Dalil-Dalil Geologi Lapangan
“Berapa banyak geosaintist yang ke lapangan tapi tidak mendapatkan apapun juga kecuali kepanasan dan basah-basah saja.”
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
“Berapa banyak geosaintist yang ke lapangan tapi tidak mendapatkan apapun juga kecuali kepanasan dan basah-basah saja.”
“Mereka tidak menyeket morfologi dan singkapan dan tidak membagi-baginya dalam satuan-satuan struktur dan stratigrafi untuk pemahaman.”
“Mereka tidak menggambarkan geometri tubuh batuan dari kejauhan, menganalisa hubungan visual antar satuan, vertikal maupun horizontal.”
“Mereka tidak menyentuh, memegang, maupun merasakan perbedaan tekstur batuan, apalagi mencuilnya untuk diperiksa dibawah loupe maupun diuji kadar lempung/pasirnya dengan gigi ataupun kadar karbonatnya dengan asam khlorida lemah.”
“Mereka tidak mencoba cari tahu mineral-mineral apa saja yang membentuk batuan, fosil-fosil apa yang terbenam, dan jejak-jejak kehidupan apa saja yang terekam; apalagi memperkirakan berapa dan bagaimana karakter kelulusan dan kesarangan.”
“Tapi mereka lebih sibuk selfie dan mengupload gambar yang menyatakan bahwa mereka telah hadir di lapangan.”
“Dan yang agak serius mulai buka peta dan kertas-kertas untuk menggambarkan teori-teori regional tentang geologi dan jargon-jargon indah berbagai istilah: yang hal seperti itu bisa saja mereka lakukan di kantor, di tempat kerja lainnya, tapi bukan di lapangan.”
“Sementara batuan tempat mereka berpijak, tak secuilpun mereka bicarakan; dinding-dinding singkapan tak sebidang pun mereka ungkapkan.”
“Sementara riak gelombang, arus sungai, dan gerak rancak pasir-pasir di dasar pengendapan danau, pantai maupun estuaria tidak sekalipun mereka perhatikan apalagi dicatat untuk pembelajaran.”
“Hai orang-orang yang mengerjakan interpretasi geologi untuk mengekstraksi sumberdaya kebumian, diwajibkan atas kamu pergi ke lapangan sebagaimana diwajibkan atas geologists sebelum kamu agar kamu tidak hanya mengkhayal dan berilusi saja dengan interpretasi bawah permukaan - yang menyebabkan makin kurang berhasilnya daya upaya kamu mengekstraksi sumberdaya bumi untuk kemaslahatan.”
“Sesungguhnya tidak akan berubah nasib suatu bangsa yang geologists-nya enggan belajar langsung dari buminya sendiri, kecuali mereka mulai menyadari untuk rutin pergi ke lapangan dan benar-benar belajar untuk memahami bumi.”
(Mengenai "Ini 5 Lapangan Migas yang Beroperasi di Era Jokowi-JK")
Kita harus acung jempol dengan keberhasilan jajaran birokrasi migas Pak Jokowi meneruskan dan mengeksekusi rencana-rencana start-up lapangan-lapangan migas yang sudah ditemukan lima – sepuluh tahun sebelum masa pemerintahan sekarang ini,
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Kita harus acung jempol dengan keberhasilan jajaran birokrasi migas Pak Jokowi meneruskan dan mengeksekusi rencana-rencana start-up lapangan-lapangan migas yang sudah ditemukan lima – sepuluh tahun sebelum masa pemerintahan sekarang ini, sehingga keluar dengan pencapaian lima proyek migas besar yang diresmikan dalam tiga tahun terakhir seperti yang dikampanyekan oleh SKKMigas/ESDM akhir minggu ini.
Keberhasilan itu menunjukkan profesionalisme yang tinggi untuk tetap taat asas dan taat rencana sesuai dengan rekayasa/kreativitas yang sudah diletakkan dasar-dasarnya pada periode sebelumnya.
Dalam konteks itu perlu juga kita catat bahwa banyak juga rencana-rencana pengembangan lapangan-lapangan migas yang sudah diletakkan dasarnya pada periode-periode sebelumnya yang pada tiga tahun terakhir ini mengalami perlambatan — dan sebagian di antaranya adalah lapangan-lapangan raksasa, seperti misalnya: Blok Natuna Timur (gas 46 TCF), Blok Masela (gas 10 – 17 TCF), Blok A di Aceh (gas sampai 3TCF), Blok Kasuri (sampai 1,5 TCF gas), Blok IDD Selat Makassar (sampai 2,5 TCF gas). Kemoloran jadwal start-up proyek-proyek gas besar di atas sedikit banyak juga menyumbang permasalahan miss-match supply-demand gas Indonesia saat ini (sampai berkali-kali dicoba diganggu usaha oknum-oknum untuk memperkenalkan ide impor gas dari luar padahal gas kita berlimpah).
Selain perlu melihat secara seimbang keberhasilan start-up proyek migas warisan birokrasi sebelumnya dengan kemoloran beberapa proyek migas yang ikut memperuwet permasalahan supply-demand ketahanan energi Indonesia, kita juga perlu menimbang sejauh mana keberhasilan-keberhasilan tersebut berkontribusi pada parameter-parameter ketahanan energi seperti yang dikuantifikasi dalam RPJMN maupun Nawacita. Pada dasarnya penilaian stakeholder/masyarakat Indonesia yang salah satu hasilnya disuarakan dalam Rembuk Nasional 3 pada 23 Oktober yang lalu semuanya didasarkan pada apa yang sudah dijanjikan oleh pemerintah pada RPJMN dan, khusus oleh Pak Jokowi, dalam Nawacita. Secara spesifik memang tidak disebutkan nama-nama proyek dan besaran kontribusinya, tetapi hasil akhir dari proyek-proyek tersebut sebagian besar adalah lifting Migas yang merupakan parameter yang mendapatkan nilai A* (a-bintang) yang artinya Berhasil dengan catatan. Salut untuk jajaran migas Pak Jokowi.
Tapi kita tidak boleh terlalu dalam terjerumus pada kenikmatan keberhasilan “semu” tersebut (karena ada juga sejumlah proyek besar yang belum berhasil) dan lagi pula itu semua adalah langkah praktis jangka pendek (dari perjalanan jangka panjang sebelumnya) untuk mendongkrak lifting Migas kita. Kalau kita terlarut di situ maka inilah yang sering kita sebut sebagai produk pandangan myopic atau jangka pendek .... terkecoh dengan keberhasilan sementara mempertahankan lifting Migas dengan mengeksekusi hasil-hasil temuan (discovery) dari kegiatan-kegiatan eksplorasi lima – sepuluh tahun sebelumnya, tapi kurang peduli dengan fasilitasi kegiatan eksplorasi saat ini yang hasilnya baru akan dipetik lima – sepuluh tahun lagi.
Sektor energi dan pertambangan yang terkait dengan kegiatan hulu pada umumnya punya karakter jangka panjang (minimum lima tahun untuk eksplorasi sampai discovery) dan berisiko tinggi. Jadi, keberhasilan hulu energi kita saat ini sedikit banyak disumbang oleh keberhasilan rejim terdahulu dan sebaliknya kerja keras kita membenahi sektor hulu saat ini baru akan dinikmati hasilnya oleh rakyat Indonesia lima – sepuluh tahun ke depan.
Rembuk Nasional Bidang Energi dan Pertambangan menengarai fokus kegiatan sektor ESDM saat ini lebih bersifat jangka pendek daripada jangka panjang. Oleh karena itu keberhasilan-keberhasilan BBM satu harga, target lifting Migas, penyelesaian proyek-proyek migas besar, penyederhanaan perijinan, rasio elektrifikasi, listrik desa, dan beberapa capaian penting lainnya masih harus dilengkapi dengan usaha-usaha yang lebih keras untuk membuat iklim investasi energi yang menarik, keterbukaan data, eksplorasi-eksplorasi yang tidak direcoki pungutan-pungutan dan beban-beban politisasi dan kriminalisasi, dan sebagainya yang semuanya punya dimensi memengaruhi keberhasilan jangka panjang.
Intinya, keberhasilan start-up proyek-proyek migas tiga tahun kemarin ini sudah masuk dalam penilaian Tim Rembuk dengan nilai A*. Jangan kuatir bahwa itu belum dinilai.
Jadi, tidak/belum mengubah nilai total keseluruhan yang 2.19 alias C tersebut.
(Dan dalam waktu dekat ini, kita akan umumkan lebih rinci perbandingan angka-angka dan parameter-parameter apa saja yang dinilai dari evaluasi tiga tahun pertambangan/energi ini)
Tingkatkan terus prestasi.
Belajar tak henti-henti (ssst... kita sebenarnya inginnya orang yang sudah pengalaman yang gak perlu belajar lagi yang gak coba coba berkali-kali, lho).
Mejeng keren dan gaul sana sini memang perlu.
Tapi jangan lupa kerjakan PR-nya.
Supaya nilai bisa diperbaiki.
Berita Terkait:
Jauh Dekat Sama Saja
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Sejauh apapun aku dari Indonesia
Aku masih berada di rumah
Karena tempat tinggalku adalah cinta
Ruang tamuku adalah percaya
Peraduanku adalah pasrah
Tak ada pintu tak ada jendela
Rumahku adalah maksud baik dan cita-cita
Aku merdeka!
Aku akan bawa mereka semua
Ke Indonesia!
Aku berbincang dengan kondensat di Nigeria.
Menyelami jebakan minyak di laut dalam Namibia.
Memantas-mantas katup gas di pantai Tanzania.
Menjejaki rawa bergaram di Gabon.
Menelusuri Pegunungan Atlas dan gurun panas di Aljazair.
Membongkari lapisan lapisan danau purba di tepi Laut Merah di Sudan Utara.
Diskusi dengan penguasa cadangan gas raksasa di udara panas seperti disetrika di Doha.
Merunut jejak klastik yang longsor ke laut dalam di Cekungan Arakan di Birma.
Menjajaki kemenerusan gas-gas Natuna di selatan Vietnam sana.
Merancang kolaborasi berapapun minornya dari Celah Timor Australia.
Menggambar ulang patahan-patahan di pegunungan sebelah barat Medelin Kolombia.
Mereka-reka cara nge-tap hidrokarbon berlilin di Maracaibo Venezuela.
Menunggu merangkaknya harga sambil mengkaji ulang lumuran minyak di pasir Alberta Kanada.
Menyiasati Eropa yg tidak lagi mau ada eksplorasi migas di tanah Perancis dan Italia.
Apa kabar gamping bergas Peutu, Belumai, Tampur di Aceh sana?
Pantai barat Lhok Nga sampai Meulaboh yang belum tersentuh apa-apa.
Gas serpih di sepanjang pantai timur Sumatra utara.
Minyak-minyak yang masih nyangkut di dalam bumi Riau yang menunggu i o a (EOR).
Migas yang tersembunyi di bawah kuburan vulkanik sepanjang muka-gunung Bukit Barisan Sumatra.
Gas-gas biogenik di 10 cekungan Indonesia.
Longsoran-longsoran klastik bermigas di lereng-lereng laut dalam Tarakan, Selat Makassar dan sekitarnya.
Apa kabar Indonesia Timur?
Apa kabar minyak-minyak Permian di sepanjang Busur Banda?
Jalur gas di Pegunungan Tengah Jaya Wijaya, minyak-minyak dangkal dan gas-gas Mesozoik menengah di Teluk Bintuni, Salawati, dan seluruh Papua.
Gas-gas yang bertapa di tinggian-tinggian terkubur di selatan Jawa antara Banyuwangi dan Yogjakarta.
Apa kabar Indonesia?
Sedekat apapun aku dengan geologi minyak bumi di tanah kelahiran.
Tak akan tega kuhentak sumbat menghancurkan.
Para penghalang penutup fakta pemilik pandang miopia.
Sudah kucoba, sudah kuteriakkan peringatan bahaya.
Biar saja mereka belajar meski ongkosnya mahal bagi kita semua.
Aku akan tetap berjaga-jaga.
Karena aku cinta Indonesia.
Karena aku merdeka!
Akan aku tunjukkan kerja
Bukan hanya debat aturan coba-coba dan bikin mandeg semuanya.
Jauh dekat sama saja.
Karena aku pecinta.
Meski harus bertarung diam-diam dengan ego-jiwa.
Jauh dekat sama saja.
Karena aku merdeka.
Meski harus nyeri memecah belenggu kenyamanan zona.
Jauh dekat sama saja.
Untuk Indonesia.
Jebakan 1
Saat merenungi Indonesia dalam perjalanan mengakses sumber-sumber energi dunia, aku berpikir keras untuk bagaimana caranya menyadarkan masyarakat akan bahaya pencitraan di Industri Hulu energi kita.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Saat merenungi Indonesia dalam perjalanan mengakses sumber-sumber energi dunia, aku berpikir keras untuk bagaimana caranya menyadarkan masyarakat akan bahaya pencitraan di Industri Hulu energi kita.
Banyak pameran keberhasilan diviralkan dengan sengaja ke mana-mana. Itu bagus sekali untuk menyemangati. Tapi sejatinya kita harus mewaspadai jebakan-jebakan pameran keberhasilan yang sebenarnya hanya konsekuensi logis dari kerja keras hulu energi lima - sepuluh tahun sebelumnya; yang mungkin sebenarnya bukan hasil kerja rezim saat ini. Adalah keberuntungan besar kita sekarang memanen hasil kerja orang-orang sebelum kita. Keberuntungan itulah yang sekarang kita bangga-banggakan.
Padahal yang jauh lebih penting dari pameran keberhasilan itu: apakah kita sudah taat dan patuh pada pelaksanaan rencana lima - sepuluh tahun ke depan dengan melakukan apa-apa yang perlu dilakukan sekarang yang sayangnya tidak begitu terlihat gegap gempita sebagai “keberhasilan” ....
Bagi “quick yielding trader” dan bagi para pemimpin yang tidak dapat melihat jauh, karakteristik Hulu Energi yang seperti ini, tidak begitu mereka pahami ....
Maka berhati-hatilah kita semua atas jebakan-jebakan pameran keberhasilan itu bisa-bisa tiarap kita semua di Hulu Energi dalam dua - tiga tahun ke depan kalau kita ikuti saja kemauan kekinian para pemimpin ber-mazhab myopic sighting ini. Apa yang sudah digariskan, direncanakan, bahkan dibuat road map-nya secara legal: sudah seharusnya dilaksanakan! Tidak boleh ditunda-tunda atau bahkan lebih parah lagi: malah diingkari!
Merenungi Indonesia dari kejauhan, makin miris perasaan makin rawan keinginan.
Simpati untuk ET dari EF
Saya prihatin. Selama ini seolah-olah Indonesia hanya jadi pengekor/pelengkap penderita dan sebagian besar dari kita hanya jadi pengamat saja dalam hiruk pikuk ET ini. Padahal Kebijakan sudah digariskan dan Rencana Umum sudah diperpreskan.
Dirilis pertama di Facebook pribadi.
Saya prihatin. Selama ini seolah-olah Indonesia hanya jadi pengekor/pelengkap penderita dan sebagian besar dari kita hanya jadi pengamat saja dalam hiruk pikuk ET ini. Padahal Kebijakan sudah digariskan dan Rencana Umum sudah diperpreskan. Segala jargon tentang "Kita adalah Arab Saudi-nya Biofuel/Biomass/ET” ataupun "Meskipun miskin minyak bumi, Indonesia kaya berbagai jenis energi", dan sebagainya itu semua seolah hanya jadi jargon tanpa realisasi kemajuan yang berarti dalam kepeloporan - kepemimpinan baik teknologi ET maupun (apalagi) industrinya.
Terus setiap saat, setiap tahun, kita tak bosen-bosennya berkunjung ke sana kemari menyaksikan kemajuan-kemajuan ET di berbagai belahan dunia lain sambil berdecak kagum dan saling memamerkan pemahaman kita tentang prediksi orang-orang lain tentang masa depan cerah ET kita. Sementara itu apa-apa yang kita tuliskan dalam UU/PP/Perpres gak kunjung menuai kenyataan hasilnya yang sesuai dengan apa yang kita cita-citakan dan terus menerus kita bangga-banggakan!!!
Persoalannya jelas: kita cuma menulis dan bicara saja tapi KITA TIDAK BERTINDAK! Saat kita bertindak (eksekusi/eksekutif/regulasi Langsung): APBN kita tidak pro ET, permen-permen kita tidak pro ET, gerak langkah ekonomi kita tidak pro ET, .... ET disuruh bersaing dulu sendirian berdarah-darah bertempur dengan fosil.
Jangan lagi bicara ke pemihakan ke riset-riset dan teknologi ET: Jauuuuuh Panggang dari Api ..... Para periset/saintis/akademisi kita ketinggalan dan ditinggalkan "sendirian" oleh industri dan pemerintah dan kita tidak bisa berbuat apapun juga.
Padahal ada aturan depletion premium, ada aturan Biofuel, ada aturan bioetanol, ada standarisasi Euro, ada Perda - Permen tentang kewajiban dan/atau fasilitasi kemudahan menggunakan gas sebagai pengganti BBM, dan sebagainya. Tapi hampir bisa dikatakan: mandegh semua, gak jalan blassssh!!!
Supaya kita jadi BERTINDAK, harus ada kepemimpinan dan kepemihakan kepemimpinan yang jelas pada ET dan bukan hanya pencitraan pencitraan belaka tapi benar-benar grass rooting membongkar semua nonsense sampai di akar permasalahan!!!
Subsidi ET first, and we will al prosper and sustain later!! Itu yang harusnya dilakukan, bukan hanya dituliskan sebagai hiasan dalam UU/PP dan Perpres!!!
So, mari terus kita suarakan concern ini. Perkembangan/kemajuan di luar memang harus terus kita amati-ikuti-dan adaptasikan, tapi pada saat yang sama kita seharusnya juga BERGERAK PATUH PADA APA yang sudah KITA TULISKAN DAN RENCANAKAN BERSAMA UNTUK GO GREEN DAN GO BLUE.... At least dalam konteks Dewan Energi Nasional: kita harus usaha keras ingatkan para menteri penyelenggara negara ini untuk patuh dan in-line minimal dengan RUEN kita lah dalam hal ET ini.
Kira-kira begitu.
Jakarta, 7 Juni 2017
(Ditulis waktu masih jadi AUPK DEN.)