:
Dulu waktu saya kerja di perusahaan minyak, memang gaji saya besar jauh berlipat kali gaji pegawai negeri. Tetapi saya selalu merasa miskin. Karena semua pemasukan sudah bisa diprediksi, sementara pengeluaran selalu penuh kejutan. Meski cuti setahun bisa dua kali dan dapat uang cuti pula yang besarnya kadang melebihi gaji, tapi saya selalu merasa miskin. Nyari hotel dan tempat hiburan untuk cuti dengan sangat berhitung dan berhati-hati. Kalau ketemu teman kerja sesama orang kompeni, yang kami bicarakan selalu: Program housing-mu seperti apa? Sudah dapat car ownrship belum? Bagaimana dengan tunjangan regional? Skala gaji di tempatmu berapa? Semuanya berkisar sekitar itu-itu saja. Kami seolah-olah terkungkung oleh tugas hidup yang membebani dengan bayaran yang jelas tanpa ada variasi, meskipun juga tiap tahun ada bonus sama-sama yang bisa dinikmati.
Tapi sejak saya putuskan kembali ke kampus mengabdi menjadi guru-dosen-peneliti di perguruan tinggi, saya jadi merasa sangat kaya. Dan yang terutama: saya merasa jadi sangat merdeka!!!! Kebutuhan lebih mudah diprediksi berdasarkan base line penghasilan dan kepantasan, sementara real income jadi penuh kejutan yang membahagiakan. Saya merasa jadi lebih kaya karena selalu merasa berkecukupan. Saya merasa lebih merdeka karena bisa melakukan lebih banyak hal yang berbeda-beda dan tetap saya suka tanpa harus ketakutan dengan status saya sebagai akademisi karena itu dimungkinkan dalam peraturan tempat kerja. Ada Pendidikan, ada Penelitian, ada Pengabdian Masyarakat instead of hanya jadi "kuli" sekrup dan baut belaka di profesi sebelumnya. Kalau mau nginep di hotel dengan keluarga atau nyari tempat libur yang wah biasanya kita jadi lebih ringan melangkah, karena toh penghasilan selalu penuh kejutan meski sebagian harus digunakan untuk leisure yang menyenangkan. Tanpa beban.
Hehehehehehehe....
Kawanku itu, ada-ada saja.
Sayang dia tidak bisa menuliskannya sendiri cerita tentang perasaannya itu dimana-mana.
Bukan maksudku untuk mengiming-imingi jadi dosen-peneliti-pengabdi ataupun pegawai negeri (apalagi untuk pegawai negeri biasa lima tahun ke depan tidak boleh tambah — moratoriumnya MenPan Kabinet Kerja).... Tapi cobalah mulai berpikir bahwa: jadi pegawai oil & gas company itu bukan segala-galanya.
Hahahahahaha.
Koreksi Cadangan Gas Indonesia!!
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Meneruskan aspirasi stakeholder saya dari IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) yang baru saja selesai menyelenggarakan konvensi tahunannya hari ini, saya meminta supaya gas Natuna D-Alpha yang 45TCFG itu dihapuskan saja dulu dari angka cadangan Indonesia untuk perencanaan Kebijakan Energi Nasional paling tidak sampai 2025.
Alasannya karena toh dalam sepuluh tahun ke depan tidak mungkin secara ekonomis sumber daya di situ dialirkan menjadi energi. CO2-nya yang tinggi dan persaingannya dengan gas-gas murah dari luar negeri maupun dalam negeri lainnya membuat peringkatnya menjadi sekedar Contingent Resources: Development not Viable.
Jadi mungkin sekarang kita hanya tinggal punya cadangan gas 105-110 TCF Gas saja — dari yang semula dianggap 150+ TCFG- untuk direncanakan dipakai sebagai modal pembangunan ke depan. Bisa jadi lebih cepat lagi kita menjadi Net Gas Importer. Kecuali hitungan ekonomi tidak menjadi dasar pertimbangan, insentif-intentsif kita obral, asalkan gas Natuna D-Alpha itu bisa diproduksi dijadikan energi. Tentu saja bukan untuk kita jual keluar. Tapi untuk menerangi kehidupan dan industrialisasi di negeri sendiri: Kalimantan Barat dan Sumatra, misalnya.
Atau biar saja dia tersimpan di bawah bumi di bawah laut Natuna sana, sebagai cadangan strategis Indonesia, yang mana hal tersebut juga diamanatkan dalam Kebijakan Energi Nasional kita. Selama ini Indonesia belum pernah punya Cadangan Strategis dan Cadangan Penyangga. Di dalam KEN kedua hal itu sekarang jadi tanggung jawab pemerintahan kita. Kalau tidak diupayakan, rakyat bisa menuntut pemimpinnya gak bener kerja. Tentu saja, supaya Cadangan Strategis Gas Natuna itu sewaktu-waktu bisa dengan cepat dipergunakan, dia harus terus menerus kita persiapkan pengalirannya (termasuk urusan CO2 dan CCS-nya) secara bertahap sesuai dengan prioritas dan kemampuan kita.
Dengan demikian, perencanaan umum energi kita ke depan, terutama gas, menjadi lebih realistis, tidak mengawang-awang dengan angka-angka resources-reserve yang tidak berkepastian juntrungannya.
Tentu saja saran di atas itu tidak terlepas dari rangkaian besar aspirasi untuk meningkatkan usaha eksplorasi sumber daya kebumian Indonesia, termasuk migas, dengan cara yang lebih cerdas dari cara yang selama ini dilakukan, sehingga Rasio Keberhasilan eksplorasi bisa ditingkatkan dan cadangan energi terbukti Indonesia jadi meningkat secara signifikan untuk menolong krisis energi yang terus menerus terjadi sampai saat ini.
Untuk cara eksplorasi yang lebih cerdas itu akan saya uraikan dalam internal memo berikut-berikutnya.