The Clinckers = Tuffaceous Rocks Associated with Burning Coals
Mohon berhati-hati dengan interpretasi fenomena batuan bersifat tufaan yang berada di sekitar interval batu bara yang sudah teralterasi, terutama di Miocene coal di Cekungan Kutai.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Mohon berhati-hati dengan interpretasi fenomena batuan bersifat tufaan yang berada di sekitar interval batu bara yang sudah teralterasi, terutama di Miocene coal di Cekungan Kutai.
Memang belum ada satu pun dipublikasikan paper yang khusus membahas tentang masalah ini di daerah tersebut, tetapi saat aku masih bergentayangan bersama tim pemetaan regional VICO 1991-1998 di daerah Kutai (hilir dan hulu), penelitian khusus yang cukup intensif tentang gejala tersebut telah kami lakukan untuk menjawab keanehan kontradiksi antara penyebaran tuffaceous rock tersebut dengan sejarah vulkanisme di Miocene sendiri (yang tidak klop).
Prof. Sukendar Asikin, juga almarhum Prof. Rubini, sempat kami ajak juga jalan-jalan melihat berbagai fenomena tuffaceous rock tersebut, paling tidak di sembilan lokasi yang berhasil kami petakan di seputaran aliran S. Mahakam, bahkan dengan menggunakan bantuan magnetometer, karena sebagian besar produknya juga sampai berupa grape stone basalt yang berongga-rongga yang punya kemagnetan tinggi. Salah satu lokasi di Loa Tebu dekat Tenggarong malahan dideskripsikan sebagai "welded-tuff" oleh para pakar petrologi yang kami ajak ekskursi ke sana.
Secara asosiasi, semua fenomena tuffaceous rock (sampai ke scoriae grape stone basalt) itu didapatkan di sekitar daerah (atau dekat kontak dengan) batu bara yang terbakar; bahkan di delapan dari sembilan lokasi yang kami teliti asap batu bara terbakar itu terus menerus mengepul bertahun-tahun. Batu bara-batu bara yang terbakar itu pada umumnya tersingkap di permukaan, tapi ada pula yang terkubur agak dalam di bawah permukaan, yang mana asapnya terus menampakkan diri keluar dari rekahan-rekahan di sekitar lokasi tersebut. Ciri umum lainnya adalah dijumpainya banyak lapisan kemerahan seperti genteng ("kreweng" bahasa jawa) di sekitar daerah kontak antara batu bara terbakar tersebut dengan lempung di sekitarnya.
Kami juga berhasil mencoba merekayasa proses yang kemungkinan terjadi akibat kontak panas tersebut dengan lempung, yaitu dengan mengambil contoh lempung abu-abu yang masih segar pada suatu singkapan di daerah Mutiara (Samboja) pada jarak sekitar 10 meter dari batu bara yang terbakar, di mana terjadi urut-urutan perubahan warna menjauhi batu bara dari hitam keras seperti kerak, menjadi putih seperti tuffa, menjadi merah kecoklatan, kemudian menjadi lempung segar abu-abu. Lempung abu-abu yang segar itulah yang kami sampling, kami bawa ke laboratorium DIM di Soekarno Hatta. Kemudian bekerja sama dengan kawan-kawan periset DIM waktu itu, kami panaskan lempung tersebut secara bertahap dari 100 sampai 600 degree celcius dalam tungku tertutup, di mana pada 200, 400 dan 600 degree kami ambil hasil prosesnya. Dan hasilnya menunjukkan urut-urutan yang sama dengan yang kami lihat di lapangan. Secara petrografis deskripsi dari batuan-batuan ubahan itu adalah basalt, tuff, tuffaceous clays, dan atau tuffaceous sandstone di mana didapatkan komponen-komponen gelas yang jelas dalam sayatan. Tetapi secara genesa, kami tahu persis bahwa itu semua adalah hasil laboratorium dan juga hasil sampling di lapangan dekat kontak dengan batu bara terbakar tadi.
Kalau kita menyelisik literatur, fenomena seperti ini sudah dikenali orang sejak awal abad 20 dalam bentuk publikasi oleh Bastin (1905) di Journal Geology untuk daerah Eastern Wyoming. Mereka menyebutnya sebagai clinkers. Banyak paper yang ditulis tentang clinkers yang berhubungan dengan coal di Fort Union formation yang terbakar dan mengubah sedimen-sedimen di sekitarnya di daerah Wiliston (Montana), dan Powder River Basin (Wyoming). Waktu itu counterpart kami di VICO juga banyak membawakan paper dari Wyoming dan Montana untuk referensi laporan internal diintegrasikan dengan hasil riset kita. Fenomena batu bara terbakar menghasilkan tuffaceous rocks ini juga dideskripsikan sebagai tuffa dengan tanda tanya oleh Land & Jones (1987) untuk batu bara-batu bara di Samarinda (Land, D.H., dan C.M. Jones, 1987, Coal geology and exploration part of the Tertiary Kutai Basin in East Kalimantan, Indonesia: in Scott, A. (ed.): Coal and coal bearing strata: Recent advances, Geological Society Special Publication no. 32, 235-255).
Kesimpulan kami pada waktu itu, tuffaceous rock tersebut adalah efek dari burning coals karena sifat self combustability-nya (biasanya ash content-nya tinggi); jadi kita tidak perlu khawatir dengan anomali-anomali "volcanisme" pada Misoen Tengah dan Miosen Akhir yang hampir saja menjadi dispute kalau waktu itu kita kontraskan dengan data-data vulkanik daerah hulunya Kutai dan juga penyebarannya yang ternyata hanya lokal-lokal saja. Apakah hal serupa terjadi juga di Eosen dan juga di Barito: saya belum pernah lakukan riset secara khusus. Tapi di Tarakan, saya banyak melihat fenomena serupa juga di Tabul, Meliat, dan Tarakan Fm.
Mudah-mudahan bermanfaat.
———
From: Noel Pranoto
To: economicgeology@yahoogroups.com
Sent: Friday, June 18, 2010 6:58 PM
Subject: Re: [economicgeology] Washability testPak Kamsul,
Sebagai latar belakang, kehadiran tuffaceous rock di sekitar batubara sering terjadi pada Tertiary coal di Indonesia. Setidaknya ini bisa diamati pada Eosen dan Miosen coal di Cekungan Barito, Asam-asam dan Pasir. Bahkan di Cekungan Pasir rata-rata mineral matter (sering disederhanakan sebagai "ash" saja) yg terdapat pada batubara berasal dari volcanic airborne tuffaceous yg terendapkan bersama-sama seam batubara. Di kalangan coal geologist kita sering menyebut "tonstein", suatu lapisan tuffaceous di sekiar interval batubara yg sudah teralterasi namun masih bisa terlihat jelas "glass shard"-nya pada sayatan petrografi. Tonstein ini seperti yg kita duga sangat berguna sebagai penanda (marker) dalam korelasi lapisan batubara karena distribusinya yg luas/lateral.Kembali ke pada washability, sepanjang ada perbedaan densitas maka washability test (dan langkah selanjutnya adl simulasi wash plant) dapat digunakan untuk menguji seberapa efektif "ketercucian" tadi. Tuffaceous rocks densitasnya relatif masih lebih tinggi daripada batubara namun yg umumnya sering bermasalah dlm proses benefisiasi adl besar butir dan ini bukan hanya berlaku untuk batuan tuffaceous tapi batuan lain dan material lain spt tanah/soil. Saya bukan metalurgist tapi kasarnya jika butiran pengotor ini sangat kecil maka suspensi pada sink/float test tidak terbentuk dan material ini akan terbawa menjadi produk.
Kembali ke pertanyaan Pak Kamsul, intinya uji ini masih bisa digunakan jika pengotornya infil material klastik halus. Uji yg digunakan utk butiran halus ini (fine, >0.75mm) adl froth floatation.
Semoga membantu.
Salam,
Noel
Tentang Variasi “Kematangan” Batu Bara Umur Sama (Pendekatan Analisis Cekungan Migas)
Pada suatu milis kawan-kawan "geologi ekonomi", aku tertarik mengikuti diskusi tentang variasi rank/nilai kalori pada batu bara formasi yang sama di cekungan yang sama pada kelurusan kemenerusan strike yang sama, tapi di lokasi yang berbeda.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Pada suatu milis kawan-kawan "geologi ekonomi", aku tertarik mengikuti diskusi tentang variasi rank/nilai kalori pada batu bara formasi yang sama di cekungan yang sama pada kelurusan kemenerusan strike yang sama, tapi di lokasi yang berbeda. Bagi kawan-kawan coal (mining) geologist hal tersebut berpengaruh langsung pada aspek komersial dan otomatis juga ke perencanaan tambang. Bagi kami di geologi perminyakan, pengaruhnya tidak langsung, lewat berbagai urutan implikasi antara, tapi tetap sama-sama krusial dalam menentukan aspek risiko suatu prospek; apakah minyak belum terbentuk dan belum masuk ke perangkap, sudah terbentuk tapi belum masuk ke perangkap, sudah terbentuk dan sudah masuk ke perangkap, atau sudah terbentuk tapi sudah melewati perangkap pergi ke tempat lain. Rank dalam batu bara identik dengan kematangan atau "maturity" dari batuan induk dalam geologi perminyakan. Apalagi batu bara juga sudah terbukti sebagai batuan induk minyak dan gas bumi, terutama di cekungan-cekungan tersier di daerah tropis, khususnya di Indonesia.
Dalam berbagai pengalaman memetakan kematangan batu bara (sebagai batuan induk), termasuk menggunakan data dari pengukuran pada singkapan batu bara permukaan di berbagai cekungan di Indonesia (terutama Cekungan Kutai), variasi perubahan nilai kematangan (Ro, TAI, SCI) dalam satu formasi yang sama adalah sangat biasa terjadi. Kontrol utamanya adalah posisi stratigrafi antara lapisan satu dengan lainnya, dan kemudian burial history-nya atau sejarah penguburan-nya. Makin tua umur stratigrafi suatu lapisan batu bara maka makin matang batu bara-nya, dengan syarat semua urutan stratigrafi mengalami proses penguburan yang sama. Hal tersebut biasanya berlaku di satu posisi titik vertikal (data pemboran yang berurutan dengan kedalaman). Begitu kita berbicara aspek lateral, maka kemungkinan yang berlaku adalah burial history yang bervariasi antara satu titik dengan titik lainnya.
Saya pernah punya plot kematangan batu bara sebelah menyebelah sayap sinklin Buat (daerah Jonggon, Tenggarong), ke arah barat sampai ke antiklin Pembulan, ke arah timur sampai ke antiklin Gitan, di sepanjang lintasan seismik; yang kebetulan persis di pusat axis sinklin-nya ada sumur dibor VICO di awal 80an yang juga punya data kematangan batu bara dari surface ke TD (kedalaman sekitar tiga kilometer). Dari plot-plot tersebut saya dapatkan trend kematangan yang berbeda di mana surface Ro plot relatif lebih kecil perubahan kematangan-nya dengan bertambahnya umur dibanding dengan subsurface Ro plot. Selain trend sayap timur ternyata lebih matang (untuk umur yang sama) dibanding trend sayap barat. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebelum ditekuk menjadi sinklin, sayap di timur itu dikubur lebih dalam daripada sayap barat. Selain itu kemungkinan besar proses pengangkatan sinklin-antiklin tersebut berlangsung dalam waktu relatif singkat pada kala/kurun waktu geologi 5MYA (bukan 1.5MYA) yang memberikan kesempatan pada sinklin-nya untuk terus mengalami pemanasan tinggi bersama waktu (time-temperature processes), sementara yang jadi sayap-sayap sudah mengalami reduksi lingkungan temperatur dalam waktu lama tersebut.
Nah, khusus untuk menerangkan variasi kematangan (baca: rank) batu bara pada strike yang sama, tektonik dan/atau struktur-lah yang seringkali menjadi dominan penyebabnya. Hal ini berlaku bukan hanya untuk kematangan atau rank saja, tapi juga untuk ketebalan. Di satu tempat kita bisa punya 75 meter coal seam (wow! Adaro!), di tempat lain pada strike line yang relatif hampir sama mendapatkan separuh ketebalan-nya pun sudah merupakan anugerah. Dari berbagai contoh empiris baik yang dipublikasikan maupun yang tersimpan sebagai laporan-laporan internal perusahaan, penyebab utama variasi ketebalan itu adalah perbedaan sejarah penurunan tektonik (tectonic subsidence) satu tempat dengan tempat lain dikaitkan dengan pembentukan ruang akomodasi sedimentasi (sedimentary accomodation space). Kaki tangan alias fasilitator dari penurunan tektonik tersebut siapa lagi kalau bukan patahan.
Ada patahan normal (turun) di setting rift-basin, back-arc basin, atau muka delta-prodelta (deltafront-prodelta growth fault), ada pula patahan anjak di setting foreland basin, back-arc basin (lagi), dan thrust fold belt system. Daerah-daerah yang turun akan cenderung menumpukkan sedimen lebih tebal daripada daerah yang naik. Dan kalau sedimen-sedimen itu punya kecenderungan membentuk batu bara (fluvial meandering, raised mire, deltaic, shoreline), maka batu baranya akan berkembang sangat tebal. Demikian juga proses yang terjadi setelah deposisi yaitu burial. Selama tektonik terus bekerja, struktur terus bergerak, maka daerah yang turun tersebut akan terus turun ditumpuk sedimen-sedimen yang lebih tebal di atasnya dibandingkan dengan daerah yang naik, atau daerah sejajar-kelurusan strike line-nya tapi tidak mengalami penurunan se-ekstrem daerah active subsidence tersebut. Biasanya daerah itu disebut sebagai transfer zone atau hinge-line, di mana masih juga didapatkan endapan-endapan batu bara (selama lingkungan pengendapan-nya memungkinkan), tetapi ketebalan-nya lebih tipis dan kematangannya lebih rendah daripada yang dikubur dalam tadi. Emang sip dan top markotop, udah tebal, mateng pulak!!! (Rank tinggi lah.)
2010/6/18 kamsul hidayat <khid2006@yahoo.com>
Lapak baru niy Prens;
Lae ku Monang (yang sedang semangat di lapangan);
Aku dan team eksplorasi HG sedang melakukan juga riset coal Warukin khususnya di sekitar Kab. Tapin (Rantau) Kalimantan Selatan. Ndilalah, kok dapet coal Warukin dengan ranges kalori yang cukup "lebar" antara 5100 - 7084 kcal/kg adb (HG's unpublished report,2010). Gak umum & gak make sense jika kita berfikir bahwa coal dalam formasi yang sama, tanpa adanya pemanasan dari batuan intrusi & volkanik setempat, kok ya kalori nya bisa beda banget. Piye iki?
Multiple coal seams dari Fm.Warukin (Tmw) di Rantau tersebar dengan striking relatif N-S dan diping W; Coal kalori tinggi kira2 berada di timur lembar peta menerus ke selatan, katakanlah mulai dari konsesi dan pit nya Antang Gunung Meratus sampai ke Gunung Sambung; Begitu ceritanya Lae...; Kalau dilihat dari posisi stratigrafinya, coal seams dg kalori tinggi tersebut berada di sequence bawah, apakah itu merupakan bagian dari Fm, Warukin (?) that's important question.
Ndilalah lagi, kok yo ada satuan batugamping tersingkap di barat coal seams dg kalori tinggi tersebut. Apakah batugamping ini merupakan Fm.Berai (Tomb) atau sisipan dalam Fm,Tanjung (Tet)?. That's another good question. Beradarkan fact map, tentang coal seams di Rantau ini bisa diambil beberapa kesimpulan sementara:
1) Coal kalori tinggi merupakan bagian dari Fm.Warukin Bawah (Tmw) terbatas dalam zona
sesar naik, di mana Fm,Berai (Tomb) tersingkap.
2) Coal kalori tinggi berada di dalam interfingerings Fm.Berai (Tomb) dengan Fm. Tanjung
(Tet) sebagai host nya.
3) Coal kalori tinggi berasal dari Fm.Tanjung bagian atas (Tet), jadi bukan Warukin.
Demikian Lae, have a mutual discuss.
Regards,
Kamsul
Unifomitarianism: Anthropogenic(ism), Conditional(ism), and Unavailability
Di dalam ilmu geologi kita mengenal prinsip uniformatarianism yang sering diungkapkan sebagai: "the present is the key to the past" (masa kini adalah kunci untuk masa lalu); yang maksudnya dengan mempelajari proses-proses di bumi yang terjadi pada masa sekarang ini, maka kita akan dapat menguraikan kejadian-kejadian bumi pada masa lampau yaitu dengan melihatnya pada "catatan" batuan (rock record) dan mengasumsikannya sebagai produk/respons dari proses kejadian di masa lalu yang serupa dengan yang terjadi pada masa kini.
Dirilis pertama di Facecbook pribadi.
Di dalam ilmu geologi kita mengenal prinsip uniformatarianism yang sering diungkapkan sebagai: "the present is the key to the past" (masa kini adalah kunci untuk masa lalu); yang maksudnya dengan mempelajari proses-proses di bumi yang terjadi pada masa sekarang ini, maka kita akan dapat menguraikan kejadian-kejadian bumi pada masa lampau yaitu dengan melihatnya pada "catatan" batuan (rock record) dan mengasumsikannya sebagai produk/respons dari proses kejadian di masa lalu yang serupa dengan yang terjadi pada masa kini. Prinsip uniformitarianism ini seringkali juga diasosiasikan dengan gradualism (proses yang berangsur), yang lawannya adalah catastrophism (katastrofe = "ancur-ancuran").
Dalam kegiatan riset, mengajar, dan menerapkan ilmu geologi sehari-hari di dunia kerja (mining, oil and gas, hazard, engineering geo, ground water) prinsip uniformitarianism ini mengejawantah dalam pemakaian model-model analog lingkungan pengendapan, sistem hidrologi sungai, letusan gunung api, dan sejenisnya untuk menerangkan fenomena-fenomena geologi purba, baik yang berupa reservoir migas, air, tubuh cebakan mineral terkait dengan vulkanisme, dan sebagainya.
Meskipun aplikasinya nyata dan terbukti bermanfaat bagi usaha-usaha manusia dalam menyejahterakan dirinya memakai ilmu geologi, terkadang terlintas juga di pikiran tentang betapa aneh dan tidak masuk akalnya beberapa hal terkait penerapan prinsip tersebut secara sempit apa adanya. Lho??!!! Sampai di level yang mana kesamaan the present dengan the past itu seringkali menjadi batas yang abu-bu dan patut diperdebatkan. yang jelas, pada kala sebelum Holocene sampai sekarang masih diyakini bahwa tidak ada kegiatan manusia yang mempengaruhi proses-proses geologi, tidak seperti yang terjadi sekarang ini di mana anthropogenic processes/products menjadi semakin dominan memengaruhi proses-proses alamiah di bumi. Juga apakah memang selalu proses-proses di alam itu ajeg kontinu tidak berubah? Pasti ada lah perubahan-perubahan itu; yang dengan demikian makanya bumi ini juga berubah secara pelahan. Nah bisa jadi the present sudah tidak mencerminkan lagi kondisi the past. Demikian juga ukuran skala proses yang kita amati; kita punya problem dengan hal itu karena keterbatasan indra dan sifat manusiawi kita (yang hanya hidup "berarti" paling lama 80 - 90an tahun, kurang dari siklus banjir 100 tahunan).
Coba saja simak berikut ini:
Sungai Bengawan Solo yang berbelok ke arah Ujung Pangkah karena diarahkan oleh Belanda lewat saluran-saluran sepanjang daerah rawa-rawa Gresik merupakan proses pembajakan sungai antrophogenic yang tidak mungkin dicari padanannya di masa lalu, waktu masih belum ada kehidupan manusia (apalagi yang punya budaya dan teknologi). Pembelokan sungai seperti itu bisa juga terjadi "alamiah" apabila ada gempa yang memicu terbentuknya patahan baru atau mengaktifkan patahan lama sehingga aliran sungai berbelok seketika; tapi susah lah mencari padanannya bagi channel yang lurus berkilometer-kilometer panjangnya utara-selatan Bengawan Solo di Gresik itu. Hanya keinginan dan kerja keras manusia yang mau potong kompas singkat dan manfaat lah yang membuat saluran itu bisa jadi lurus. Apa padanan dari "that kind of present" in "the past"? Jadi kalau proses alam ini sekarang sudah dicampur-tangani oleh manusia, hati-hati memaknainya dan jangan asal ambil dia sebagai analog untuk proses yang terjadi di masa lampau. The anthropogenic present is not always the key to the past!!
Sungai dan delta Mahakam modern, yakni yang di-dating berumur 6000 tahun yang lalu oleh George Allen akhir 80an dan juga oleh tim nya Harry Robert dari Lousiana State University mid 90an; seringkali dideskripsikan sebagai delta yang tidak membentuk levee dan crevasse splay di distributary channel-nya karena memang tidak kita lihat dua komponen morfologi tersebut muncul di delta kita sekarang ini. Nah, di outcrop berumur Miosen di sekitar Samarinda maupun di jalan antara Balikpapan - Samarinda kita jumpai banyak contoh endapan levee dan crevasse splay yang mencirikan proses fluvial yang lebih dominan daripada yang sekarang terjadi di delta Mahakam. Nah ternyata proses yang terjadi di delta Mahakam modern ini tidak sama dengan proses yang terjadi di kala Miosen (karena ternyata produk alias responsnya juga berbeda). Terus dalam hal ini: apanya yang sama yang bisa dijadikan analog seperti disarankan dalam semangat "the present is the key to the past" itu?? Nah lo... Hihihihihi.. Barangkali ini yang kita sebut sebagai selected uniformitarianism, atau mungkin conditional uniformitarianism.
Di danau Toba yang sekarang, kita harapkan bahwa kita bisa melihat dan mempelajari endapan danau yang menjemari dengan endapan fluvial dan atau delta di pinggirannya; yaitu dengan mengasumsikan bahwa endapan formasi Samosir yang kita lihat di teras2 terangkat di pinggiran danau itu benar-benar mencerminkan kondisi perubahan yang berselang-seling antara kondisi tenang danau (suspensi, pelagic, diatomeae atau lignitic clay) dengan kondisi tidak tenang danau (pasir turbid graded bedding atau rippled). Nah, masalah utamanya, berkali-kali saat datang ke danau Toba, tidak pernah sekali pun kita datang pada situasi di mana terjadi badai di danau, atau paling tidak setelah terjadinya badai, atau kalau bukan badai ya masa kekeringan danau-lah, sehingga meng-expose sebagian pinggiran danau dan menjorokkan supply sedimen jauh ke dalam danau. Untuk mendapatkan kondisi itu mungkin kita harus mengamati pola musim, cuaca, dan mungkin juga cerita-cerita orang tua di sana tentang kapan terjadi kondisi-kondisi seperti yang kita bayangkan seharusnya terjadi dan berasosiasi dengan pasir-pasir yang diselipkan di lempung-lempung diatomeae maupun lignitic clay tersebut. Mungkin pula kondisi tersebut terjadi dalam skala ratusan tahun di luar jangkauan umur kita untuk mengamatinya. The present is not always available during our life time to become our key to open the past. Hikkkkksss...
CD - CSR Geologi (Pembangunan Komunitas dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang Terkait dengan Geologi)
Kaitkan CD/CSR dengan program mitigasi bencana gempa/tsunami dan tanah longsor di sekitar daerah operasi migas dan perluas ke daerah intra-montana/fore-arc yang berdekatan. Asosiasi profesi (IAGI/HAGI/IATMI/API) atau NGO/LSM dapat ambil peran fasilitasi atau bahkan sebagai pelaksana programnya sendiri.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Kaitkan CD/CSR dengan program mitigasi bencana gempa/tsunami dan tanah longsor di sekitar daerah operasi migas dan perluas ke daerah intra-montana/fore-arc yang berdekatan. Asosiasi profesi (IAGI/HAGI/IATMI/API) atau NGO/LSM dapat ambil peran fasilitasi atau bahkan sebagai pelaksana programnya sendiri.
Pada umumnya daerah-daerah operasi migas di Indonesia berada di posisi back-arc basin yang relatif "aman" dari jangkauan gempa yang merusak permukaan bumi. Epicenter gempa yang berlokasi di "belakang-busur" ini, kalaupun ada biasanya kedalamannya besar (lebih dari 150 KM) dan SR gempanya kecil-kecil (kurang dari 5). Hal ini disebabkan posisi penunjaman kerak samudra ke bawah kerak benua sudah terlalu dalam di daerah ini. Meskipun demikian, ada juga kasus di mana gempa di daerah back-arc yang relatif dalam dan tidak merusak ini (Indramayu 2007?) malah membuat kerusakan di tempat lain (di Sukabumi), yang hal ini disebabkan oleh adanya patahan besar di bawah kerak bumi yang kemungkinan merambatkan gempa dalam itu sampai di kedangkalan kerak di daerah jauh tersebut (Sukabumi). Sementara di Indramayunya sendiri aman-aman saja.
Meskipun back-arc basin kita relatif aman-aman saja, bukan berarti KKKS bisa berpangku tangan begitu saja kalau terjadi gempa/tsunami/tanah longsor di daerah-daerah jalur gunung api intra-montana; di mana kalau di Sumatra hal ini ditandai dengan adanya patahan besar Sumatra yang terus menerus aktif bergerak dari waktu ke waktu. Posisinya di sepanjang Bukit Barisan; agak jauh, memang, dari lokasi-lokasi aktivitas oil and gas E&P KKKS yang umumnya ada di pantai timur Sumatra.
Sekalian saja, selain juga diharapkan aktif pada waktu tanggap daruratnya, KKKS-KKKS yang relatif punya fasilitas, pengetahuan kebumian, dan sistem kerja yang lebih established daripada perusahaan-perusahaan lainnya bisa langsung aktif pada waktu tahapan-tahapan mitigasi. Yaitu ikut mendanai, ikut menyumbang expertise, menjelaskan dari komunitas ke komunitas tentang prinsip-prinsip mitigasi, memberi pengertian, pengetahuan tentang gempa-tsunami-tanah longsor; dan juga ikut aktif menyelenggarakan latihan-latihan evakuasi skenario pada saat gempa/tsunami terjadi. Masyarakat juga musti diajari bagaimana mengidentifikasi gejala-gejala tanah longsor, zona-2 lemah jalur gempa, dan area rawan tsunami dan membangun tempat tinggal dan fasilitas-fasilitas mereka dengan mengindahkan prinsip-prinsip keamanan dari bahaya-bahaya gempa/tsunami/tanah longsor tersebut. Kalau KKKS tidak punya ahlinya, dapatlah kiranya bekerja sama dengan asosiasi profesi atau perguruan tinggi atau institusi-institusi pemerintah yang memang punya banyak ahli tentang masalah-masalah kebencanaan ini. Selama ini gerak maju sosialisasi/mitigasi bencana itu sering terhambat oleh karena kesadaran masyarakat yang kurang terhadap pentingnya mitigasi, juga sebenarnya karena kurangnya dana untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan kebiasaan selamat (safety habit) ke masyarakat kita. KKKS-KKKS dengan CD/CSR-nya mustinya bisa ikut bermain di level ini. Sangat sangat bisa.Perlindungan dan pengelolaan situs-situs geologi yang terkait dengan sistem minyak bumi daerah KKKS tertentu perlu dilakukan sebagai bagian dari program CD/CSR. Hal tersebut punya dua sisi utama yang positif: a) membuat masyarakat menjadi lebih memahami tentang migas sehingga akan merasa terpanggil untuk ikut bersama-sama menjaga operasi KKKS untuk keberlangsungan kesejahteraan mereka, b) sekaligus menyediakan referensi analog bagi program-program eksplorasi (dan prosukdi) KKKS yang bersangkutan, dan c) juga bisa menjadi bagian dari perintisan lokasi-lokasi yang menjadi tujuan wisata khusus geologi (geowisata) yang pada gilirannya akan ikut menyumbangkan khasanah pusat guliran roda ekonomi baru di daerah tersebut.
Contoh situs-situs geologi yang menarik umumnya berada di daerah terrain/topografi yang non-alluvial quarter; jarang terdapat di daerah paparan pantai seperti sepanjang pantai timur Sumatra atau utara Jawa. Dengan demikian besar kemungkinan daerah-daerah situs tersebut terletak di luar daerah operasi KKKS. meskipun demikian hal tersebut tidak menutup kemungkinan untuk mengembangkannya, yaitu dengan tiga alasan utama yang disebutkan di atas. Contoh-contoh nyata di Jawa: situs Formasi Rajamandala di Padalarang Jawa Barat, situs Formasi Ngrayong di Ngepon Jawa Timur, situs Bledug Kuwu di Purwodadi Jawa Tengah, situs Formasi Sihapas di Aek Nabundong, Gunung Tua, Sumatra Utara, situs Formasi Baturaja di quarry Baturaja, Sumatra Selatan, dan sebagainya. Apabila KKKS-KKKS aktif berpartisipasi jadi pelopor melestarikan situs-situs itu dengan program CD/CSR-nya, sangat dimungkinkan jejaknya akan diikuti oleh perusahaan-perusahaan kebumian lainnya. Contoh: di quarry Baturaja, kalau saja MEDCO/BPMigas aktif meminta ke PT Semen Baturaja untuk menyisakan bagian-bagian tertentu dari quarry yang perlu diselamatkan dalam rangka referensi riset geologi dan juga geowisata, maka saya yakin Pabrik Semen itu pun nantinya bukan hanya sekadar mempersilakan, tapi juga akan ikut berpartisipasi. Mudah-mudahan.KKKS juga bisa melakukan CD/CSRnya dengan cara menyumbang/mendukung terselenggarakannya pendidikan kebumian dan keteknikan migas di daerah operasi migas mereka. Hal ini bisa berupa beasiswa, sponsor riset, KP/TA/Magang bagi mahasiswa-mahasiswa asal daerah yang bersangkutan, sampai juga kalau mampu mendirikan jurusan-jurusan geologi, geofisika, keteknikan migas di universitas-universitas terdekat. Di Brunei Darussalam Shell Brunei membuat program khusus MSc Petroleum Geology di UBD (Universitas Brunei Darussalam), demikian juga di Bangkok, PTTEP bikin program serupa di University Chulangkrong. Nah, mustinya Total, VICO, Chevron juga ikut mendirikan dan menyumbang Jurusan Geologi di Universitas Mulawarman-lah. Tidak usah muluk-muluk seperti yang di Brunei maupun Bangkok. Bahkan hanya sekadar Jurusan Geologi S1-pun belum ada di Kalimantan Timur (bahkan Kalimantan keseluruhan), di mana Kutai Basin mereka telah menghasilkan minyak dan gas (dan emas dan batu bara) selama ratusan tahun. Ironis sekali memang.
Beberapa Clue tentang Batuan Dasar
Batuan dasar di tinggian punya kecenderungan berbeda litologinya dari yang di rendahan, terutama apabila kita berbicara regional graben dan horst, di mana mekanisme naik turunnya batuan dasar itu diakibatkan oleh sesar normal bongkah.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Batuan dasar di tinggian punya kecenderungan berbeda litologinya dari yang di rendahan, terutama apabila kita berbicara regional graben dan horst, di mana mekanisme naik turunnya batuan dasar itu diakibatkan oleh sesar normal bongkah. Secara teori, sesar selalu melewati bidang paling lemah dari batuan dasar; jika batuan dasarnya homogen mono-litologi: kecil sekali kemungkinan berkembangnya bidang lemah tersebut; tetapi jika batuan dasarnya heterogen, maka di batas dua litologi batuan dasar lah biasanya ditemukan bidang lemah itu. Hal ini juga berlaku apabila kita pertimbangkan juga aspek brittleness dan elasticity dari berbagai jenis litologi; yang apabila dua litologi dengan brittlenes/elasticity yang ekstrem berbeda berada sebelah menyebelah, maka besar kemungkinan di bidang batasnya kita dapatkan bidang lemah yang prone terhadap gerakan patahan. Bidang-bidang lemah itu akan menjadi bidang gelincir patahan apabila terjadi dinamika tekanan/stress/strain baik horizontal mendatar, naik, maupun vertikal turun.
Apabila batuan dasar mengembangkan dirinya menjadi batuan reservoir baik melalui pembentukan rekahan (fracture) maupun pelapukan (weathered) maupun cucian (washed), maka hampir dapat dipastikan bahwa air formasi yang terkandung di dalamnya, bersama-sama dengan hidrokarbon, mempunyai salinitas relatif rendah mencirikan lingkungan ubahan (bukan lingkungan asal) yang berasosiasi dengan pemaparan batuan dasar tersebut ke air tanah. Hal ini menjadi suatu konsekuensi kewajaran, apabila kita perhatikan bahwa semua porositas (dan permeabilitas) yang berkembang di batuan dasar itu baru bisa direalisasikan apabila yang bersangkutan terpapar di permukaan; bahkan untuk fracturing yang bersifat vertikal sekalipun, di mana untuk mempertahankan fracture tersebut tetap terbuka (dan tidak terisi mineralisasi) dibutuhkan kondisi minimum overburden stress.
Seperti dituliskan oleh Tonkin dan Himawan (1999) terlampir, di banyak kasus: litologi batuan dasar dan positioning-nya satu dengan lainnya mengontrol pola sedimentasi (endapan-endapan synrift), mengontrol juga pembentukan trap (yaitu lewat reaktivasi patahan pada saat sedimentasi, maupun pinchout ke paleo-high membentuk strat trap), dan juga berpengaruh pada jalur migrasi migas sekunder. Dalam tulisan itu juga bisa kita ketahui bahwa ternyata volcanic plug di basement level dapat menjadi feature yang memicu terbentuknya drape-structure yang akhirnya bisa menjadi trap migas. Demikian juga dengan kasus dolomitic limestone yang menjadi batuan dasar dari TAF section di contoh kasus paper terlampir: bagian bawahnya dihiasi sinkholes dan struktur-strukutr runtuhan yang mana kesemuanya membekas di struktur formasi Talang Akar di atasnya (sinkholes dan collapse structure menjadi low/syncline, sementara daerah bukit-bukit karst menjadi tinggian/anticline(?)).
BASEMENT LITHOLOGY AND ITS CONTROL ON SEDIMENTATION, TRAP FORMATION AND HYDROCARBON MIGRATION, WIDURI-INTAN OILFIELDS, SE SUMATRA
P. C. Tonkin, R. Himawan
(Journal of Petroleum Geology Volume 22, Issue 2, Pages 141 - 165, 1999 SCIENTIFIC PRESS LTD)
Abstract
The Widuri-Intan oilfields produce from late Oligocene sandstones of the Talang Akar Formation, which were deposited in a fluvial-to-deltaic setting on the NW side of the Asri Basin, offshore SE Sumatra. The Asri Basin is of rift origin and formed during the early Oligocene, with its axis oriented in a NE-SW direction. Approximately 310 million brls of oil have been produced from the fields within the 12-by-12 mile (20-by-20 km) study area. The oil occurs in a series of structural and stratigraphic traps within slightly sinuous to meandering channel sandstone bodies. The reservoir sequence (sandstone interbedded with minor mudstone and coal) overlies basement rocks, which are predominantly Cretaceous in age. Forty-nine well penetrations have shown that the basement is composed of one of four lithologies: (1) hornblende granodiorite; (2) metamorphic rocks, mainly mica schist; (3) plugs of metabasalt and related volcanic rocks; or (4) dolomitic limestone.
A combination of drill cuttings, sidewall and conventional cores and FMS/FMI images has been used to identify and map the distribution of basement rock type. The basement was subjected to exposure and deep weathering prior to the formation of the Asri Basin, as evidenced by the zones of surface alteration encountered during drilling. The basement palaeotopography had a strong influence on the later distribution of major fluvial channels and sand pinch-outs. Several major faults appear to be controlled by basement lithology, especially at the boundaries of granodiorite and metabasalt intrusives. An important shear zone, oriented NW-SE, appears to have offset the basement between the main Widuri and Intan fields, and was subsequently the site of silicification of the mica schists in the basement. The Lidya field is situated where the reservoir pinches out onto eroded areas of basement silicification along this shear zone. Palaeocurrents in the upper 34–2 and 34–1 channel sandstones in the Widuri field were controlled by the orientation of this basement feature. Drape and compaction of Oligocene Talang Akar Formation sediments over eroded volcanic plugs have defined or enhanced a number of structural/stratigraphic plays, including the Widuri and Chesy fields. From seismic and well evidence, the reservoir sequence at the Indri field is underlain by dolomitic limestone and exhibits a series of unusual karst-related sinkhole and collapse structures. These are circular to slightly elliptical in shape, and extend from basement level to over 900 ft vertically into the overlying Talang Akar Formation.